Pada hakikatnya pendidikan merupakan proses menemukan identitas seseorang, dalam substansinya Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Meski demikian, pendidikan dapat pula berbentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Agar dapat terselenggarakanya pendidikan dengan baik diperlukan satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru.
Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi. Atas landasan inilah tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan sertifikasi dalam bidang pendidikan.
Secara umum sertifikasi merupakan proses untuk mengukur dan menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sertifikasi memiliki kekuatan hukum dalam undang undang No.14/ 2005 tentang Guru dan Dosen di bahas dalam pasal 8 yang menegaskan kewajiban sertifikasi ” guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemammpuan untuk mewujudkan pendidikan nasional “.
Sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan,hal ini di perkokoh lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Masalahnya, karena sertifikasi dibiayai oleh pemerintah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU Guru dan Dosen, justru jadi perebutan kewenangan siapa yang ingin melakukan sertifikasi.
Polemik kewenangan tersebut sebenarnya sah sah saja, karena merupakan hak prerogativ dari pemerintah untuk menerapkan kebijakan tersebut, hanya saja jangan sampai mengabaikan tugas untuk meningkatkan kualitas akademik.
Dalam undang undang guru dan dosen diatur dua hal yang sangat penting untuk memajukan suatu profesi. Pertama status social dari guru dan dosen. Kedua, status akademik di dalam pembinaan profesi guru dan dosen, keduanya tidak bisa di lepaskan, sebab perbaikan status sosial merupakan salah satu syarat mutlak di dalam menjaga status suatu profesi, termasuk guru.
Dengan demikian bukan merupakan kejanggalan apabila suatu profesi ditinggalkan ketika tidak memperoleh status sosial dan penghargaan ekonomi yang setimpal.Philip G Albach, dalam the decline of the guru (2003), mengemukaakn tersingkirnya profesi guru merupakan fenomena global, bukan saja di Negara maju profesi guru mulai di tinggalkan, lebih lebih di Negara berkembang maupun yang sedang menuju industrialisasi citra profesi guru semakin menurun, na,mun demikian tidak ada satu pun masyarakat yang tidak membutuhkan guru, sebab profesi ini yang menjaga kelanjutan generasi.
Masalahnya pengakuan tersebut tidak pernah setimpal dengan apa yang menjadi hak guru, kesejahteraan serta jaminan hidup, maksudnya jaminan kesejahteraan tetap menjadi factor utama bagi para guru agar dalam bertugas tidak setengah hati misalnya, ketika mengajar sambil memikirkan ‘asap dapur’ dirumahnya. hal tersebut kini seharusnya mulai kandas, dengan di keluarkanya kebijakan sertifikasi guru dan dosen dapat meningkatkan kesejahteraan baik untuk pribadi maupun keluarga.
Sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi atau kompetensi minimal yang disyaratkan, dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara obyektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga harus berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di lapangan, seperti kesenioran baik dalam aspek usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik, kepangkatan,maupun prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Ditengah arus perubahan yang tidak mampu di prediksi kemana muaranya berpangkal, pendidikan harus di pacu untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan di tingkatan lokal, nasional, maupun global . Pada akhir Januari 2007 telah terjadi pertemuan di Davos yang dikenal sebagai World Economic Forum, seminggu sebelumnya telah ditantang oleh pertemuan yang tidak kurang hangatnya di Nairobi dengan Global Social Forum. Kedua forum tersebut berdiri di atas asumsi-asumsi yang berbeda. World Economic Forum mempunyai posisi yang bertentangan dengan World Social Forum. Pada dasarnya World Social Forum sangat mengkhawatirkan akibat dari perdagangan bebas yang menurut mereka hanya merupakan proses pemiskinan dari negara-negara yang sedang berkembang.
Perdagangan bebas dalam aspek ini termasuk di dalamnya usaha jasa pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan akan di buka bebas berkompetensi di seluruh penjuru dunia, Akhirnya jangan sampai guru disiapkan hanya untuk dibekali kebutuhan seperti abad 19 padahal guru hidup pada abad ke 21, abad informs. Sebab pada masyarakat maju, profesi yang terus dibina secara seriuslah yang akan bertahan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut penulis, desain pembinaan profesi guru harus disesuaikan dengan perkembangan zaman serta perkembangan sosial masyarakat yang semakin plural.
Menurut asumsi H.A.R Tilaar, profesi guru sebenarnya baru dimulai ketika guru mengantongi sertifikat profesi. Namun kayakinan pakar pendidikan tersebut menurut justru bertolak belakang dengan pemerintah atau departemen pendidikan nasional (Depdiknas). Karena pada prakteknya saat ini setelah guru mendapat sertifikat selesai sudah, tidak ada kelanjutanya untuk pengembangan interpersonal dalam mengembangkan pedagogik, guru tidak diarahkan untuk semakin mengembangkan kapasitas pengetahuanya tetapi sekedar diarahkan guna mengejar sertfikat dengan iming-iming kenaikan tunjangan semata.
Bila fenomenanya seperti ini sertifikasi dapat menjadi alat oppressive bagi perkembangan individu guru sebagi pendidik Kedepan tentu kita berharap sertifikasi guru tidak di persempit pemahamanya, maka sungguh utopis ketika program sertifikasi pendidikan ini di peruntukan guna peningkatan mutu pendidikan nasional atau hanya sekedar proyek semata.
