Esensialism vs Social Constructionism
Memperbincangkan LGBT tak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang seksualitas karena hal tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kalangan LBGT. Seksualitas yang dimaksud disini memiliki makna yang luas yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan.
Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual (Definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).
Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang seksualitas pada aliran esensialism, dan kelompok yang lain pada social constructionism.
Kelompok esensialism meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki- maskulin) menyebabkan kelompok yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social constructionism, bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan biseksual. Perbedaan dua sudut pandang tentang seksualitas tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pandangan umum yang diterima di Indonesia adalah pandangan pertama, yang meyakini bahwa seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut mendapatkan legitimasi dari ajaran agama maupun budaya sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (kelompok LGBT) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.
Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT
1. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual paling banyak dialami oleh kelompok LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LBT yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum.
2. Kekerasan fisik
Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga pasangan.
3. Kekerasan emosional
Biasanya orang LGBT mengalami penolakan dari keluarga setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT. Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan, ataupun pengusiran.
Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.
Tindakan diskriminatif yang dialami kelompok LGBT
1. Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan
Kelompok LGBT mengalami penolakan untuk diterima bekerja sesuai bidangnya sehingga meskipun ada kelompok LGBT yang capable untuk bekerja sesuai bidang ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang menerima mereka, misalnya salon.
2. Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT seringkali diselesaikan di luar pengadilan karena dianggap aib, memalukan. Hal tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor.
3. Diskriminasi dalam pemilihan pasangan
Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan. Misalnya, banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa.
Upaya yang Dilakukan Kelompok LGBT dalam Memperjuangkan Hak-hak LGBT
1. Internalisasi bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual Diversity) adalah HAM, karena itu menyuarakan hak-hak LGBT sama pentingnya dengan menyuarakan hak-hak perempuan.
2. Melakukan dekonstruksi sosial (destabilised) atas konsep-konsep seksualitas yang dianggap baku dengan menggunakan kerangka dasar semua dokumen hak asasi manusia melalui :
• Perubahan sistim hukum termasuk hukum agama (reintrepretasi tafsir kitab suci)
• Counter discourse atau perebutan wacana dan makna atas issue-issue seksualitas yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan
• Penghapusan praktek-praktek yang mendiskriminasikan kelompok-kelompok yang dianggap “abnormal” atau masuk dalam kategori non normative sexuality
• Sosialisasi Yogyakarta principles. Yogyakarta Principles adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang HAM yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Gambaran singkat tentang isi prinsip Yogyakarta adalah sbb :
Prinsip 1 : Hak untuk Penikmatan HAM secara universal
Prinsip 2 : Hak atas Kesetaran dan Non Diskriminasi
Prinsip 3 : Hak atas Pengakuan di mata Hukum
Prinsip 4 : Hak untuk Hidup
Prinsip 5 : Hak atas Keamanan Seseorang
Prinsip 6 : Hak atas Privasi
Prinsip 7 : Hak atas Kebebasan dari Kesewenang-wenangan terhadap perampasan
kebebasan
Prinsip 8 : Hak atas Pengadilan yang Adil
Prinsip 9 : Hak untuk Mendapatkan Perlakuan Manusiawi selama dalam Tahanan
Prinsip 10 : Hak atas Kebebasan dari Siksaan dan Kekejaman, Perlakuan atau Hukuman
yang tidak manusiawi atau merendahkan
Prinsip 11 : Hak atas Perlindungan dari Semua Bentuk Eksploitasi, Penjualan dan
Perdagangan manusia
Prinsip 12 : Hak untuk Bekerja
Prinsip 13 : Hak atas Keamanan Sosial dan Atas Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya
Prinsip 14 : Hak Untuk mendapatkan Standar Kehidupan yang Layak
Prinsip 15 : Hak atas Perumahan yang layak
Prinsip 16 : Hak Atas Pendidikan
Prinsip 17 : Hak atas Pencapaian Tertinggi Standar Pendidikan
Prinsip 18 : Perlindungan atas Kekerasan Medis
Prinsip 19 : Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Prinsip 20 : Hak atas Kebebasan Berkumpul dengan damai dan Berasosiasi
Prinsip 21 : Hak atas kebebasan Berpikir
Prinsip 22 : Hak atas Kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23 : Hak untuk mencari Perlindungan
Prinsip 24 : Hak untuk Menemukan Keluarga
Prinsip 25 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Publik
Prinsip 26 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Budaya
Prinsip 27 : Hak untuk Memajukan HAM
Prinsip 28 : Hak atas Pemulihan dan Ganti Rugi yang Efektif
Prinsip 29 : Akuntabilitas
Perkembangan upaya penegakan hak-hak LGBT
1. Jika ditinjau dari segi jumlah organisasi yang melakukan upaya penegakan hak-hak LGBT, terjadi peningkatan terutama sejak Reformasi. Pada awalnya organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT hanya Gaya Nusantara yang tersebar di cukup banyak wilayah di Indonesia. Seiring dengan era reformasi, organisasi sejenis mulai banyak muncul, misalnya Ardhanary Institute (bagian dari KPI), Perempuan Pelangi, Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley.
