Industri Manufaktur Indonesia : teknologi dan R & D
Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati posisi strategis untuk terus ditingkatkan kinerjanya. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, kinerja industri manufaktur mengalami penurunan cukup drastis. Kondisi tersebut disebabkan terutama karena beban hutang, terutama yang berasal dari luar negeri, di banyak perusahaan besar yang membengkak akibat merosot drastisnya nilai tukar Rupiah serta masih terus menurunnya daya saing pada banyak produk ekspornya.
Apabila diamati secara seksama, sebenarnya industri manufaktur Indonesia telah mulai slow-down sejak tahun 1993 sampai dengan 1997. Kelemahan sektor manufaktur Indonesia dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: kelemahan structural dan kelemahan organisasi. Kelemahan struktural terutama adalah :
1. basis produk dan pasar ekspor yang sempit,
2. keterbatasan input produk antara (inter mediate input) dan komponen yang berasal dari industry domestik,
3. tidak memiliki kedalaman teknologi,
4. industri barang modal masih lemah
5. produksi manufacturing terkonsentrasi di jawa khususnya jabotabek.
6. produktivitas yang rendah dari hasil industri kecil dan menengah yang tidak terintegrasi dengan manufacturing skala besar.
Sedangkan kelemahan organisasional meliputi antara lain :
1. Kapasitas yang rendah dalam absorbs dan adaptasi teknologi.
2. Benefit FDI yang hanya moderat.
3. Pengembangan sumber daya manusia yang lemah.
4. Konsentrasi pasar yang signifikan oleh beberapa perusahaan besar pada beberapa segmen manufacturing
5. Tanggung jawab yang fragmented dala kebijakan dan promosi industry
6. Kelemahan asosiasi industry dalam peningkatan daya saing internasional.
Kedepan industry manufacturing Indonesia perlu melakukan penguatan kandunagn teknologi dengan niali tambah yang lebih besar. Pada saat yang sama, perlu ada diversifikasi pasar agar Indonesia tidak tergantung hanya pada Negara tertentu saja. Perlu digaris bawahi karena produk dengan kandungan teknoligi rendah dan dipasarkan terkonsentrasi pada Negara tertentu akan menghadapi risiko yang besar dengan dampak yang luas pada perekonomian nasional.
Penguatan teknologi industry manufacturing sangat penting karena kandungan teknologi Indonesia relative rendah. Kondisi ini berimplikasi pada added value dan faktor productivity (TFT) Indonesia yang tidak kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN terutama singapura. Terbatasnya jenis produk dan Negara tujuan ekspor juga menjadi kelemahan industry manufaktur Indonesia.
Alokasi dan R&D di Indonesia juga masih sangat kecil yaitu 0,05% dari PDB. Rendahnya alokasi dana untuk R&D ini mempunyai korelasi dengan kapabilitas inovasi Indonesia yang tercermin pada aplikasi paten Indonesia antara tahun 1981 dan 1990 yang berjumlah hanya 12. Selain maslah pembiayaan, kelemahan lain yang signifikan adalah networking R&D di Indonesia. Antara universitas dengan universitas tidak ada linkage dan kolaborasi R&D yang nyata. Masing-masing berjalan sendiri dengan keterbatasannya dan tidak ada sinergi yang direncanakan dengan baik. Demikian pula keja sama R&D anrata universitas dan industry swasta sangat minim dan tidak terbingkai dalam satu sistem yang efektif.
Ditambah dengan situasi yang kian tak tertata (ungoverned), secara alamiah sektor non-tradables maju pesat; sebaliknya, sektor tradables, termasuk industri manufaktur, mengalami kemunduran relatif. Kecenderungan demikian telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang membuat daya tahan perekonomian tak kunjung membaik secara berarti. Salah satu indikasinya ialah peringkat daya saing perekonomian Indonesia dalam lima tahun terakhir terus menerus turun. Pada tahun 2003 kita berada pada peringkat 49 dari 51 negara dan pada tahun 2007 terperosok ke urutan 54 dari 55 negara (International Institute for Management Development, World Competitiveness Yearbook, 2007).
. Indikasi kedua terlihat dari komposisi ekspor yang semakin didominasi oleh komoditas primer dan produk-produk manufaktur berbasis sumber daya alam dengan tingkat pengolahan yang minim. Hal inilah yang menyebabkan indeks perdagangan intra-industri kita sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan negara-negara Asean-4 lainnya (Malaysia, Filipina, dan Thailand). Terlihat pula dari kenyataaan bahwa di tengah kecenderungan komposisi ekspor negara-negara tetangga yang semakin konvergen, kita lain sendiri. Kalau di negara-negara tetangga koefisien komposisi ekspor sekitar 0,7 (koefisien bergerak antara 0 hingga 1), Indonesia hanya 0,2. Faktor pendorong dari proses pendalaman industri dan penguatan ekspor adalah peranan parts and components. Sekedar perbandingan, sumbangan parts and component terhadap eksor total Indonesia hanya belasan persen, padahal di negara-negara Asean-4 lainnya berkisar antara 30-65 persen.
Pendalaman dan pematangan proses industrialisasi yang terjadi di negara-negara tetangga dimungkinkan oleh sentuhan penanaman modal asing langsung. Negara-negara tetangga menjadi bagian dari sistem global production network mereka, antara lain karena peran negara semakin besar dalam mendorong alokasi sumber daya produktif yang sejalan dengan tuntutan supply chain management dari perusahaan-perusahaan transnasional. Di era “dunia datar”, memang peran negara bertambah vital dalam meningkatkan daya saing perekonomian.
Salah satu faktor yang sangat strategis untuk meningkatkan daya saing perekonomian ialah kapasitas dalam melakukan inovasi dan penyesuaian (capacity to innovate and adjust). Faktor inilah yang menghasilkan produk-produk baru lewat kegiatan research and development (R&D). Lagi-lagi, Indonesia sangat tertinggal.
Data terbaru yang diterbitkan Bank Dunia (2007) menunjukkan, pengeluaran untuk R&D di Indonesia hanya 0,3 miliar dollar AS setahun. Bandingkan dengan Malaysia yang pada tahun yang sama membelanjakan 1,5 miliar dollar AS, dan negara kecil Singapura sebesar 2,2 miliar dollar AS. Jangan bandingkan dengan China yang menghabiskan 72 miliar dollar AS untuk kegiatan R&D. Lebih ironis lagi, untuk kasus Indonesia, dari jumlah dana untuk R&D yang sedikit itu, 84,5 persen diserap oleh sektor pemerintah, sedangkan sektor dunia usaha (business) hanya 14,3 persen. Sebaliknya, di China, yang notabene negara komunis, porsi pemerintah sangat kecil (29 persen), sedangkan sektor swasta sangat mendominasi dengan porsi 62,4 persen. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing kalau daya inovasi sangat rendah, sebagaimana tercermin dari dana untuk R&D hanya 0,1 persen dari PDB (produk domestik bruto), sementara negara-negara tetangga rata-rata menyisihkan lebih dari 10 kali lipat atau di atas 1 persen dari PDB mereka.
