KEBUTUHAN MENDESAK UNTUK MENEGAKKAN KEMBALI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Gede Raka
PROLOG
Berdiskusi mengenai pendidikan dengan Prof Moedomo bagi saya selalu merupakan pembicaraan yang mengasyikkan dan mencerahkan. Prof Moedomo sering kali menyampaikan cara pandang yang tidak saya duga dan secara tidak langsung menggugah saya meninjau kembali cara pandang yang selama inisaya pegang. Seperti biasa, pandangan dan komentar yang diberikan disampaikan dengan tenang, ringkas, dan padat.
Beberapa bulan terakhir menjelang kepergian beliau untuk selama-lamanya, dalam berbagai pembicaraan, Prof. Moedomo sering menyampaikan kecemasannya tentang gejala degradasi dalam pendidikan di Indonesia. Kalau tidak hati-hati, lembaga pendidikan kita tanpa disadari akan berubah menjadi hanya sebagai lembaga pelatihan, dan kehilangan rohnya sebagai lembaga pendidikan. Tema risalah ini dikembangkan dari berbagai topik pembicaraan dengan Prof Moedomo.
PENDAHULUAN
Pada Awal tahun 1990-an ketika perekonomian Indonesia dipuji-puji sebagai contoh keberhasilan pembangunan ekonomi negara berkembang, saya dan beberapa orang teman di Pusat Penelitian Teknologi-ITB sering berbagi kecemasan. Walaupun bukan pakar ekonomi, kami merasa bahwa ada yang tidak ’beres’ dengan kemajuan ekonomi waktu itu, dan kami merasa suatu hari nanti akan muncul masalah besar [1].
Dengan melihat pada pengalaman bangsa lain dan berdasarkan ‘common sense’ orang biasa, kami berpendapat bahwa untuk membangun ekonomi yang kuat yang berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan dua hal sebagai syarat utama, yaitu pendidikan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Ketika itu, istilah good governance, belum banyak dibicarakan di Indonesia.
Sebuah bangsa yang tidak berhasil membangun dan mengembangkan pendidikan yang baik, dalam jangka panjang tidak akan mampu membangun perekonomian yang kuat walaupun bangsa tersebut ‘beruntung’ dianugrahi sumberdaya alam yang melimpah. Sejalan dengan itu, ekonomi yang kuat tidak bisa dibangun dengan bertumpu pada birokrasi pemerintah yang korup, lamban dan tidak efisien.
Ketika itu, kami lihat bahwa dua landasan yang dipersyaratkan tersebut tidak dipenuhi atau belum dibangun di Indonesia, walaupun dari luar kelihatannya pembangunan ekonomi berhasil. Ini semacam keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat semu, semacam gelembung sabun yang setiap saat bisa kempes atau meledak.
Risalah ini ditulis dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa kekurang berhasilan bangsa ini, khususnya pemerintah Indonesia, dalam pembangunan perekonomian dan juga pembangunan sosial budaya , penyebab utamanya adalah kekurang berhasilan dalam membangun jiwa dan sistem pendidikan, serta tidak adanya investasi yang mencukupi dalam pendidikan bagi rakyat Indonesia.
Pendidikan di Indonesia, sampai saat ini belum memenuhi harapan para pejuang kemerdekaan yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab itu, usaha besar-besaran dan sistematik perlu dilakukan untuk membangun dan menegakkan kembali pendidikan di Indonesia. Di sini hanya dikaji hal yang berkaitan dengan penegakkan kembali pendidikan, karena banyak bagian pendidikan di Indonesia yang sudah ‘miring’ atau bahkan mugkin sudah tergeletak.
PANDAI, TERPELAJAR , TAHU BANYAK, NAMUN BELUM TENTU TERDIDIK.
Suatu sore, di kantor sebuah perusahan perjalan Jakarta-Bandung. Seorang pemuda, sambil berbicara dengan petugas penjual tiket, dengan tenang membuang robekan-robekan kertas ke lantai keramik yang bersih. Tanpa minta ijin, dia mengambil begitu saja kertas tissue yang berada di depan petugas ticketing. Si pemuda membersihkan muka dengan kertas tissue dan sesudah itu dengan seenaknya membuang kertas tisssue yang kotor ke lantai, di depan mata calon penumpang yang lain. Ternyata pemuda tersebut adalah seorang mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Bandung. Dilihat dari penampilannya, nampaknya dia bukan dari keluarga golongan ekonomi lemah.
Dalam milist dosen sebuah perguruan tinggi, sering kali dosen-dosen berkeluh kesah menyampaikan kekecewaannya mengenai tingkah laku sebagian mahasiswa yang tidak sopan, kurang senonoh, kurang tata-krama. Di perguruan tinggi ini juga sering dibicarakan tentang kurangnya ‘soft skill’ para mahasiswa dan para lulusan.
Sekelompok mahasiswa mengeluh tentang dosen yang sering datang terlambat, dan tidak pernah minta maaf kepada para mahasiswa atas keterlambatannya. Suatu hari, para mahasiswa yang mengikuti sebuah mata kuliah menunggu dosennya selama satu jam. Dosen yang ditunggu belum muncul juga. Karena tidak ada berita dari sang dosen, para mahasiswa mengira dosennya tak akan hadir dan mereka meninggalkan kelas.
Namun, sang dosen akhirnya datang sesuadah terlambat lebih dari satu jam, dan menemukan kelasnya kosong, tidak ada mahasiswa. Dalam kuliah berikutnya sang dosen memuntahkan kemarahannya kepada mahasiswa, dan diakhir semester tak seorang mahasiswapun yang mengikuti kuliah tersebut dapat nilai C. Semuanya D atau lebih buruk.
Mahasiswa lain bergunjing dengan temannya tentang seorang dosen. Mereka tidak mengerti mengapa dosen yang bersangkutan tidak pernah membalas ucapan salam yang disampaikan oleh mahasiswa, khususnya kalau mahasiswa kebetulan berpapasan dengan dosen tersebut. Bahkan ada kalanya, apabila mahasiswa tersenyum ketika bertemu dengan sang dosen, si mahasiswa malah seperti ’dimarahi’ , ’kok senyum’.
Cerita di atas adalah kisah nyata. Bukan karangan. Kejadian yang digambarkan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seorang pemuda yang sangat pintar, karena telah berhasil diterima di perguruan tinggi bergengsi setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, namun belum menunjukkan sikap dan perilaku sebagai orang terdidik. Tidak ada sopan santun, tidak ada kepedulian terhadap lingkungan, tak merasa malu dan tak merasa bersalah mengotori tempat yang bersih, bahkan di depan mata orang banyak. Dalam hal kisah dosen, di sini kita melihat betapa tingkat pendidikan yang sangat tinggi, tidak dengan sendirinya disertai dengan meningkatnya kepekaan terhadap etika .
Dosen yang bersangkutan tidak fari terhadap mahasiswa .Faireness adalah salah satu unsur penting dari etika. Dosen tersebut memakai standar ganda. Standard yang dia berlakukan terhadap mahasiswa, tidak diberlakukan terhadap dirinya sendiri. Dia merasa berhak, dan tidak merasa bersalah, membuang-buang waktu berpuluh-puluh bahkan ratusan mahasiswa dengan membiarkan mereka menunggu. Sementara para mahasiswa dianggap bersalah karena membuang-buang waktu sang dosen, dan untuk itu mereka harus dihukum. Dan kita tahu, dalam hal ini mahasiswa berada dalam posisi tak berdaya karena mereka tidak bisa menghukum dosen. Paling-paling yang mereka bisa lakukan adalah beramai-ramai mengulang lagi mengambil mata kuliah tersebut, karena nilai D yang diberikan si dosen ‘menghancurkan’ prestasi banyak mahasiswa, pada hal prestasi tersebut mereka jaga mati-matian sejak dari tahun pertama mereka kuliah.
Sudah barang tentu hal yang dikisahkan di atas bukan gambaran semua dosen atau semua mahasiswa. Namun kejadian seperti itu – kekurang peduliaan terhadap lingkungan, hilangnya rasa malu dan rasa bersalah, rendahnya standard etika- tidak sulit kita temukan, bahkan di kalangan mereka yang punya latar belakang pendidikan cukup tinggi.
Salah satu pemandangan sehari-hari yang menunjukkan betapa belum terdidiknya sebagaian besar masyarakat kita adalah suasana lalu lintas di jalan-jalan raya. Tidak jarang pengendara mobil atau sepeda motor seenaknya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Di jalan tol Jakarta Cikampek pengendara mobil yang berlomba-lomba memacu kendaraan di bahu jalan adalah pemandangan biasa, pada hal semua orang tahu bahwa mengendarai kendaraan di bahu jalan itu melanggar peraturan dan berbahaya. Kendaraan yang berjalan lambat diharapkan memakai lajur sebelah kiri, namun yang terjadi justru sebaliknya, kendaraan –kendaraan lambat ini justru menguasai lajur paling kanan. Suasana khaotik lalu lintas di jalan raya merupakan salah satu cerminan dari ’keterbelakangan’ kita. Setelah lebi dari 60 tahun merdeka, sistem, substansi dan iklim pendidikan yang kita kembangkan belum mampu membuat bangsa ini mendidik dirinya sendiri untuk melakukan hal yang sangat sederhana dalam kehidupan bermasyarakat di era modern yaitu mentaati aturan lalu lintas.
