Sastrawan, Karya, dan Banalitas Rezim Orba
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*
Pembacaan secara kritis terhadap teks sastra pada dekade terakhir ini, dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer, boleh dikatakan mengalami kesurutan, bahkan telah kehilangan spiritnya. Kendati disadari, kesurutan tersebut tidak lantas membuat sastra Indonesia juga turut mewarnai fenomena stagnasi pembacaan dan pengembangan nilai esensial karya sastra. Berbagai fenomena yang mendukung terhadap realitas perkembangan sastra itu, bagi penulis belum sepenuhnya mewakili kepekaan para sastrawan maupun pemerhati sastra untuk mengedepankan aspek imajinatif-normatif dalam pengembangan sastranya.
Dalam konteks ini, jejak-jejak petualangan sastrawan dalam tatanan universal tidak lepas dari sejarah kelam bangsanya. Kepekaan para sastrawan dalam melahirkan karya sastra, sangat dinantikan oleh pembaca setia yang apresiatif terhadap karya-karya yang membingkas kesan kritik sosial terhadap penguasa. Di sinilah, letak akuntabilitas sastrawan sebagai generasi yang bergelut dengan refleksi alam dan hati nurani yang paling dalam.
Akuntabilitas sastrawan dalam membangun totalitas hasil karya, setidaknya bisa memberikan pesan moral yang menggugah bagi naluri dan instuisi jiwa kita. Cita-cita ideal yang diusung oleh sastrawan, sebisa mungkin menjauhkan diri dari impian parsial yang bersifat pragmatis. Lebih-lebih, bila mendambakan popularitas an-sich dan instan. Menghindari hal yang bermuatan pragmatis, berarti berupaya menyelamatkan citra yang sedang digelutinya. Citra itu, berfungsi untuk melakukan kontrol sosial (social control) terhadap kebijakan penguasa, bukan sebaliknya memendam aspirasi dan realitas yang sebenarnya.
Kontrol sosial (social control) yang diemban sastrawan, pada perkembangannya, memuncul pertentangan yang cukup sengit dari penguasa. Sebut saja, pembredelan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap karya-karya fenomenal sang sastrawan. Karya-karya mereka sebagian besar dibredel dan tidak diperkenankan dipublikasikan ke khalayak ramai. Sastrawan yang pernah merasakan nabalitas rezim Orde Baru, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Hamka, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismael dan sastrawan senior lainnya.
Pada titik inilah, Fauzan (2002: 147) dalam "Mengubur Peradaban; Politik Pelarangan Buku di Indonesia", memberikan keyakinan bahwa pelarangan terhadap karya sastra sesuai dengan kepentingan "penguasa sastra" di satu pihak, dan "penguasa politik" di pihak lain. "Penguasa sastra" tentu berkepentingan menjaga sastra dari "kontaminasi politik", sementara "penguasa politik" berkepentingan menjaga stabilitas dengan mencegah "unsur subversitas" masuk melalui bidang sastra.
Persoalan pelarangan karya sastra, juga tidak lepas dari unsur politik kepentingan (politic of interest) penguasa yang berambisi memporak-porandakan genre sastra di mata pembacanya.Tidak hanya itu, persoalan asal usul dan posisi penulis dalam masyarakat menjadi pertimbangan yang penting, jika sebuah karya tidak dapat dibuktikan "bahaya" dari segi isinya. Itulah sebabnya, isi sebuah karya merupakan faktor dominan tercetusnya ide pelarangan buku "bermuatan ideologis" yang bertelikungan dengan penguasa.
Namun demikian, Ajip Rosidi, sebagaimana dikutip Arif Budiman (Kompas, 11/5/1971), menulis bahwa pelarangan itu, dikenakan bukan semata-mata terhadap buku yang isinnya dianggap dapat merongrong kewibawaan pemerintah dalam menjaga keamanan bangsa dan negara, melainkan siapa pengarangnya. Maka, pada tahun 1964, "manifes kebudayaan" dan "buah tangan pengarang" secara transparan dilarang. Jadi, yang dinyatakan dilarang bukan buku, melainkan pengarangnya. Tak peduli, apa isi buah tangannya.