Peraga menunjukkan anatomi yang memengaruhi daya saing, yang bersumber dari internal perusahaan maupun dari lingkungan luar. Perlu dicatat bahwa daya saing yang tinggi baru memiliki makna apabila menciptakan lapangan kerja dan kemakmuran yang berarti bagi masyarakat banyak. Jadi tak sekedar mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional. Dalam kaitan ini, memajukan industri manufaktur tak bisa dilakukan dengan jalan pintas seperti dengan membangun kawasan ekonomi khusus, dengan menawarkan perlakuan yang serba istimewa sehingga terlepas dari konteks nasional. Cara begini hanya menghasilkan enclaves, sehingga tidak menyelesaikan akar persoalan dan tidak menawarkan penyelesaian yang menyeluruh. Kita tak bisa serta merta meniru China yang membangun kawasan-kawasan khusus di awal penerapan kebijakan pintu terbuka. Karena, China bermula dari kondisi isolasi dan perencanaan terpusat ala sistem komunisme tulen yang tidak memberlakukan mekanisme pasar.
Sedemikian banyak indikasi yang membawa pada kesimpulan bahwa selama era reformasi gerak industri manufaktur kita terseok-seok. Apakah industrialisasi sudah mencapai tingkat optimal, sehingga kita biarkan saja peranan sektor industri manufaktur menurun dan digantikan oleh peningkatan sektor jasa sebagaimana pola yang dijumpai di negara-negara maju?
Rasanya, tidak. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa peranan sektor industri manufaktur terhadap PDB akan terus naik hingga mencapai 35 persen. Baru setelah itu lambat laun turun, dan perannnya digantikan oleh sektor jasa. Dewasa ini sumbangan industri manufaktur terhadap PDB di Indonesia masih di bawah 28 persen, dengan kecenderungan yang sudah menurun. Ini akibat logis dari pertumbuhan manufaktur yang setelah reformasi, terutama dalam lima tahun terakhir, hampir selalu lebih rendah daripada pertumbuhan PDB.
Sebetulnya, pada paruh pertama 2007 ada tanda-tanda pemulihan pertumbuhan industri manufaktur. Sayangnya awal yang baik ini tak bertahan lama. Memasuki triwulan ketiga 2007, pertumbuhan manufaktur kembali merosot menjadi 4,5 persen, turun dari 5,5 persen pada triwulan sebelumnya. Hal ini terjadi justru ketika pertumbuhan PDB menguat dari 6,3 persen menjadi 6,5 persen. Kembali meredupnya momentum akselerasi pertumbuhan manufaktur disebabkan oleh kenaikan kos energi yang tajam, sementara hambatan-hambatan struktural yang dihadapi sektor ini tak kunjung terselesaikan dengan tuntas. Praktis, industri manufaktur tak lagi memiliki energi cadangan untuk menghadapi gejolak eksternal.
Selain dari permasalahan diatas, kelemahan lain yang signifikan adalah networking R&D. Antara universitas universitas tidak ada lingkage dan kolaborasi R&D yang nyata. Masing-masing berjalan diri sendiri dengan segala keterbatasan dan tidak ada sinergi yang direnacanakan dengan baik. Demikian pula kerjasama R&D antara universitas dan industry swasta sangat minim dan tidak terbingkai dalam status skim dan sistem yang efektif.
Perhatian dan prioritas pemerintah Indonesia terhadap R&D dan kapabilitas inovasi nasional masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN terutama singapura, malysia, filiphina dan Thailand. Apabila kondisi ini terus berlanjut maka industry Indonesia akan menghadapi jalan terjal dengan added value yang rendah. Dalam konteks ini, strategi dan kebijakan pengembangan sain dan teknologi Indonesia memerlukan penajaman dengan focus sasaran yang jelas dan meansurable. Demikian pula perlu dibangun dan dikembangkan networking dan linkage yang kongkret antara berbagai institusi R&D di Indonesia, baik anrata pemerintah dengan pemerintah, antara pemerintah dengan swasta dan antara swasta dengan swasta.
Untuk itu, potensi yang dimiliki Indonesia seperti, luasnya bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk, dan ketersediaan potensi sumber daya alam yang bisa didayagunakan untuk kepentingan pembangunan industri, perlu dimasukkan sebagai pertimbangan dalam menentukan bangun sektor industri dalam jangka panjang. Modal dasar pengembangan sektor industri yang merupakan potensi penarik pertumbuhan industri.
Bangun sektor Industri pada 15 tahun mendatang adalah gambaran keadaan sektor industri yang sudah mapan, dimana sektor ini telah menjadi mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional, sekaligus tulang punggung ketahanan ekonomi nasional dengan berbasis sumber daya nasional, yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat, serta memiliki daya saing yang tangguh di pasar internasional.
Sumber Daya Manusia Dan Pendidikan
Kualitas sumber daya manusia adalah elemen kunci bagi keberhasilan Knowledge-Based Economy. Dengan kualitas SDM yang baik yang memiliki kapabilitas Knowledge dan teknologi yang tinggi., Creating value dan produktivitas suatu bangsa akan terus meningkat sejalan dengan akumulasi dan implementasi Knowledge pada seluruh aktivitas perekonomiannya. Sebaliknya jika kualitas rendah, maka jumlah penduduk yang besar justru akan menjadi beban nasional yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, kesehatan adalah elemen yang sangat penting. Dari berbagai studi, diketahui bahwa derajat kesehatan masyarakat disuatu negara mempunyai korelasi dengan pertumbuhan ekonomi dinegara tersebut. Hal ini mudah dipahami karena peningkatan produktivitas hanya dapat dicapai jika derajat kesehatan masyarakat optimal dan memungkinkan mereka bekerja secara produktif. Kelemahan yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang termasuk indonesia adalah derajat kesehatan masyarakat yang masih rendah dan kondisi nutrisi yang memprihatinkan.
Dalam pembangunan kesehatan, indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) termasuk indikator kesehatan yang sensitif. AKB dan AKI yang tinggi (jelek) mengindikasikan aspek-aspek kesehatan yang lainnya juga bermasalah karena memang ada korelasinya. Pada tahun 2005, AKB di indonesia tercatat 31 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu umur harapan hidup telah meningkat dari 63,2 tahun pada tahun 1990 menjadi pada umur 66,2 pada tahun 1999.
Tiga penyebab utama kematian bayi di indonesia adalah insfeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberikan kontibusi bagi 75% kematian bayi di indonesia. Tingginya angka kematian anak pada usia hingga satu tahun, menunjukkan masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi yang baru lahir, rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, anak serta rendahnya perilaku sehat dari masyarakat. Yang lebih tragik lagi angka kematian ibu pada saat melahirkan di indonesia sangat tinggi sekali yaitu 307 per 100.000 kelahiran (Kompas, 21 April 2005).
