Parpol, Antara Kepentingan & Kebutuhan[1]
Oleh: Ruli Margianto, S. H.[2]
Sekilas Parpol
Berapa lama kita mampu terjaga untuk menjaga diri dari sesuatu di luar kita? Untuk itulah dalam konteks hubungan sesama manusia, diperlukan manusia lain yang satu ide dengan diri kita untuk saling menanggung beban[3] demi mencapai suatu tujuan. Itulah sebabnya mengapa kini terbentuk Negara bahkan gabungan antar Negara.
Sistem penyelenggaraan pun disepakati sedemikian rupa baik dalam hal pelayanan maupun perlindungan, termasuk dalam hal pengisian posisi kenegaraan (pemerintah, pengawas pelaksana, dan pemutus perselisihan). Tujuannya tiada lain agar tercapai keteraturan, kesinambungan, dan kesejahteraan bagi setiap entitas yang terlingkup didalamnya.
Pada perkembangannya, muncul partai politik sebagai salah satu jawaban atas pertanyaan siapa yang memiliki hak untuk menduduki salah satu posisi kenegaraan tersebut. Ide ini muncul karena lebih berlandas pada keyakinan bahwa kedaulatan Negara berasal dari rakyat. Oleh karenanya, proses pengisian jabatan pun harus melibatkan rakyat. Kemudian agar tidak terjadi anarkisme dalam memperebutkan kekuasaan, perlu pengelompokan atas dasar tertentu yang mengawali tata cara perwakilan yang kuat dalam pelaksanaan jabatan tersebut.
Apabila kita merujuk apa yang didefinisikan Prof. Miriam Budiarjo tentang partai politik[4], setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa kebijaksanaan atau program partai dapat terwujud jika kekuasaan digenggam. Pada bagian ini, dalam rangka mencapai tujuannya partai harus memfungsikan dirinya tidak sekedar sebagai sarana pendidikan politik, namun juga harus menjadi jembatan asiprasi yang mampu mereduksi konflik di masyarakat atas kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi. Sehingga diperlukan perekrutan dan pengkaderan anggota partai untuk menjadi pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan.
Pada tataran ideal hasilnya akan tampak jelas. Apabila pemimpin (dari partai) yang telah memegang tampuk kekuasaan belum atau tidak mampu menjalankan kebijaksanaan politik[5] partai, maka dapat dikatakan salah satu penyebabnya adalah partai kurang atau bahkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Peran Parpol
Peran tak pernah terlepas pada bagian mana sesuatu akan dilekatkan, begitu juga dengan parpol. Sistem politik dewasa ini menempatkan parpol sebagai tulang punggung pelaksanaan pemilu – meski belakangan ini telah dibuka celah perseorangan untuk turut serta. Sebagai tulang punggung, parpol berarti berperan menyangga tetap tegaknya ide dasar pelaksanaan fungsi negara; melindungi dan melayani rakyat. Sekali lagi, perlindungan dan pelayanan terhadap rakyat akan efektif ketika partai menjadikan rakyat adalah sasaran utama tiap programnya, istilah penulis public first. Program tersebut akan semakin efektif manakala ada perwakilan dari partai yang menjadi pemimpin negara di tiap level tingkatannya dan menerapkan prinsip public first.
Kenyataannya belakangan ini, tidak sedikit parpol belum mampu berperan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah parpol lebih sering dirundung konflik internal ketimbang menjalankan fungsinya. Singkatnya, parpol belum selesai dengan orientasi dan nilai yang diusungnya. Jika ini terus terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan partai yang demikian akan tereliminasi dari kompetisi dengan partai lainnya yang lebih solid[6]. Kemudian akan menjadi sebuah negara yang kurang beruntung, ketika partai-partai yang bertarung didalamnya kurang memahami peran mereka sebagai selayaknya partai, tak terkecuali Indonesia.
Pemahaman peran partai akan membawa pada pola pikir dimana rakyatlah yang didahulukan (public first). Sikap atas pemahaman ini akan terewajantahkan dalam perilaku partai baik ketika memegang tampuk kepemimpinan ataupun diluar lingkar kekuasaan. Partai akan mewakili/merepresentasikan, dan membela/memperjuangkan hak-hak dan kebutuhan masyarakat. Singkatnya, parpol akan mengadvokasi kepentingan masyarakat.
Advokasi, antara kepentingan dan kebutuhan
Pada dasarnya parpol tidak berbeda jauh dengan kelompok kepentingan. Terlepas dari semangat ide calon perseorangan, yang membedakan mereka hanyalah legalisasi peraturan yang menempatkan partai sebagai pintu regenerasi kepemimpinan negara. Persamaannya, keduanya memprioritaskan kepentingan tertentu yang telah mereka sepakati atau rumuskan, atau setidaknya sesuatu yang mereka anggap penting.
