1. Zaman Prasejarah Dayak Agabag (Pendekatan Sosio Mitologi)
Pada zaman dahulu (prasejarah) sebelum segala yang ada menjadi ada menurut mitologi yang hidup dan berkembang pada masyarakat Dayak Agabag sampai pada saat ini, hidup tujuh bersaudara yang di sebut sebagai Tulu Aga-aka. Tulu Aga-aka sudah ada sebelum yang lain di dunia ini ada dan sebelum permulaan di dunia ini.
Dalam mitologi Dayak Agabag mereka di yakini sebagai zat yang pernah ada untuk membentuk semua yang ada di dunia ini (Namisi da Tanah). Dari Tulu Aga-aka ini tiga di antaranya diketahui namanya yaitu Yaki Kaligot, Apaling dan Alomod.
Setelah mereka mengadakan semuanya di dunia, ini mereka membuat kesepakatan untuk meninggalkan daerah Agabag untuk mengembara tetapi dari mereka bertujuh Yaki Kaligot memilih bertahan untuk tinggal di daerah Dayak Agabag. Yaki Kaligot memiliki ukuran tubuh yang tinggi diperkirakan sekitar 20 meter (sumber : cerita turun temurun).
Setelah sekian lama hidup menyendiri Yaki Kaligot berpikir untuk memerlukan seseorang pendamping hidup, dalam suatu perjalanan untuk mencari hewan buruan Yaki Kaligot bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki tubuh besar juga yang bernama Yadu Kulimbong atau Yadu Boton merekapun hidup bersama di mana daera Dayak Agabag belum ada satupun manusia pada zaman itu. Begitu lama mereka hidup bersama akhirnya Yadu Kulimbong atau Yadu Boton melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Pangimong dan anak kedua mereka seorang perempuan yang diberi nama Dala Ety.
Beberapa waktu kemudian Yaki Kaligot pun meninggal (Kuburan sekarang masih ada didaerah sungai sumalumung) tak berselang lama Yadu Kulimbong pun juga meninggal. Akhirnya tinggal kedua anak mereka yang hidup yang tidak tahu bagaimana mencari makan.
Setelah sekian lama mereka hidup menggantungkan diri pada alam Yaki Pangimong mendapat mimpi dimana dalam mimpinya Yaki Pangimong disuruh membuka lahan untuk dijadikan ladang. Setelah dikerjakan oleh Yaki Pangimbong sesuai dengan petunjuk mimpinya ladangpun selesai dikerjakan, tetapi Yaki Pangimong mendapatkan masalah baru yaitu tanaman apa yang hendak dia tanam diladangnya. Karena kelelahan Yaki Pangimong pun tertidur, sekali lagi Yaki Pangimong mendapat petunjuk melalui mimpi yang sulit dia lakukan. Dalam mimpinya diperlihatkan bahwa untuk mendapat bibit tanaman yang hendak dia tanam diladangnya dia harus membunuh adik, satu-satunya yang dia cintai. Setelah Yaki Pangimong bangun dari tidurnya Yaki Pangimong sulit untuk melakukan apa yang ada dalam mimpinya.
Hati Yaki Pangimong menjadi gunda dan setelah mempertimbangkan sekian lama, ladang yang di kerjakannya sudah mulai tumbuh ilalang dan rumput. Melihat hal itu, Yaki Pangimong pun memanggil adiknya dan menyuruh dia berbalik. Yaki Pangimong beralasan untuk mencari kutu yang ada di rambut adiknya yang dia sayangi. Adiknya pun mau dan mulailah Yaki Pangimong mencari kutu rambutnya adiknya. Yaki Pangimong sangat sedih, sambil mencari kutu rambut dia meneteskan air mata dan jatuh di bahu adinya, Dala Ety. Adiknya bertanya: Kenapa kakak menangis kalau memang ada sesuatu, kakak terus terang saja ( Kulo okou aka pantangi sino pokon nasusan nu pinyawomu nu guang daguon mu am balen mu yak dakon ). Kata adiknya Yaki Pangimong pun menjawab, tidak ada.
Sesudah mereka bercakap-cakap, beberapa saat kemudian mereka diam dan tiba-tiba bumi dan segala isinya menjadi hening dan seakan-akan tidak bergerak. Yaki Pangimong pun berlahan-lahan menguhunuskan sebilah pisau ( pes ) dari punggungnya dan menusuk tulang belikat adiknya. Setelah Yaki Pangimong menusuk adiknya, dia membawah adiknya belari di tengah ladangnya sesuai dengan mimpinya. Darah Dala Ety pun tercecer di tengah ladang, selang beberapa waktu ternyata darah Dala Ety tumbuh menjadi padi, kepalanya jadi labu dan singkatnya seluruh anggota tubuh Dala Ety menjadi tanaman yang ada seperti sekarang ini.