Contoh yang sangat kasat mata dari belum berhasilnya pendidikan, dan hal ini membawa dampak yang sangat buruk terhadap kemajuan dan martabat bangsa, adalah merebak dan mengakarnya korupsi, khususnya di kalangan lembaga-lembaga pemerintah, lembaga publik, dan di perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara . Sampai saat ini Indonesia masih memegang predikat salah satu negara yang korupsinya paling tinggi di dunia. Semua orang tahu bahwa korupsi itu tindakan kejahatan dan berakibat buruk bagi bangsa dan negara. Namun demikian, sampai saat ini korupsi tetap meluas dan sulit diberantas.Bahkan pada era otonomi daerah sekarang ini, penyebar luasan korupsi ke daerah-daerah menjadi makin cepat..Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama [2]. Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini seharusnya merupakan tamparan yang luar biasa kerasnya bagi masyarakat Indonesia. yang merasa atau mengaku sebagai masyarakat atau bangsa yang sangat religius. Namun yang menarik, tidak ada reaksi yang keras dari tokoh-tokoh agama mengenai pernyataan ini, bahkan ada yang berusaha mengingkari. Dari sudut pandang pendidikan ini berarti bahwa pendidikan kita , baik formal maupun informal, secara umum belum mampu menghasilkan orang-orang atau masyarakat yang secara tegas dapat membedakan perilaku yang baik dari yang buruk, yang secara hukum salah dari yang benar , dan berani berpegang teguh pada yang benar dan baik.
INSTITUSI PENDIDIKAN CENDERUNG MENJADI INSTITUSI PELATIHAN
Urain di atas dimaksudkan untuk menunjukkkan betapa sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum mencapai hal-hal yang diharapkan yaitu menjadi suatu institusi yang berperan besar dan efektif dalam mengembangkan potensi insani bangsa, agar masyarakat kita menjadi masyarakat yang cerdas, kreatif, berwatak baik, dan mampu tumbuh berkembang dalam suasana kebhinekaan. Pendidikan kita belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa . Mungkin pendidikan kita sudah berhasil meningkatkan kecerdasan sebagain penduduk Indonesia, namun belum kehidupannya. Karena banyak orang cerdas namun kehidupannya tidak cerdas, dalam arti hidup dengan standard etika yang rendah , kurang peduli, tanpa rasa malu, dan tanpa rasa bersalah.
Banyak faktor penyebab dari kekurang-berhasilan ini. Saya berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab yang sangat penting adalah merosotnya insititusi penndidikan di Indonesia menjadi institusi pelatihan. Termasuk dalam institusi pendidikan ini adalah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Di sini akan dicoba disoroti atau lebih tepat dinonnjolkan, perbedaaan antara pendidikan dan pelatihan, bukan dipertentangkan.
Kalau kita mau melihat hasil pelatihan yang sangat efektif, nontonlah sirkus. Di sana kita bisa menyaksikan kuda yang bisa menari, harimau yang terampil melompatti kobaran api, anjing laut yang bertepuk tangan dan lumba-lumba yang melakukan gerakan aksobatik. Keterampilan yang didemontrasikan binatang-binatang dalam sirkus tersebut adalah hasil kerja keras para pelatih: pelatih kuda, pelatih harimau, pelatih lumba-lumba. Dalam hal ini tidak dipakai istilah pendidik kuda atau pendidik lumba-lumba. Sudah barang tentu pelatihan tidak terbatas hanya untuk hewan. Ada banyak jenis pelatihan untuk manusia. Dalam bidang olahraga ada bermacam-macam pelatihan dan pelatih. Kina mengenal pelatih sepak bola, pelatih renang, pelatih tinju, dan sebagainya. Di sini juga tidak dipakai istilah, pendidik tinju atau pendidik sepak bola. Jadi, kata pelatihan berkonotasi sangat kuat dengan usaha-usaha yang berfokus pada pengembangan keterampilan tertentu. Keterampilan ini bisa bersifat fisik, maupun bersifat mental.
Dipihak lain, untuk menumbuh kembangkan budipekerti yang baik, dipakai istilah pendidikan budi pekerti. Jadi pendidikan mencakup usaha-usaha untuk mengembangkan potensi insani yang lebih luas, yaitu pengembangan budi, tidak hanya pengembangan akal dan keterampilan. Menumbuhkan kesadaran baru, membangun rasa percaya diri, mengembangkan kepekaan sosial, menajamkan tata-nilai, mengasah keyakinan, mengembangkan rasa-bertujuan (sense of purpose), atau secara umum membangun karakter atau watak yang baik adalah ranah utama dari pendidikan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan.Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan , seperti universitas, institut teknologi, dan yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan. Masalah kita sekarang, tanpa disadari, sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.
Pada program pendidikan yang tereduksi menjadi pelatihan, substansi pendidikan hanya masuk ke ’otak’ peserta didik, namun tak masuk ke hati. Hasilnya adalah orang-orang berpengetahuan banyak , namun belum tentu pengetahuan yang banyak tersebut disertai dengan hati yang baik; kecerdasan berpikir sering tidak disertai dengan kepekaan batin. Hal ini akan menimbulkan fenomena kesenjangan antara mengetahui dan melakukan ( ’knowing-doing gap’) yang besar. Orang-orang memiliki banyak pengetahuan mengenai hal-hal yang baik yang seharusnya dilakukan, namun mereka tidak melakukannya, bahkan dalam banyak kasus mereka melakukan hal yang sebaliknya atau berlawanan. Mengetahui banyak hal yang baik, justru melakukan hal-hal yang buruk atau tercela. Nampaknya kesenjangan ini bisa menjelaskan mengapa di Indonesia, golongan yang mendapat pendidikan formal lebih tinggi yang membentuk golongan menengah yang mengisi jabatan di pemerintah, dan jabatan relatif tinggi di swasta, banyak diantaranya justru menjadi pelaku utama tindakan korupsi di Indonesia. Rakyat kebanyakan yang tinggal di desa-desa atau di daerah pinggiran kota yang berpendidikan relatif rendah bukan pelaku utama dalam ’gerakan’ korupsi, mereka adalah korban dari pemimpin-pemimpin atau pejabat-pejabat yang korup.
Contoh lain dari ’knowinng-doing gap’ dapat dilihat pada apa yang terjadi pada Penataran P4. Padamasa pemerintahan Orde Baru, dalam kurun waktu tak kurang dari tiga dekade, berjuta-juta orang diharuskan mengikuti Penataran P4. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan menghabiskan banyak dana untuk itu. Semua orang mengetahui bahwa hal-hal yang diajarkan dalam penataran adalah hal-hal yang sangat baik. Kalau para pengikut penataran melakukn apa yang dipelajari dan diketahuinya dari penataran maka di Indonesia sudah tidak ada korupsi, atau sekurang-kurangnya Indonesia akan termasuk negara yang korupsinya sangat kecil. Namun fakta menunjukkan bahwa selama tiga puluh tahun sampai dengan turunnya Presiden Suharto , korupsi makin lama justru makin berkembang. P4 adalah sebuh contoh dari suatu program yang sebenarnya dimaksudkan sebagai pendidikan, namun dilaksanan sebagai pelatihan, dan bahkan hanya sebagai sebuah penataran.
MENGAPA PENDIDIKAN MENJADI PELATIHAN SAJA?
Banyak faktor yang terkait satu dengan yang lain yang menyebabkan kegiatan penddidikan di institusi pendidikan di Indonesia, dengan berjalannya waktu, telah secara berangsur-angsur berubah menjadi kegiatan yang lebih merupakan pelatihan. Faktor-faktor tersebut ada yang berada pada tataran operasional pendidikan, khususnya melekat pada pengajar atau guru dan pengelola institusi pendidikan, serta ada juga yang bersumber pada kebijakan yang bersifat nasional.
Pengajar Tidak Mengetahui atau Mengenali Perbedaan Antara Pendidikan Dan Pelatihan.
Nampaknya banyak diantara pengajar atau guru yang tidak mengetahui atau mengenali perbedaan antara pendidikan dan pelatihan. Dalam banyak kesempatan ketika isu pendidikan versus pelatihan ini saya kemukakan, pertanyaan yang hampir selalu diajukan adalah mengenai perbedaannya. Apabila perbedaan ini tidak diketahui atau dikenali, maka akan banyak diantara para pengajar yang kegiatannya hanya melakukan pelatihan lalu merasa bahwa mereka sudah melakukan pendidikan. Para pengajar ini mungkin saja telah bekerja keras menyiapkan bahan pelajaran, dan berusaha keras untuk mengalihkan atau ’memasukkan’ pengetahuannya kepada peserta didik untuk memenuhi target ’pendidikan’. Di samping itu, apabila perbedaan antara pendidikan dan pelatihan tidak diketahui, para pengajar yang sebenarnya punya potensi yang sangat besar untuk menjadi pendidik yang baik lalu tidak mengembangkan potensinya, karena mereka merasa bahwa tugas-tugas mereka sebagai pendidik telah mereka selesaikan dengan baik dengan cara yang sudah dilakukannya.
Pengajar Merasa bahwa Tugas Mereka Hanya Mengalihkan Pengetahuan atau Keahlian.
Ada juga pengajar di perguruan tinggi yang sepenuhnya menyadari bahwa proses pendidikan hendaknya membantu peserta didik mengembangkan karakter atau jati diri mereka. Namun mereka dengan jelas mengatakan bahwa itu bukan tugas mereka, itu tugas orang lain, apakah itu orang tua atau siapa saja. Pokoknya bukan tugas seorang dosen di perguruan tinggi. Di sebuah institut teknologi pernah ada diskusi hangat diantara para dosennnya, melalui mailing list , mengenai ’siapa’ sebenarnya dosen itu. Apakah dia seorang guru atau seorang engineer atau scientist? Sebagian mengatakan bahwa seorang dosen, di samping dia sebagai seorang engineer atau sciencetist, dia sehasusnya juga seorang guru; sedangkan sebagaian lagi mengatakan bahwa yang penting adalah dia seorang engineer atau sciencetist yang baik atau sangat baik dalam bidangnya. Bagaimana dia mengajar para mahasiswanya, itu bukan hal penting. Kemudian ditambahkan lagi bahwa banyak ilmuwan atau engineer yang baik di beberapa perguruan tinggi terkenal di luarnegeri tidak begitu bagus dalam mengajar.