Banalitas pada masa Orde Baru, tidak hanya sebatas larangan menerbitkan buku, melainkan juga memasukkan para sastrawan tersebut ke tirani besi. Atas tuduhan mencerminkan nama baik, anasir perlawanan lewat kata-kata, penghinaan sepihak, dan membuat suasana tidak kondusif, rezim Orde Baru secara bengis menjegal kehadiran karya-karya para sastrawan untuk dipublikasikan. Pada saat itulah, terbitlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur pelarangan buku bertebaran tanpa kontrol pemerintah. Pasal 154 KUHP misalnya, berbunyi; "Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebenciaan, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, maka maka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuan tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta".
Bersamaan dengan terbitnya KUHP, maka gerak-gerik para sastrawan, seniman, budayawan, penyair, dan mahasiswa selalu dibayang-bayangi oleh ketatnya pengawasan intelegen negara. Akibatnya, karya-karya fenemonal dan menakjubkan dari mereka tidak bisa dinikmati oleh pembaca setia. Sebuah fenomena yang tidak pantas dijadikan pelajaran bagi pemerintahan Orde Baru yang berani mencegah pengembangan karya masyarakatnya melalui bentuk tulisan dan pidato-pidato yang disampaikan dalam seminar maupun kongres kebudayaan. Alasan yang paling mendasar terkait karya yang bersifat dekontruktif, menurut pandangan penguasa pada waktu itu, adalah faktor stabilitas dan hegemoni penguasa.
Dengan kehadiran buku-buku tersebut, mereka beranggapan bahwa masyarakat akan menuntut dan memaksa penguasa Orde Baru untuk meletakkan jabatannya. Sebab, karya yang dilahirkan oleh beberapa sastrawan maupun penyair terkenal, memuat fakta sejarah tentang hiruk pikuk kondisi perpolitikan Indonesia. Semuanya dapat terekam secara lugas dan mudah dicerna walaupun karya yang dihasilkan bersifat fiktif dan imajinatif.
Dari sinilah kita bisa mengetahui, tentang banalitas penguasa Orde Baru yang bertindak semena-mena terhadap karya sastrawan kita. Contoh karya sastra yang memuat fakta sejarah, dapat kita baca melalui tulisan Pramoedya Ananta Toer yang begitu mendetail memasukkan kejadian-kejadian penting menyangkut potret perjalanan bangsa menuju sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Diantara karya fenomenalnya yang merupakan Tetralogi Buru adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca- yang berkisah tentang masa Pergerakan Nasional di Jawa pada abad ke-20. Tetralogi Pulau Buru itu, ditulis Pram ketika masih mendekam dalam kamp kerja paksa tanpa proses hukum pengadilan yang jelas. Di samping itu, ia juga menyusun beberapa novel sejarah lainnya tentang masa kekuasaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Hadirnya buku-buku tersebut, pada akhirnya mendapatkan sorotan keras dari pejabat pemerintah. Salah satunya datang dari Dirjen Pengamanan Hubungan Luar Negeri, Brigjen Yono Atmodjo, yang mengingatkan bahwa hadirnya buku-buku yang menceritakan "perjuangan kelas", karya bekas jajahan politik, menurutnya akan memunculkan semangat pembrontakan dan kontradiksi, bahkan bisa juga menjadi batu loncatan bagi come back-nya PKI.
Kemampuan Pramordya Ananta Toer dalam mengolah kata-kata melalui kajian historis dan kronologis, mengantarkannya menjadi sastrawan yang berbeda dengan yang lain. Atas kontribusinya yang signifikan bagi potret perjalanan bangsa ini, ia dianugrahi berbagai penghargaan Internasional, diantaranya; The PEN Freedom-to-write Award (1988), Ramon Magsaysay Award (1995), Fukuoka Culture Grand Price, Jepang (2000), dan pada tahun (2004) mendapat penghargaan The Norwegian Authours Union dan Pablo Nuruda dari Presiden Chile Senor Ricardo Lagos Escobar. Sampai sekarang, ia satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk nomisasi daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra Internasional.