Setelah semuanya itu terjadi Yaki Pangimong pun menyesali perbuatannya dan mulai rindu dengan adiknya, hari-harinya dia lalui dengan penyesalan dan tangis. Suatu ketika dimana padi dimana padi diladang Yaki Pangimong sudah mulai berbuah Yaki Pangimong pun tertidur dan dalam tidurnya ia bermimpi dimana dia ditanya: apakah kamu rindu debgab adik kamu ( asagit kou ki di yali mu ). Yaki Pangimong menjawab ya. Kemudian dia di perintahkan: kalau kamu mau adik mu kembali kamu cari diantara padi diladang mu yang paling subur dan itu kamu ikat dengan kulit kayu ( kulit nu Putuul). Setelah Yaki Pangimong melakukan semuanya itu Dala Ety pun berdiri dihadapannya. Kakak beradik ini pun hidup bersama kembali
Selang beberapa mereka hidup bersama, perlahan-lahan mulai tumbuh rasa saling membutuhkan diantara mereka berdua. Suatu ketika Yaki Pangimong mengajak adiknya Dala Ety untuk jala-jalan ke hutan mencari buah-buahan karena pada saat itu musim buah. Mereka berjalan dan menelusuri dataran rendah, tiba-tiba mereka berdua melihat secara bersamaan dua ekor tupai sedang melakukan hubungan ( Ampaa).
Melihat hal itu ke dua adik kakak itu mempraktikkan apa yang mereka lihat. Dengan melakukan hubungan intim tersebut semua tanaman yang mereka tanam menjadi mati karena habis diserang hama. Mulai saat itu muncullah istilah Asumbang ( Sumbang). Perilaku ini merupakan pelanggaran dan aib untuk orang Agabag. Untuk menebus hal itu mereka mereka berdua harus berpisah. Yaki Pangimong harus berlari ke arah terbitnya matahari dan kemudian disusul adiknya. Setelah Yaki Pangimong lari semua pohon yang dia lewati mati, melihat hal itu adiknya pun menyusul lari kearah kakaknya. Dengan berlari kencang badan dan kaki Dala Ety luka-luka dan lecet-lecet karena kena batu dan duri. Ternyata pohon yang dilewatinya yang semula mati, hidup kembali karena kena percikan darah Dala Ety ( Sekarang yang dikenal Dawak ). Suatu upacara yang dilakukan untuk mendamaikan dan darah binatang yang korban menjadi simbol kehidupan kemballi. Setelah Dala Ety dapat mengejar Yaki Pangimong mereka kembali berkumpul.
Selang beberapa bulan kumudian Dala Ety melahirkan Yaki Sadol. Yaki Sadol merupakan anak Yaki Pangimong dengan dala Ety. Yaki Sadol dalam hidupnya memiliki kelebihan (orang sakti). Menurut keyakinan turun temurun dipercayai oleh orang agabag terdapat bekas kaki Yaki Sadol dimana sekarang dapat yang kita temui di atas batu-batu di wilayah Sungai Long Bulu. Batu dan bekas kaki Yaki Sadol masih ada sampai saat ini.
Yaki Sadol memiliki istri bernama Yadu Polod, Yadu Polod berasal dari tumbuhan Polod sendiri. Dalam sejarah Dayak Agabag, mulai pada zaman ini manusia menggunakan api pertama kali. Yadu Polod memiliki anjing yang setia, dalam kesehariannya Yadu Polod menulusuri sungai dan pengunungan untuk mencari makanan. Suatu ketika anjingnya ikut dengan Yadu Polod. Dalam perjalanan tiba-tiba anjingnya menggongong daun. Yadu polod pun melihat dan menghampiri apa yang digonggong anjingnya. Yang digonggong anjingnya adalah daun (Dayak Agabag memberi nama pada daun itu, Daun Apa, daun apa digunakan untuk penyedap rasa).