Kalau banyak pengajar berada pada kelompok kedua, maka menjadi mudah dimengerti mengapa di perguruan tinggi ini banyak orang mengeluh tentang buruknya ’soft skill’ dari para lulusannya. ’Soft skill’, seperti kemampuan memimpim, bekerja dalam tim, kerelaan berbagi, kemampuan menghargai perbedaan, lebih sering mencerminkan karakter seseorang daripada kompetensi teknisnya. Kalau iklim dan proses pendidikan tidak memberikan ruang cukup banyak untuk atau bahkan mengabaikan pengembangan karakter, maka lembaga pendidikan akan lebih banyak melakukan pelatihan daripada pendidikan.
Pengajar Tidak Dipersiapkan Atau Menyiapkan Diri Berperan Sebagai Pendidik.
Di perguruan tinggi khususnya, kebanyakan para staf pengajar direkrut atas dasar prestasi akademik mereka, dengan asumsi bahwa mereka yang punya prestasi akademik yang baik, dengan sendirinya akan menjadi pendidik yang baik. Sayangnya, asumsi ini sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak sedikit staf pengajar, tetap hanya menjadi ilmuwan, dan tidak dapat dengan baik menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Mereka mungkin memahami substansi keahliannya dengan baik atau bahkan sangat baik, namun kurang berminat atau kurang mampu mengembangkan suasana atau iklim serta proses belajar yang membantu, mendorong atau menggugah bagi para mahasiswa untuk mengembangkan potensi diri mereka secara optimal dengan memakai bahan pelajaran sebagai salah satu media.
Ada yang berpendapat bahwa untuk menjadi pendidik seseorang perlu diberi pelatihan cara-cara mengajar yang baik. Memang belajar cara mengajar yang baik ada gunanya, namun untuk menjalankan peran sebagai pendidik diperlukan banyak hal beyond teknik mengajar. Agar dapat menjalankan peran sebagai pendidik seseorang memerlukan persepsi peran yang tepat (right role perception), dan sejumlah model-mental ( a set of mental models). Ini berkaitan dengan bagaimana seorang pengajar melihat perannya (instruktur, fasilitator, sumber pengetahuan, mitra belajar, mentor, atau enabler) dan bagaimana ’konsep’ yang dia pegang mengenai pendidikan, siswa atau mahasiswa, sekolah, dan proses pendidikan. Persepsi mengenai peran dan model-mental ini sangat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seorang pengajar dalam hubungannya dengan mahasiswa, dalam hubungannya dengan bidang keahliannya, dalam hubungannya dengan pengajar yang lain, dalam ubungannya dengan para ahli dari disiplin ilmu yang berbeda, dan dalam hubungannya dengan masyarakat luas.
Saya tidak bermaksud menganjurkan semua orang yang mau menjadi staf pengajar untuk mengambil pelatihan cara mengajar dan memfasilitasi proses belajar mengajar. Hal yang penting adalah seorang ilmuwan jangan sampai menyia-nyiakan potensinya sebagai pendidik yang baik. Kalau hal ini terjadi, maka proses degradasi kegiatan pendidikan menjadi sebuah pelatihan akan terus berlangsung.
Pengelola Melihat Lembaga Pendidikan Sebagai Sebuah Mesin atau Pabrik
Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid atau mahasiswa dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang bernama guru yang bekerja menurut sebuah program produksi yang namanya kurikulum. Out-put dari pabrik ini adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah NEM atau Indek Prestasi. . Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa di sekolah-sekolah berkembang suasana belajar yang sangat mekanistik, formal, dingin, kaku, birokratik, output oriented dan kurang manusiawi.
Salah satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa pihak adalah melihat siswa atau mahasiswa sebagai dereten gelas kosong yang harus diisi oleh para guru atau dosen dengan isi yang sama, diisi dengan cara yang sama pula. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kecenderungan untuk penyeragaman di sekolah. Keseragaman menjadi sebuah dogma baru, dan toleransi terhadap perbedaan makin lama makin menyempit. Bahkan ukuran keberhasilan atau keunggulanpun menjadi seragam.Ujian Nasional misalnya, oleh banyak praktisis dan ahli pendidikan dilihat sebagai manifestasi dari kecenderungan kuat untuk penyeragaman ini. Di samping itu, cara pandang gelas kosong ini menyebabkan para guru sibuk mencari cara untuk mengisinya secepat mungkin, atau mereka akan ditegur oleh pengawas apabila tidak bisa mengisi secepat mungkin atau tidak sesuai target. Akibatnya, interaksi yang lebih bersifat manusiawi yang sangat diperlukan dalam proses pendidikan menjadi terpinggirkan.
Tema Kebijakan yang Menyempitkan Makna Pendidikan.
Kebijakan yang diperkenalkan liwat jargon-jargon tertentu, seperti link and match, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi misalnya, tanpa disadari pada tingkat pelaksanaan telah menyempitkan atau meredusir makna pendidikan. Mungkin saja konsep awalnya luas, namun karena komunikasi kebijakan biasanya tidak mudah, penyempitan arti tersebut mudah terjadi.
Jargon link and match misalnya cenderung diartikan bahwa fokus pendidikan adalah menyediakan tenaga kerja yang siap pakai untuk memenuhi pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan lalu lebih banyak untuk mengembangkan keterampilan untuk industri, karena Indonesia ketika itu sedang mulai melaksanakan kebijakan industrialisasi. Akibatnya, dimensi yang non-keterampilan dari pendidikan seperti pengembangan kesadaran baru tentang masa depan bersama, membangun keyakinan, pengembangan kepekaaan sosial, yang merupakan transformasi mentalitas kemudian cenderung dinomor-duakan. Demikian juga halnya dengan istilah kurikulum berbasis kompetensi. Pada tingkat praktek tetap saja ada kecenderungan untuk mengidentikkan kompetensi dengan keterampilan atau skill, walaupun diperluas dengan istilah ketearmpilan untuk hidup (life skill). Akibatnya akan sangat besar kemungkinan untuk melupakan perspektif pendidikan yang lebih luas dan dalam, seperti pendidikan untuk pengembangan kebudayaan, pendidikan untuk membangun bangsa dan membangun karakter bangsa.
Kebijakan dan Praktek Evaluasi yang Mereduksi Arti Pendidikan.
Dalam UU Sisdiknas, pendidikan didifinisikan secara luas: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar, proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, achlak mulia, serta keterampilan dyang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. [3]. Namun dalam praktek evaluasi hasil pendidikan, yang dinilai hanya aspek yang sangat kecil dari aspek pendidikan. Misalnya, dalam penilaian melalui Ujian Nasional yang sampai saat ini masih kontroversial terkesan bahwa hasil pendidikan ditentukan hanya dengan nilai ujian pada tiga mata pelajaran yaitu Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Indonesia .Tidak bisa dihindari cara menilai seperti ini memberi kesan nahwa hanya tiga mata pelajaran tersebut yang penting, dan yang lainnya kurang penting. Kalau demikian halnya, akan tidak mengherankan sekolah-sekolah akan menjelma menjadi semacam bimbingan test untuk tiga jenis pelajaran tersebut. ’Perusahaan’ bimbingan test yang sangat diminati oleh para siswa sekolah adalah hasil ikutan dari lembaga pendidikan yang sudah berubah menjadi lembaga pelatihan.
Cara penilain hasil pendidikan yang hanya menilai aspek pengetahuan dan keterampilan saja -hasil dari learning to know dan learning to do- dan mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan karakter (hasil dari learning to be ) akan dengan mudah menarik lembaga pendidikan menjadi hanya sebagai penyelenggara pelatihan.
Ada perguruan tinggi yang memberi bobot sangat besar pada waktu studi rata-rata mahasiswa sebagai ukuran keberhasilan program pendidikan. Para mahasiswa mendapat kesan, bahwa yang terpenting adalah belajar agar cepat lulus. Ironisnya, pada saat yang sama di perguruan tinggi tersebut orang-orang mengeluh karena lulusannya tidak begitu bagus dalam ’soft skill’ atau ’social skill’ dan sering tersisih dari lulusan perguruan tinggi lain dalam merebut pekerjaan bukan karena kompetensi teknisnya ( yang antara lain ditunjukkan oleh Indek Prestasi), namun karena sikapnya yang cenderung asosial. Seorang dokter, yang dua orang puterinya kuliah di perguruan tinggi tersebut dan memperoleh IP yang sangat bagus bahkan menyatakan bahwa menurut putrinya, tekanan yang terlalu besar pada mahasiswa agar lulus dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan berkompetisi secara ketat telah membuat banyak teman-temannya menjadi sangat egois, kurang peduli lingkungan, dan tak punya empati atau mau menang atau enak sendiri. Jadi di sini ada risiko sebuah perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang dari segi keahllian teknis sangat baik , namun secara sosial ’terkebelakang’. Dari kelompok seperti ini ada kemungkinan akan ada lulusannya kelak menjadi koruptor yang cerdas atau pebisnis tanpa tanggung jawab sosial.
Di pihak lain, ada perguruan tinggi yang pada waktu hari wisuda memberikan penghargaan pada lulusan yang meraih prestasi akademik sangat baik, dan pada saat yang sama juga memberikan penghargaan kepada para lulusan yang selama menjadi mahasiswa banyak melakukan pelayanan kepada masyarakat atau pengabdian kepada masyarakat. Dengan cara seperti ini, pimpinan perguruan tinggi ingin menunjukkan bahwa lulusannya hendaknya menjadi orang yang cerdas dan pada saat yang sama menjadi orang yang berguna dan mengabdi pada masyarakat.
Bukan maksud tulisn ini untuk menyatakan bahwa lulus tepat waktu atau punya Indek Prestasi yang baik itu tidak penting. Di sini ingin ditunjukkan bahwa faktor-faktor yang dipakai untuk mengukur atau cara mengukur keberhasilan pendidikan akan berpengaruh terhadap kuatnya kecenderungan suatu lembaga pendidikan untuk berubah menjadi hanya sebuah lembaga pelatihan.
