ANALISIS KONDISI EKONOMI POLITIK INDONESIA
Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan pertimbangan utama dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya. Dua tipe ideal ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub berlawanan, yakni:
1. Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”;
2. Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi.
Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan oleh swasta. Dan dalam Dirigisme / hegemoni, negara mengendalikan sepenuhnya mekanisme dan lembaga-lembaga itu. Dua kutub “laissez-faire” – “hegemoni“ adalah gambaran yang ideal .
Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun “hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan, sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat campuran. Contoh kasus dalam konteks ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub “hegemoni” dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara lebih spesifik kita bisa menunjukkan sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih jelas lihat tabel di bawah ini.
Maka, pembagian kondisi Politik – Ekonomi di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966), periode Orde Baru (1966 – 1998), dan periode Reformasi (1998 – Sekarang). Analisis per periode sebagai berikut :
Kondisi Politik Ekonomi Orde Lama ( 1945 – 1966 )
Pandangan strukturalis tentang pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an. Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau mencegah perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang dan jasa tidak elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas manajemen dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang – kadang target tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi yang kurang baik. Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada negara di luar Eropa pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang berkembang sudah sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi terpusat.
Pada tahun 1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya dalam rangka perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang berpendidikan Barat dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara ekonomi, Belanda masih menguasai perusahaan – perusahaan di sektor perkebunan dan menguasai perdagangan internasional {Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949}. Periode 1945 – 1949 adalah periode Indonesia berjuang untuk status negara merdeka dan diakui oleh dunia yang ditandai dengan pengakuan Belanda di KMB dengan syarat perusahaan Belanda di Indonesia tidak dinasionalisasikan. Di sisi lain, Cina menguasai perdagangan dalam negeri dan mayoritas orang Indonesia pribumi masih tetap menjadi petani, hanya sedikit elit politik (kaum elit terpelajar dan militer) yang menguasai negara.
Elit politik itu berperan sebagai birokrat negara tanpa basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuasi yang berperan dalam ekonomi. Demokrasi Parlementer (1949 – 1959), menghasilkan kebijakan “Politik Benteng” yang bertujuan menciptakan pengusaha pribumi. Akumulasi modal pengusaha pribumi terjadi melalui jalur politik benteng dan jalur perusahaan – perusahaan negara, namun masih relatif kecil dibandingkan akumulasi modal pengusaha asing dan Cina. Demokrasi Liberal (1957 - 1959), menghasilkan gejolak politik yang cukup serius yaitu Sumatera Barat dan Sulawesi Utara melakukan perlawanan bersenjata sebagai reaksi dominasi Jawa dan ketimpangan ekonomi antara daerah dan pusat, akibatnya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan.
Pada masa ini, politisi kelas menengah ke atas menguasai ekonomi politik Indonesia sedangkan rakyat Indonesia belum berubah, masih miskin. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Dekrit Presiden 1959 (yang mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya Soekarno menggeser dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus upaya mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi negara. Pada tahun 1957, perusahaan – perusahaan Belanda dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan asing makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan – perusahaan Inggris juga diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965.
Semua perusahaan tersebut dikelola oleh perwira – perwira militer namun bisnis masih dikuasai pengusaha Cina. Konflik antara PKI dan Militer mencapai klimaksnya pada 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan kemenangan Militer dimana Soeharto sebagai simbolnya. Kondisi ekonomi sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966. Jadi periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
Kondisi Politik Ekonomi Orde Baru ( 1966 – 1998 )
Pemerintah didukung kuat Militer dan kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politk kelas menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :
Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara.
Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun 1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya.
Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :
Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama melalui devaluasi September 1986).
Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.
Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan pembatasan. Kebijakan “Pakdes I/1987” yang menggalakkan penarikan pajak sehingga menghidupkan kembali pasar modal, “Pakto 27/1988” yang menyebabkan menjamurnya bank – bank swasta, “Pakdes II/1988” yang menderegulasikan bisnis asuransi dan berbagai jasa finansial. “Pakem 1986” dan “Pakjun 3/1991” yang mengurangi hambatan perdagangan internasional dan memberi insentif yang sangat menarik pada investor asing dan terakhir “Pakjul 1993” yang bertujuan mempermudah perijinan investasi.
Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang – Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari berbagai paket di atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson, 1990:3-5).
Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry barrier), pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi terbatas yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta. (Nasution, 1991:14-17)
Dampaknya cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta) dan debt-service rationya sudah melewati 30%. Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Rezim Orde Baru runtuh akibat krisis moneter (penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dari 2.000-an menjadi 10.000-an per 1 US$). Rezim Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi. Barang – barang impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut. Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil pembangunan. Jadi periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
Demikianlah yang terjadi pada Zaman Orde Baru dan Orde Lama , yang menyebabkan Indonesia menjadi negara "penghutang" , walaupun demikian kita menghargai para Pahlawan yang telah mencucurkan darah dan harta untuk memperjuangkan Indonesia.
