Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Quran dan Sunnah, sifatnya relatif, tidak absolut dan dapat berubah. Sebagai hasil ijtihad atau rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan fiqih tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan. Fiqih selalu dipengaruhi faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis.
Oleh karena itu, fiqih tidak mungkin berlaku abadi untuk semua ragam manusia sepanjang masa. Boleh jadi, suatu pandangan fiqih cocok untuk suatu masyarakat tertentu, kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lain yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda dengan kurun waktu yang lain. Artinya, suatu pandangan fiqih mungkin dapat diterima, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima pandangan fiqih lainnya.
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqih dari Mazhab Hanbali, merumuskan prinsip di atas sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan.
Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[3] Pernyataan senada dilontarkan Ibn Rusyd: kemaslahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[4] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam berkesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[5]
[3] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fiqih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).
[4] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.
[5] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.
sumber : http://musdahmulia.blogspot.com/
Baca Selengkapnya ..
Oleh karena itu, fiqih tidak mungkin berlaku abadi untuk semua ragam manusia sepanjang masa. Boleh jadi, suatu pandangan fiqih cocok untuk suatu masyarakat tertentu, kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lain yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda dengan kurun waktu yang lain. Artinya, suatu pandangan fiqih mungkin dapat diterima, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima pandangan fiqih lainnya.
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqih dari Mazhab Hanbali, merumuskan prinsip di atas sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan.
Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[3] Pernyataan senada dilontarkan Ibn Rusyd: kemaslahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[4] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam berkesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[5]
[3] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fiqih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).
[4] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.
[5] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.
sumber : http://musdahmulia.blogspot.com/