APA YANG PERLU DILAKUKAN
Masalah pendidikan di Indonesia adalah masalah sangat besar. Ini merupakan akumulasi masalah yang sudah berlangsung tidak kurang dari empat dekade. Ini adalah harga yang harus dibayar bangsa Indonesia sekarang ini karena selama kurun waktu yang sangat lama, bahkan pada saat negeri ini memiliki cukup banyak sumber nada, pendidikan tidak dijadikan prioritas dalam pembangunan bangsa. Membayangkan adanya solusi jalan pintas yang cepat untuk mengatasi masalah besar ini saya rasa tidak realistik. Karena invesatasi dalam bidang pendidikan pada dasarnya adalah investasi jangka panjang, dalam arti dampak perbaikannya baru akan terasa dan terlihat sesudah kurun waktu cukup lama. Namun demikian ada beberapa hal yang sangat mendasar yang perlu dilakukan sebagai landasan perbaikan jangka panjang, khususnya untuk mencegah kecenderungan lembaga pendidikan menjadi hanya sebagai lembaga pelatihan, dan apabila dimungkinkan, membalikkan kecenderungan tersebut.
Investasi pada Peningkatan Mutu Para Guru.
Tidak ada pendidkan yang bermutu tanpa guru yang bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Mengharapkan perbaikan mutu pendidikan tanpa perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok warga negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi ( baik dari manfaat sosial maupun manfaat ekonomik), dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya. Dari pengalaman bekerja sama dan berinteraksi dengan ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun terakhir ini saya berani menyatakan bahwa secara umum para guru dan kepala sekolah pada tingkat SMU dan SLTP , bekal mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua bidang yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik yang baik di awal abad 21 ini. Secara umum bekal mereka sangat terbatas dalam pengetahuan substansial, dalam pengetahuan kontekstual, dalam pengembangan proses-proses belajar baru, dan dalam menciptakan suasana belajar baru. Sekarang ini, guru-guru dan kepala sekolah kita masih merupakan kelompok masyarakat yang terisolasi dari perkembangan pengetahuan, metoda serta paradigma pendidikan yang baru. Hal ini terjadi bukan karena kemauan mereka, namun merupakan akibat dari cara negara kita menangani pendidikan selama ini. Perbaikan mutu ini tidak ada hubungannya dengan sertifikasi guru. Ini adalah program yang mendorong, dan memudahkan para guru untuk terus menerus mengembangkan diri, tidak hanya dari segi komptensi teknis, namun dalam memperbaharui persepsi tentang peran mereka sebagai guru, dan memperbaharui mental-model agar sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan pendidikan pada abad 21 ini. Ini adalah pemberian kesempatan kepada para guru untuk meninggalkan persepsi peran dan model-mental lama yang sudah usang dan mengembangkan persepsi peran dan model mental baru .
Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain di Indonesia telah menyebabkan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru dan menjadikan profesi guru sebagai pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda yang masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah bersaing dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi tinggi. Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu guru di Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan masyarakat memberi hanya sedikit kepada para guru, mereka menuntut sangat banyak dan tuntutannnya makin meningkat, khususnya dalam hal mutu pendidikan. Kalau ada pihak yang tidak puas dengan mutu pendidikan, sering sekali yang dijadikan kambing hitam sebagai penyebab adalah para guru.
Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu para guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung tombak dan pelaku utama dalam peningkatan mutu pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan suasana birokratik serta feodalistik di lembaga-lembaga pendidikan yang mengekang mereka untuk mengeluarkan potensinya yang terbaik. Kesejahteraan guru memang issue besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan bagian yang tidak terpisah dari peningkatan mutu guru.
Meninjau Kembali secara Mendasar Ukuran Keberhasilan dalam Pendidikan.
Pada tingkat kebijakan nasional, dan pada tingkat operasional, pembuat kebijakan dan para pelaku, hendaknya berani mempertanyakan kembali ukuran-ukuran yang dipakai untuk menunjukkan bahwa pendidikan kita memang telah mencapai yang hasil-hasil yang diharapkan. Ukuran ini hendaknya secara sadar memasukan faktor-faktor yang lebih kualitatif, dan lebih memperhatikan dampak, di samping keluaran atau output. Apakah makin seringnya perkelahian atau bentrok fisik antara murid sekolah dan bentrok mahasiwa antar kampus, atau luasnya penyebaran pemakain narkoba di sekolah-sekoah atau kampus-kampus bisa memberi indikasi tentang keberhasilan pendidikan? Apakah tingkat pemakaian narkoba di kalangan siswa dan mahasiswa bisa dipakai untuk menunjukkan hasil pendidikan? Apakah makin banyaknya murid sekolah yang menerima penghargaan olimpiade dalam bidang sain saat ini merupakan indikator keberhasilan pendidikan atau pelatihan yang dilakukan secara intensif?
Ketepatan menetapkan ukuran keberhasilan ini sangat menentukan metoda atau sistem mengevalusi hasil-hasil pendidikan. Dari sini lalu akan mudah dilihat apakah Ujian Nasional dalam formatnya yang sekarang akan memajukan pendidikan bangsa atau justru berdampak sebaliknya. Pilihan ukuran keberhasilan yang tepat akan menghindarkan penghamburan keahlian dan tenaga para pelaku pendidikan, khususnya para pengajar yang jumlahnya mendekati tiga juta, selama berpuluh-piluh tahun seperti yang terjadi selama ini. Selama tidak kurang dari 30 puluh tahun, sekitar dua setengah juta guru di seluruh Indonesia bekerja keras dan hasilnya adalah generasi baru yang tidak bisa mematuhi rambu lalu lintas dan yang makin tidak toleran terhadap kebhinekaan.
Terus Menerus Menggugah Kesadaran: Tidak akan ada Indonesia Sejahtera dan Bermartabat tanpa Pendidikan yang Bermutu.
Sampai saat ini masih banyak orang berpegang pada pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa depan tumpuanaanya adalah sumber daya alam. Pandangan inilah yang menjadi penyebab utama dari kurangnya perhatian dan invesatasi pemerintah Indonesia dalam bidang peningkatan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan dan peningkatan kualitas governance di Indonesia. Selama anggapan seperti ini masih dijadikan acuan dalam pengembangan program pembangunan maka pengembangan pendidikan tidak akan menempati peran sentral, walaupun sudah diamanatkan bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen dari APBN. Sebab itu, usaha keras perlu dilakukan untuk menggugah kesadaran pra pembuat kebijakan dan masyarkat luas bahwa tidak akan ada Indonesia sejahtera dan bermartabat sekarang atau di masa depan tanpa pendidikan yang bermutu.
Bangsa Indonesia perlu secara sistematik membangun, mengembangkan dan menguatkan kesadaran bahwa sumber daya alam yang tak terbarukan seperti minyak, batubara, tembaga, mas dan bahan galian lainnya suatu hari akan habis. Sumberdaya alam ini sudah tidak bisa lagi dijadikan tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kalau pada saat itu Indonesia belum berhasil menciptakan tumpuan kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan, kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya, maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain, atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi ’negara jajahan’ di era moderen. Memang proses penjajahan kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu, namun dilakukan dengan cara-cara yang sangat elegan, seperti membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang baru yang lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta kebijakan-kebijakan pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral generasi sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan buruk seperti itu.
Usaha untuk menyadarkan tentang bahaya besar di masa depan kalau bangsa Indonesia tidak melakukn pembangunan, pengembangan dan perbaikan dalam bidang pendidikan perlu dilakukan terus menerus agar para pembuat kebijakan dan pembuatan keputusan di lembaga-lembaga pemerintahan memahami dan melihat sejelas-jelasnya bahwa pembangunan, pengembangan dan perbaikan pendidikan di Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak, tidak bisa ditunda, dan mereka serta setiap pelaku yang terkait harus melakukan sesuatu sekarang, bukan nanti.
CATATAN PENUTUP
Risalah ini tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa usaha-usaha perbaikan pendidikan yang selama ini sudah dilakukan semuanya sia-sia. Sudah barang tentu, ada hasil yang sudah dicapai. Tulisan ini adalah sebuah ajakan bagi para pembuat kebijakan dan pelaku pendidikan , dan mereka yang punya pengaruh untuk mengubah keadaan, untuk mawas diri, untuk melihat apakah usaha-usaha yang telah dilakukan, dana yang sudah dikeluarkan, kerja keras para pelaku selama ini sudah menuju arah yang benar.
Kejelasan dan ketepatan arah ini menjadi sangat penting. Kalau hal ini tidak ada maka bukan tidak mungkin sekitar tiga juta guru serta dosen di Indosesia bekerja keras beramai-ramai ‘memanjat pohon yang salah’ atau ‘doing the wrong thing right’ . Kalau hal itu terjadi, maka sumberdaya pendidikan yang sampai saat ini jumlahnya sangat terbatas, bukan dimanfaatkan secara optimal, namun malah dibuang-buang atau disia-siakan.
EPILOG
Keberuntungan itu bentuknya bermacam-macam Saya merasa beruntung, karena dalam hidup ini saya bertemu dan punya kesempatan belajar dari banyak guru yang saya hormati. Tanpa mereka, saya tidak sampai di sini. Ada guru yang menjadi sumber pengetahuan. Guru seperti itu banyak di sekitar kita. Ada guru yang tidak hanya memberi pengetahuan namun juga kearifan dan menggugah kita untuk mengembangkan kedua hal itu. Guru seperti ini sangat sedikit. Bagi saya Prof Moedomo almarhum adalah salah seorang guru dari kelompok yang sedikit ini.
REFERENSI
[1] Gede Raka, Lanny Hardi, dan Nana Sumpena, Creativity Development for Improving the Quality of Life and the Environment, Bandung 5 Agustus 1997, Risalah disampaikan pada International Forum for Future Study, di Melbourne, tanggal 10 Agustus 1997.
[2] ………., Depag, Lembaga Paling Korup, Harian Umum Pikiran Rakyat, 18 Oktober 2006.
