Perjalanan manusia tak pernah luput dari pengaruh musik. Begitu besarnya pengaruh paduan nada-nada tersebut membuat dunia ini seakan terasa begitu sepi tanpa ada suara musik yang terdengar. Musik dapat memberi perubahan dalam diri individu manusia, bahkan dapat membentuk karakter manusia, sejak manusia itu masih dalam rahim ibunya. Musik, dengan segala efeknya – baik efek positif maupun negatif, takkan pernah dapat kita hindari.
Musik adalah bagian dari seni yang tertua, bersama seni rupa. Manusia purba telah mengenal musik sebelum mereka mengenal huruf. Mereka mengenalnya sebagai bunyi-bunyian hasil pukulan atau gesekan dari berbagai benda, yang akan membentuk sebuah harmoni bila dimainkan secara bersamaan. Kegunaan musik pada saat itu lebih kepada sesuatu upacara atau seremoni, tidak untuk didengarkan setiap saat seperti sekarang ini.
Kini kita semua mendengar musik, baik secara langsung maupun tidak… Setiap hari,,,. Hampir setiap saat. Begitu dahsyatnya bunyi-bunyi bernada itu. Bayangkan, siapa kira musik dapat menggalang perdamaian dunia… atau bahkan menyulut amarah manusia untuk saling menyakiti, atau bahkan menyakiti diri sendiri.
Yang namanya seni tentu adalah segala curahan isi hati dan pikiran. Karena itu seni musik pun memiliki emosi tersendiri. Namun dalam perkembangannya, seperti cabang seni yang lain, musik sebagai karya seni pun akhirnya menjadi sebuah industri.
Kita mengenal musik dengan berbagai macam jenis. Ada blues, pop, rock, jazz, disko, punk, new wave, post punk, heavy metal, speed metal, trash metal, hardcore, punk hardcore, grunge, garage rock, ambience, trance, dan lain sebagainya yang sering bikin kita pusing dalam mengklasifikasikan musik. Semua itu adalah hasil karya para pelaku industri. Dan wartawan sebagai salah satu alat promosinya. Kalau saya boleh berpendapat, secara pribadi saya menilai pop bukanlah jenis musik. Jenis musik pada dasarnya cuma ada blues dan rock.
Sisanya semua hanya pengembangan dari keduanya saja, bahkan disko sekalipun. Sedangkan pop? Pop berasal dari kata popular. Semua lagu yang ear candy (mudah dicerna) akan berpeluang besar untuk disukai orang banyak. Dari situlah asal muasal pop disebut sebagai jenis musik.
Dalam industri globalnya, musik selalu berkaitan dengan trend. Baik itu trend dari segi musik itu sendiri, maupun fashion. Musik dan fashion memang selalu berdampingan.
Kita dapat menilai sebuah grup band atau musisi/penyanyi dari fashionnya. Bila kita membicarakan musik punk dan heavy metal, maka t-shirt dan celana jeans lusuh – bahkan sobek – adalah yang umum dipakai. Lain halnya bila membicarakan musik new wave, sebuah genre musik yang muncul para masa ‘80an, dan kini digemari lagi. Umumnya mereka para pengusung dan penggemar jenis musik ini bergaya lebih perlente, dengan stelan jas rapih, dan tatanan rambut yang rapih pula.
Mempertanyakan pengaruh fashion dengan musik sama halnya dengan mempertanyakan duluan mana, telur ayam dengan ayam. Trend fashion dan musik mengalami sebuah siklus yang akan berputar-putar selalu. Hanya dalam perputarannya, pasti mengalami modifikasi. Anak metal jaman sekarang tidak sama dengan anak metal era ‘90an. Anak metal sekarang terkesan jauh lebih bersih ketimbang masa lalu. Hampir semua genre rock mengalami peleburan dalam segi fashion dan musiknya.