Kesehatan tidak dapat dimaknai secara sempit dengan Framework teknis medis karena subtansinya sangat luas dan multidisiplin. Upaya kesehatan tidak hanya pembebasan (eliminasi/eradikasi) penyakit, karena menyangkut pula kualitas sumber daya manusia. Karena itu, upaya kesehatan tidak dapat dilakukan secapa parsial tetapi harus komprehensif dan proporsional mencakup preventif, kuratif, rehilitatif dan promotif.
Tidak lepas dari masalah kesehatan masalah gizi pun ikut berperan dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia. Adapun datanya menurut Puskom Depkes tentang gizi adalah sebagai berikut: sekitar 350.000 dari 4 juta bayi lahir dengan berat badan rendah, 5 juta dari 18j uta balita menderita gizi kurang, 10 juta dari 31 juta anak usia sekolah menderita anemia gizi, 3,5 juta dari 10 juta remaja putri mengalami anemia gizi, 30 juta dari 118 juta usia produktif mengalami kurang energi kronik dan 5 juta dari 9 juta usia lanjut mengalami anemia gizi.
Gizi buruk tidak hanya berdampak negatif pada pertumbuhan fisik tetapi juga berdampak pada kemunduran kecerdasan. Kalau kasus gizi buruk ini terus berlangsung dari tahun ke tahun maka dimasa depan benar-benar akan terjadi Loss Generation di indonesia. Generasi bangsa yang kurang gizi ini tentu tidak memiliki daya saing untuk melawan generasi sebayanya di dunia, karena kasus gizi buruk ini hampir tidak ditemui di negara-negara asia.
Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu hamil, bayi, dan anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang paling rentan terhadap kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Dengan demikian, upaya penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada kelompok miskin.
Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial untuk pelayanan kesehatan perlu terus diupayakan. Meningkatnya ketersediaan obat generik esensial diharapkan dapat mendorong pemakaian obat generik esensial oleh masyarakat umum terutama bagi kelompok miskin, karena lebih terjangkau oleh masyarakat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses serta prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergitas ini, masyarakat diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan, mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia pada dasarnya diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan mempunyai peran utama dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan bagi kemajuan daerah dan bangsa.
Pendidikan merupakan tugas yang penting untuk dipikul oleh segenap warga bangsa, dengan tumpuan tanggung jawab utama pelaksanaan kegiatan pendidikan berada di pundak Pemerintah sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Suka atau tidak suka, disengaja atau tidak, masyarakat akan selalu bersentuhan dengan pendidikan, baik formal maupun non formal. Dimengerti atau tidak, masyarakat akan melihat bahwa pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan. Sebab ilmu, pengetahuan dan keterampilan jarang sekali ditemukan berpindah tanpa suatu proses transmisi dan transformasi.
Pendidikan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Teori human capital menjelaskan, pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang menanamkan ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian, nilai, norma, sikap, dan prilaku yang berguna bagi manusia, sehingga manusia tersebut dapat meningkatkan kapasitas kehidupannya.
Biaya pendidikan merupakan issu yang menarik dan kontroversial untuk didiskusikan, sebab pendidikan adalah milik umum (public goods) yang direduksi dari kepentingan pribadi (privat goods). Artinya nilai balik (rate of return) suatu pendidikan dalam bentuk kematangan berfikir, kematangan berperilaku, kematangan berpolitik dan kematangan lainnya akan dinikmati bersama-sama, seluruh anggota masyarakat bangsa dan negara di samping keluarga dan pribadi.
Oleh sebab itu kebijakan yang terkait dengan pembiayaan pendidikan selalu mendapat respons dari masyarakat. Dapat difahami bahwa pendidikan merupakan investasi yang membutuhkan pengorbanan, baik waktu, tenaga dan biaya. Biaya yang dikorbankan dapat berupa fasilitas, fisik maupun biaya operasional. Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya proses pendidikan terutama di sekolah tidak akan efektif.
Biaya (cost) pada pendidikan memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang), misalnya, iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, tetapi sarana fisik, buku dan guru adalah biaya. Bagaimana biaya-biaya itu direncanakan, diperoleh, dialokasikan dan dikelola merupakan kajian pembiayaan pendidikan.
Biaya pendidikan merupakan salah satu sumber yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan biaya secara transparan. Dalam penyelenggaraan pendidikan, sumber biaya merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian pengelolaan pendidikan.
Tanggung jawab pemerintah untuk melaksanakan pendidikan juga dilakukan dengan mengupayakan kegiatan pendidikan berdasarkan Sistem Pendidikan Nasional dengan pengadaan prasarana dan sarana pendidikan yang sudah tentu tidak murah. Keberhasilan pendidikan merupakan salah satu indikator utama keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan. Karena itu, Pemerintah sudah sepantasnya memberikan perhatian terhadap pendidikan, terutama melalui alokasi dana untuk kegiatan pendidikan.
Pada tahun 1970-an indonesia telah berhasil mengembangkan pendidikan dasar dengan hasil yang dramatik. Pada periode itu telah dibangun lebih dari 60.000 sekolah baru dan sekolah dasar menjadi wajib bagi seluruh warga indonesia. Sejak pertangahan 1990-an, anggaran pendidikan publik (APBN dan APBD) telah mengalami peningkatan yang cukup bermakna. Pada tahun 2001 belanja pendidikan publik mencapai 2,5% PDB dan pada tahun 2006 diperkirakan naik lagi menjadi 3,5% dari PDB, bahkan pada tahun 2007 diproyeksikan akan lebih dari 4% . Dengan jumlah ini sesungghnya indonesia telah berada pada level yang sama dengan negara-negara yang berpendapatan menengah, bahkan dengan beberapa negara anggota OECD (Organitation Economic Cooperatipe Development). Hal ini merupakan dampak positif dari amanat konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan sebesar 20%.
Dalam merencanakan pemanfaatan anggaran 20 persen, pemerintah menguraikan kebijakan pendidikan ke dalam dalam beberapa program yang dipandang menjadi prioritas utama yang harus segera dilakukan. Prioritas penggunaan anggaran sebanyak 20 persen dari APBN bidang pendidikan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, menuntaskan wajib belajar 9 tahun dengan kualitas yang lebih baik, murah, dan terjangkau, akses mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang lebih baik, serta mutu dan relevansi penelitian yang lebih baik.
Selain itu juga memperhatikan beasiswa kepada sis/mahasiswa berprestasi serta mendapatkan jaminan melanjutkan pendidikan di manapun, memberikan perhatian pada pendidikan nonformal yang lebih baik dan penguatan tata kelola. Kerangka dasar dan arah kebijakan tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009.
Meskipun belanja pendidikan publik telah mengalami peningkatan yang bermakna sistem pendidikan di indonesia masih banyak mengandung kelemahan substansial, yang karena itu memerlukan perbaikan yang signifikan. Beberapa determinan penting berkaitan dengan kualitas pendidikan antara lain adalah: kualifikasi guru, struktur kompensasi guru, kualitas ruangan kelas, kehadiran guru dan ukuran kelas (Class Size). Data menunjukkan bahwa pada pensisikan dasar dan menengah pertama di indonesia masing-masing hanya memiliki 55% dan 73% guru yang memenuhi persyaratan minimum yang ditentukan oleh DEPDIKNAS. Demikian pula dengan kualitas ruangan kelas terutama untuk pendidikan dasar yang memenuhi syarat hanya sekitar 44% rasio guru dan murid juga masih tergolong rendah, selain itu juga jumlah guru paruh waktu dan ketidakhadiran guru dalam mengajar masih tinggi.