[3] ………., Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia, 2003.
Baca Selengkapnya ..
Oleh: Gede Raka
PROLOG
Berdiskusi mengenai pendidikan dengan Prof Moedomo bagi saya selalu merupakan pembicaraan yang mengasyikkan dan mencerahkan. Prof Moedomo sering kali menyampaikan cara pandang yang tidak saya duga dan secara tidak langsung menggugah saya meninjau kembali cara pandang yang selama inisaya pegang. Seperti biasa, pandangan dan komentar yang diberikan disampaikan dengan tenang, ringkas, dan padat.
Beberapa bulan terakhir menjelang kepergian beliau untuk selama-lamanya, dalam berbagai pembicaraan, Prof. Moedomo sering menyampaikan kecemasannya tentang gejala degradasi dalam pendidikan di Indonesia. Kalau tidak hati-hati, lembaga pendidikan kita tanpa disadari akan berubah menjadi hanya sebagai lembaga pelatihan, dan kehilangan rohnya sebagai lembaga pendidikan. Tema risalah ini dikembangkan dari berbagai topik pembicaraan dengan Prof Moedomo.
PENDAHULUAN
Pada Awal tahun 1990-an ketika perekonomian Indonesia dipuji-puji sebagai contoh keberhasilan pembangunan ekonomi negara berkembang, saya dan beberapa orang teman di Pusat Penelitian Teknologi-ITB sering berbagi kecemasan. Walaupun bukan pakar ekonomi, kami merasa bahwa ada yang tidak ’beres’ dengan kemajuan ekonomi waktu itu, dan kami merasa suatu hari nanti akan muncul masalah besar [1].
Dengan melihat pada pengalaman bangsa lain dan berdasarkan ‘common sense’ orang biasa, kami berpendapat bahwa untuk membangun ekonomi yang kuat yang berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan dua hal sebagai syarat utama, yaitu pendidikan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Ketika itu, istilah good governance, belum banyak dibicarakan di Indonesia.
Sebuah bangsa yang tidak berhasil membangun dan mengembangkan pendidikan yang baik, dalam jangka panjang tidak akan mampu membangun perekonomian yang kuat walaupun bangsa tersebut ‘beruntung’ dianugrahi sumberdaya alam yang melimpah. Sejalan dengan itu, ekonomi yang kuat tidak bisa dibangun dengan bertumpu pada birokrasi pemerintah yang korup, lamban dan tidak efisien.
Ketika itu, kami lihat bahwa dua landasan yang dipersyaratkan tersebut tidak dipenuhi atau belum dibangun di Indonesia, walaupun dari luar kelihatannya pembangunan ekonomi berhasil. Ini semacam keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat semu, semacam gelembung sabun yang setiap saat bisa kempes atau meledak.
Risalah ini ditulis dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa kekurang berhasilan bangsa ini, khususnya pemerintah Indonesia, dalam pembangunan perekonomian dan juga pembangunan sosial budaya , penyebab utamanya adalah kekurang berhasilan dalam membangun jiwa dan sistem pendidikan, serta tidak adanya investasi yang mencukupi dalam pendidikan bagi rakyat Indonesia.
Pendidikan di Indonesia, sampai saat ini belum memenuhi harapan para pejuang kemerdekaan yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab itu, usaha besar-besaran dan sistematik perlu dilakukan untuk membangun dan menegakkan kembali pendidikan di Indonesia. Di sini hanya dikaji hal yang berkaitan dengan penegakkan kembali pendidikan, karena banyak bagian pendidikan di Indonesia yang sudah ‘miring’ atau bahkan mugkin sudah tergeletak.
PANDAI, TERPELAJAR , TAHU BANYAK, NAMUN BELUM TENTU TERDIDIK.
Suatu sore, di kantor sebuah perusahan perjalan Jakarta-Bandung. Seorang pemuda, sambil berbicara dengan petugas penjual tiket, dengan tenang membuang robekan-robekan kertas ke lantai keramik yang bersih. Tanpa minta ijin, dia mengambil begitu saja kertas tissue yang berada di depan petugas ticketing. Si pemuda membersihkan muka dengan kertas tissue dan sesudah itu dengan seenaknya membuang kertas tisssue yang kotor ke lantai, di depan mata calon penumpang yang lain. Ternyata pemuda tersebut adalah seorang mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Bandung. Dilihat dari penampilannya, nampaknya dia bukan dari keluarga golongan ekonomi lemah.
Dalam milist dosen sebuah perguruan tinggi, sering kali dosen-dosen berkeluh kesah menyampaikan kekecewaannya mengenai tingkah laku sebagian mahasiswa yang tidak sopan, kurang senonoh, kurang tata-krama. Di perguruan tinggi ini juga sering dibicarakan tentang kurangnya ‘soft skill’ para mahasiswa dan para lulusan.
Sekelompok mahasiswa mengeluh tentang dosen yang sering datang terlambat, dan tidak pernah minta maaf kepada para mahasiswa atas keterlambatannya. Suatu hari, para mahasiswa yang mengikuti sebuah mata kuliah menunggu dosennya selama satu jam. Dosen yang ditunggu belum muncul juga. Karena tidak ada berita dari sang dosen, para mahasiswa mengira dosennya tak akan hadir dan mereka meninggalkan kelas.
Namun, sang dosen akhirnya datang sesuadah terlambat lebih dari satu jam, dan menemukan kelasnya kosong, tidak ada mahasiswa. Dalam kuliah berikutnya sang dosen memuntahkan kemarahannya kepada mahasiswa, dan diakhir semester tak seorang mahasiswapun yang mengikuti kuliah tersebut dapat nilai C. Semuanya D atau lebih buruk.
Mahasiswa lain bergunjing dengan temannya tentang seorang dosen. Mereka tidak mengerti mengapa dosen yang bersangkutan tidak pernah membalas ucapan salam yang disampaikan oleh mahasiswa, khususnya kalau mahasiswa kebetulan berpapasan dengan dosen tersebut. Bahkan ada kalanya, apabila mahasiswa tersenyum ketika bertemu dengan sang dosen, si mahasiswa malah seperti ’dimarahi’ , ’kok senyum’.
Cerita di atas adalah kisah nyata. Bukan karangan. Kejadian yang digambarkan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seorang pemuda yang sangat pintar, karena telah berhasil diterima di perguruan tinggi bergengsi setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, namun belum menunjukkan sikap dan perilaku sebagai orang terdidik. Tidak ada sopan santun, tidak ada kepedulian terhadap lingkungan, tak merasa malu dan tak merasa bersalah mengotori tempat yang bersih, bahkan di depan mata orang banyak. Dalam hal kisah dosen, di sini kita melihat betapa tingkat pendidikan yang sangat tinggi, tidak dengan sendirinya disertai dengan meningkatnya kepekaan terhadap etika .
Dosen yang bersangkutan tidak fari terhadap mahasiswa .Faireness adalah salah satu unsur penting dari etika. Dosen tersebut memakai standar ganda. Standard yang dia berlakukan terhadap mahasiswa, tidak diberlakukan terhadap dirinya sendiri. Dia merasa berhak, dan tidak merasa bersalah, membuang-buang waktu berpuluh-puluh bahkan ratusan mahasiswa dengan membiarkan mereka menunggu. Sementara para mahasiswa dianggap bersalah karena membuang-buang waktu sang dosen, dan untuk itu mereka harus dihukum. Dan kita tahu, dalam hal ini mahasiswa berada dalam posisi tak berdaya karena mereka tidak bisa menghukum dosen. Paling-paling yang mereka bisa lakukan adalah beramai-ramai mengulang lagi mengambil mata kuliah tersebut, karena nilai D yang diberikan si dosen ‘menghancurkan’ prestasi banyak mahasiswa, pada hal prestasi tersebut mereka jaga mati-matian sejak dari tahun pertama mereka kuliah.
Sudah barang tentu hal yang dikisahkan di atas bukan gambaran semua dosen atau semua mahasiswa. Namun kejadian seperti itu – kekurang peduliaan terhadap lingkungan, hilangnya rasa malu dan rasa bersalah, rendahnya standard etika- tidak sulit kita temukan, bahkan di kalangan mereka yang punya latar belakang pendidikan cukup tinggi.
Salah satu pemandangan sehari-hari yang menunjukkan betapa belum terdidiknya sebagaian besar masyarakat kita adalah suasana lalu lintas di jalan-jalan raya. Tidak jarang pengendara mobil atau sepeda motor seenaknya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Di jalan tol Jakarta Cikampek pengendara mobil yang berlomba-lomba memacu kendaraan di bahu jalan adalah pemandangan biasa, pada hal semua orang tahu bahwa mengendarai kendaraan di bahu jalan itu melanggar peraturan dan berbahaya. Kendaraan yang berjalan lambat diharapkan memakai lajur sebelah kiri, namun yang terjadi justru sebaliknya, kendaraan –kendaraan lambat ini justru menguasai lajur paling kanan. Suasana khaotik lalu lintas di jalan raya merupakan salah satu cerminan dari ’keterbelakangan’ kita. Setelah lebi dari 60 tahun merdeka, sistem, substansi dan iklim pendidikan yang kita kembangkan belum mampu membuat bangsa ini mendidik dirinya sendiri untuk melakukan hal yang sangat sederhana dalam kehidupan bermasyarakat di era modern yaitu mentaati aturan lalu lintas.
