“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS As Syams [91]:8-10)
Seorang teman menulis dalam ‘note’ pribadi-nya bagaimana ia merasa amat sangat kecewa. Ia telah mendapat kesempatan untuk membantu orang lain yang sangat membutuhkan di suatu saat yang tidak biasa, tapi hati-nya bimbang. Ketika ia memutuskan untuk membantu orang tersebut, sungguh sangat terlambat…..ternyata orang lain telah terlebih dahulu membantu sehingga ia merasa telah kehilangan ‘moment’ untuk beramal shaleh.
Manusia sebagai hamba Allah selalu memiliki dua hal dalam hidupnya: "Kesempatan" dan "Kemauan". ‘KESEMPATAN’ lebih ditentukan oleh Allah dan akan terus menyapa kita. Orang sering mengatakan, bahwa kesempatan itu hanya datang sekali dalam hidup ini! Dan rasanya sulit untuk datang kesempatan yang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebenarnya tidaklah demikian adanya.
Hidup ini selalu identik dengan kesempatan. Pernahkah kita bayangkan, ketika seorang hamba yang baru terbangun dari tidurnya, ia telah memiliki begitu banyak kesempatan yang dapat ia lakukan hari itu? Disisi yang lain, ‘KEMAUAN’ adalah fitrah-Nya berupa ‘Nafs’ yang selalu diartikan dengan nafsu atau keinginan.
Dan dalam ‘nafsu’ atau ‘keinginan’ inilah Allah Azza wa Jalla selalu menghilhamkan jalan keburukan atau kebaikan dan memberi wewenang penuh kepada hamba-Nya untuk menentukan pilihan. Hal inilah yang Allah jelaskan pada QS As Syams ayat 8-10 diatas.
Hamba itu pernah ditanya, “Apakah contohnya dalam kehidupan ini?" Hamba itu menjawab, “Jika seseorang sangat membutuhkan bantuan anda, itu artinya anda telah diberi ‘kesempatan’ oleh Allah untuk menolongnya, tapi adakah ‘kemauan’ di diri anda untuk menolongnya? Jika anda memutuskan untuk menolongnya, maka kebaikanlah yang akan anda tuai.
Demikian juga ketika ujian mushibah menimpa anda, itu berarti Allah telah memberi ‘kesempatan’ bagi anda untuk mendekat kepada-Nya. Ikhlas akan segala ketentuan-Nya dan tidak berburuk sangka terhadap apapun yang Allah tetapkan. Tapi adakah ‘kemauan’ di diri anda untuk lebih mendekat kepada-Nya? Seraya bersabar dan tidak berburuk sangka? Hanya hati nurani yang dapat menjawabnya.”
Seorang ‘office boy’ pernah bercerita kepada hamba itu, suatu saat ia melihat uang yang tertinggal diatas meja salah seorang manager di kantor tempatnya bekerja ketika ia sedang membersihkan kantor di malam hari sehabis jam kerja dimana tidak seorangpun masih ada di kantor. Ia melihatnya dan menghitungnya. Ternyata sejumlah Rp1,5 jt Rupiah.
Terbersit dihatinya untuk mengambilnya saja, tapi hatinya meronta dan menolak untuk melakukannya. Akhirnya ia menempuh jalan untuk tidak mengambilnya dan mengembalikannya kepada manager tersebut keesokan harinya. Dalam hal ini sang office boy memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu “keburukan” tapi ia tidak memiliki kemauan untuk itu sehingga tidak dapat terlaksana.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, ketika khalifah Umar Ibn Khatab ra sedang bersiap-siap melakukan kunjungan kerja ke salah satu propinsi dibawah kekuasaannya, Ia mendengar bahwa disana telah terjadi wabah penyakit yang mematikan. Khalifah Umar mengurungkan niatnya untuk pergi. Salah seorang pembantunya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda berusaha menghindar dari taqdir Allah?” Dengan bijak Khalifah Umar berkata, “Aku hanya pindah dari suatu taqdir Allah ke taqdir Allah yang lain.”
Apa yang dimaksud dengan pernyataan Khalifah Umar diatas menjelaskan bahwa taqdir merupakan sebuah ‘kesempatan’ yang Allah berikan kepada kita dan kita harus memilihnya sesuai dengan ‘kemauan’ kita untuk melakoninya. Taqdir bukanlah berarti sebuah ‘kepasrahan akan ketentuan’ tapi lebih kepada ‘kesempatan’ untuk menentukan pilihan baik atau buruk.
Kita sadar bahwa kelak Allah Azza wa Jalla tidak pernah meminta pertanggungjawaban akan kesuksesan ataupun keterpurukan kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Tapi yang akan diminta adalah pertanggunjawaban bagaimana kita ‘melalui’ sebuah kesempatan yang Allah berikan kepada kita. Adakah kesempatan itu kita lakoni dengan berbuat baik ataukah dengan perbuatan buruk yang membutakan mata hati kita….
“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak [pula] yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka [amal saleh pula], karena Allah akan memberi balasan kepada mereka [dengan balasan] yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS At Taubah [9]:121)
sumber : http://edakwahkita.blogspot.com/2010/06/lembah-kehidupan.html
Baca Selengkapnya ..