Sekolah menengah kejuruan semestinya sangat dibutuhkan oleh industri, tetapi karena kualitasnya yang rendah maka sebagian besar lulusannya tidak dapat direkrut oleh bursa tenaga kerja industri. Kelemahan yang paling mendasar adalah terbatasnya sarana untuk praktik (laboratorium). Guru-guru yang tidak terlatih dengan baik, sbustansi-substansi pendidikan yang tertinggal jauh dibandingkan dengan perkembangan dan dinamika industri. Sementara itu pemerintah belum fokus untuk memperbaiki sistem pendidikan vokasional di indonesia. Padahal tenaga-tenaga menengah tersebut sangat penting peranannya dalam industrialisasi indonesia.
Demikian pula pendidikan pada level universitas, memerlukan perbaikan dan peningkatan mutu secara komprehensif. Kelemahan sistem pendidikan pada level universitas tidak hanya berkaitan dengan Skill Based tetapi juga tingginya angka pengangguran bagi lulusan universitas/pendidikan tinggi di indonesia. Sistem pendidikan dan industrialisasi di indonesia dapat dikatakan masin-masing berjalan sendiri-sendiri dan keduanya hampir-hampir tidak pernah berinteraksi untuk saling menyempurnakan dan melakukan perbaikan.
Isu Strategik Indonesia Dan Fokus Prioritas
Berdasakan data dan uraian diatas, berikut adalah isu strategik yang memerlukan fokus prioritas dalam konteks untuk memperkuat Knowledge-Based Economy Indonesia:
1. Sumber daya manusia merupakan titik lemah indonesia untuk membangun Knowledge-Based Economy. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) indonesia peringkatnya tergolong rendah diantara negara-negara ASEAN, termasuk masalah kesehatan dan gizi. Masalah ini mempunyai implikasi negatif yang luas dan kompleks karena berkaitan dengan kecerdasan generasi bangsa dimasa mendatang yang berkorelasi dengan keunggulam daya saing.
2. Sejak pertengahan tahun 1990-an tel;ah terjadi perbaikan pendidikan di indonesia terutama dalam aspek kuantitas dan alokasi anggaran pendidikan publik. Tetapi dalam aspek kualitatif, pendidikan di indonesia masih mengandung banyak kelemahan substansial. Peniingkatan kualitas pendidikan di indonesia mesto paralel dan sinergi dengan sektor lainnya terutama sektor industri. Kedepan indonesia harus lebih fokus dan memprioritaskan kualitas sumber daya manusia secara substansial terutama dalam hal kesehatan dan pendidikan agar sejajar dengan negara-negara ASEAN bahkan dengan negara-negara maju.
3. Ekonomi indonesia telah kembali tumbuh setelah menagalami kontraksi yang parah ketika mengalami krisis keuangan pada tahun 1997. Namun demikian kualitas pertumbuhan tersebut perlu lebih ditingkatkan terutama pda sektor industri manufaktur yang masih didominasi oleh teknologi rendah dan menengah. Kedepan indonesia perlu lebih memperkuat kapabilita Knowledge dan teknologi mencakup produksi penciptaan, penyebaran, diseminasi dan pemanfaatannya pada aktivitas ekonomi dan industri menuju Knowledge-Based Economy indonesia yang semakin kuat.
4. Pendidikan dan pelatihan pada pendidikan vokasional memerlukan perbaikan secara substansial agar terjadi kesesuaian dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja. Demikian pula pendidikan tinggi untuk sain dan teknologi/engineering memerlukan perbaikan dan peningkatan, baik milik pemerintah, lebih-lebih yang dimiliki oleh swasta.
5. Strategi dan kebijakan sain dan teknologi Indonesia perlu lebih diperjelas dan dipertajam agar berbagai pihak dapat mengintegrasikan diri dalam kesatuan gerak nasional dalam membangun dan memajukan sain dan teknologi di Indonesia.
6. Kelemahan lain yang fundamental adalah tidak dimilikinya sistem inovasi nasional. Melalui sistem ini, sebagai mana yang berlaku dibanyak negara dapat diintegrasiakan dan disinergikan berbagai potensi dan sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas knowledge dan teknologi pada ekonomi dan industri negara yang bersangkutan.
KESIMPULAN
Penguatan teknologi industry manufacturing sangat penting karena kandungan teknologi Indonesia relative rendah. Kondisi ini berimplikasi pada added value dan faktor productivity (TFT) Indonesia yang tidak kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN. Terbatasnya jenis produk dan Negara tujuan ekspor juga menjadi kelemahan industry manufaktur Indonesia.
Dalam konteks ini, strategi dan kebijakan pengembangan sain dan teknologi Indonesia memerlukan penajaman dengan focus sasaran yang jelas dan meansurable. Demikian pula perlu dibangun dan dikembangkan networking dan linkage yang kongkret antara berbagai institusi R&D di Indonesia, baik anrata pemerintah dengan pemerintah, antara pemerintah dengan swasta dan antara swasta dengan swasta.
Tidak lepas dari itu kualitas sumber daya manusia adalah elemen kunci bagi keberhasilan Knowledge-Based Economy. Dengan kualitas SDM yang baik yang memiliki kapabilitas Knowledge dan teknologi yang tinggi., Creating value dan produktivitas suatu bangsa akan terus meningkat sejalan dengan akumulasi dan implementasi Knowledge pada seluruh aktivitas perekonomiannya. Sebaliknya jika kualitas rendah, maka jumlah penduduk yang besar justru akan menjadi beban nasional yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Namun pendidikan memerlukan perbaikan dan peningkatan mutu secara komprehensif. Kelemahan sistem pendidikan pada Indonesia tidak hanya berkaitan dengan Skill Based tetapi juga tingginya angka pengangguran bagi lulusan pendidikan tinggi di indonesia. Sistem pendidikan dan industrialisasi di indonesia dapat dikatakan masin-masing berjalan sendiri-sendiri dan keduanya hampir-hampir tidak pernah berinteraksi untuk saling menyempurnakan dan melakukan perbaikan. Untuk itu perlu kebijakan ppemerintah baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan untuk mendukung keduanya agar berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Termasuk harus memikirkan skala prioritas dan stratejik guna meningklatkan pendidikan dan ekonomi ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sampurno, H (2007). Knowledge-Base economy : Sumber Keunggulan Bangsa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dhani, shafiq (2000). Indonesia : Strategy for Manufacturing Competitiveness, Vol II. Main Report. UNIDO, Jakarta.