Contoh yang sangat kasat mata dari belum berhasilnya pendidikan, dan hal ini membawa dampak yang sangat buruk terhadap kemajuan dan martabat bangsa, adalah merebak dan mengakarnya korupsi, khususnya di kalangan lembaga-lembaga pemerintah, lembaga publik, dan di perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara . Sampai saat ini Indonesia masih memegang predikat salah satu negara yang korupsinya paling tinggi di dunia. Semua orang tahu bahwa korupsi itu tindakan kejahatan dan berakibat buruk bagi bangsa dan negara. Namun demikian, sampai saat ini korupsi tetap meluas dan sulit diberantas.Bahkan pada era otonomi daerah sekarang ini, penyebar luasan korupsi ke daerah-daerah menjadi makin cepat..Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama [2]. Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini seharusnya merupakan tamparan yang luar biasa kerasnya bagi masyarakat Indonesia. yang merasa atau mengaku sebagai masyarakat atau bangsa yang sangat religius. Namun yang menarik, tidak ada reaksi yang keras dari tokoh-tokoh agama mengenai pernyataan ini, bahkan ada yang berusaha mengingkari. Dari sudut pandang pendidikan ini berarti bahwa pendidikan kita , baik formal maupun informal, secara umum belum mampu menghasilkan orang-orang atau masyarakat yang secara tegas dapat membedakan perilaku yang baik dari yang buruk, yang secara hukum salah dari yang benar , dan berani berpegang teguh pada yang benar dan baik.
INSTITUSI PENDIDIKAN CENDERUNG MENJADI INSTITUSI PELATIHAN
Urain di atas dimaksudkan untuk menunjukkkan betapa sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum mencapai hal-hal yang diharapkan yaitu menjadi suatu institusi yang berperan besar dan efektif dalam mengembangkan potensi insani bangsa, agar masyarakat kita menjadi masyarakat yang cerdas, kreatif, berwatak baik, dan mampu tumbuh berkembang dalam suasana kebhinekaan. Pendidikan kita belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa . Mungkin pendidikan kita sudah berhasil meningkatkan kecerdasan sebagain penduduk Indonesia, namun belum kehidupannya. Karena banyak orang cerdas namun kehidupannya tidak cerdas, dalam arti hidup dengan standard etika yang rendah , kurang peduli, tanpa rasa malu, dan tanpa rasa bersalah.
Banyak faktor penyebab dari kekurang-berhasilan ini. Saya berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab yang sangat penting adalah merosotnya insititusi penndidikan di Indonesia menjadi institusi pelatihan. Termasuk dalam institusi pendidikan ini adalah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Di sini akan dicoba disoroti atau lebih tepat dinonnjolkan, perbedaaan antara pendidikan dan pelatihan, bukan dipertentangkan.
Kalau kita mau melihat hasil pelatihan yang sangat efektif, nontonlah sirkus. Di sana kita bisa menyaksikan kuda yang bisa menari, harimau yang terampil melompatti kobaran api, anjing laut yang bertepuk tangan dan lumba-lumba yang melakukan gerakan aksobatik. Keterampilan yang didemontrasikan binatang-binatang dalam sirkus tersebut adalah hasil kerja keras para pelatih: pelatih kuda, pelatih harimau, pelatih lumba-lumba. Dalam hal ini tidak dipakai istilah pendidik kuda atau pendidik lumba-lumba. Sudah barang tentu pelatihan tidak terbatas hanya untuk hewan. Ada banyak jenis pelatihan untuk manusia. Dalam bidang olahraga ada bermacam-macam pelatihan dan pelatih. Kina mengenal pelatih sepak bola, pelatih renang, pelatih tinju, dan sebagainya. Di sini juga tidak dipakai istilah, pendidik tinju atau pendidik sepak bola. Jadi, kata pelatihan berkonotasi sangat kuat dengan usaha-usaha yang berfokus pada pengembangan keterampilan tertentu. Keterampilan ini bisa bersifat fisik, maupun bersifat mental.
Dipihak lain, untuk menumbuh kembangkan budipekerti yang baik, dipakai istilah pendidikan budi pekerti. Jadi pendidikan mencakup usaha-usaha untuk mengembangkan potensi insani yang lebih luas, yaitu pengembangan budi, tidak hanya pengembangan akal dan keterampilan. Menumbuhkan kesadaran baru, membangun rasa percaya diri, mengembangkan kepekaan sosial, menajamkan tata-nilai, mengasah keyakinan, mengembangkan rasa-bertujuan (sense of purpose), atau secara umum membangun karakter atau watak yang baik adalah ranah utama dari pendidikan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan.Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan , seperti universitas, institut teknologi, dan yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan. Masalah kita sekarang, tanpa disadari, sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.
Pada program pendidikan yang tereduksi menjadi pelatihan, substansi pendidikan hanya masuk ke ’otak’ peserta didik, namun tak masuk ke hati. Hasilnya adalah orang-orang berpengetahuan banyak , namun belum tentu pengetahuan yang banyak tersebut disertai dengan hati yang baik; kecerdasan berpikir sering tidak disertai dengan kepekaan batin. Hal ini akan menimbulkan fenomena kesenjangan antara mengetahui dan melakukan ( ’knowing-doing gap’) yang besar. Orang-orang memiliki banyak pengetahuan mengenai hal-hal yang baik yang seharusnya dilakukan, namun mereka tidak melakukannya, bahkan dalam banyak kasus mereka melakukan hal yang sebaliknya atau berlawanan. Mengetahui banyak hal yang baik, justru melakukan hal-hal yang buruk atau tercela. Nampaknya kesenjangan ini bisa menjelaskan mengapa di Indonesia, golongan yang mendapat pendidikan formal lebih tinggi yang membentuk golongan menengah yang mengisi jabatan di pemerintah, dan jabatan relatif tinggi di swasta, banyak diantaranya justru menjadi pelaku utama tindakan korupsi di Indonesia. Rakyat kebanyakan yang tinggal di desa-desa atau di daerah pinggiran kota yang berpendidikan relatif rendah bukan pelaku utama dalam ’gerakan’ korupsi, mereka adalah korban dari pemimpin-pemimpin atau pejabat-pejabat yang korup.
Contoh lain dari ’knowinng-doing gap’ dapat dilihat pada apa yang terjadi pada Penataran P4. Padamasa pemerintahan Orde Baru, dalam kurun waktu tak kurang dari tiga dekade, berjuta-juta orang diharuskan mengikuti Penataran P4. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan menghabiskan banyak dana untuk itu. Semua orang mengetahui bahwa hal-hal yang diajarkan dalam penataran adalah hal-hal yang sangat baik. Kalau para pengikut penataran melakukn apa yang dipelajari dan diketahuinya dari penataran maka di Indonesia sudah tidak ada korupsi, atau sekurang-kurangnya Indonesia akan termasuk negara yang korupsinya sangat kecil. Namun fakta menunjukkan bahwa selama tiga puluh tahun sampai dengan turunnya Presiden Suharto , korupsi makin lama justru makin berkembang. P4 adalah sebuh contoh dari suatu program yang sebenarnya dimaksudkan sebagai pendidikan, namun dilaksanan sebagai pelatihan, dan bahkan hanya sebagai sebuah penataran.
MENGAPA PENDIDIKAN MENJADI PELATIHAN SAJA?
Banyak faktor yang terkait satu dengan yang lain yang menyebabkan kegiatan penddidikan di institusi pendidikan di Indonesia, dengan berjalannya waktu, telah secara berangsur-angsur berubah menjadi kegiatan yang lebih merupakan pelatihan. Faktor-faktor tersebut ada yang berada pada tataran operasional pendidikan, khususnya melekat pada pengajar atau guru dan pengelola institusi pendidikan, serta ada juga yang bersumber pada kebijakan yang bersifat nasional.
Pengajar Tidak Mengetahui atau Mengenali Perbedaan Antara Pendidikan Dan Pelatihan.
Nampaknya banyak diantara pengajar atau guru yang tidak mengetahui atau mengenali perbedaan antara pendidikan dan pelatihan. Dalam banyak kesempatan ketika isu pendidikan versus pelatihan ini saya kemukakan, pertanyaan yang hampir selalu diajukan adalah mengenai perbedaannya. Apabila perbedaan ini tidak diketahui atau dikenali, maka akan banyak diantara para pengajar yang kegiatannya hanya melakukan pelatihan lalu merasa bahwa mereka sudah melakukan pendidikan. Para pengajar ini mungkin saja telah bekerja keras menyiapkan bahan pelajaran, dan berusaha keras untuk mengalihkan atau ’memasukkan’ pengetahuannya kepada peserta didik untuk memenuhi target ’pendidikan’. Di samping itu, apabila perbedaan antara pendidikan dan pelatihan tidak diketahui, para pengajar yang sebenarnya punya potensi yang sangat besar untuk menjadi pendidik yang baik lalu tidak mengembangkan potensinya, karena mereka merasa bahwa tugas-tugas mereka sebagai pendidik telah mereka selesaikan dengan baik dengan cara yang sudah dilakukannya.
Pengajar Merasa bahwa Tugas Mereka Hanya Mengalihkan Pengetahuan atau Keahlian.
Ada juga pengajar di perguruan tinggi yang sepenuhnya menyadari bahwa proses pendidikan hendaknya membantu peserta didik mengembangkan karakter atau jati diri mereka. Namun mereka dengan jelas mengatakan bahwa itu bukan tugas mereka, itu tugas orang lain, apakah itu orang tua atau siapa saja. Pokoknya bukan tugas seorang dosen di perguruan tinggi. Di sebuah institut teknologi pernah ada diskusi hangat diantara para dosennnya, melalui mailing list , mengenai ’siapa’ sebenarnya dosen itu. Apakah dia seorang guru atau seorang engineer atau scientist? Sebagian mengatakan bahwa seorang dosen, di samping dia sebagai seorang engineer atau sciencetist, dia sehasusnya juga seorang guru; sedangkan sebagaian lagi mengatakan bahwa yang penting adalah dia seorang engineer atau sciencetist yang baik atau sangat baik dalam bidangnya. Bagaimana dia mengajar para mahasiswanya, itu bukan hal penting. Kemudian ditambahkan lagi bahwa banyak ilmuwan atau engineer yang baik di beberapa perguruan tinggi terkenal di luarnegeri tidak begitu bagus dalam mengajar.