Baca Selengkapnya ..
Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan pertimbangan utama dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya. Dua tipe ideal ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub berlawanan, yakni:
1. Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”;
2. Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi.
Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan oleh swasta. Dan dalam Dirigisme / hegemoni, negara mengendalikan sepenuhnya mekanisme dan lembaga-lembaga itu. Dua kutub “laissez-faire” – “hegemoni“ adalah gambaran yang ideal .
Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun “hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan, sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat campuran. Contoh kasus dalam konteks ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub “hegemoni” dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara lebih spesifik kita bisa menunjukkan sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih jelas lihat tabel di bawah ini.
Maka, pembagian kondisi Politik – Ekonomi di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966), periode Orde Baru (1966 – 1998), dan periode Reformasi (1998 – Sekarang). Analisis per periode sebagai berikut :
Kondisi Politik Ekonomi Orde Lama ( 1945 – 1966 )
Pandangan strukturalis tentang pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an. Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau mencegah perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang dan jasa tidak elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas manajemen dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang – kadang target tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi yang kurang baik. Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada negara di luar Eropa pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang berkembang sudah sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi terpusat.
Pada tahun 1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya dalam rangka perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang berpendidikan Barat dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara ekonomi, Belanda masih menguasai perusahaan – perusahaan di sektor perkebunan dan menguasai perdagangan internasional {Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949}. Periode 1945 – 1949 adalah periode Indonesia berjuang untuk status negara merdeka dan diakui oleh dunia yang ditandai dengan pengakuan Belanda di KMB dengan syarat perusahaan Belanda di Indonesia tidak dinasionalisasikan. Di sisi lain, Cina menguasai perdagangan dalam negeri dan mayoritas orang Indonesia pribumi masih tetap menjadi petani, hanya sedikit elit politik (kaum elit terpelajar dan militer) yang menguasai negara.
Elit politik itu berperan sebagai birokrat negara tanpa basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuasi yang berperan dalam ekonomi. Demokrasi Parlementer (1949 – 1959), menghasilkan kebijakan “Politik Benteng” yang bertujuan menciptakan pengusaha pribumi. Akumulasi modal pengusaha pribumi terjadi melalui jalur politik benteng dan jalur perusahaan – perusahaan negara, namun masih relatif kecil dibandingkan akumulasi modal pengusaha asing dan Cina. Demokrasi Liberal (1957 - 1959), menghasilkan gejolak politik yang cukup serius yaitu Sumatera Barat dan Sulawesi Utara melakukan perlawanan bersenjata sebagai reaksi dominasi Jawa dan ketimpangan ekonomi antara daerah dan pusat, akibatnya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan.
Pada masa ini, politisi kelas menengah ke atas menguasai ekonomi politik Indonesia sedangkan rakyat Indonesia belum berubah, masih miskin. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Dekrit Presiden 1959 (yang mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya Soekarno menggeser dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus upaya mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi negara. Pada tahun 1957, perusahaan – perusahaan Belanda dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan asing makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan – perusahaan Inggris juga diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965.
Semua perusahaan tersebut dikelola oleh perwira – perwira militer namun bisnis masih dikuasai pengusaha Cina. Konflik antara PKI dan Militer mencapai klimaksnya pada 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan kemenangan Militer dimana Soeharto sebagai simbolnya. Kondisi ekonomi sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966. Jadi periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
Kondisi Politik Ekonomi Orde Baru ( 1966 – 1998 )
Pemerintah didukung kuat Militer dan kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politk kelas menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :
Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara.
Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun 1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya.
Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :
Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama melalui devaluasi September 1986).
Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.
Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan pembatasan. Kebijakan “Pakdes I/1987” yang menggalakkan penarikan pajak sehingga menghidupkan kembali pasar modal, “Pakto 27/1988” yang menyebabkan menjamurnya bank – bank swasta, “Pakdes II/1988” yang menderegulasikan bisnis asuransi dan berbagai jasa finansial. “Pakem 1986” dan “Pakjun 3/1991” yang mengurangi hambatan perdagangan internasional dan memberi insentif yang sangat menarik pada investor asing dan terakhir “Pakjul 1993” yang bertujuan mempermudah perijinan investasi.
Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang – Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari berbagai paket di atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson, 1990:3-5).
Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry barrier), pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi terbatas yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta. (Nasution, 1991:14-17)
Dampaknya cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta) dan debt-service rationya sudah melewati 30%. Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Rezim Orde Baru runtuh akibat krisis moneter (penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dari 2.000-an menjadi 10.000-an per 1 US$). Rezim Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi. Barang – barang impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut. Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil pembangunan. Jadi periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
Demikianlah yang terjadi pada Zaman Orde Baru dan Orde Lama , yang menyebabkan Indonesia menjadi negara "penghutang" , walaupun demikian kita menghargai para Pahlawan yang telah mencucurkan darah dan harta untuk memperjuangkan Indonesia.