Kepentingan atau sesuatu yang dianggap penting itu dapat saja sesuatu yang sebenarnya dibutuhkan rakyat, namun juga bisa berarti sesuatu yang tidak dibutuhkan. Tidak sedikit, manusia – sebagai pembentuk parpol – kurang menyentuh input dan proses untuk memformulasikan kebijaksanannya, sehingga orientasi hanya berujung pada kekuasaan. Padahal sebagaimana dijelaskan dimuka, bahwa kekuasaan hanyalah sarana dalam melindungi dan melayani rakyat. Hasil dari perlindungan dan pelayanan tersebut, penguasa (baca: pemimpin) dan partainya akan kembali dipercaya oleh rakyat untuk berkuasa. Kemudian pertanyaannya adalah, kepentingan siapakah yang akan didahulukan? pribadi, partai, atau rakyat?
Patut digarisbawahi pentingnya membedakan antara kepentingan partai dan kebutuhan masyarakat. Tak jarang kebutuhan masyarakat hanya dijadikan tunggangan untuk kepentingan sesaat politisi. Manakala kepentingan sudah diraih, kebutuhan masyarakat pun terlupakan, hal inilah yang sebenarnya harus dikikis. Apabila tidak segera dilakukan tindakan, mungkin saja kedepan menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah. Oleh karenanya, parpol harus membuka dirinya selebar mungkin dalam menyerap berbagai aspirasi masyarakat untuk kemudian diartikulasikan melalui kader mereka yang telah menduduki posisi tertentu.
Setidaknya kita mulai dari diri kita, kemudian orang-orang disekitar kita untuk melatih diri agar ”membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan”
[1]Disampaikan pada Seminar Hukum dan Politik yang diselenggarakan oleh DPD PKS Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, 18 Mei 2008.
[2] Direktur Pengembangan Organisasi, Pendidikan, dan Pelatihan PAHAM Indonesia, Jakarta.
[3] Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain… (QS. 9: 71)
[4]Partai politik suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka
[5] Politik adalah aktivitas yang mendekatkan diri manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan serta mengantarkan kepada keadilan (Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Al-Siyasah Al Hakimiyyah)
[6] Kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan bersama (Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah).
sumber : http://begiant.multiply.com/journal/item/83/_Peran_Partai_Politik_Dalam_Mengadvokasi_Kepentingan_Masyarakat
Baca Selengkapnya ..
Oleh: Ruli Margianto, S. H.[2]
Sekilas Parpol
Berapa lama kita mampu terjaga untuk menjaga diri dari sesuatu di luar kita? Untuk itulah dalam konteks hubungan sesama manusia, diperlukan manusia lain yang satu ide dengan diri kita untuk saling menanggung beban[3] demi mencapai suatu tujuan. Itulah sebabnya mengapa kini terbentuk Negara bahkan gabungan antar Negara.
Sistem penyelenggaraan pun disepakati sedemikian rupa baik dalam hal pelayanan maupun perlindungan, termasuk dalam hal pengisian posisi kenegaraan (pemerintah, pengawas pelaksana, dan pemutus perselisihan). Tujuannya tiada lain agar tercapai keteraturan, kesinambungan, dan kesejahteraan bagi setiap entitas yang terlingkup didalamnya.
Pada perkembangannya, muncul partai politik sebagai salah satu jawaban atas pertanyaan siapa yang memiliki hak untuk menduduki salah satu posisi kenegaraan tersebut. Ide ini muncul karena lebih berlandas pada keyakinan bahwa kedaulatan Negara berasal dari rakyat. Oleh karenanya, proses pengisian jabatan pun harus melibatkan rakyat. Kemudian agar tidak terjadi anarkisme dalam memperebutkan kekuasaan, perlu pengelompokan atas dasar tertentu yang mengawali tata cara perwakilan yang kuat dalam pelaksanaan jabatan tersebut.
Apabila kita merujuk apa yang didefinisikan Prof. Miriam Budiarjo tentang partai politik[4], setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa kebijaksanaan atau program partai dapat terwujud jika kekuasaan digenggam. Pada bagian ini, dalam rangka mencapai tujuannya partai harus memfungsikan dirinya tidak sekedar sebagai sarana pendidikan politik, namun juga harus menjadi jembatan asiprasi yang mampu mereduksi konflik di masyarakat atas kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi. Sehingga diperlukan perekrutan dan pengkaderan anggota partai untuk menjadi pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan.