Setelah itu Yadu Polod melanjutkan perjalanannya, tidak jauh dari tempat semula dia mendapatkan Daun Apa. Anjing mengonggong lagi dan Yadu Polod pun berkata dalam hati apa lagi yang digonggong anjingnya?. Yadu Polod mendatangi dan ternyata yang digonggong anjingnya adalah sebatang pohon. Sambil mengonggong anjingnya mengibaskan kakinya di pohon itu, dimana terdapat lumut yang mirip dengan kapas. Yadu Polod pun mengikisnya dari pohon itu ( Dayak Agabag Menyebutnya Todok ). Yadu Polod kemudian mengambil Todok, selesai mengambil Todok ia pun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama berselang anjingnya mengonggong bambu (Dayak Agabag Menyebut Tiikan), Yadu Polod mengambilnya juga. Dalam perjalanan pulang anjing Yadu Polod mengonggong lagi kali ini yang digonggong anjingnya adalah batu putih, Yadu Polod pun memungut batu itu. Setelah sampai dirumah Yadu Polod bertanya dalam hatinya apa arti dan apa kegunaan dari semuanya ini?.
Dalam tidurnya, Yadu Polod bermimpi bahwa itu adalah bahan untuk menyalakan daun api dan Daun Apa sebagai penyedap rasa. Setelah bangun dari tidurnya Yadu Polod mempraktikan petunjuk mimipinya ternyata terbukti dan pada saat itu mulailah masyarakat Dayak Agabag mengenal adanya api. Tak lama kemudian Yadu Polod bertemu dengan Yaki Sadol dan Yaki Sadol pun mengambil Yadu Polod sebagai istrinya.
Setelah sekian lama Yaki Sadol hidup bersama dengan Yadu Polod mereka pun memiliki beberapa anak salah satunya bernama Yadu Bongon. Yadu bongon hidup bersama Yaki Sadol dan Yadu Polod, berbeda dengan keluarganya yang lain. Setelah kedua orang tuanya meninggal hiduplah Yadu Bongon sebatang kara tak tahu dimana sanak saudaranya yang lain.
Dalam mempertahankan hidupnya Yadu Bongon selalu mencari udang di sungai kecil. Suatu ketika Yadu Bongon mendapat udang sungai yang lebih besar dari biasanya Gampasan. Yadu Bongon pun melihatnya, lama kelamaan tempat Yadu Bongon memelihara Gampasan tersebut tidak muat lagi, maka Yadu Bongon pun melepasakan Gampasan tersebut ke sungai dan setiap hari di beri makan. Suatu saat Gampasan itu bertarung dengan buaya kedua-duanya mengalami luka yang serius dimana buaya kalah dan lari sementara Gampasan naik kepingir sungai dan mati. Setelah Yadu Bongon mengetahui hal itu, dia sangat sedih, setiap hari Yadu Bongon menangis.
Pada suatu saat Yadu Bongon bermimpi dimana dia harus mengumpulkan tulang Gampasan tesebut dan memasukannya ke dalam tempayan (Sampah Ogong). Tempayan itu diletakan diatas kayu lalu dibakar. Setelah bagun dari tidurnya Yadu Bongon pun melaksanakan apa yang terdapat dalam mimpinya. Pada saat tengah membakar Tempayan tempat tulang Gampasan dimasukan Tempayan itu pecah dan pada saat yang bersamaan berdirilah seorang laki-laki yang muda, kekar dan Yadu Bongon memberi nama pada laki-laki itu Yaki Maningan. Setelah hidup bersama sekian lama mereka memiliki banyak anak, Yaki Maningan dan Yadu Bongon memiliki umur panjang. Pada zaman kejayaan Yaki Maningan banyak tantangan yang dihadapinya, mulai dari pemusnahan Tanyiouw (Mahluk Raksasa Pemakan Manusia), Piak (Sejenis Naga), Kanji dan Kudong (Penyakit Kusta). Sejak Zaman kudong ini, anak cucunya Yaki Maningan terpancar ke pengunungan dan hulu-hulu sungai karena masing-masing mau menyelamatkan diri. Mulai pada zaman ini terjadi penyebaran masyarakat Adat Dayak Agabag di daerah pengunungan dimana pada masa itu cara mempertahankan hidup dengan berpindah-pindah dari satu pengunungan ke pegunungan lain, dari sungai yang satu ke sungai lain dan dari daratan satu ke daratan lainnya.
Setelah terpisah dalam waktu yang lama Dayak Agabag terjebak pada Face Mengayau (Agaayoua), pada masa kini hiduplah beberapa orang pemberani (Ulun Masioog) diantaranya mulai dari Yaki Bumbulis, Yaki Sukat Balungkung, Kalamuku Nansyak, Yaki Pangkayungon, Yaki Linggit, Yaki Lumbis, Buayo Putut dan banyak lagi Ulun Masioog lainnya yang tersebar diseluruh sungai yang ada di Kec. Lumbis, Sembakung dan Sebuku (Sekarang ini) dan Sungai Sadimulut, bahkan sampai di Linuang Kayam, Tanah Lia da Liu Gau.