Kita takkan bisa membayangkan pada era ’80-90an, bagaimana bila sebuah grup rock dengan rambut panjangnya dan musiknya yang hingar bingar namun dalam penampilannya yang rapih dengan stelan jas. Namun kini hal itu sudah seperti lumrah saja. Atau bagaimana sebuah musik rock cadas disatukan dengan dentuman beat dance dari sebuah vinyl perangkat DJ, yang pada era ’70-90an menjadi ikon musik dance/disko. Namun kini? Semua telah menyatu.
Semua peleburan jenis musik dan fashion para musisinya – menurut saya – timbul sejak ada sebuah istilah ‘alternatif’ dalam cabang musik, pada dekade ‘90an. Alternatif telah mengubah segala perspektif kita semua dalam menilai sebuah musik dan fashion musisinya. Di satu sisi, alternatif ‘menyelamatkan’ kita dari kepusingan dalam pengklasifikasian jenis musik tadi.
Namun di sisi lain seakan menjadi ‘pembelaan diri’ para musisi yang ‘bingung’ dengan diri mereka sendiri. Seperti yang umum terjadi di negara kita. Banyak sekali kita jumpai dalam industri musik kita, sebuah band yang bergaya bak rocker cadas, dengan rambut spike dan segala akesesoris di seluruh tubuhnya, bahkan tak jarang dengan piercing di daerah sekitar wajah dan tattoo di tubuhnya, namun musiknya menye-menye, dengan lirik melankolis – cenderung cengeng – plus videoklip mereka yang klise sekali. Adegan putus cinta, seorang gadis cantik menangis, bla bla bla.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bila sesuatu telah menjadi sebuah industri, maka nilai seninya akan tidak murni lagi. Mungkin pendapat itu benar, namun kita juga jangan lantas senaif itu menilai sebuah karya seni di dalam sebuah industri. Mungkin yang terjadi sebenarnya dalam industri adalah sebuah penyesuaian. Bagaimana musik – dengan segala idealisme sang seniman – harus berkompromi dengan selera umum para pendengarnya. Karena, bagaimana pun juga, kita bermusik untuk didengarkan orang lain juga. Bukan hanya untuk kita.
Mungkin penyesuaian itu tadi yang membuat munculnya banyak band sangar dengan lagu mendayu-dayu dalam industri kita, dengan ‘kuping melayu’nya. Walaupun sebenarnya saya kurang setuju dengan langkah para musisi yang ‘menyerah’ dengan keadaan, sehingga rela menjatuhkan esensi karyanya demi mendapatkan peluang berindustri. Menurut saya seharusnya industrilah yang seharusnya mencari cara bagaimana sebuah karya seni – dengan segala idealisme dan tetek bengeknya – dapat dijual.
Berindustri pun memiliki seni tersendiri. Bagaimana cara mereka – pelaku bisnis – menjadikan sesuatu produk memiliki nilai jual… itu adalah seni! Yang salah dalam industri musik – bukan di negara kita saja, tapi di seluruh dunia – menurut saya adalah segala kelatahannya. Bila sekarang sedang digemari jenis ini, maka akan bermunculan artis-artis ‘serupa tapi tak sama’ dalam industrinya. Hal itu akan rentan mematikan kreatifitas musisi lainnya yang ‘sedang tidak digemari’. Buruknya, menimbulkan sinisme di kalangan musisi yang kurang publikasi.
Namun yang umumnya terjadi adalah akan muncul dua jenis sikap dari si musisi. Mereka bisa jadi menjadi golongan musisi yang ‘menyerah’ – seperti yang dijelaskan tadi – atau justru memacu mereka untuk ‘memerangi’ industri global dengan melakukan gerakan militan dalam memperkenalkan karya mereka. Itulah yang kita kenal sekarang ini dengan istilah ‘indie’. Indie berarti mandiri. Independent. Gerakan indie menganut paham ‘Do It Yourself’, yang mengatur segala hal dalam band dengan cara mereka sendiri. Istilah ‘indie’ telah ada di Amerika sejak dahulu sekali – di tahun ‘60an – dengan munculnya perusahaan-perusahaan rekaman kecil, yang kerap menghantui perusahaan-perusahaan besar. Hanya saja diIndonesia baru booming di era ‘90an, walaupun sebenarnya telah dimulai sejak tahun ‘70an. Pada saat itu istilahnya ‘underground’.