2. Dari segi kegiatan, perkembangan dapat dilihat dengan semakin bervariasinya isu yang diangkat organisasi LGBT. Jika sebelumnya lebih banyak mengangkat isu yang identik dengan kelompok LGBT, misalnya isu HIV/AIDS atau kesehatan reproduksi LGBT, saat ini mulai beragam, misalnya isu-isu perempuan yang lain, bahkan ada yang menggunakan media olahraga sebagai pintu masuk penyadaran masyarakat tentang hak-hak LGBT. Untuk Ardhanary sendiri, jika awalnya lebih banyak bergerak di bidang penelitian dan pendidikan isu seksualitas, saat ini mulai melakukan pendampingan.
3. Upaya untuk menggandeng kalangan agama sudah mendapatkan respon positif dari beberapa orang, misalnya Ibu Musdah Mulia. Ibu Musdah Mulia sudah melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dapat menjadi rujukan penetapan hukum terhadap kelompok LGBT. Ibu Musdah berpendapat perkawinan antar pasangan lesbian maupun gay halal untuk dilakukan (http://www.icrp-online.org/wmview.php). Namun demikian, dasar argumentasi Ibu Musdah yang menganggap bahwa orientasi seksual LGBT adalah terberi sehingga harus diperlakukan sama dengan manusia dengan orientasi seksual yang lain berarti tidak mencakup LGBT yang merupakan pilihan individu dan bukan karena faktor biologis. Selain itu Ibu Masruchah dari KPI juga menjadi tempat untuk bertanya tentang tinjauan agama Islam terhadap LGBT. Sebenarnya dukungan kalangan agama secara individual sudah cukup banyak, namun belum menjadi sikap institusi agama secara resmi.
4. Dukungan juga mulai diperoleh dari kalangan akademisi, misalnya dengan banyaknya kajian tentang seksualitas dan LGBT dengan mengundang kelompok LGBT untuk ikut berbicara dalam forum-forum ilmiah meskipun masih sebatas testimoni.
5. Pada Komnas HAM, kelompok LGBT telah melakukan sosialisasi terhadap issue mereka meskipun sampai saat ini posisi Komnas HAM masih sebagai support system dan belum dapat memasukkan isu LGBT dalam program kegiatannya.
Hambatan terhadap penegakan hak-hak LGBT
Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai contoh muncul di dalam FBI bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling berat. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat.
Menguatnya fundamentalisme agama belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT. Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UU Perkawinan yang tidak mengakui perkawinan sejenis.
Hal tersebut menyebabkan advokasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara langsung oleh kelompok LGBT karena menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap kelompok LGBT secara frontal.
Temuan menarik
Ketidaksetaraan gender juga terjadi pada pasangan lesbian sebagaimana ketidaksetaraan gender terjadi dalam pasangan heteroseksual. Misalnya dalam relasi ada yang berperan sebagai butchy (maskulin) dan berperan sebagai femme (feminin).
Lesbian yang berperan sebagai laki-laki cenderung mengadopsi stereotype dan peran gender yang melekat pada laki-laki, misalnya dominan, menjadi pencari nafkah, sedangkan untuk femme sebaliknya.
Definisi-definisi terkait dengan seksualitas (Ardhanary Institut dan Hivos) :
• Seks : fisik, genetik, yaitu lahir dengan alat kelamin
• Orientasi Seksual : kepada jenis kelamin/gender yang mana seseorang tertarik
• Identitas Seksual : bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya sehubungan
dengan orientasi/perilaku seksual mereka
• Identitas Gender : bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki
atau perempuan
• Gender ekspresi : bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, maskulin/feminin
• Perilaku seksual : cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya.
Source : http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lain-memahami-hak-minoritas-1-1.doc
Baca Selengkapnya ..