Pada masa kini ( Agayou ) orang pemberani (Ulun Masioog) yang menegakkan Hukum Adat, dimana Ulun Masioog disegani oleh masyarakat yang lain. Untuk menyandang gelar Ulun Masioog pada masa itu tidak semudah kita bayangkan. Hal itu di ukur dari banyaknya kepala manusia yang di penggal, apabila terdapat seorang yang paling banyak dapat kepala dialah menjadi penguasa dan menegakkan Hukum Adat pada komunitasnya.
2. Zaman Belanda Hingga Sekarang
Zaman mengayau ini berlangsung dalam waktu yang lama hingga pada zaman penjajahan Belanda. Pada zaman belanda menjajah hidup beberapa orang pemberani (Ulun Masioog) seperti Pangeran Taali, Pangeran Luayang dan banyak lagi lainnya. Pada saat ini sempat terjadi gejolah dimana Pangeran Taali sempat membunuh serdadu Belanda di Mansalong sekarang ini dan membagi-bagikan kepada beberapa kampung yang lain untuk dimakan. Dan akibat perbuatannya itu Pangeran Taali di Tangkap. Dayak Agabag di bawah pemerintahan kesultanan Bulungan. Cara yang di gunakan Sultan Bulungan untuk menguasai Dayak Agabag dengan mengangkat Pangeran Taali dan Pangeran Luayang menjadi Pangeran di Kesultanan Bulungan, sehingga dengan masuknya dua toko ini Kelingkungan kesultanan Bulungan maka Dayak Agabag pun di bawah kekuasaan Kesultanan Bulungan, hal ini berlangsung hingga tahun 1947-an.
Setelah Kesultanan Bulungan melebur ke Negara Kesatuan Indonesia maka Dayak Agabag pun secara otomatis tergabung di dalamnya. Pada dekade 1970-an Dayak agabag di beri nama oleh para pendatang Dayak Tenggalan/tengalan. Dalam perjalanan waktu kata Dayak Agabag yang berasal dari Abag (Cawat) di generalisasi dan diangap terjemahan dari kata Dayak, kalau kita kaji secara mendalam kata Agabag sudah lama ada sebelum kata dayak, kata Dayak sendiri berasar dari kata Daya. Proses generalisasi ini karena dengan masuknya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Para orang tua dulu sulit mengerti apa itu Dayak. Dari ketidak pahaman itu maka salah satu penjelasan yang masuk akal adalah dengan membandingkan corak hidup sehingga diangaplah Agabag dalam bahasa Indonesia Dayak, padahal Agabag adalah bagian dari Dayak itu sendiri.
Berdasarkan hal diatas maka muncul kata baru yang menurut Dewan Adat tidak memiliki makna yang memikat dan kata tersebut tidak terdapat dalam bahasa Dayak Agabag, kata itu adalah tenggalan/tengalan yang tidak jelas sumbernya, berbagai argumentasi yang melandasi kata itu untuk disandangkan kepada nama salah satu sub suku Dayak di kalimantan Timur (Dayak Agabag). Argumentasi yang muncul beragam diantaranya kata Tenggalan/tengalan itu diberikan kepada nama suku ini karena suku ini tinggal di daerah pertengahan dari suku yang lain. Selain itu terdapat juga makna konotatif yang mengatakan karena suku ini ketinggalan berbagai sektor. Dari hal itu maka eksistensi Dayak Agabag pun semakain tenggelam dan pemaknaan terhadap tenggalan pun bermacam-macam sehingga banyak hal yang sifatnya urgen dalam suku ini tenggelam lebih tepatnya di tenggelamkan dan tidak menentu.
Setelah tenggelam beberapa orang dari generasi Dayak Agabag malakukan pengkajian secara mendalam terhadap suku yang disebut tenggalan/ tengalan dan ternyata nama ini muncul pada dekade 1970-an dan tidak memiliki ikatan psikologis, sosial dan kultural terhadap objeknya. Untuk menggali kembali sejarah ini yang sempat hilang ini maka digelarkan acara adat yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan Tokoh-Tokoh adat Dayak Agabag yang disebut dengan ILAU. Dalam Ilau tersebut tergalilah keberadaan suku Dayak Agabag secara mendalam.
sumber : http://darboy-agabag.blogspot.com/2010/07/sekilas-sejarah-dayak-agabag_02.html
Baca Selengkapnya ..