Terlepas dari itu, fenomena yang telah terjadi dalam tubuh bangsa kita, patut diduga muncul atas kegelisahan dari para sastrawan, dan kalangan yang berkompeten terhadap pengembangan sastra. Tidak hanya itu, penguasa Orde Baru seolah-olah telah "mengubur peradaban" yang dibangun oleh anak bangsa dan generasi yang memiliki antusiasme bagi perjalanan bangsa menuju sebuah perubahan dan kemajuan.
Kita bisa melihat fakta yang terjadi, pada kasus yang sama yang melibatkan penguasa Orde Baru dengan pihak sastrawan yang bukunya dilarang terbit. Fakta tersebut, berkaitan dengan pembakaran buku oleh Kejagsaan Agung yang dianggap merongrong stabilitas pemerintahan yang sah. Akibatnya, banyak karya-karya yang menjadi abu dan tidak bisa dibaca oleh masyarakat. Kendati demikian, setidaknya fakta telah diungkap dan sejarah telah merangkum fakta itu ke dalam forum-forum diskusi maupun seminar-seminar.
Sekarang, kita berada di era kebebasan berekpresi dan berekplorasi. Semuanya telah diatur dalam Undang-Undang Pers dan diberikan kebebasaan untuk melahirkan karya yang bersifat apa pun saja. Sebuah momentum yang perlu kita manfaatkan untuk mengembangkan karya agar dapat dinikmati masyarakat, generasi muda, orang tua, anak-anak, dan penguasa, sehingga sebuah pemikiran dan apa pun bentuknya dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi muda untuk membangun masa depan yang lebih mencerahkan.
*Mohammad Takdir Ilahi, Penikmat Sastra, dan Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta. Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
sumber : http://mohammadtakdirilahi.blogspot.com/2009/05/sastrawan-karya-dan-banalitas-rezim.html
Baca Selengkapnya ..
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*
Pembacaan secara kritis terhadap teks sastra pada dekade terakhir ini, dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer, boleh dikatakan mengalami kesurutan, bahkan telah kehilangan spiritnya. Kendati disadari, kesurutan tersebut tidak lantas membuat sastra Indonesia juga turut mewarnai fenomena stagnasi pembacaan dan pengembangan nilai esensial karya sastra. Berbagai fenomena yang mendukung terhadap realitas perkembangan sastra itu, bagi penulis belum sepenuhnya mewakili kepekaan para sastrawan maupun pemerhati sastra untuk mengedepankan aspek imajinatif-normatif dalam pengembangan sastranya.
Dalam konteks ini, jejak-jejak petualangan sastrawan dalam tatanan universal tidak lepas dari sejarah kelam bangsanya. Kepekaan para sastrawan dalam melahirkan karya sastra, sangat dinantikan oleh pembaca setia yang apresiatif terhadap karya-karya yang membingkas kesan kritik sosial terhadap penguasa. Di sinilah, letak akuntabilitas sastrawan sebagai generasi yang bergelut dengan refleksi alam dan hati nurani yang paling dalam.
Akuntabilitas sastrawan dalam membangun totalitas hasil karya, setidaknya bisa memberikan pesan moral yang menggugah bagi naluri dan instuisi jiwa kita. Cita-cita ideal yang diusung oleh sastrawan, sebisa mungkin menjauhkan diri dari impian parsial yang bersifat pragmatis. Lebih-lebih, bila mendambakan popularitas an-sich dan instan. Menghindari hal yang bermuatan pragmatis, berarti berupaya menyelamatkan citra yang sedang digelutinya. Citra itu, berfungsi untuk melakukan kontrol sosial (social control) terhadap kebijakan penguasa, bukan sebaliknya memendam aspirasi dan realitas yang sebenarnya.