Pada tataran ideal hasilnya akan tampak jelas. Apabila pemimpin (dari partai) yang telah memegang tampuk kekuasaan belum atau tidak mampu menjalankan kebijaksanaan politik[5] partai, maka dapat dikatakan salah satu penyebabnya adalah partai kurang atau bahkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Peran Parpol
Peran tak pernah terlepas pada bagian mana sesuatu akan dilekatkan, begitu juga dengan parpol. Sistem politik dewasa ini menempatkan parpol sebagai tulang punggung pelaksanaan pemilu – meski belakangan ini telah dibuka celah perseorangan untuk turut serta. Sebagai tulang punggung, parpol berarti berperan menyangga tetap tegaknya ide dasar pelaksanaan fungsi negara; melindungi dan melayani rakyat. Sekali lagi, perlindungan dan pelayanan terhadap rakyat akan efektif ketika partai menjadikan rakyat adalah sasaran utama tiap programnya, istilah penulis public first. Program tersebut akan semakin efektif manakala ada perwakilan dari partai yang menjadi pemimpin negara di tiap level tingkatannya dan menerapkan prinsip public first.
Kenyataannya belakangan ini, tidak sedikit parpol belum mampu berperan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah parpol lebih sering dirundung konflik internal ketimbang menjalankan fungsinya. Singkatnya, parpol belum selesai dengan orientasi dan nilai yang diusungnya. Jika ini terus terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan partai yang demikian akan tereliminasi dari kompetisi dengan partai lainnya yang lebih solid[6]. Kemudian akan menjadi sebuah negara yang kurang beruntung, ketika partai-partai yang bertarung didalamnya kurang memahami peran mereka sebagai selayaknya partai, tak terkecuali Indonesia.
Pemahaman peran partai akan membawa pada pola pikir dimana rakyatlah yang didahulukan (public first). Sikap atas pemahaman ini akan terewajantahkan dalam perilaku partai baik ketika memegang tampuk kepemimpinan ataupun diluar lingkar kekuasaan. Partai akan mewakili/merepresentasikan, dan membela/memperjuangkan hak-hak dan kebutuhan masyarakat. Singkatnya, parpol akan mengadvokasi kepentingan masyarakat.
Advokasi, antara kepentingan dan kebutuhan
Pada dasarnya parpol tidak berbeda jauh dengan kelompok kepentingan. Terlepas dari semangat ide calon perseorangan, yang membedakan mereka hanyalah legalisasi peraturan yang menempatkan partai sebagai pintu regenerasi kepemimpinan negara. Persamaannya, keduanya memprioritaskan kepentingan tertentu yang telah mereka sepakati atau rumuskan, atau setidaknya sesuatu yang mereka anggap penting.
Kepentingan atau sesuatu yang dianggap penting itu dapat saja sesuatu yang sebenarnya dibutuhkan rakyat, namun juga bisa berarti sesuatu yang tidak dibutuhkan. Tidak sedikit, manusia – sebagai pembentuk parpol – kurang menyentuh input dan proses untuk memformulasikan kebijaksanannya, sehingga orientasi hanya berujung pada kekuasaan. Padahal sebagaimana dijelaskan dimuka, bahwa kekuasaan hanyalah sarana dalam melindungi dan melayani rakyat. Hasil dari perlindungan dan pelayanan tersebut, penguasa (baca: pemimpin) dan partainya akan kembali dipercaya oleh rakyat untuk berkuasa. Kemudian pertanyaannya adalah, kepentingan siapakah yang akan didahulukan? pribadi, partai, atau rakyat?
Patut digarisbawahi pentingnya membedakan antara kepentingan partai dan kebutuhan masyarakat. Tak jarang kebutuhan masyarakat hanya dijadikan tunggangan untuk kepentingan sesaat politisi. Manakala kepentingan sudah diraih, kebutuhan masyarakat pun terlupakan, hal inilah yang sebenarnya harus dikikis. Apabila tidak segera dilakukan tindakan, mungkin saja kedepan menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah. Oleh karenanya, parpol harus membuka dirinya selebar mungkin dalam menyerap berbagai aspirasi masyarakat untuk kemudian diartikulasikan melalui kader mereka yang telah menduduki posisi tertentu.
Setidaknya kita mulai dari diri kita, kemudian orang-orang disekitar kita untuk melatih diri agar ”membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan”
[1]Disampaikan pada Seminar Hukum dan Politik yang diselenggarakan oleh DPD PKS Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, 18 Mei 2008.
[2] Direktur Pengembangan Organisasi, Pendidikan, dan Pelatihan PAHAM Indonesia, Jakarta.
[3] Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain… (QS. 9: 71)
[4]Partai politik suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka
[5] Politik adalah aktivitas yang mendekatkan diri manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan serta mengantarkan kepada keadilan (Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Al-Siyasah Al Hakimiyyah)
[6] Kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan bersama (Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah).
sumber : http://begiant.multiply.com/journal/item/83/_Peran_Partai_Politik_Dalam_Mengadvokasi_Kepentingan_Masyarakat