‘Indie’, ‘underground’, semua sama saja. Hanya beda istilah. Banyak – di negara kita – yang salah kaprah terhadap pengertian indie dan underground. Mereka menganggap kedua istilah tersebut adalah sebuah genre musik. Hal seperti itu yang sepertinya wajib untuk kita luruskan bersama.
Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi dan telekomunikasi sangat berpengaruh terhadap dunia musik di Indonesia, dan dunia. Kita kini dapat menyerap segala informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dengan sekali tekan pada tombol komputer kita. Itu luar biasa! Kita takkan pernah membayangkan, bagaimana sebuah band yang minor, tidak mainstreem, dapat dikenal bahkan melakukan sebuah pertunjukan solo atau tour di luar negeri! Melebihi prestasi sebuah band jutaan kopi di negara kita, yang selalu berangan-angan untuk go international. Itu hebat sekali! Dan hanya terjadi di masa kini. Di era digital.
Saya menyebut tahun 2007 adalah sebuah masa puncak kebangkitan musik Indonesia yang beragam jenis. Tak hanya yang kita kenal di permukaan saja. Bila sepanjang tahun ‘90an adalah momentum sebuah revolusi musik Indonesia yang banyak melahirkan musisi-musisi non-mainstreem, lalu tahun 2000-2006 adalah masa di mana proses musik Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya kembali, maka 2007 adalah puncak dari kebangkitan itu. Saya tidak menilainya dari satu atau dua jenis musik saja. Namun secara keseluruhan.
Berikut dengan industrinya. Walaupun dibayang-bayangi oleh makin maraknya pembajakan yang makin tak terkontrol.
Apa yang akan terjadi di tahun 2008? Bila boleh sok tahu, maka saya akan berpendapat bahwa pada 2008 nanti geliat musik Indonesia akan lebih dinamis lagi. Akan lebih banyak musisi baru dengan kualitas yang bagus dan beragam, yang tidak terlalu mempedulikan lagi akan penilaian pelaku bisnis musik, karena mereka telah mampu berdiri sendiri sesuai dengan kapasitas mereka, melakukan gerakan mereka dengan menggunakan perangkat internet sebagai media mereka ‘menjual’ diri mereka. Pemunculan perusahaan rekaman kecil yang membantu gerakan indie bisa jadi akan makin bermunculan. Tanpa kita tahu niat awal mereka memang tulus untuk ber-indie ria atau mengindustrikan indie. Namun itu tidaklah masalah, menurut saya, selama memang akan turut memajukan musik kita, mengapa tidak?
Perusahaan-perusahaan rekaman besar yang di tahun-tahun lalu makin tersudutkan oleh para pembajak akan menemukan solusinya dalam menjual produk mereka. Salah satunya mungkin dengan tidak menjual produk secara fisik. Mungkin dengan penjualan lagu secara digital seperti yang telah dimulai sejak tahun 2007 (seperti penjualan lagu untuk ringtone handphone selama ini, atau Radiohead dalam album terbarunya yang menjual lagu-lagu mereka di internet), atau dengan media lainnya, sehingga dengan sendirinya akan mematikan langkah para pembajak. Mungkin CD album yang ‘dijual secara gratis’ – seperti yang dilakukan oleh Koil, band asal Bandung, beberapa waktu lalu – bisa jadi alternatif langkah distribusi.
Bila berbicara genre, dalam musik global mungkin pembauran berbagai jenis musik akan terus dieksplor, baik oleh artis baru maupun lama. Yang pasti irama ballad, dan pengembangan dari sound vintage (lawas) masih akan tetap digemari. Lalu bagaimana dengan genre musik di Indonesia? Menurut saya, selama para pelaku bisnis rekaman kita masih latahan, akan masih banyak warna ‘serpa tapi tak sama’ tadi. Tinggal bagaimana kita secara individu saja nanti yang akan dapat menilai, apakah sebaiknya industri yang membentuk selera, atau selera yang membentuk industri?
sumber : http://www.kanalmusik.com/index.php?kat=5&ctn=190209114921&page=4&gpage=1
Baca Selengkapnya ..