Kalau banyak pengajar berada pada kelompok kedua, maka menjadi mudah dimengerti mengapa di perguruan tinggi ini banyak orang mengeluh tentang buruknya ’soft skill’ dari para lulusannya. ’Soft skill’, seperti kemampuan memimpim, bekerja dalam tim, kerelaan berbagi, kemampuan menghargai perbedaan, lebih sering mencerminkan karakter seseorang daripada kompetensi teknisnya. Kalau iklim dan proses pendidikan tidak memberikan ruang cukup banyak untuk atau bahkan mengabaikan pengembangan karakter, maka lembaga pendidikan akan lebih banyak melakukan pelatihan daripada pendidikan.
Pengajar Tidak Dipersiapkan Atau Menyiapkan Diri Berperan Sebagai Pendidik.
Di perguruan tinggi khususnya, kebanyakan para staf pengajar direkrut atas dasar prestasi akademik mereka, dengan asumsi bahwa mereka yang punya prestasi akademik yang baik, dengan sendirinya akan menjadi pendidik yang baik. Sayangnya, asumsi ini sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak sedikit staf pengajar, tetap hanya menjadi ilmuwan, dan tidak dapat dengan baik menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Mereka mungkin memahami substansi keahliannya dengan baik atau bahkan sangat baik, namun kurang berminat atau kurang mampu mengembangkan suasana atau iklim serta proses belajar yang membantu, mendorong atau menggugah bagi para mahasiswa untuk mengembangkan potensi diri mereka secara optimal dengan memakai bahan pelajaran sebagai salah satu media.
Ada yang berpendapat bahwa untuk menjadi pendidik seseorang perlu diberi pelatihan cara-cara mengajar yang baik. Memang belajar cara mengajar yang baik ada gunanya, namun untuk menjalankan peran sebagai pendidik diperlukan banyak hal beyond teknik mengajar. Agar dapat menjalankan peran sebagai pendidik seseorang memerlukan persepsi peran yang tepat (right role perception), dan sejumlah model-mental ( a set of mental models). Ini berkaitan dengan bagaimana seorang pengajar melihat perannya (instruktur, fasilitator, sumber pengetahuan, mitra belajar, mentor, atau enabler) dan bagaimana ’konsep’ yang dia pegang mengenai pendidikan, siswa atau mahasiswa, sekolah, dan proses pendidikan. Persepsi mengenai peran dan model-mental ini sangat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seorang pengajar dalam hubungannya dengan mahasiswa, dalam hubungannya dengan bidang keahliannya, dalam hubungannya dengan pengajar yang lain, dalam ubungannya dengan para ahli dari disiplin ilmu yang berbeda, dan dalam hubungannya dengan masyarakat luas.
Saya tidak bermaksud menganjurkan semua orang yang mau menjadi staf pengajar untuk mengambil pelatihan cara mengajar dan memfasilitasi proses belajar mengajar. Hal yang penting adalah seorang ilmuwan jangan sampai menyia-nyiakan potensinya sebagai pendidik yang baik. Kalau hal ini terjadi, maka proses degradasi kegiatan pendidikan menjadi sebuah pelatihan akan terus berlangsung.
Pengelola Melihat Lembaga Pendidikan Sebagai Sebuah Mesin atau Pabrik
Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid atau mahasiswa dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang bernama guru yang bekerja menurut sebuah program produksi yang namanya kurikulum. Out-put dari pabrik ini adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah NEM atau Indek Prestasi. . Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa di sekolah-sekolah berkembang suasana belajar yang sangat mekanistik, formal, dingin, kaku, birokratik, output oriented dan kurang manusiawi.
Salah satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa pihak adalah melihat siswa atau mahasiswa sebagai dereten gelas kosong yang harus diisi oleh para guru atau dosen dengan isi yang sama, diisi dengan cara yang sama pula. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kecenderungan untuk penyeragaman di sekolah. Keseragaman menjadi sebuah dogma baru, dan toleransi terhadap perbedaan makin lama makin menyempit. Bahkan ukuran keberhasilan atau keunggulanpun menjadi seragam.Ujian Nasional misalnya, oleh banyak praktisis dan ahli pendidikan dilihat sebagai manifestasi dari kecenderungan kuat untuk penyeragaman ini. Di samping itu, cara pandang gelas kosong ini menyebabkan para guru sibuk mencari cara untuk mengisinya secepat mungkin, atau mereka akan ditegur oleh pengawas apabila tidak bisa mengisi secepat mungkin atau tidak sesuai target. Akibatnya, interaksi yang lebih bersifat manusiawi yang sangat diperlukan dalam proses pendidikan menjadi terpinggirkan.
Tema Kebijakan yang Menyempitkan Makna Pendidikan.
Kebijakan yang diperkenalkan liwat jargon-jargon tertentu, seperti link and match, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi misalnya, tanpa disadari pada tingkat pelaksanaan telah menyempitkan atau meredusir makna pendidikan. Mungkin saja konsep awalnya luas, namun karena komunikasi kebijakan biasanya tidak mudah, penyempitan arti tersebut mudah terjadi.
Jargon link and match misalnya cenderung diartikan bahwa fokus pendidikan adalah menyediakan tenaga kerja yang siap pakai untuk memenuhi pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan lalu lebih banyak untuk mengembangkan keterampilan untuk industri, karena Indonesia ketika itu sedang mulai melaksanakan kebijakan industrialisasi. Akibatnya, dimensi yang non-keterampilan dari pendidikan seperti pengembangan kesadaran baru tentang masa depan bersama, membangun keyakinan, pengembangan kepekaaan sosial, yang merupakan transformasi mentalitas kemudian cenderung dinomor-duakan. Demikian juga halnya dengan istilah kurikulum berbasis kompetensi. Pada tingkat praktek tetap saja ada kecenderungan untuk mengidentikkan kompetensi dengan keterampilan atau skill, walaupun diperluas dengan istilah ketearmpilan untuk hidup (life skill). Akibatnya akan sangat besar kemungkinan untuk melupakan perspektif pendidikan yang lebih luas dan dalam, seperti pendidikan untuk pengembangan kebudayaan, pendidikan untuk membangun bangsa dan membangun karakter bangsa.
Kebijakan dan Praktek Evaluasi yang Mereduksi Arti Pendidikan.
Dalam UU Sisdiknas, pendidikan didifinisikan secara luas: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar, proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, achlak mulia, serta keterampilan dyang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. [3]. Namun dalam praktek evaluasi hasil pendidikan, yang dinilai hanya aspek yang sangat kecil dari aspek pendidikan. Misalnya, dalam penilaian melalui Ujian Nasional yang sampai saat ini masih kontroversial terkesan bahwa hasil pendidikan ditentukan hanya dengan nilai ujian pada tiga mata pelajaran yaitu Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Indonesia .Tidak bisa dihindari cara menilai seperti ini memberi kesan nahwa hanya tiga mata pelajaran tersebut yang penting, dan yang lainnya kurang penting. Kalau demikian halnya, akan tidak mengherankan sekolah-sekolah akan menjelma menjadi semacam bimbingan test untuk tiga jenis pelajaran tersebut. ’Perusahaan’ bimbingan test yang sangat diminati oleh para siswa sekolah adalah hasil ikutan dari lembaga pendidikan yang sudah berubah menjadi lembaga pelatihan.
Cara penilain hasil pendidikan yang hanya menilai aspek pengetahuan dan keterampilan saja -hasil dari learning to know dan learning to do- dan mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan karakter (hasil dari learning to be ) akan dengan mudah menarik lembaga pendidikan menjadi hanya sebagai penyelenggara pelatihan.
Ada perguruan tinggi yang memberi bobot sangat besar pada waktu studi rata-rata mahasiswa sebagai ukuran keberhasilan program pendidikan. Para mahasiswa mendapat kesan, bahwa yang terpenting adalah belajar agar cepat lulus. Ironisnya, pada saat yang sama di perguruan tinggi tersebut orang-orang mengeluh karena lulusannya tidak begitu bagus dalam ’soft skill’ atau ’social skill’ dan sering tersisih dari lulusan perguruan tinggi lain dalam merebut pekerjaan bukan karena kompetensi teknisnya ( yang antara lain ditunjukkan oleh Indek Prestasi), namun karena sikapnya yang cenderung asosial. Seorang dokter, yang dua orang puterinya kuliah di perguruan tinggi tersebut dan memperoleh IP yang sangat bagus bahkan menyatakan bahwa menurut putrinya, tekanan yang terlalu besar pada mahasiswa agar lulus dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan berkompetisi secara ketat telah membuat banyak teman-temannya menjadi sangat egois, kurang peduli lingkungan, dan tak punya empati atau mau menang atau enak sendiri. Jadi di sini ada risiko sebuah perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang dari segi keahllian teknis sangat baik , namun secara sosial ’terkebelakang’. Dari kelompok seperti ini ada kemungkinan akan ada lulusannya kelak menjadi koruptor yang cerdas atau pebisnis tanpa tanggung jawab sosial.
Di pihak lain, ada perguruan tinggi yang pada waktu hari wisuda memberikan penghargaan pada lulusan yang meraih prestasi akademik sangat baik, dan pada saat yang sama juga memberikan penghargaan kepada para lulusan yang selama menjadi mahasiswa banyak melakukan pelayanan kepada masyarakat atau pengabdian kepada masyarakat. Dengan cara seperti ini, pimpinan perguruan tinggi ingin menunjukkan bahwa lulusannya hendaknya menjadi orang yang cerdas dan pada saat yang sama menjadi orang yang berguna dan mengabdi pada masyarakat.
Bukan maksud tulisn ini untuk menyatakan bahwa lulus tepat waktu atau punya Indek Prestasi yang baik itu tidak penting. Di sini ingin ditunjukkan bahwa faktor-faktor yang dipakai untuk mengukur atau cara mengukur keberhasilan pendidikan akan berpengaruh terhadap kuatnya kecenderungan suatu lembaga pendidikan untuk berubah menjadi hanya sebuah lembaga pelatihan.