Kontrol sosial (social control) yang diemban sastrawan, pada perkembangannya, memuncul pertentangan yang cukup sengit dari penguasa. Sebut saja, pembredelan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap karya-karya fenomenal sang sastrawan. Karya-karya mereka sebagian besar dibredel dan tidak diperkenankan dipublikasikan ke khalayak ramai. Sastrawan yang pernah merasakan nabalitas rezim Orde Baru, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Hamka, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismael dan sastrawan senior lainnya.
Pada titik inilah, Fauzan (2002: 147) dalam "Mengubur Peradaban; Politik Pelarangan Buku di Indonesia", memberikan keyakinan bahwa pelarangan terhadap karya sastra sesuai dengan kepentingan "penguasa sastra" di satu pihak, dan "penguasa politik" di pihak lain. "Penguasa sastra" tentu berkepentingan menjaga sastra dari "kontaminasi politik", sementara "penguasa politik" berkepentingan menjaga stabilitas dengan mencegah "unsur subversitas" masuk melalui bidang sastra.
Persoalan pelarangan karya sastra, juga tidak lepas dari unsur politik kepentingan (politic of interest) penguasa yang berambisi memporak-porandakan genre sastra di mata pembacanya.Tidak hanya itu, persoalan asal usul dan posisi penulis dalam masyarakat menjadi pertimbangan yang penting, jika sebuah karya tidak dapat dibuktikan "bahaya" dari segi isinya. Itulah sebabnya, isi sebuah karya merupakan faktor dominan tercetusnya ide pelarangan buku "bermuatan ideologis" yang bertelikungan dengan penguasa.
Namun demikian, Ajip Rosidi, sebagaimana dikutip Arif Budiman (Kompas, 11/5/1971), menulis bahwa pelarangan itu, dikenakan bukan semata-mata terhadap buku yang isinnya dianggap dapat merongrong kewibawaan pemerintah dalam menjaga keamanan bangsa dan negara, melainkan siapa pengarangnya. Maka, pada tahun 1964, "manifes kebudayaan" dan "buah tangan pengarang" secara transparan dilarang. Jadi, yang dinyatakan dilarang bukan buku, melainkan pengarangnya. Tak peduli, apa isi buah tangannya.
Banalitas pada masa Orde Baru, tidak hanya sebatas larangan menerbitkan buku, melainkan juga memasukkan para sastrawan tersebut ke tirani besi. Atas tuduhan mencerminkan nama baik, anasir perlawanan lewat kata-kata, penghinaan sepihak, dan membuat suasana tidak kondusif, rezim Orde Baru secara bengis menjegal kehadiran karya-karya para sastrawan untuk dipublikasikan. Pada saat itulah, terbitlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur pelarangan buku bertebaran tanpa kontrol pemerintah. Pasal 154 KUHP misalnya, berbunyi; "Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebenciaan, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, maka maka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuan tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta".
Bersamaan dengan terbitnya KUHP, maka gerak-gerik para sastrawan, seniman, budayawan, penyair, dan mahasiswa selalu dibayang-bayangi oleh ketatnya pengawasan intelegen negara. Akibatnya, karya-karya fenemonal dan menakjubkan dari mereka tidak bisa dinikmati oleh pembaca setia. Sebuah fenomena yang tidak pantas dijadikan pelajaran bagi pemerintahan Orde Baru yang berani mencegah pengembangan karya masyarakatnya melalui bentuk tulisan dan pidato-pidato yang disampaikan dalam seminar maupun kongres kebudayaan. Alasan yang paling mendasar terkait karya yang bersifat dekontruktif, menurut pandangan penguasa pada waktu itu, adalah faktor stabilitas dan hegemoni penguasa.
Dengan kehadiran buku-buku tersebut, mereka beranggapan bahwa masyarakat akan menuntut dan memaksa penguasa Orde Baru untuk meletakkan jabatannya. Sebab, karya yang dilahirkan oleh beberapa sastrawan maupun penyair terkenal, memuat fakta sejarah tentang hiruk pikuk kondisi perpolitikan Indonesia. Semuanya dapat terekam secara lugas dan mudah dicerna walaupun karya yang dihasilkan bersifat fiktif dan imajinatif.