Baca Selengkapnya ..
Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi. Atas landasan inilah tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan sertifikasi dalam bidang pendidikan.
Secara umum sertifikasi merupakan proses untuk mengukur dan menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sertifikasi memiliki kekuatan hukum dalam undang undang No.14/ 2005 tentang Guru dan Dosen di bahas dalam pasal 8 yang menegaskan kewajiban sertifikasi ” guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemammpuan untuk mewujudkan pendidikan nasional “.
Sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan,hal ini di perkokoh lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Masalahnya, karena sertifikasi dibiayai oleh pemerintah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU Guru dan Dosen, justru jadi perebutan kewenangan siapa yang ingin melakukan sertifikasi.
Polemik kewenangan tersebut sebenarnya sah sah saja, karena merupakan hak prerogativ dari pemerintah untuk menerapkan kebijakan tersebut, hanya saja jangan sampai mengabaikan tugas untuk meningkatkan kualitas akademik.
Dalam undang undang guru dan dosen diatur dua hal yang sangat penting untuk memajukan suatu profesi. Pertama status social dari guru dan dosen. Kedua, status akademik di dalam pembinaan profesi guru dan dosen, keduanya tidak bisa di lepaskan, sebab perbaikan status sosial merupakan salah satu syarat mutlak di dalam menjaga status suatu profesi, termasuk guru.
Dengan demikian bukan merupakan kejanggalan apabila suatu profesi ditinggalkan ketika tidak memperoleh status sosial dan penghargaan ekonomi yang setimpal.Philip G Albach, dalam the decline of the guru (2003), mengemukaakn tersingkirnya profesi guru merupakan fenomena global, bukan saja di Negara maju profesi guru mulai di tinggalkan, lebih lebih di Negara berkembang maupun yang sedang menuju industrialisasi citra profesi guru semakin menurun, na,mun demikian tidak ada satu pun masyarakat yang tidak membutuhkan guru, sebab profesi ini yang menjaga kelanjutan generasi.
Masalahnya pengakuan tersebut tidak pernah setimpal dengan apa yang menjadi hak guru, kesejahteraan serta jaminan hidup, maksudnya jaminan kesejahteraan tetap menjadi factor utama bagi para guru agar dalam bertugas tidak setengah hati misalnya, ketika mengajar sambil memikirkan ‘asap dapur’ dirumahnya. hal tersebut kini seharusnya mulai kandas, dengan di keluarkanya kebijakan sertifikasi guru dan dosen dapat meningkatkan kesejahteraan baik untuk pribadi maupun keluarga.
Sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi atau kompetensi minimal yang disyaratkan, dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara obyektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga harus berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di lapangan, seperti kesenioran baik dalam aspek usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik, kepangkatan,maupun prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Ditengah arus perubahan yang tidak mampu di prediksi kemana muaranya berpangkal, pendidikan harus di pacu untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan di tingkatan lokal, nasional, maupun global . Pada akhir Januari 2007 telah terjadi pertemuan di Davos yang dikenal sebagai World Economic Forum, seminggu sebelumnya telah ditantang oleh pertemuan yang tidak kurang hangatnya di Nairobi dengan Global Social Forum. Kedua forum tersebut berdiri di atas asumsi-asumsi yang berbeda. World Economic Forum mempunyai posisi yang bertentangan dengan World Social Forum. Pada dasarnya World Social Forum sangat mengkhawatirkan akibat dari perdagangan bebas yang menurut mereka hanya merupakan proses pemiskinan dari negara-negara yang sedang berkembang.
Perdagangan bebas dalam aspek ini termasuk di dalamnya usaha jasa pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan akan di buka bebas berkompetensi di seluruh penjuru dunia, Akhirnya jangan sampai guru disiapkan hanya untuk dibekali kebutuhan seperti abad 19 padahal guru hidup pada abad ke 21, abad informs. Sebab pada masyarakat maju, profesi yang terus dibina secara seriuslah yang akan bertahan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut penulis, desain pembinaan profesi guru harus disesuaikan dengan perkembangan zaman serta perkembangan sosial masyarakat yang semakin plural.
Menurut asumsi H.A.R Tilaar, profesi guru sebenarnya baru dimulai ketika guru mengantongi sertifikat profesi. Namun kayakinan pakar pendidikan tersebut menurut justru bertolak belakang dengan pemerintah atau departemen pendidikan nasional (Depdiknas). Karena pada prakteknya saat ini setelah guru mendapat sertifikat selesai sudah, tidak ada kelanjutanya untuk pengembangan interpersonal dalam mengembangkan pedagogik, guru tidak diarahkan untuk semakin mengembangkan kapasitas pengetahuanya tetapi sekedar diarahkan guna mengejar sertfikat dengan iming-iming kenaikan tunjangan semata.
Bila fenomenanya seperti ini sertifikasi dapat menjadi alat oppressive bagi perkembangan individu guru sebagi pendidik Kedepan tentu kita berharap sertifikasi guru tidak di persempit pemahamanya, maka sungguh utopis ketika program sertifikasi pendidikan ini di peruntukan guna peningkatan mutu pendidikan nasional atau hanya sekedar proyek semata.