Bank Dunia (2007). Investing in Indonesia’s Education.
sumber : http://aziz27.wordpress.com/2009/12/10/indonesia-dan-knowledge-based-economy/
Baca Selengkapnya ..
Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati posisi strategis untuk terus ditingkatkan kinerjanya. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, kinerja industri manufaktur mengalami penurunan cukup drastis. Kondisi tersebut disebabkan terutama karena beban hutang, terutama yang berasal dari luar negeri, di banyak perusahaan besar yang membengkak akibat merosot drastisnya nilai tukar Rupiah serta masih terus menurunnya daya saing pada banyak produk ekspornya.
Apabila diamati secara seksama, sebenarnya industri manufaktur Indonesia telah mulai slow-down sejak tahun 1993 sampai dengan 1997. Kelemahan sektor manufaktur Indonesia dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: kelemahan structural dan kelemahan organisasi. Kelemahan struktural terutama adalah :
1. basis produk dan pasar ekspor yang sempit,
2. keterbatasan input produk antara (inter mediate input) dan komponen yang berasal dari industry domestik,
3. tidak memiliki kedalaman teknologi,
4. industri barang modal masih lemah
5. produksi manufacturing terkonsentrasi di jawa khususnya jabotabek.
6. produktivitas yang rendah dari hasil industri kecil dan menengah yang tidak terintegrasi dengan manufacturing skala besar.
Sedangkan kelemahan organisasional meliputi antara lain :
1. Kapasitas yang rendah dalam absorbs dan adaptasi teknologi.
2. Benefit FDI yang hanya moderat.
3. Pengembangan sumber daya manusia yang lemah.
4. Konsentrasi pasar yang signifikan oleh beberapa perusahaan besar pada beberapa segmen manufacturing
5. Tanggung jawab yang fragmented dala kebijakan dan promosi industry
6. Kelemahan asosiasi industry dalam peningkatan daya saing internasional.
Kedepan industry manufacturing Indonesia perlu melakukan penguatan kandunagn teknologi dengan niali tambah yang lebih besar. Pada saat yang sama, perlu ada diversifikasi pasar agar Indonesia tidak tergantung hanya pada Negara tertentu saja. Perlu digaris bawahi karena produk dengan kandungan teknoligi rendah dan dipasarkan terkonsentrasi pada Negara tertentu akan menghadapi risiko yang besar dengan dampak yang luas pada perekonomian nasional.
Penguatan teknologi industry manufacturing sangat penting karena kandungan teknologi Indonesia relative rendah. Kondisi ini berimplikasi pada added value dan faktor productivity (TFT) Indonesia yang tidak kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN terutama singapura. Terbatasnya jenis produk dan Negara tujuan ekspor juga menjadi kelemahan industry manufaktur Indonesia.
Alokasi dan R&D di Indonesia juga masih sangat kecil yaitu 0,05% dari PDB. Rendahnya alokasi dana untuk R&D ini mempunyai korelasi dengan kapabilitas inovasi Indonesia yang tercermin pada aplikasi paten Indonesia antara tahun 1981 dan 1990 yang berjumlah hanya 12. Selain maslah pembiayaan, kelemahan lain yang signifikan adalah networking R&D di Indonesia. Antara universitas dengan universitas tidak ada linkage dan kolaborasi R&D yang nyata. Masing-masing berjalan sendiri dengan keterbatasannya dan tidak ada sinergi yang direncanakan dengan baik. Demikian pula keja sama R&D anrata universitas dan industry swasta sangat minim dan tidak terbingkai dalam satu sistem yang efektif.
Ditambah dengan situasi yang kian tak tertata (ungoverned), secara alamiah sektor non-tradables maju pesat; sebaliknya, sektor tradables, termasuk industri manufaktur, mengalami kemunduran relatif. Kecenderungan demikian telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang membuat daya tahan perekonomian tak kunjung membaik secara berarti. Salah satu indikasinya ialah peringkat daya saing perekonomian Indonesia dalam lima tahun terakhir terus menerus turun. Pada tahun 2003 kita berada pada peringkat 49 dari 51 negara dan pada tahun 2007 terperosok ke urutan 54 dari 55 negara (International Institute for Management Development, World Competitiveness Yearbook, 2007).
. Indikasi kedua terlihat dari komposisi ekspor yang semakin didominasi oleh komoditas primer dan produk-produk manufaktur berbasis sumber daya alam dengan tingkat pengolahan yang minim. Hal inilah yang menyebabkan indeks perdagangan intra-industri kita sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan negara-negara Asean-4 lainnya (Malaysia, Filipina, dan Thailand). Terlihat pula dari kenyataaan bahwa di tengah kecenderungan komposisi ekspor negara-negara tetangga yang semakin konvergen, kita lain sendiri. Kalau di negara-negara tetangga koefisien komposisi ekspor sekitar 0,7 (koefisien bergerak antara 0 hingga 1), Indonesia hanya 0,2. Faktor pendorong dari proses pendalaman industri dan penguatan ekspor adalah peranan parts and components. Sekedar perbandingan, sumbangan parts and component terhadap eksor total Indonesia hanya belasan persen, padahal di negara-negara Asean-4 lainnya berkisar antara 30-65 persen.
Pendalaman dan pematangan proses industrialisasi yang terjadi di negara-negara tetangga dimungkinkan oleh sentuhan penanaman modal asing langsung. Negara-negara tetangga menjadi bagian dari sistem global production network mereka, antara lain karena peran negara semakin besar dalam mendorong alokasi sumber daya produktif yang sejalan dengan tuntutan supply chain management dari perusahaan-perusahaan transnasional. Di era “dunia datar”, memang peran negara bertambah vital dalam meningkatkan daya saing perekonomian.
Salah satu faktor yang sangat strategis untuk meningkatkan daya saing perekonomian ialah kapasitas dalam melakukan inovasi dan penyesuaian (capacity to innovate and adjust). Faktor inilah yang menghasilkan produk-produk baru lewat kegiatan research and development (R&D). Lagi-lagi, Indonesia sangat tertinggal.
Data terbaru yang diterbitkan Bank Dunia (2007) menunjukkan, pengeluaran untuk R&D di Indonesia hanya 0,3 miliar dollar AS setahun. Bandingkan dengan Malaysia yang pada tahun yang sama membelanjakan 1,5 miliar dollar AS, dan negara kecil Singapura sebesar 2,2 miliar dollar AS. Jangan bandingkan dengan China yang menghabiskan 72 miliar dollar AS untuk kegiatan R&D. Lebih ironis lagi, untuk kasus Indonesia, dari jumlah dana untuk R&D yang sedikit itu, 84,5 persen diserap oleh sektor pemerintah, sedangkan sektor dunia usaha (business) hanya 14,3 persen. Sebaliknya, di China, yang notabene negara komunis, porsi pemerintah sangat kecil (29 persen), sedangkan sektor swasta sangat mendominasi dengan porsi 62,4 persen. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing kalau daya inovasi sangat rendah, sebagaimana tercermin dari dana untuk R&D hanya 0,1 persen dari PDB (produk domestik bruto), sementara negara-negara tetangga rata-rata menyisihkan lebih dari 10 kali lipat atau di atas 1 persen dari PDB mereka.