Dari sinilah kita bisa mengetahui, tentang banalitas penguasa Orde Baru yang bertindak semena-mena terhadap karya sastrawan kita. Contoh karya sastra yang memuat fakta sejarah, dapat kita baca melalui tulisan Pramoedya Ananta Toer yang begitu mendetail memasukkan kejadian-kejadian penting menyangkut potret perjalanan bangsa menuju sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Diantara karya fenomenalnya yang merupakan Tetralogi Buru adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca- yang berkisah tentang masa Pergerakan Nasional di Jawa pada abad ke-20. Tetralogi Pulau Buru itu, ditulis Pram ketika masih mendekam dalam kamp kerja paksa tanpa proses hukum pengadilan yang jelas. Di samping itu, ia juga menyusun beberapa novel sejarah lainnya tentang masa kekuasaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Hadirnya buku-buku tersebut, pada akhirnya mendapatkan sorotan keras dari pejabat pemerintah. Salah satunya datang dari Dirjen Pengamanan Hubungan Luar Negeri, Brigjen Yono Atmodjo, yang mengingatkan bahwa hadirnya buku-buku yang menceritakan "perjuangan kelas", karya bekas jajahan politik, menurutnya akan memunculkan semangat pembrontakan dan kontradiksi, bahkan bisa juga menjadi batu loncatan bagi come back-nya PKI.
Kemampuan Pramordya Ananta Toer dalam mengolah kata-kata melalui kajian historis dan kronologis, mengantarkannya menjadi sastrawan yang berbeda dengan yang lain. Atas kontribusinya yang signifikan bagi potret perjalanan bangsa ini, ia dianugrahi berbagai penghargaan Internasional, diantaranya; The PEN Freedom-to-write Award (1988), Ramon Magsaysay Award (1995), Fukuoka Culture Grand Price, Jepang (2000), dan pada tahun (2004) mendapat penghargaan The Norwegian Authours Union dan Pablo Nuruda dari Presiden Chile Senor Ricardo Lagos Escobar. Sampai sekarang, ia satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk nomisasi daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra Internasional.
Terlepas dari itu, fenomena yang telah terjadi dalam tubuh bangsa kita, patut diduga muncul atas kegelisahan dari para sastrawan, dan kalangan yang berkompeten terhadap pengembangan sastra. Tidak hanya itu, penguasa Orde Baru seolah-olah telah "mengubur peradaban" yang dibangun oleh anak bangsa dan generasi yang memiliki antusiasme bagi perjalanan bangsa menuju sebuah perubahan dan kemajuan.
Kita bisa melihat fakta yang terjadi, pada kasus yang sama yang melibatkan penguasa Orde Baru dengan pihak sastrawan yang bukunya dilarang terbit. Fakta tersebut, berkaitan dengan pembakaran buku oleh Kejagsaan Agung yang dianggap merongrong stabilitas pemerintahan yang sah. Akibatnya, banyak karya-karya yang menjadi abu dan tidak bisa dibaca oleh masyarakat. Kendati demikian, setidaknya fakta telah diungkap dan sejarah telah merangkum fakta itu ke dalam forum-forum diskusi maupun seminar-seminar.
Sekarang, kita berada di era kebebasan berekpresi dan berekplorasi. Semuanya telah diatur dalam Undang-Undang Pers dan diberikan kebebasaan untuk melahirkan karya yang bersifat apa pun saja. Sebuah momentum yang perlu kita manfaatkan untuk mengembangkan karya agar dapat dinikmati masyarakat, generasi muda, orang tua, anak-anak, dan penguasa, sehingga sebuah pemikiran dan apa pun bentuknya dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi muda untuk membangun masa depan yang lebih mencerahkan.
*Mohammad Takdir Ilahi, Penikmat Sastra, dan Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta. Emael. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
sumber : http://mohammadtakdirilahi.blogspot.com/2009/05/sastrawan-karya-dan-banalitas-rezim.html