Pada zaman dahulu (prasejarah) sebelum segala yang ada menjadi ada menurut mitologi yang hidup dan berkembang pada masyarakat Dayak Agabag sampai pada saat ini, hidup tujuh bersaudara yang di sebut sebagai Tulu Aga-aka. Tulu Aga-aka sudah ada sebelum yang lain di dunia ini ada dan sebelum permulaan di dunia ini.
Dalam mitologi Dayak Agabag mereka di yakini sebagai zat yang pernah ada untuk membentuk semua yang ada di dunia ini (Namisi da Tanah). Dari Tulu Aga-aka ini tiga di antaranya diketahui namanya yaitu Yaki Kaligot, Apaling dan Alomod.
Setelah mereka mengadakan semuanya di dunia, ini mereka membuat kesepakatan untuk meninggalkan daerah Agabag untuk mengembara tetapi dari mereka bertujuh Yaki Kaligot memilih bertahan untuk tinggal di daerah Dayak Agabag. Yaki Kaligot memiliki ukuran tubuh yang tinggi diperkirakan sekitar 20 meter (sumber : cerita turun temurun).
Setelah sekian lama hidup menyendiri Yaki Kaligot berpikir untuk memerlukan seseorang pendamping hidup, dalam suatu perjalanan untuk mencari hewan buruan Yaki Kaligot bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki tubuh besar juga yang bernama Yadu Kulimbong atau Yadu Boton merekapun hidup bersama di mana daera Dayak Agabag belum ada satupun manusia pada zaman itu. Begitu lama mereka hidup bersama akhirnya Yadu Kulimbong atau Yadu Boton melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Pangimong dan anak kedua mereka seorang perempuan yang diberi nama Dala Ety.
Beberapa waktu kemudian Yaki Kaligot pun meninggal (Kuburan sekarang masih ada didaerah sungai sumalumung) tak berselang lama Yadu Kulimbong pun juga meninggal. Akhirnya tinggal kedua anak mereka yang hidup yang tidak tahu bagaimana mencari makan.
Setelah sekian lama mereka hidup menggantungkan diri pada alam Yaki Pangimong mendapat mimpi dimana dalam mimpinya Yaki Pangimong disuruh membuka lahan untuk dijadikan ladang. Setelah dikerjakan oleh Yaki Pangimbong sesuai dengan petunjuk mimpinya ladangpun selesai dikerjakan, tetapi Yaki Pangimong mendapatkan masalah baru yaitu tanaman apa yang hendak dia tanam diladangnya. Karena kelelahan Yaki Pangimong pun tertidur, sekali lagi Yaki Pangimong mendapat petunjuk melalui mimpi yang sulit dia lakukan. Dalam mimpinya diperlihatkan bahwa untuk mendapat bibit tanaman yang hendak dia tanam diladangnya dia harus membunuh adik, satu-satunya yang dia cintai. Setelah Yaki Pangimong bangun dari tidurnya Yaki Pangimong sulit untuk melakukan apa yang ada dalam mimpinya.
Hati Yaki Pangimong menjadi gunda dan setelah mempertimbangkan sekian lama, ladang yang di kerjakannya sudah mulai tumbuh ilalang dan rumput. Melihat hal itu, Yaki Pangimong pun memanggil adiknya dan menyuruh dia berbalik. Yaki Pangimong beralasan untuk mencari kutu yang ada di rambut adiknya yang dia sayangi. Adiknya pun mau dan mulailah Yaki Pangimong mencari kutu rambutnya adiknya. Yaki Pangimong sangat sedih, sambil mencari kutu rambut dia meneteskan air mata dan jatuh di bahu adinya, Dala Ety. Adiknya bertanya: Kenapa kakak menangis kalau memang ada sesuatu, kakak terus terang saja ( Kulo okou aka pantangi sino pokon nasusan nu pinyawomu nu guang daguon mu am balen mu yak dakon ). Kata adiknya Yaki Pangimong pun menjawab, tidak ada.
Sesudah mereka bercakap-cakap, beberapa saat kemudian mereka diam dan tiba-tiba bumi dan segala isinya menjadi hening dan seakan-akan tidak bergerak. Yaki Pangimong pun berlahan-lahan menguhunuskan sebilah pisau ( pes ) dari punggungnya dan menusuk tulang belikat adiknya. Setelah Yaki Pangimong menusuk adiknya, dia membawah adiknya belari di tengah ladangnya sesuai dengan mimpinya. Darah Dala Ety pun tercecer di tengah ladang, selang beberapa waktu ternyata darah Dala Ety tumbuh menjadi padi, kepalanya jadi labu dan singkatnya seluruh anggota tubuh Dala Ety menjadi tanaman yang ada seperti sekarang ini.