Memperbincangkan LGBT tak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang seksualitas karena hal tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kalangan LBGT. Seksualitas yang dimaksud disini memiliki makna yang luas yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan.
Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual (Definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).
Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang seksualitas pada aliran esensialism, dan kelompok yang lain pada social constructionism.
Kelompok esensialism meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki- maskulin) menyebabkan kelompok yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social constructionism, bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan biseksual. Perbedaan dua sudut pandang tentang seksualitas tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pandangan umum yang diterima di Indonesia adalah pandangan pertama, yang meyakini bahwa seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut mendapatkan legitimasi dari ajaran agama maupun budaya sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (kelompok LGBT) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.
Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT
1. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual paling banyak dialami oleh kelompok LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LBT yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum.
2. Kekerasan fisik
Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga pasangan.
3. Kekerasan emosional
Biasanya orang LGBT mengalami penolakan dari keluarga setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT. Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan, ataupun pengusiran.
Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.
Tindakan diskriminatif yang dialami kelompok LGBT
1. Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan
Kelompok LGBT mengalami penolakan untuk diterima bekerja sesuai bidangnya sehingga meskipun ada kelompok LGBT yang capable untuk bekerja sesuai bidang ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang menerima mereka, misalnya salon.
2. Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT seringkali diselesaikan di luar pengadilan karena dianggap aib, memalukan. Hal tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor.
3. Diskriminasi dalam pemilihan pasangan
Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan. Misalnya, banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa.
Upaya yang Dilakukan Kelompok LGBT dalam Memperjuangkan Hak-hak LGBT
1. Internalisasi bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual Diversity) adalah HAM, karena itu menyuarakan hak-hak LGBT sama pentingnya dengan menyuarakan hak-hak perempuan.
2. Melakukan dekonstruksi sosial (destabilised) atas konsep-konsep seksualitas yang dianggap baku dengan menggunakan kerangka dasar semua dokumen hak asasi manusia melalui :
• Perubahan sistim hukum termasuk hukum agama (reintrepretasi tafsir kitab suci)
• Counter discourse atau perebutan wacana dan makna atas issue-issue seksualitas yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan
• Penghapusan praktek-praktek yang mendiskriminasikan kelompok-kelompok yang dianggap “abnormal” atau masuk dalam kategori non normative sexuality
• Sosialisasi Yogyakarta principles. Yogyakarta Principles adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang HAM yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Gambaran singkat tentang isi prinsip Yogyakarta adalah sbb :
Prinsip 1 : Hak untuk Penikmatan HAM secara universal
Prinsip 2 : Hak atas Kesetaran dan Non Diskriminasi
Prinsip 3 : Hak atas Pengakuan di mata Hukum
Prinsip 4 : Hak untuk Hidup
Prinsip 5 : Hak atas Keamanan Seseorang
Prinsip 6 : Hak atas Privasi
Prinsip 7 : Hak atas Kebebasan dari Kesewenang-wenangan terhadap perampasan
kebebasan
Prinsip 8 : Hak atas Pengadilan yang Adil
Prinsip 9 : Hak untuk Mendapatkan Perlakuan Manusiawi selama dalam Tahanan
Prinsip 10 : Hak atas Kebebasan dari Siksaan dan Kekejaman, Perlakuan atau Hukuman
yang tidak manusiawi atau merendahkan
Prinsip 11 : Hak atas Perlindungan dari Semua Bentuk Eksploitasi, Penjualan dan
Perdagangan manusia
Prinsip 12 : Hak untuk Bekerja
Prinsip 13 : Hak atas Keamanan Sosial dan Atas Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya
Prinsip 14 : Hak Untuk mendapatkan Standar Kehidupan yang Layak
Prinsip 15 : Hak atas Perumahan yang layak
Prinsip 16 : Hak Atas Pendidikan
Prinsip 17 : Hak atas Pencapaian Tertinggi Standar Pendidikan
Prinsip 18 : Perlindungan atas Kekerasan Medis
Prinsip 19 : Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Prinsip 20 : Hak atas Kebebasan Berkumpul dengan damai dan Berasosiasi
Prinsip 21 : Hak atas kebebasan Berpikir
Prinsip 22 : Hak atas Kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23 : Hak untuk mencari Perlindungan
Prinsip 24 : Hak untuk Menemukan Keluarga
Prinsip 25 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Publik
Prinsip 26 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Budaya
Prinsip 27 : Hak untuk Memajukan HAM
Prinsip 28 : Hak atas Pemulihan dan Ganti Rugi yang Efektif
Prinsip 29 : Akuntabilitas
Perkembangan upaya penegakan hak-hak LGBT
1. Jika ditinjau dari segi jumlah organisasi yang melakukan upaya penegakan hak-hak LGBT, terjadi peningkatan terutama sejak Reformasi. Pada awalnya organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT hanya Gaya Nusantara yang tersebar di cukup banyak wilayah di Indonesia. Seiring dengan era reformasi, organisasi sejenis mulai banyak muncul, misalnya Ardhanary Institute (bagian dari KPI), Perempuan Pelangi, Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley.
2. Dari segi kegiatan, perkembangan dapat dilihat dengan semakin bervariasinya isu yang diangkat organisasi LGBT. Jika sebelumnya lebih banyak mengangkat isu yang identik dengan kelompok LGBT, misalnya isu HIV/AIDS atau kesehatan reproduksi LGBT, saat ini mulai beragam, misalnya isu-isu perempuan yang lain, bahkan ada yang menggunakan media olahraga sebagai pintu masuk penyadaran masyarakat tentang hak-hak LGBT. Untuk Ardhanary sendiri, jika awalnya lebih banyak bergerak di bidang penelitian dan pendidikan isu seksualitas, saat ini mulai melakukan pendampingan.
3. Upaya untuk menggandeng kalangan agama sudah mendapatkan respon positif dari beberapa orang, misalnya Ibu Musdah Mulia. Ibu Musdah Mulia sudah melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dapat menjadi rujukan penetapan hukum terhadap kelompok LGBT. Ibu Musdah berpendapat perkawinan antar pasangan lesbian maupun gay halal untuk dilakukan (http://www.icrp-online.org/wmview.php). Namun demikian, dasar argumentasi Ibu Musdah yang menganggap bahwa orientasi seksual LGBT adalah terberi sehingga harus diperlakukan sama dengan manusia dengan orientasi seksual yang lain berarti tidak mencakup LGBT yang merupakan pilihan individu dan bukan karena faktor biologis. Selain itu Ibu Masruchah dari KPI juga menjadi tempat untuk bertanya tentang tinjauan agama Islam terhadap LGBT. Sebenarnya dukungan kalangan agama secara individual sudah cukup banyak, namun belum menjadi sikap institusi agama secara resmi.
4. Dukungan juga mulai diperoleh dari kalangan akademisi, misalnya dengan banyaknya kajian tentang seksualitas dan LGBT dengan mengundang kelompok LGBT untuk ikut berbicara dalam forum-forum ilmiah meskipun masih sebatas testimoni.
5. Pada Komnas HAM, kelompok LGBT telah melakukan sosialisasi terhadap issue mereka meskipun sampai saat ini posisi Komnas HAM masih sebagai support system dan belum dapat memasukkan isu LGBT dalam program kegiatannya.
Hambatan terhadap penegakan hak-hak LGBT
Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai contoh muncul di dalam FBI bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling berat. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat.
Menguatnya fundamentalisme agama belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT. Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UU Perkawinan yang tidak mengakui perkawinan sejenis.
Hal tersebut menyebabkan advokasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara langsung oleh kelompok LGBT karena menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap kelompok LGBT secara frontal.
Temuan menarik
Ketidaksetaraan gender juga terjadi pada pasangan lesbian sebagaimana ketidaksetaraan gender terjadi dalam pasangan heteroseksual. Misalnya dalam relasi ada yang berperan sebagai butchy (maskulin) dan berperan sebagai femme (feminin).
Lesbian yang berperan sebagai laki-laki cenderung mengadopsi stereotype dan peran gender yang melekat pada laki-laki, misalnya dominan, menjadi pencari nafkah, sedangkan untuk femme sebaliknya.
Definisi-definisi terkait dengan seksualitas (Ardhanary Institut dan Hivos) :
• Seks : fisik, genetik, yaitu lahir dengan alat kelamin
• Orientasi Seksual : kepada jenis kelamin/gender yang mana seseorang tertarik
• Identitas Seksual : bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya sehubungan
dengan orientasi/perilaku seksual mereka
• Identitas Gender : bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki
atau perempuan
• Gender ekspresi : bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, maskulin/feminin
• Perilaku seksual : cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya.
Source : http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lain-memahami-hak-minoritas-1-1.doc