APA YANG PERLU DILAKUKAN
Masalah pendidikan di Indonesia adalah masalah sangat besar. Ini merupakan akumulasi masalah yang sudah berlangsung tidak kurang dari empat dekade. Ini adalah harga yang harus dibayar bangsa Indonesia sekarang ini karena selama kurun waktu yang sangat lama, bahkan pada saat negeri ini memiliki cukup banyak sumber nada, pendidikan tidak dijadikan prioritas dalam pembangunan bangsa. Membayangkan adanya solusi jalan pintas yang cepat untuk mengatasi masalah besar ini saya rasa tidak realistik. Karena invesatasi dalam bidang pendidikan pada dasarnya adalah investasi jangka panjang, dalam arti dampak perbaikannya baru akan terasa dan terlihat sesudah kurun waktu cukup lama. Namun demikian ada beberapa hal yang sangat mendasar yang perlu dilakukan sebagai landasan perbaikan jangka panjang, khususnya untuk mencegah kecenderungan lembaga pendidikan menjadi hanya sebagai lembaga pelatihan, dan apabila dimungkinkan, membalikkan kecenderungan tersebut.
Investasi pada Peningkatan Mutu Para Guru.
Tidak ada pendidkan yang bermutu tanpa guru yang bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Mengharapkan perbaikan mutu pendidikan tanpa perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok warga negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi ( baik dari manfaat sosial maupun manfaat ekonomik), dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya. Dari pengalaman bekerja sama dan berinteraksi dengan ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun terakhir ini saya berani menyatakan bahwa secara umum para guru dan kepala sekolah pada tingkat SMU dan SLTP , bekal mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua bidang yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik yang baik di awal abad 21 ini. Secara umum bekal mereka sangat terbatas dalam pengetahuan substansial, dalam pengetahuan kontekstual, dalam pengembangan proses-proses belajar baru, dan dalam menciptakan suasana belajar baru. Sekarang ini, guru-guru dan kepala sekolah kita masih merupakan kelompok masyarakat yang terisolasi dari perkembangan pengetahuan, metoda serta paradigma pendidikan yang baru. Hal ini terjadi bukan karena kemauan mereka, namun merupakan akibat dari cara negara kita menangani pendidikan selama ini. Perbaikan mutu ini tidak ada hubungannya dengan sertifikasi guru. Ini adalah program yang mendorong, dan memudahkan para guru untuk terus menerus mengembangkan diri, tidak hanya dari segi komptensi teknis, namun dalam memperbaharui persepsi tentang peran mereka sebagai guru, dan memperbaharui mental-model agar sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan pendidikan pada abad 21 ini. Ini adalah pemberian kesempatan kepada para guru untuk meninggalkan persepsi peran dan model-mental lama yang sudah usang dan mengembangkan persepsi peran dan model mental baru .
Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain di Indonesia telah menyebabkan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru dan menjadikan profesi guru sebagai pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda yang masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah bersaing dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi tinggi. Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu guru di Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan masyarakat memberi hanya sedikit kepada para guru, mereka menuntut sangat banyak dan tuntutannnya makin meningkat, khususnya dalam hal mutu pendidikan. Kalau ada pihak yang tidak puas dengan mutu pendidikan, sering sekali yang dijadikan kambing hitam sebagai penyebab adalah para guru.
Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu para guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung tombak dan pelaku utama dalam peningkatan mutu pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan suasana birokratik serta feodalistik di lembaga-lembaga pendidikan yang mengekang mereka untuk mengeluarkan potensinya yang terbaik. Kesejahteraan guru memang issue besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan bagian yang tidak terpisah dari peningkatan mutu guru.
Meninjau Kembali secara Mendasar Ukuran Keberhasilan dalam Pendidikan.
Pada tingkat kebijakan nasional, dan pada tingkat operasional, pembuat kebijakan dan para pelaku, hendaknya berani mempertanyakan kembali ukuran-ukuran yang dipakai untuk menunjukkan bahwa pendidikan kita memang telah mencapai yang hasil-hasil yang diharapkan. Ukuran ini hendaknya secara sadar memasukan faktor-faktor yang lebih kualitatif, dan lebih memperhatikan dampak, di samping keluaran atau output. Apakah makin seringnya perkelahian atau bentrok fisik antara murid sekolah dan bentrok mahasiwa antar kampus, atau luasnya penyebaran pemakain narkoba di sekolah-sekoah atau kampus-kampus bisa memberi indikasi tentang keberhasilan pendidikan? Apakah tingkat pemakaian narkoba di kalangan siswa dan mahasiswa bisa dipakai untuk menunjukkan hasil pendidikan? Apakah makin banyaknya murid sekolah yang menerima penghargaan olimpiade dalam bidang sain saat ini merupakan indikator keberhasilan pendidikan atau pelatihan yang dilakukan secara intensif?
Ketepatan menetapkan ukuran keberhasilan ini sangat menentukan metoda atau sistem mengevalusi hasil-hasil pendidikan. Dari sini lalu akan mudah dilihat apakah Ujian Nasional dalam formatnya yang sekarang akan memajukan pendidikan bangsa atau justru berdampak sebaliknya. Pilihan ukuran keberhasilan yang tepat akan menghindarkan penghamburan keahlian dan tenaga para pelaku pendidikan, khususnya para pengajar yang jumlahnya mendekati tiga juta, selama berpuluh-piluh tahun seperti yang terjadi selama ini. Selama tidak kurang dari 30 puluh tahun, sekitar dua setengah juta guru di seluruh Indonesia bekerja keras dan hasilnya adalah generasi baru yang tidak bisa mematuhi rambu lalu lintas dan yang makin tidak toleran terhadap kebhinekaan.
Terus Menerus Menggugah Kesadaran: Tidak akan ada Indonesia Sejahtera dan Bermartabat tanpa Pendidikan yang Bermutu.
Sampai saat ini masih banyak orang berpegang pada pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa depan tumpuanaanya adalah sumber daya alam. Pandangan inilah yang menjadi penyebab utama dari kurangnya perhatian dan invesatasi pemerintah Indonesia dalam bidang peningkatan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan dan peningkatan kualitas governance di Indonesia. Selama anggapan seperti ini masih dijadikan acuan dalam pengembangan program pembangunan maka pengembangan pendidikan tidak akan menempati peran sentral, walaupun sudah diamanatkan bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen dari APBN. Sebab itu, usaha keras perlu dilakukan untuk menggugah kesadaran pra pembuat kebijakan dan masyarkat luas bahwa tidak akan ada Indonesia sejahtera dan bermartabat sekarang atau di masa depan tanpa pendidikan yang bermutu.
Bangsa Indonesia perlu secara sistematik membangun, mengembangkan dan menguatkan kesadaran bahwa sumber daya alam yang tak terbarukan seperti minyak, batubara, tembaga, mas dan bahan galian lainnya suatu hari akan habis. Sumberdaya alam ini sudah tidak bisa lagi dijadikan tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kalau pada saat itu Indonesia belum berhasil menciptakan tumpuan kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan, kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya, maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain, atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi ’negara jajahan’ di era moderen. Memang proses penjajahan kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu, namun dilakukan dengan cara-cara yang sangat elegan, seperti membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang baru yang lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta kebijakan-kebijakan pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral generasi sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan buruk seperti itu.
Usaha untuk menyadarkan tentang bahaya besar di masa depan kalau bangsa Indonesia tidak melakukn pembangunan, pengembangan dan perbaikan dalam bidang pendidikan perlu dilakukan terus menerus agar para pembuat kebijakan dan pembuatan keputusan di lembaga-lembaga pemerintahan memahami dan melihat sejelas-jelasnya bahwa pembangunan, pengembangan dan perbaikan pendidikan di Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak, tidak bisa ditunda, dan mereka serta setiap pelaku yang terkait harus melakukan sesuatu sekarang, bukan nanti.
CATATAN PENUTUP
Risalah ini tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa usaha-usaha perbaikan pendidikan yang selama ini sudah dilakukan semuanya sia-sia. Sudah barang tentu, ada hasil yang sudah dicapai. Tulisan ini adalah sebuah ajakan bagi para pembuat kebijakan dan pelaku pendidikan , dan mereka yang punya pengaruh untuk mengubah keadaan, untuk mawas diri, untuk melihat apakah usaha-usaha yang telah dilakukan, dana yang sudah dikeluarkan, kerja keras para pelaku selama ini sudah menuju arah yang benar.
Kejelasan dan ketepatan arah ini menjadi sangat penting. Kalau hal ini tidak ada maka bukan tidak mungkin sekitar tiga juta guru serta dosen di Indosesia bekerja keras beramai-ramai ‘memanjat pohon yang salah’ atau ‘doing the wrong thing right’ . Kalau hal itu terjadi, maka sumberdaya pendidikan yang sampai saat ini jumlahnya sangat terbatas, bukan dimanfaatkan secara optimal, namun malah dibuang-buang atau disia-siakan.
EPILOG
Keberuntungan itu bentuknya bermacam-macam Saya merasa beruntung, karena dalam hidup ini saya bertemu dan punya kesempatan belajar dari banyak guru yang saya hormati. Tanpa mereka, saya tidak sampai di sini. Ada guru yang menjadi sumber pengetahuan. Guru seperti itu banyak di sekitar kita. Ada guru yang tidak hanya memberi pengetahuan namun juga kearifan dan menggugah kita untuk mengembangkan kedua hal itu. Guru seperti ini sangat sedikit. Bagi saya Prof Moedomo almarhum adalah salah seorang guru dari kelompok yang sedikit ini.
REFERENSI
[1] Gede Raka, Lanny Hardi, dan Nana Sumpena, Creativity Development for Improving the Quality of Life and the Environment, Bandung 5 Agustus 1997, Risalah disampaikan pada International Forum for Future Study, di Melbourne, tanggal 10 Agustus 1997.
[2] ………., Depag, Lembaga Paling Korup, Harian Umum Pikiran Rakyat, 18 Oktober 2006.
[3] ………., Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia, 2003.