Setelah semuanya itu terjadi Yaki Pangimong pun menyesali perbuatannya dan mulai rindu dengan adiknya, hari-harinya dia lalui dengan penyesalan dan tangis. Suatu ketika dimana padi dimana padi diladang Yaki Pangimong sudah mulai berbuah Yaki Pangimong pun tertidur dan dalam tidurnya ia bermimpi dimana dia ditanya: apakah kamu rindu debgab adik kamu ( asagit kou ki di yali mu ). Yaki Pangimong menjawab ya. Kemudian dia di perintahkan: kalau kamu mau adik mu kembali kamu cari diantara padi diladang mu yang paling subur dan itu kamu ikat dengan kulit kayu ( kulit nu Putuul). Setelah Yaki Pangimong melakukan semuanya itu Dala Ety pun berdiri dihadapannya. Kakak beradik ini pun hidup bersama kembali
Selang beberapa mereka hidup bersama, perlahan-lahan mulai tumbuh rasa saling membutuhkan diantara mereka berdua. Suatu ketika Yaki Pangimong mengajak adiknya Dala Ety untuk jala-jalan ke hutan mencari buah-buahan karena pada saat itu musim buah. Mereka berjalan dan menelusuri dataran rendah, tiba-tiba mereka berdua melihat secara bersamaan dua ekor tupai sedang melakukan hubungan ( Ampaa).
Melihat hal itu ke dua adik kakak itu mempraktikkan apa yang mereka lihat. Dengan melakukan hubungan intim tersebut semua tanaman yang mereka tanam menjadi mati karena habis diserang hama. Mulai saat itu muncullah istilah Asumbang ( Sumbang). Perilaku ini merupakan pelanggaran dan aib untuk orang Agabag. Untuk menebus hal itu mereka mereka berdua harus berpisah. Yaki Pangimong harus berlari ke arah terbitnya matahari dan kemudian disusul adiknya. Setelah Yaki Pangimong lari semua pohon yang dia lewati mati, melihat hal itu adiknya pun menyusul lari kearah kakaknya. Dengan berlari kencang badan dan kaki Dala Ety luka-luka dan lecet-lecet karena kena batu dan duri. Ternyata pohon yang dilewatinya yang semula mati, hidup kembali karena kena percikan darah Dala Ety ( Sekarang yang dikenal Dawak ). Suatu upacara yang dilakukan untuk mendamaikan dan darah binatang yang korban menjadi simbol kehidupan kemballi. Setelah Dala Ety dapat mengejar Yaki Pangimong mereka kembali berkumpul.
Selang beberapa bulan kumudian Dala Ety melahirkan Yaki Sadol. Yaki Sadol merupakan anak Yaki Pangimong dengan dala Ety. Yaki Sadol dalam hidupnya memiliki kelebihan (orang sakti). Menurut keyakinan turun temurun dipercayai oleh orang agabag terdapat bekas kaki Yaki Sadol dimana sekarang dapat yang kita temui di atas batu-batu di wilayah Sungai Long Bulu. Batu dan bekas kaki Yaki Sadol masih ada sampai saat ini.
Yaki Sadol memiliki istri bernama Yadu Polod, Yadu Polod berasal dari tumbuhan Polod sendiri. Dalam sejarah Dayak Agabag, mulai pada zaman ini manusia menggunakan api pertama kali. Yadu Polod memiliki anjing yang setia, dalam kesehariannya Yadu Polod menulusuri sungai dan pengunungan untuk mencari makanan. Suatu ketika anjingnya ikut dengan Yadu Polod. Dalam perjalanan tiba-tiba anjingnya menggongong daun. Yadu polod pun melihat dan menghampiri apa yang digonggong anjingnya. Yang digonggong anjingnya adalah daun (Dayak Agabag memberi nama pada daun itu, Daun Apa, daun apa digunakan untuk penyedap rasa).
Setelah itu Yadu Polod melanjutkan perjalanannya, tidak jauh dari tempat semula dia mendapatkan Daun Apa. Anjing mengonggong lagi dan Yadu Polod pun berkata dalam hati apa lagi yang digonggong anjingnya?. Yadu Polod mendatangi dan ternyata yang digonggong anjingnya adalah sebatang pohon. Sambil mengonggong anjingnya mengibaskan kakinya di pohon itu, dimana terdapat lumut yang mirip dengan kapas. Yadu Polod pun mengikisnya dari pohon itu ( Dayak Agabag Menyebutnya Todok ). Yadu Polod kemudian mengambil Todok, selesai mengambil Todok ia pun melanjutkan perjalanan.