Musik adalah bagian dari seni yang tertua, bersama seni rupa. Manusia purba telah mengenal musik sebelum mereka mengenal huruf. Mereka mengenalnya sebagai bunyi-bunyian hasil pukulan atau gesekan dari berbagai benda, yang akan membentuk sebuah harmoni bila dimainkan secara bersamaan. Kegunaan musik pada saat itu lebih kepada sesuatu upacara atau seremoni, tidak untuk didengarkan setiap saat seperti sekarang ini.
Kini kita semua mendengar musik, baik secara langsung maupun tidak… Setiap hari,,,. Hampir setiap saat. Begitu dahsyatnya bunyi-bunyi bernada itu. Bayangkan, siapa kira musik dapat menggalang perdamaian dunia… atau bahkan menyulut amarah manusia untuk saling menyakiti, atau bahkan menyakiti diri sendiri.
Yang namanya seni tentu adalah segala curahan isi hati dan pikiran. Karena itu seni musik pun memiliki emosi tersendiri. Namun dalam perkembangannya, seperti cabang seni yang lain, musik sebagai karya seni pun akhirnya menjadi sebuah industri.
Kita mengenal musik dengan berbagai macam jenis. Ada blues, pop, rock, jazz, disko, punk, new wave, post punk, heavy metal, speed metal, trash metal, hardcore, punk hardcore, grunge, garage rock, ambience, trance, dan lain sebagainya yang sering bikin kita pusing dalam mengklasifikasikan musik. Semua itu adalah hasil karya para pelaku industri. Dan wartawan sebagai salah satu alat promosinya. Kalau saya boleh berpendapat, secara pribadi saya menilai pop bukanlah jenis musik. Jenis musik pada dasarnya cuma ada blues dan rock.
Sisanya semua hanya pengembangan dari keduanya saja, bahkan disko sekalipun. Sedangkan pop? Pop berasal dari kata popular. Semua lagu yang ear candy (mudah dicerna) akan berpeluang besar untuk disukai orang banyak. Dari situlah asal muasal pop disebut sebagai jenis musik.
Dalam industri globalnya, musik selalu berkaitan dengan trend. Baik itu trend dari segi musik itu sendiri, maupun fashion. Musik dan fashion memang selalu berdampingan.
Kita dapat menilai sebuah grup band atau musisi/penyanyi dari fashionnya. Bila kita membicarakan musik punk dan heavy metal, maka t-shirt dan celana jeans lusuh – bahkan sobek – adalah yang umum dipakai. Lain halnya bila membicarakan musik new wave, sebuah genre musik yang muncul para masa ‘80an, dan kini digemari lagi. Umumnya mereka para pengusung dan penggemar jenis musik ini bergaya lebih perlente, dengan stelan jas rapih, dan tatanan rambut yang rapih pula.
Mempertanyakan pengaruh fashion dengan musik sama halnya dengan mempertanyakan duluan mana, telur ayam dengan ayam. Trend fashion dan musik mengalami sebuah siklus yang akan berputar-putar selalu. Hanya dalam perputarannya, pasti mengalami modifikasi. Anak metal jaman sekarang tidak sama dengan anak metal era ‘90an. Anak metal sekarang terkesan jauh lebih bersih ketimbang masa lalu. Hampir semua genre rock mengalami peleburan dalam segi fashion dan musiknya.
Kita takkan bisa membayangkan pada era ’80-90an, bagaimana bila sebuah grup rock dengan rambut panjangnya dan musiknya yang hingar bingar namun dalam penampilannya yang rapih dengan stelan jas. Namun kini hal itu sudah seperti lumrah saja. Atau bagaimana sebuah musik rock cadas disatukan dengan dentuman beat dance dari sebuah vinyl perangkat DJ, yang pada era ’70-90an menjadi ikon musik dance/disko. Namun kini? Semua telah menyatu.