Peraga menunjukkan anatomi yang memengaruhi daya saing, yang bersumber dari internal perusahaan maupun dari lingkungan luar. Perlu dicatat bahwa daya saing yang tinggi baru memiliki makna apabila menciptakan lapangan kerja dan kemakmuran yang berarti bagi masyarakat banyak. Jadi tak sekedar mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional. Dalam kaitan ini, memajukan industri manufaktur tak bisa dilakukan dengan jalan pintas seperti dengan membangun kawasan ekonomi khusus, dengan menawarkan perlakuan yang serba istimewa sehingga terlepas dari konteks nasional. Cara begini hanya menghasilkan enclaves, sehingga tidak menyelesaikan akar persoalan dan tidak menawarkan penyelesaian yang menyeluruh. Kita tak bisa serta merta meniru China yang membangun kawasan-kawasan khusus di awal penerapan kebijakan pintu terbuka. Karena, China bermula dari kondisi isolasi dan perencanaan terpusat ala sistem komunisme tulen yang tidak memberlakukan mekanisme pasar.
Sedemikian banyak indikasi yang membawa pada kesimpulan bahwa selama era reformasi gerak industri manufaktur kita terseok-seok. Apakah industrialisasi sudah mencapai tingkat optimal, sehingga kita biarkan saja peranan sektor industri manufaktur menurun dan digantikan oleh peningkatan sektor jasa sebagaimana pola yang dijumpai di negara-negara maju?
Rasanya, tidak. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa peranan sektor industri manufaktur terhadap PDB akan terus naik hingga mencapai 35 persen. Baru setelah itu lambat laun turun, dan perannnya digantikan oleh sektor jasa. Dewasa ini sumbangan industri manufaktur terhadap PDB di Indonesia masih di bawah 28 persen, dengan kecenderungan yang sudah menurun. Ini akibat logis dari pertumbuhan manufaktur yang setelah reformasi, terutama dalam lima tahun terakhir, hampir selalu lebih rendah daripada pertumbuhan PDB.
Sebetulnya, pada paruh pertama 2007 ada tanda-tanda pemulihan pertumbuhan industri manufaktur. Sayangnya awal yang baik ini tak bertahan lama. Memasuki triwulan ketiga 2007, pertumbuhan manufaktur kembali merosot menjadi 4,5 persen, turun dari 5,5 persen pada triwulan sebelumnya. Hal ini terjadi justru ketika pertumbuhan PDB menguat dari 6,3 persen menjadi 6,5 persen. Kembali meredupnya momentum akselerasi pertumbuhan manufaktur disebabkan oleh kenaikan kos energi yang tajam, sementara hambatan-hambatan struktural yang dihadapi sektor ini tak kunjung terselesaikan dengan tuntas. Praktis, industri manufaktur tak lagi memiliki energi cadangan untuk menghadapi gejolak eksternal.
Selain dari permasalahan diatas, kelemahan lain yang signifikan adalah networking R&D. Antara universitas universitas tidak ada lingkage dan kolaborasi R&D yang nyata. Masing-masing berjalan diri sendiri dengan segala keterbatasan dan tidak ada sinergi yang direnacanakan dengan baik. Demikian pula kerjasama R&D antara universitas dan industry swasta sangat minim dan tidak terbingkai dalam status skim dan sistem yang efektif.
Perhatian dan prioritas pemerintah Indonesia terhadap R&D dan kapabilitas inovasi nasional masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN terutama singapura, malysia, filiphina dan Thailand. Apabila kondisi ini terus berlanjut maka industry Indonesia akan menghadapi jalan terjal dengan added value yang rendah. Dalam konteks ini, strategi dan kebijakan pengembangan sain dan teknologi Indonesia memerlukan penajaman dengan focus sasaran yang jelas dan meansurable. Demikian pula perlu dibangun dan dikembangkan networking dan linkage yang kongkret antara berbagai institusi R&D di Indonesia, baik anrata pemerintah dengan pemerintah, antara pemerintah dengan swasta dan antara swasta dengan swasta.
Untuk itu, potensi yang dimiliki Indonesia seperti, luasnya bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk, dan ketersediaan potensi sumber daya alam yang bisa didayagunakan untuk kepentingan pembangunan industri, perlu dimasukkan sebagai pertimbangan dalam menentukan bangun sektor industri dalam jangka panjang. Modal dasar pengembangan sektor industri yang merupakan potensi penarik pertumbuhan industri.
Bangun sektor Industri pada 15 tahun mendatang adalah gambaran keadaan sektor industri yang sudah mapan, dimana sektor ini telah menjadi mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional, sekaligus tulang punggung ketahanan ekonomi nasional dengan berbasis sumber daya nasional, yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat, serta memiliki daya saing yang tangguh di pasar internasional.
Sumber Daya Manusia Dan Pendidikan
Kualitas sumber daya manusia adalah elemen kunci bagi keberhasilan Knowledge-Based Economy. Dengan kualitas SDM yang baik yang memiliki kapabilitas Knowledge dan teknologi yang tinggi., Creating value dan produktivitas suatu bangsa akan terus meningkat sejalan dengan akumulasi dan implementasi Knowledge pada seluruh aktivitas perekonomiannya. Sebaliknya jika kualitas rendah, maka jumlah penduduk yang besar justru akan menjadi beban nasional yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, kesehatan adalah elemen yang sangat penting. Dari berbagai studi, diketahui bahwa derajat kesehatan masyarakat disuatu negara mempunyai korelasi dengan pertumbuhan ekonomi dinegara tersebut. Hal ini mudah dipahami karena peningkatan produktivitas hanya dapat dicapai jika derajat kesehatan masyarakat optimal dan memungkinkan mereka bekerja secara produktif. Kelemahan yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang termasuk indonesia adalah derajat kesehatan masyarakat yang masih rendah dan kondisi nutrisi yang memprihatinkan.
Dalam pembangunan kesehatan, indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) termasuk indikator kesehatan yang sensitif. AKB dan AKI yang tinggi (jelek) mengindikasikan aspek-aspek kesehatan yang lainnya juga bermasalah karena memang ada korelasinya. Pada tahun 2005, AKB di indonesia tercatat 31 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu umur harapan hidup telah meningkat dari 63,2 tahun pada tahun 1990 menjadi pada umur 66,2 pada tahun 1999.
Tiga penyebab utama kematian bayi di indonesia adalah insfeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberikan kontibusi bagi 75% kematian bayi di indonesia. Tingginya angka kematian anak pada usia hingga satu tahun, menunjukkan masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi yang baru lahir, rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, anak serta rendahnya perilaku sehat dari masyarakat. Yang lebih tragik lagi angka kematian ibu pada saat melahirkan di indonesia sangat tinggi sekali yaitu 307 per 100.000 kelahiran (Kompas, 21 April 2005).