Tidak lama berselang anjingnya mengonggong bambu (Dayak Agabag Menyebut Tiikan), Yadu Polod mengambilnya juga. Dalam perjalanan pulang anjing Yadu Polod mengonggong lagi kali ini yang digonggong anjingnya adalah batu putih, Yadu Polod pun memungut batu itu. Setelah sampai dirumah Yadu Polod bertanya dalam hatinya apa arti dan apa kegunaan dari semuanya ini?.
Dalam tidurnya, Yadu Polod bermimpi bahwa itu adalah bahan untuk menyalakan daun api dan Daun Apa sebagai penyedap rasa. Setelah bangun dari tidurnya Yadu Polod mempraktikan petunjuk mimipinya ternyata terbukti dan pada saat itu mulailah masyarakat Dayak Agabag mengenal adanya api. Tak lama kemudian Yadu Polod bertemu dengan Yaki Sadol dan Yaki Sadol pun mengambil Yadu Polod sebagai istrinya.
Setelah sekian lama Yaki Sadol hidup bersama dengan Yadu Polod mereka pun memiliki beberapa anak salah satunya bernama Yadu Bongon. Yadu bongon hidup bersama Yaki Sadol dan Yadu Polod, berbeda dengan keluarganya yang lain. Setelah kedua orang tuanya meninggal hiduplah Yadu Bongon sebatang kara tak tahu dimana sanak saudaranya yang lain.
Dalam mempertahankan hidupnya Yadu Bongon selalu mencari udang di sungai kecil. Suatu ketika Yadu Bongon mendapat udang sungai yang lebih besar dari biasanya Gampasan. Yadu Bongon pun melihatnya, lama kelamaan tempat Yadu Bongon memelihara Gampasan tersebut tidak muat lagi, maka Yadu Bongon pun melepasakan Gampasan tersebut ke sungai dan setiap hari di beri makan. Suatu saat Gampasan itu bertarung dengan buaya kedua-duanya mengalami luka yang serius dimana buaya kalah dan lari sementara Gampasan naik kepingir sungai dan mati. Setelah Yadu Bongon mengetahui hal itu, dia sangat sedih, setiap hari Yadu Bongon menangis.
Pada suatu saat Yadu Bongon bermimpi dimana dia harus mengumpulkan tulang Gampasan tesebut dan memasukannya ke dalam tempayan (Sampah Ogong). Tempayan itu diletakan diatas kayu lalu dibakar. Setelah bagun dari tidurnya Yadu Bongon pun melaksanakan apa yang terdapat dalam mimpinya. Pada saat tengah membakar Tempayan tempat tulang Gampasan dimasukan Tempayan itu pecah dan pada saat yang bersamaan berdirilah seorang laki-laki yang muda, kekar dan Yadu Bongon memberi nama pada laki-laki itu Yaki Maningan. Setelah hidup bersama sekian lama mereka memiliki banyak anak, Yaki Maningan dan Yadu Bongon memiliki umur panjang. Pada zaman kejayaan Yaki Maningan banyak tantangan yang dihadapinya, mulai dari pemusnahan Tanyiouw (Mahluk Raksasa Pemakan Manusia), Piak (Sejenis Naga), Kanji dan Kudong (Penyakit Kusta). Sejak Zaman kudong ini, anak cucunya Yaki Maningan terpancar ke pengunungan dan hulu-hulu sungai karena masing-masing mau menyelamatkan diri. Mulai pada zaman ini terjadi penyebaran masyarakat Adat Dayak Agabag di daerah pengunungan dimana pada masa itu cara mempertahankan hidup dengan berpindah-pindah dari satu pengunungan ke pegunungan lain, dari sungai yang satu ke sungai lain dan dari daratan satu ke daratan lainnya.
Setelah terpisah dalam waktu yang lama Dayak Agabag terjebak pada Face Mengayau (Agaayoua), pada masa kini hiduplah beberapa orang pemberani (Ulun Masioog) diantaranya mulai dari Yaki Bumbulis, Yaki Sukat Balungkung, Kalamuku Nansyak, Yaki Pangkayungon, Yaki Linggit, Yaki Lumbis, Buayo Putut dan banyak lagi Ulun Masioog lainnya yang tersebar diseluruh sungai yang ada di Kec. Lumbis, Sembakung dan Sebuku (Sekarang ini) dan Sungai Sadimulut, bahkan sampai di Linuang Kayam, Tanah Lia da Liu Gau.