Semua peleburan jenis musik dan fashion para musisinya – menurut saya – timbul sejak ada sebuah istilah ‘alternatif’ dalam cabang musik, pada dekade ‘90an. Alternatif telah mengubah segala perspektif kita semua dalam menilai sebuah musik dan fashion musisinya. Di satu sisi, alternatif ‘menyelamatkan’ kita dari kepusingan dalam pengklasifikasian jenis musik tadi.
Namun di sisi lain seakan menjadi ‘pembelaan diri’ para musisi yang ‘bingung’ dengan diri mereka sendiri. Seperti yang umum terjadi di negara kita. Banyak sekali kita jumpai dalam industri musik kita, sebuah band yang bergaya bak rocker cadas, dengan rambut spike dan segala akesesoris di seluruh tubuhnya, bahkan tak jarang dengan piercing di daerah sekitar wajah dan tattoo di tubuhnya, namun musiknya menye-menye, dengan lirik melankolis – cenderung cengeng – plus videoklip mereka yang klise sekali. Adegan putus cinta, seorang gadis cantik menangis, bla bla bla.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bila sesuatu telah menjadi sebuah industri, maka nilai seninya akan tidak murni lagi. Mungkin pendapat itu benar, namun kita juga jangan lantas senaif itu menilai sebuah karya seni di dalam sebuah industri. Mungkin yang terjadi sebenarnya dalam industri adalah sebuah penyesuaian. Bagaimana musik – dengan segala idealisme sang seniman – harus berkompromi dengan selera umum para pendengarnya. Karena, bagaimana pun juga, kita bermusik untuk didengarkan orang lain juga. Bukan hanya untuk kita.
Mungkin penyesuaian itu tadi yang membuat munculnya banyak band sangar dengan lagu mendayu-dayu dalam industri kita, dengan ‘kuping melayu’nya. Walaupun sebenarnya saya kurang setuju dengan langkah para musisi yang ‘menyerah’ dengan keadaan, sehingga rela menjatuhkan esensi karyanya demi mendapatkan peluang berindustri. Menurut saya seharusnya industrilah yang seharusnya mencari cara bagaimana sebuah karya seni – dengan segala idealisme dan tetek bengeknya – dapat dijual.
Berindustri pun memiliki seni tersendiri. Bagaimana cara mereka – pelaku bisnis – menjadikan sesuatu produk memiliki nilai jual… itu adalah seni! Yang salah dalam industri musik – bukan di negara kita saja, tapi di seluruh dunia – menurut saya adalah segala kelatahannya. Bila sekarang sedang digemari jenis ini, maka akan bermunculan artis-artis ‘serupa tapi tak sama’ dalam industrinya. Hal itu akan rentan mematikan kreatifitas musisi lainnya yang ‘sedang tidak digemari’. Buruknya, menimbulkan sinisme di kalangan musisi yang kurang publikasi.
Namun yang umumnya terjadi adalah akan muncul dua jenis sikap dari si musisi. Mereka bisa jadi menjadi golongan musisi yang ‘menyerah’ – seperti yang dijelaskan tadi – atau justru memacu mereka untuk ‘memerangi’ industri global dengan melakukan gerakan militan dalam memperkenalkan karya mereka. Itulah yang kita kenal sekarang ini dengan istilah ‘indie’. Indie berarti mandiri. Independent. Gerakan indie menganut paham ‘Do It Yourself’, yang mengatur segala hal dalam band dengan cara mereka sendiri. Istilah ‘indie’ telah ada di Amerika sejak dahulu sekali – di tahun ‘60an – dengan munculnya perusahaan-perusahaan rekaman kecil, yang kerap menghantui perusahaan-perusahaan besar. Hanya saja diIndonesia baru booming di era ‘90an, walaupun sebenarnya telah dimulai sejak tahun ‘70an. Pada saat itu istilahnya ‘underground’.
