Oleh Ben B Nur
Penulis Buku The Golden Rule Of Success
Rudi, seorang karyawan perusahaan swasta yang tidak terbilang besar namun juga tak bisa disebut kecil, akhir-akhir ini agak uring-uringan. Padahal dari segi jabatan Rudy tergolong tinggi di tempat kerjanya. Yang membuatnya uring-uringan karena setelah dua tahun menduduki jabatannya sekarang Ia melihat karirnya sudah mentok.
Sebenarnya masih ada dua tingkat lagi posisi di atasnya tapi sepanjang sejarah perusahaannya posisi di atasnya itu biasanya diisi oleh orang-orang dari perusahaan induk. Maklum perusahaan Rudy hanya salah satu anak perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultan.
Istilah mentok biasanya dipakai untuk mengganti kata mencapai batas. Kalau anda sedang menyusuri jalan kompleks mencari alamat biasanya dengan mudah orang akan.. memberi petunjuk: “Pokoknya lurus saja mengikuti jalan ini, kalau mentok belok ke kiri dan rumah yang anda cari dua rumah dari belokan.”
Kata mentok dipakai dalam urusan karir karena orang membayangkan meniti karir seperti menaiki anak tangga. Ada saat dimana anak tangga yang mau dipijak sudah habis. Bisa karena kita sudah berada di posisi puncak anak tangga atau sedang ada orang yang berpijak pada anak tangga di atas kita.
Lain lagi yang terjadi pada Arman, seorang pegawai Pemerintah yang sudah mengabdi sekitar 18 tahun. Ia melihat karirnya sudah berakhir karena untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi Ia tidak lagi memenuhi syarat ditinjau dari segi usia. Mentok juga namanya.
Karir mentok boleh jadi menjadi semacam syndrom di kalangan karyawan, baik swasta maupun pemerintah.
Dampaknya bukan sekedar membuat si karir mentok sering uring-uringan melainkan sudah sampai mempengaruhi kinerja dan produktivitas. Kalau sudah menyangkut produktivitas ini menjadi sinyal bahwa urusan ini sudah memasuki wilayah manajemen. Nah lho !
Bahkan ada dampak yang lebih buruk lagi kata seorang pengamat karir. Ada kecenderungan penderita SKM (sindroma karir mentok) mengalami pergeseran orientasi kerja. Karena karir mentok orientasi bergeser dari sebelumnya fokus prestasi ke arah fulus.
Artinya si penderita cenderung berupaya lebih banyak mengumpulkan materi, baik dari samping (maskudnya melalui obyekan sampingan) maupun dari dalam organisasinya. Wah ini urusannya lebih parah lagi !
Bagaimana mengatasinya ?
Bagaimana mengatasinya? Ini pertanyaan menarik tentunya. Tetapi kepada siapa dulu pertanyaan ini ditujukan? Kepada si penderita, organisasinya atau pakar karir?
Kalau pertanyaan ini kepada organisasi maka jawabannya harus ditemukan di dalam kerangka inisiatif manajemen.
Kita akan memikirkan bagaimana mencarikan alternatif posisi bagi yang karirnya sudah mentok, begitu kira-kira jawaban manajemen.
Kalau pertanyaan ini kepada penderitanya, maka jawabannya akan sangat beragam. Yah, pasrah aja. Atau yang lain mungkin akan menjawab ini harusnya dipikirkan oleh perusahaan atau organisasi.
Kalau pakar karir? Tentu juga akan memberikan beragam solusi yang garis besarnya kemungkinan seputar perlunya si penderita lebih memacu prestasi agar karir yang mentok bisa menemukan jalan baru untuk melejit. Atau kalau masih ada peluang karir di tempat lain, mengapa tidak dicoba.
Nah, tampak bermaksud menggurui, barangkali untuk sekedar menjadi bahan renungan, sebaiknya kita kembali dulu kepada inti masalah atau isunya. Karir mentok boleh jadi hanya persoalan cara pandang. Saya sangat suka dengan istilah paradigma yang banyak diulas oleh pakar kepemimpinan dunia Dr. Stephen R. Covey dalam buku 7 Kebiasaan-kebiasaan manusia Yang Sangat Efektif.
Kalau paradigma kita terhadap karir adalah posisi atau jenjang, maka otak kita akan mengolah paradigma ini dan membayangkannya seperti susunan anak tangga yang tentu akan mempunyai ujung.