Pada masa kini ( Agayou ) orang pemberani (Ulun Masioog) yang menegakkan Hukum Adat, dimana Ulun Masioog disegani oleh masyarakat yang lain. Untuk menyandang gelar Ulun Masioog pada masa itu tidak semudah kita bayangkan. Hal itu di ukur dari banyaknya kepala manusia yang di penggal, apabila terdapat seorang yang paling banyak dapat kepala dialah menjadi penguasa dan menegakkan Hukum Adat pada komunitasnya.
2. Zaman Belanda Hingga Sekarang
Zaman mengayau ini berlangsung dalam waktu yang lama hingga pada zaman penjajahan Belanda. Pada zaman belanda menjajah hidup beberapa orang pemberani (Ulun Masioog) seperti Pangeran Taali, Pangeran Luayang dan banyak lagi lainnya. Pada saat ini sempat terjadi gejolah dimana Pangeran Taali sempat membunuh serdadu Belanda di Mansalong sekarang ini dan membagi-bagikan kepada beberapa kampung yang lain untuk dimakan. Dan akibat perbuatannya itu Pangeran Taali di Tangkap. Dayak Agabag di bawah pemerintahan kesultanan Bulungan. Cara yang di gunakan Sultan Bulungan untuk menguasai Dayak Agabag dengan mengangkat Pangeran Taali dan Pangeran Luayang menjadi Pangeran di Kesultanan Bulungan, sehingga dengan masuknya dua toko ini Kelingkungan kesultanan Bulungan maka Dayak Agabag pun di bawah kekuasaan Kesultanan Bulungan, hal ini berlangsung hingga tahun 1947-an.
Setelah Kesultanan Bulungan melebur ke Negara Kesatuan Indonesia maka Dayak Agabag pun secara otomatis tergabung di dalamnya. Pada dekade 1970-an Dayak agabag di beri nama oleh para pendatang Dayak Tenggalan/tengalan. Dalam perjalanan waktu kata Dayak Agabag yang berasal dari Abag (Cawat) di generalisasi dan diangap terjemahan dari kata Dayak, kalau kita kaji secara mendalam kata Agabag sudah lama ada sebelum kata dayak, kata Dayak sendiri berasar dari kata Daya. Proses generalisasi ini karena dengan masuknya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Para orang tua dulu sulit mengerti apa itu Dayak. Dari ketidak pahaman itu maka salah satu penjelasan yang masuk akal adalah dengan membandingkan corak hidup sehingga diangaplah Agabag dalam bahasa Indonesia Dayak, padahal Agabag adalah bagian dari Dayak itu sendiri.
Berdasarkan hal diatas maka muncul kata baru yang menurut Dewan Adat tidak memiliki makna yang memikat dan kata tersebut tidak terdapat dalam bahasa Dayak Agabag, kata itu adalah tenggalan/tengalan yang tidak jelas sumbernya, berbagai argumentasi yang melandasi kata itu untuk disandangkan kepada nama salah satu sub suku Dayak di kalimantan Timur (Dayak Agabag). Argumentasi yang muncul beragam diantaranya kata Tenggalan/tengalan itu diberikan kepada nama suku ini karena suku ini tinggal di daerah pertengahan dari suku yang lain. Selain itu terdapat juga makna konotatif yang mengatakan karena suku ini ketinggalan berbagai sektor. Dari hal itu maka eksistensi Dayak Agabag pun semakain tenggelam dan pemaknaan terhadap tenggalan pun bermacam-macam sehingga banyak hal yang sifatnya urgen dalam suku ini tenggelam lebih tepatnya di tenggelamkan dan tidak menentu.
Setelah tenggelam beberapa orang dari generasi Dayak Agabag malakukan pengkajian secara mendalam terhadap suku yang disebut tenggalan/ tengalan dan ternyata nama ini muncul pada dekade 1970-an dan tidak memiliki ikatan psikologis, sosial dan kultural terhadap objeknya. Untuk menggali kembali sejarah ini yang sempat hilang ini maka digelarkan acara adat yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan Tokoh-Tokoh adat Dayak Agabag yang disebut dengan ILAU. Dalam Ilau tersebut tergalilah keberadaan suku Dayak Agabag secara mendalam.
sumber : http://darboy-agabag.blogspot.com/2010/07/sekilas-sejarah-dayak-agabag_02.html