Seorang teman menulis dalam ‘note’ pribadi-nya bagaimana ia merasa amat sangat kecewa. Ia telah mendapat kesempatan untuk membantu orang lain yang sangat membutuhkan di suatu saat yang tidak biasa, tapi hati-nya bimbang. Ketika ia memutuskan untuk membantu orang tersebut, sungguh sangat terlambat…..ternyata orang lain telah terlebih dahulu membantu sehingga ia merasa telah kehilangan ‘moment’ untuk beramal shaleh.
Manusia sebagai hamba Allah selalu memiliki dua hal dalam hidupnya: "Kesempatan" dan "Kemauan". ‘KESEMPATAN’ lebih ditentukan oleh Allah dan akan terus menyapa kita. Orang sering mengatakan, bahwa kesempatan itu hanya datang sekali dalam hidup ini! Dan rasanya sulit untuk datang kesempatan yang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebenarnya tidaklah demikian adanya.
Hidup ini selalu identik dengan kesempatan. Pernahkah kita bayangkan, ketika seorang hamba yang baru terbangun dari tidurnya, ia telah memiliki begitu banyak kesempatan yang dapat ia lakukan hari itu? Disisi yang lain, ‘KEMAUAN’ adalah fitrah-Nya berupa ‘Nafs’ yang selalu diartikan dengan nafsu atau keinginan.
Dan dalam ‘nafsu’ atau ‘keinginan’ inilah Allah Azza wa Jalla selalu menghilhamkan jalan keburukan atau kebaikan dan memberi wewenang penuh kepada hamba-Nya untuk menentukan pilihan. Hal inilah yang Allah jelaskan pada QS As Syams ayat 8-10 diatas.
Hamba itu pernah ditanya, “Apakah contohnya dalam kehidupan ini?" Hamba itu menjawab, “Jika seseorang sangat membutuhkan bantuan anda, itu artinya anda telah diberi ‘kesempatan’ oleh Allah untuk menolongnya, tapi adakah ‘kemauan’ di diri anda untuk menolongnya? Jika anda memutuskan untuk menolongnya, maka kebaikanlah yang akan anda tuai.
Demikian juga ketika ujian mushibah menimpa anda, itu berarti Allah telah memberi ‘kesempatan’ bagi anda untuk mendekat kepada-Nya. Ikhlas akan segala ketentuan-Nya dan tidak berburuk sangka terhadap apapun yang Allah tetapkan. Tapi adakah ‘kemauan’ di diri anda untuk lebih mendekat kepada-Nya? Seraya bersabar dan tidak berburuk sangka? Hanya hati nurani yang dapat menjawabnya.”
Seorang ‘office boy’ pernah bercerita kepada hamba itu, suatu saat ia melihat uang yang tertinggal diatas meja salah seorang manager di kantor tempatnya bekerja ketika ia sedang membersihkan kantor di malam hari sehabis jam kerja dimana tidak seorangpun masih ada di kantor. Ia melihatnya dan menghitungnya. Ternyata sejumlah Rp1,5 jt Rupiah.
Terbersit dihatinya untuk mengambilnya saja, tapi hatinya meronta dan menolak untuk melakukannya. Akhirnya ia menempuh jalan untuk tidak mengambilnya dan mengembalikannya kepada manager tersebut keesokan harinya. Dalam hal ini sang office boy memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu “keburukan” tapi ia tidak memiliki kemauan untuk itu sehingga tidak dapat terlaksana.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, ketika khalifah Umar Ibn Khatab ra sedang bersiap-siap melakukan kunjungan kerja ke salah satu propinsi dibawah kekuasaannya, Ia mendengar bahwa disana telah terjadi wabah penyakit yang mematikan. Khalifah Umar mengurungkan niatnya untuk pergi. Salah seorang pembantunya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda berusaha menghindar dari taqdir Allah?” Dengan bijak Khalifah Umar berkata, “Aku hanya pindah dari suatu taqdir Allah ke taqdir Allah yang lain.”
Apa yang dimaksud dengan pernyataan Khalifah Umar diatas menjelaskan bahwa taqdir merupakan sebuah ‘kesempatan’ yang Allah berikan kepada kita dan kita harus memilihnya sesuai dengan ‘kemauan’ kita untuk melakoninya. Taqdir bukanlah berarti sebuah ‘kepasrahan akan ketentuan’ tapi lebih kepada ‘kesempatan’ untuk menentukan pilihan baik atau buruk.
Kita sadar bahwa kelak Allah Azza wa Jalla tidak pernah meminta pertanggungjawaban akan kesuksesan ataupun keterpurukan kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Tapi yang akan diminta adalah pertanggunjawaban bagaimana kita ‘melalui’ sebuah kesempatan yang Allah berikan kepada kita. Adakah kesempatan itu kita lakoni dengan berbuat baik ataukah dengan perbuatan buruk yang membutakan mata hati kita….
“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak [pula] yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka [amal saleh pula], karena Allah akan memberi balasan kepada mereka [dengan balasan] yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS At Taubah [9]:121)
sumber : http://edakwahkita.blogspot.com/2010/06/lembah-kehidupan.html