Bagaimana kalau kita melihat karir bukan sebagai jenjang melainkan lebih pada karya atau hasil kerja. Sesuatu yang dapat terus kita tingkatkan selama ada waktu dan kemauan. Bahkan bisa lebih tinggi lagi dapat kita sebut sesuatu pembuktian bahwa kita pernah ada di dunia ini sebagai manusia. Maka dalam proses berkarya ini dapat diibaratkan jalan panjang yang tak akan ada ujungnya sampai hembusan nafas terakhir.
Jadi bila kita letakkan istilah karir pada karya, maka pasti tidak ada istilah mentok selama kita masih memiliki kekuatan untuk berkarya. Tetapi bila diletakkan pada posisi atau kedudukan, pasti ada ujungnya. Katakanlah karier tertinggi sebagai politisi akan mentok ketika sudah menjadi Presiden. Atau kalau di swasta akan berakhir saat sudah menjadi Direktur Utama atau kedudukan yang lebih rendah yang sudah maksimal kita capai.
Katakanlah saat ini kedudukan anda adalah Wakil Direktur dan tidak mungkin lagi menjadi Direktur Utama. Anda bisa melihat karir anda mentok bila paradigma anda adalah posisi. Tapi kalau paradigma anda melihat karir anda sebagai seorang profesional di bidang tertentu, maka meskipun jabatan anda tiba-tiba diturunkan sebagai staf biasa anda tidak akan terganggu.
Sebagai seorang profesional anda melihat kesempatan untuk berkarya atau berbuat sebagai karir anda tetap terbentang luas dan lebar.
Jadi hati-hati di dalam meletakkan harga diri anda. Jangan sembarang meletakkan, termasuk meletakkannya dalam tinggi rendahnya posisi anda yang anda artikan sebagai karir. Agar tidak pernah ada kamus mentok dan penyakit SKM letakkanlah harga diri anda pada karya dan prinsip-prinsip mulia seperti kejujuran, kerendahan hati, ketabahan, kegigihan dan sebagainya.
Kesempatan berkarya dan bertumpu pada prinsip-prinsip mulia akan selalu terbuka dan tidak pernah mengenal istilah mentok. Jadi meskipun secara strktural di dalam organisasi anda tidak lagi memegang jabatan, tetapi kesempatan untuk menunjukkan prinsip-prinsip hidup yang menghasilkan karya dan keteladanan bagi orang lain akan selalu anda miliki.
Solusi ini bukan untuk menghibur.
Marilah kita renungkan bersama secara jernih bahwa waktu hidup ini sangat singkat. Karena sangat singkat janganlah letakkan kebahagiaan, kegembiraan dan harga diri anda pada jabatan karena anda pasti akan menghabiskan energi untuk mempertahankan jabatan itu.
Sekali jabatan hilang, maka penyakit fisik dan psikis akan segera menyerbu anda.
Berbahagialah ketika anda masih bisa menjalani hidup ini dengan prinsip-prinsip mulia dan berkarya bagi kemaslahatan umat manusia lainnya. Tetaplah bersemangat dan berbangga saat anda masih bisa berbagi ilmu, pengalaman bahkan mungkin berbagi materi dengan sesama.
Urusan jabatan yang selama ini anda identikkan dengan karir sebaiknya ditempatkan pada tempat yang semestinya yang tidak ada hubungannya dengan harga diri anda.
Saya yakin, dengan paradigma baru melihat karir bukan sebagai jabatan melainkan lebih sebagai kesempatan untuk berkarya dan menjalani kehidupan dengan prinsip-prinsip mulia, maka tidak akan ada penyakit SKM dan tidak perlu mencari berbagai cara untuk mengejar atau mempertahankan kedudukan, termasuk tidak pernah akan lari ke dukun mencari jimat penguat jabatan.
4 comments:
bekerja pada bidang yang disukai pasti lebih enjoy dan nyaman tanpa memikirkan jenjang karir
betul bro .. kalau kita enjoy maka pekerjaan lancar :)
solusinya harus siram rohani agar lebih tenang dan dapat meningkatkan kinerjanya.
bisa dibaca disini ya sob. thanks
http://www.kaptenteknologi.co.cc/2010/05/tips-menghindari-rasa-stres.html
Mantap Kapten Teknologi kita harus siram rohani agar lebih tenang dan berpikir religius .. Dan dapat menghilangkan stress..
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !