Meskipun hampir setiap menjelang pergantian tahun baru, hujan mengguyur sebagian besar wilayah Indonesia dengan deras, hal itu tidak menyurutkan semangat warga masyarakat untuk menyambut tahun baru.
Apa yang terjadi pada malam pergantian tahun baru, pembaca mungkin lebih tahu. Mulai dari aneka hiburan, pesta pora, hura-hura, perzinaan, dan lain-lain, hadir dalam perayaan malam itu.
Belum lagi kalau kita membicarakan hukum merayakan pergantian tahun baru masehi, boleh atau tidak, haram atau tidak bagi kaum Muslimin.
Tahun baru masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani. Masehi adalah nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya, menurut catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang kemudian ‘memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) yaitu Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) atau SM (Sebelum Masehi).
Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi, kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa. Bahkan, kini berlaku di seluruh negara di dunia dan umum bagi siapa saja.
Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.
Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan berwajah dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year.
Jadi jelas, apa yang ada saat ini, merayakan tahun baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin, tapi sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nasrani.
Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri, larut dalam gemerlap pesta kembang api, atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat, tetap saja tak lantas menjadikan perayaan itu jadi boleh atau halal. Sebab, ukurannya bukan banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi patokannya kepada syariat.
Jangankan yang sudah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari ritual mereka seperti tahun baru masehi saja sudah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Apa sebab? Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firman Allah Ta’ala, artinya,
“Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu.” (QS. al-Furqaan: 72).
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Para ulama Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata "az-Zuur" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Artinya, jika seorang muslim merayakan tahun baru masehi berarti telah melakukan persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, Islam punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata,
“Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (’Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini?” Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah". Lantas beliau bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha dan Iedul Fithri." (HR. Ahmad).
Hari raya merupakan hari paling berkesan dan juga merupakan simbol terbesar dari suatu agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat kepada umat nasrani atas hari raya mereka. Hal ini sama saja dengan meridhai agama mereka dan juga berarti tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Padahal Allah telah melarang kita dari hal itu. Allah Azza Wajalla berfirman, artinya:
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
Harusnya kita sadar, maraknya perayaan tahun baru merupakan sebuah upaya yang dilakukan orang kafir untuk meracuni akidah Islam yang murni tertanam dalam diri umat Islam. Perayaan tahun baru dikemas begitu apik hingga tanpa sadar kita jauh dari nilai-nilai Islam. Terlepas dari segala bentuk acaranya, keterlibatan dalam perayaan tahun baru telah membawa kaum muslimin secara tidak langsung membenarkan ajaran agama selain Islam.
Lalu bagaimana hukum merayakan tahun baru dengan niat bukan menghormati kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nasrani? Ya, sekadar senang-senang dan refreshing.
Ada baiknya kita menyimak ucapan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka, pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka.” (HR. Baihaqi).
Umar Radhiyallahu ‘Anhu juga berkata, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka." (HR. Baihaqi).
Dalam keterangan lain, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.” (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512).
Ikut dalam peringatan tahun baru, termasuk perbuatan tasyabbuh (menyerupai suatu kaum, baik ibadah, adat-istiadat, maupun gaya hidupnya). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Imam Ahmad).
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan demikian, artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya. Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam akidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka.
Hal yang terkait dengan pandangan hidup tertentu selain Islam, maka kaum muslimin dilarang untuk mengikuti atau meniru-nirunya. Sebab, Islam itu sendiri adalah suatu pandangan hidup yang unik dan telah dijamin Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup yang benar.
Mengapa Tasyabbuh terhadap Orang-orang Kafir Dilarang?
1. Semua perbuatan orang kafir pada dasarnya dibangun di atas dasar kesesatan (dhalalah) dan kerusakan (fasad). Adapun kebaikan yang mereka perbuat tidak akan memberi arti apa pun baginya di sisi Allah dan tidak diberi pahala sedikit pun.
2. Dengan bertasyabbuh terhadap orang kafir, maka seorang Muslim akan menjadi pengikut mereka, yang berarti dia telah menantang atau memusuhi Allah Azza Wajalla dan Rasul-Nya.
3. Hubungan antara sang peniru dengan yang ditiru seperti yang terjadi antara sang pengikut dengan yang diikuti yakni penyerupaan bentuk yang disertai kecenderungan hati, keinginan untuk menolong serta menyetujui semua perkataan dan perbuatannya.
4. Sebagian besar tasyabbuh mewariskan rasa kagum kepada orang-orang kafir. Lalu dari sana timbullah rasa kagum terhadap agama, kebudayaan, pola pikir, tingkah laku, perangai dan semua kebejatan dan kerusakan yang mereka miliki. Kekagumannya terhadap orang kafir tersebut akan berdampak penghinaan kepada as-Sunnah, melecehkan kebenaran serta petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para as-salafush as-shalih. Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum pasti sepakat dengan fikrah (pemikiran) mereka dan ridha dengan semua aktivitasnya serta kagum terhadap mereka.
5. Bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir pada dasarnya akan menjerumuskan kepada kehinaan, kelemahan, kekerdilan (rendah diri) dan kekalahan.
Wallahu Waliyyut Taufiq
Dari berbagai sumber.(Al Fikrah No.01/Tahun XI/15 Muharram 1431 H)
Hendaknya kita Banyak Istigfar jika Kemarin kita juga ikut Di dalamnya.
Baca Selengkapnya ..
Apa yang terjadi pada malam pergantian tahun baru, pembaca mungkin lebih tahu. Mulai dari aneka hiburan, pesta pora, hura-hura, perzinaan, dan lain-lain, hadir dalam perayaan malam itu.
Belum lagi kalau kita membicarakan hukum merayakan pergantian tahun baru masehi, boleh atau tidak, haram atau tidak bagi kaum Muslimin.
Tahun baru masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani. Masehi adalah nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya, menurut catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang kemudian ‘memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) yaitu Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) atau SM (Sebelum Masehi).
Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi, kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa. Bahkan, kini berlaku di seluruh negara di dunia dan umum bagi siapa saja.
Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.
Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan berwajah dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year.
Jadi jelas, apa yang ada saat ini, merayakan tahun baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin, tapi sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nasrani.
Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri, larut dalam gemerlap pesta kembang api, atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat, tetap saja tak lantas menjadikan perayaan itu jadi boleh atau halal. Sebab, ukurannya bukan banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi patokannya kepada syariat.
Jangankan yang sudah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari ritual mereka seperti tahun baru masehi saja sudah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Apa sebab? Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firman Allah Ta’ala, artinya,
“Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu.” (QS. al-Furqaan: 72).
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Para ulama Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata "az-Zuur" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Artinya, jika seorang muslim merayakan tahun baru masehi berarti telah melakukan persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, Islam punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata,
“Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (’Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini?” Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah". Lantas beliau bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha dan Iedul Fithri." (HR. Ahmad).
Hari raya merupakan hari paling berkesan dan juga merupakan simbol terbesar dari suatu agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat kepada umat nasrani atas hari raya mereka. Hal ini sama saja dengan meridhai agama mereka dan juga berarti tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Padahal Allah telah melarang kita dari hal itu. Allah Azza Wajalla berfirman, artinya:
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
Harusnya kita sadar, maraknya perayaan tahun baru merupakan sebuah upaya yang dilakukan orang kafir untuk meracuni akidah Islam yang murni tertanam dalam diri umat Islam. Perayaan tahun baru dikemas begitu apik hingga tanpa sadar kita jauh dari nilai-nilai Islam. Terlepas dari segala bentuk acaranya, keterlibatan dalam perayaan tahun baru telah membawa kaum muslimin secara tidak langsung membenarkan ajaran agama selain Islam.
Lalu bagaimana hukum merayakan tahun baru dengan niat bukan menghormati kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nasrani? Ya, sekadar senang-senang dan refreshing.
Ada baiknya kita menyimak ucapan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka, pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka.” (HR. Baihaqi).
Umar Radhiyallahu ‘Anhu juga berkata, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka." (HR. Baihaqi).
Dalam keterangan lain, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.” (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512).
Ikut dalam peringatan tahun baru, termasuk perbuatan tasyabbuh (menyerupai suatu kaum, baik ibadah, adat-istiadat, maupun gaya hidupnya). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Imam Ahmad).
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan demikian, artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya. Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam akidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka.
Hal yang terkait dengan pandangan hidup tertentu selain Islam, maka kaum muslimin dilarang untuk mengikuti atau meniru-nirunya. Sebab, Islam itu sendiri adalah suatu pandangan hidup yang unik dan telah dijamin Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup yang benar.
Mengapa Tasyabbuh terhadap Orang-orang Kafir Dilarang?
1. Semua perbuatan orang kafir pada dasarnya dibangun di atas dasar kesesatan (dhalalah) dan kerusakan (fasad). Adapun kebaikan yang mereka perbuat tidak akan memberi arti apa pun baginya di sisi Allah dan tidak diberi pahala sedikit pun.
2. Dengan bertasyabbuh terhadap orang kafir, maka seorang Muslim akan menjadi pengikut mereka, yang berarti dia telah menantang atau memusuhi Allah Azza Wajalla dan Rasul-Nya.
3. Hubungan antara sang peniru dengan yang ditiru seperti yang terjadi antara sang pengikut dengan yang diikuti yakni penyerupaan bentuk yang disertai kecenderungan hati, keinginan untuk menolong serta menyetujui semua perkataan dan perbuatannya.
4. Sebagian besar tasyabbuh mewariskan rasa kagum kepada orang-orang kafir. Lalu dari sana timbullah rasa kagum terhadap agama, kebudayaan, pola pikir, tingkah laku, perangai dan semua kebejatan dan kerusakan yang mereka miliki. Kekagumannya terhadap orang kafir tersebut akan berdampak penghinaan kepada as-Sunnah, melecehkan kebenaran serta petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para as-salafush as-shalih. Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum pasti sepakat dengan fikrah (pemikiran) mereka dan ridha dengan semua aktivitasnya serta kagum terhadap mereka.
5. Bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir pada dasarnya akan menjerumuskan kepada kehinaan, kelemahan, kekerdilan (rendah diri) dan kekalahan.
Wallahu Waliyyut Taufiq
Dari berbagai sumber.(Al Fikrah No.01/Tahun XI/15 Muharram 1431 H)
Hendaknya kita Banyak Istigfar jika Kemarin kita juga ikut Di dalamnya.