Kesehatan tidak dapat dimaknai secara sempit dengan Framework teknis medis karena subtansinya sangat luas dan multidisiplin. Upaya kesehatan tidak hanya pembebasan (eliminasi/eradikasi) penyakit, karena menyangkut pula kualitas sumber daya manusia. Karena itu, upaya kesehatan tidak dapat dilakukan secapa parsial tetapi harus komprehensif dan proporsional mencakup preventif, kuratif, rehilitatif dan promotif.
Tidak lepas dari masalah kesehatan masalah gizi pun ikut berperan dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia. Adapun datanya menurut Puskom Depkes tentang gizi adalah sebagai berikut: sekitar 350.000 dari 4 juta bayi lahir dengan berat badan rendah, 5 juta dari 18j uta balita menderita gizi kurang, 10 juta dari 31 juta anak usia sekolah menderita anemia gizi, 3,5 juta dari 10 juta remaja putri mengalami anemia gizi, 30 juta dari 118 juta usia produktif mengalami kurang energi kronik dan 5 juta dari 9 juta usia lanjut mengalami anemia gizi.
Gizi buruk tidak hanya berdampak negatif pada pertumbuhan fisik tetapi juga berdampak pada kemunduran kecerdasan. Kalau kasus gizi buruk ini terus berlangsung dari tahun ke tahun maka dimasa depan benar-benar akan terjadi Loss Generation di indonesia. Generasi bangsa yang kurang gizi ini tentu tidak memiliki daya saing untuk melawan generasi sebayanya di dunia, karena kasus gizi buruk ini hampir tidak ditemui di negara-negara asia.
Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu hamil, bayi, dan anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang paling rentan terhadap kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Dengan demikian, upaya penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada kelompok miskin.
Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial untuk pelayanan kesehatan perlu terus diupayakan. Meningkatnya ketersediaan obat generik esensial diharapkan dapat mendorong pemakaian obat generik esensial oleh masyarakat umum terutama bagi kelompok miskin, karena lebih terjangkau oleh masyarakat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses serta prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergitas ini, masyarakat diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan, mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia pada dasarnya diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan mempunyai peran utama dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan bagi kemajuan daerah dan bangsa.
Pendidikan merupakan tugas yang penting untuk dipikul oleh segenap warga bangsa, dengan tumpuan tanggung jawab utama pelaksanaan kegiatan pendidikan berada di pundak Pemerintah sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Suka atau tidak suka, disengaja atau tidak, masyarakat akan selalu bersentuhan dengan pendidikan, baik formal maupun non formal. Dimengerti atau tidak, masyarakat akan melihat bahwa pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan. Sebab ilmu, pengetahuan dan keterampilan jarang sekali ditemukan berpindah tanpa suatu proses transmisi dan transformasi.
Pendidikan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Teori human capital menjelaskan, pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang menanamkan ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian, nilai, norma, sikap, dan prilaku yang berguna bagi manusia, sehingga manusia tersebut dapat meningkatkan kapasitas kehidupannya.
Biaya pendidikan merupakan issu yang menarik dan kontroversial untuk didiskusikan, sebab pendidikan adalah milik umum (public goods) yang direduksi dari kepentingan pribadi (privat goods). Artinya nilai balik (rate of return) suatu pendidikan dalam bentuk kematangan berfikir, kematangan berperilaku, kematangan berpolitik dan kematangan lainnya akan dinikmati bersama-sama, seluruh anggota masyarakat bangsa dan negara di samping keluarga dan pribadi.
Oleh sebab itu kebijakan yang terkait dengan pembiayaan pendidikan selalu mendapat respons dari masyarakat. Dapat difahami bahwa pendidikan merupakan investasi yang membutuhkan pengorbanan, baik waktu, tenaga dan biaya. Biaya yang dikorbankan dapat berupa fasilitas, fisik maupun biaya operasional. Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya proses pendidikan terutama di sekolah tidak akan efektif.
Biaya (cost) pada pendidikan memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang), misalnya, iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, tetapi sarana fisik, buku dan guru adalah biaya. Bagaimana biaya-biaya itu direncanakan, diperoleh, dialokasikan dan dikelola merupakan kajian pembiayaan pendidikan.
Biaya pendidikan merupakan salah satu sumber yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan biaya secara transparan. Dalam penyelenggaraan pendidikan, sumber biaya merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian pengelolaan pendidikan.
Tanggung jawab pemerintah untuk melaksanakan pendidikan juga dilakukan dengan mengupayakan kegiatan pendidikan berdasarkan Sistem Pendidikan Nasional dengan pengadaan prasarana dan sarana pendidikan yang sudah tentu tidak murah. Keberhasilan pendidikan merupakan salah satu indikator utama keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan. Karena itu, Pemerintah sudah sepantasnya memberikan perhatian terhadap pendidikan, terutama melalui alokasi dana untuk kegiatan pendidikan.
Pada tahun 1970-an indonesia telah berhasil mengembangkan pendidikan dasar dengan hasil yang dramatik. Pada periode itu telah dibangun lebih dari 60.000 sekolah baru dan sekolah dasar menjadi wajib bagi seluruh warga indonesia. Sejak pertangahan 1990-an, anggaran pendidikan publik (APBN dan APBD) telah mengalami peningkatan yang cukup bermakna. Pada tahun 2001 belanja pendidikan publik mencapai 2,5% PDB dan pada tahun 2006 diperkirakan naik lagi menjadi 3,5% dari PDB, bahkan pada tahun 2007 diproyeksikan akan lebih dari 4% . Dengan jumlah ini sesungghnya indonesia telah berada pada level yang sama dengan negara-negara yang berpendapatan menengah, bahkan dengan beberapa negara anggota OECD (Organitation Economic Cooperatipe Development). Hal ini merupakan dampak positif dari amanat konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan sebesar 20%.
Dalam merencanakan pemanfaatan anggaran 20 persen, pemerintah menguraikan kebijakan pendidikan ke dalam dalam beberapa program yang dipandang menjadi prioritas utama yang harus segera dilakukan. Prioritas penggunaan anggaran sebanyak 20 persen dari APBN bidang pendidikan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, menuntaskan wajib belajar 9 tahun dengan kualitas yang lebih baik, murah, dan terjangkau, akses mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang lebih baik, serta mutu dan relevansi penelitian yang lebih baik.
Selain itu juga memperhatikan beasiswa kepada sis/mahasiswa berprestasi serta mendapatkan jaminan melanjutkan pendidikan di manapun, memberikan perhatian pada pendidikan nonformal yang lebih baik dan penguatan tata kelola. Kerangka dasar dan arah kebijakan tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009.