‘Indie’, ‘underground’, semua sama saja. Hanya beda istilah. Banyak – di negara kita – yang salah kaprah terhadap pengertian indie dan underground. Mereka menganggap kedua istilah tersebut adalah sebuah genre musik. Hal seperti itu yang sepertinya wajib untuk kita luruskan bersama.
Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi dan telekomunikasi sangat berpengaruh terhadap dunia musik di Indonesia, dan dunia. Kita kini dapat menyerap segala informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dengan sekali tekan pada tombol komputer kita. Itu luar biasa! Kita takkan pernah membayangkan, bagaimana sebuah band yang minor, tidak mainstreem, dapat dikenal bahkan melakukan sebuah pertunjukan solo atau tour di luar negeri! Melebihi prestasi sebuah band jutaan kopi di negara kita, yang selalu berangan-angan untuk go international. Itu hebat sekali! Dan hanya terjadi di masa kini. Di era digital.
Saya menyebut tahun 2007 adalah sebuah masa puncak kebangkitan musik Indonesia yang beragam jenis. Tak hanya yang kita kenal di permukaan saja. Bila sepanjang tahun ‘90an adalah momentum sebuah revolusi musik Indonesia yang banyak melahirkan musisi-musisi non-mainstreem, lalu tahun 2000-2006 adalah masa di mana proses musik Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya kembali, maka 2007 adalah puncak dari kebangkitan itu. Saya tidak menilainya dari satu atau dua jenis musik saja. Namun secara keseluruhan.
Berikut dengan industrinya. Walaupun dibayang-bayangi oleh makin maraknya pembajakan yang makin tak terkontrol.
Apa yang akan terjadi di tahun 2008? Bila boleh sok tahu, maka saya akan berpendapat bahwa pada 2008 nanti geliat musik Indonesia akan lebih dinamis lagi. Akan lebih banyak musisi baru dengan kualitas yang bagus dan beragam, yang tidak terlalu mempedulikan lagi akan penilaian pelaku bisnis musik, karena mereka telah mampu berdiri sendiri sesuai dengan kapasitas mereka, melakukan gerakan mereka dengan menggunakan perangkat internet sebagai media mereka ‘menjual’ diri mereka. Pemunculan perusahaan rekaman kecil yang membantu gerakan indie bisa jadi akan makin bermunculan. Tanpa kita tahu niat awal mereka memang tulus untuk ber-indie ria atau mengindustrikan indie. Namun itu tidaklah masalah, menurut saya, selama memang akan turut memajukan musik kita, mengapa tidak?
Perusahaan-perusahaan rekaman besar yang di tahun-tahun lalu makin tersudutkan oleh para pembajak akan menemukan solusinya dalam menjual produk mereka. Salah satunya mungkin dengan tidak menjual produk secara fisik. Mungkin dengan penjualan lagu secara digital seperti yang telah dimulai sejak tahun 2007 (seperti penjualan lagu untuk ringtone handphone selama ini, atau Radiohead dalam album terbarunya yang menjual lagu-lagu mereka di internet), atau dengan media lainnya, sehingga dengan sendirinya akan mematikan langkah para pembajak. Mungkin CD album yang ‘dijual secara gratis’ – seperti yang dilakukan oleh Koil, band asal Bandung, beberapa waktu lalu – bisa jadi alternatif langkah distribusi.
Bila berbicara genre, dalam musik global mungkin pembauran berbagai jenis musik akan terus dieksplor, baik oleh artis baru maupun lama. Yang pasti irama ballad, dan pengembangan dari sound vintage (lawas) masih akan tetap digemari. Lalu bagaimana dengan genre musik di Indonesia? Menurut saya, selama para pelaku bisnis rekaman kita masih latahan, akan masih banyak warna ‘serpa tapi tak sama’ tadi. Tinggal bagaimana kita secara individu saja nanti yang akan dapat menilai, apakah sebaiknya industri yang membentuk selera, atau selera yang membentuk industri?
sumber : http://www.kanalmusik.com/index.php?kat=5&ctn=190209114921&page=4&gpage=1