Meskipun belanja pendidikan publik telah mengalami peningkatan yang bermakna sistem pendidikan di indonesia masih banyak mengandung kelemahan substansial, yang karena itu memerlukan perbaikan yang signifikan. Beberapa determinan penting berkaitan dengan kualitas pendidikan antara lain adalah: kualifikasi guru, struktur kompensasi guru, kualitas ruangan kelas, kehadiran guru dan ukuran kelas (Class Size). Data menunjukkan bahwa pada pensisikan dasar dan menengah pertama di indonesia masing-masing hanya memiliki 55% dan 73% guru yang memenuhi persyaratan minimum yang ditentukan oleh DEPDIKNAS. Demikian pula dengan kualitas ruangan kelas terutama untuk pendidikan dasar yang memenuhi syarat hanya sekitar 44% rasio guru dan murid juga masih tergolong rendah, selain itu juga jumlah guru paruh waktu dan ketidakhadiran guru dalam mengajar masih tinggi.
Sekolah menengah kejuruan semestinya sangat dibutuhkan oleh industri, tetapi karena kualitasnya yang rendah maka sebagian besar lulusannya tidak dapat direkrut oleh bursa tenaga kerja industri. Kelemahan yang paling mendasar adalah terbatasnya sarana untuk praktik (laboratorium). Guru-guru yang tidak terlatih dengan baik, sbustansi-substansi pendidikan yang tertinggal jauh dibandingkan dengan perkembangan dan dinamika industri. Sementara itu pemerintah belum fokus untuk memperbaiki sistem pendidikan vokasional di indonesia. Padahal tenaga-tenaga menengah tersebut sangat penting peranannya dalam industrialisasi indonesia.
Demikian pula pendidikan pada level universitas, memerlukan perbaikan dan peningkatan mutu secara komprehensif. Kelemahan sistem pendidikan pada level universitas tidak hanya berkaitan dengan Skill Based tetapi juga tingginya angka pengangguran bagi lulusan universitas/pendidikan tinggi di indonesia. Sistem pendidikan dan industrialisasi di indonesia dapat dikatakan masin-masing berjalan sendiri-sendiri dan keduanya hampir-hampir tidak pernah berinteraksi untuk saling menyempurnakan dan melakukan perbaikan.
Isu Strategik Indonesia Dan Fokus Prioritas
Berdasakan data dan uraian diatas, berikut adalah isu strategik yang memerlukan fokus prioritas dalam konteks untuk memperkuat Knowledge-Based Economy Indonesia:
1. Sumber daya manusia merupakan titik lemah indonesia untuk membangun Knowledge-Based Economy. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) indonesia peringkatnya tergolong rendah diantara negara-negara ASEAN, termasuk masalah kesehatan dan gizi. Masalah ini mempunyai implikasi negatif yang luas dan kompleks karena berkaitan dengan kecerdasan generasi bangsa dimasa mendatang yang berkorelasi dengan keunggulam daya saing.
2. Sejak pertengahan tahun 1990-an tel;ah terjadi perbaikan pendidikan di indonesia terutama dalam aspek kuantitas dan alokasi anggaran pendidikan publik. Tetapi dalam aspek kualitatif, pendidikan di indonesia masih mengandung banyak kelemahan substansial. Peniingkatan kualitas pendidikan di indonesia mesto paralel dan sinergi dengan sektor lainnya terutama sektor industri. Kedepan indonesia harus lebih fokus dan memprioritaskan kualitas sumber daya manusia secara substansial terutama dalam hal kesehatan dan pendidikan agar sejajar dengan negara-negara ASEAN bahkan dengan negara-negara maju.
3. Ekonomi indonesia telah kembali tumbuh setelah menagalami kontraksi yang parah ketika mengalami krisis keuangan pada tahun 1997. Namun demikian kualitas pertumbuhan tersebut perlu lebih ditingkatkan terutama pda sektor industri manufaktur yang masih didominasi oleh teknologi rendah dan menengah. Kedepan indonesia perlu lebih memperkuat kapabilita Knowledge dan teknologi mencakup produksi penciptaan, penyebaran, diseminasi dan pemanfaatannya pada aktivitas ekonomi dan industri menuju Knowledge-Based Economy indonesia yang semakin kuat.
4. Pendidikan dan pelatihan pada pendidikan vokasional memerlukan perbaikan secara substansial agar terjadi kesesuaian dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja. Demikian pula pendidikan tinggi untuk sain dan teknologi/engineering memerlukan perbaikan dan peningkatan, baik milik pemerintah, lebih-lebih yang dimiliki oleh swasta.
5. Strategi dan kebijakan sain dan teknologi Indonesia perlu lebih diperjelas dan dipertajam agar berbagai pihak dapat mengintegrasikan diri dalam kesatuan gerak nasional dalam membangun dan memajukan sain dan teknologi di Indonesia.
6. Kelemahan lain yang fundamental adalah tidak dimilikinya sistem inovasi nasional. Melalui sistem ini, sebagai mana yang berlaku dibanyak negara dapat diintegrasiakan dan disinergikan berbagai potensi dan sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas knowledge dan teknologi pada ekonomi dan industri negara yang bersangkutan.
KESIMPULAN
Penguatan teknologi industry manufacturing sangat penting karena kandungan teknologi Indonesia relative rendah. Kondisi ini berimplikasi pada added value dan faktor productivity (TFT) Indonesia yang tidak kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN. Terbatasnya jenis produk dan Negara tujuan ekspor juga menjadi kelemahan industry manufaktur Indonesia.
Dalam konteks ini, strategi dan kebijakan pengembangan sain dan teknologi Indonesia memerlukan penajaman dengan focus sasaran yang jelas dan meansurable. Demikian pula perlu dibangun dan dikembangkan networking dan linkage yang kongkret antara berbagai institusi R&D di Indonesia, baik anrata pemerintah dengan pemerintah, antara pemerintah dengan swasta dan antara swasta dengan swasta.
Tidak lepas dari itu kualitas sumber daya manusia adalah elemen kunci bagi keberhasilan Knowledge-Based Economy. Dengan kualitas SDM yang baik yang memiliki kapabilitas Knowledge dan teknologi yang tinggi., Creating value dan produktivitas suatu bangsa akan terus meningkat sejalan dengan akumulasi dan implementasi Knowledge pada seluruh aktivitas perekonomiannya. Sebaliknya jika kualitas rendah, maka jumlah penduduk yang besar justru akan menjadi beban nasional yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Namun pendidikan memerlukan perbaikan dan peningkatan mutu secara komprehensif. Kelemahan sistem pendidikan pada Indonesia tidak hanya berkaitan dengan Skill Based tetapi juga tingginya angka pengangguran bagi lulusan pendidikan tinggi di indonesia. Sistem pendidikan dan industrialisasi di indonesia dapat dikatakan masin-masing berjalan sendiri-sendiri dan keduanya hampir-hampir tidak pernah berinteraksi untuk saling menyempurnakan dan melakukan perbaikan. Untuk itu perlu kebijakan ppemerintah baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan untuk mendukung keduanya agar berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Termasuk harus memikirkan skala prioritas dan stratejik guna meningklatkan pendidikan dan ekonomi ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sampurno, H (2007). Knowledge-Base economy : Sumber Keunggulan Bangsa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dhani, shafiq (2000). Indonesia : Strategy for Manufacturing Competitiveness, Vol II. Main Report. UNIDO, Jakarta.
Bank Dunia (2007). Investing in Indonesia’s Education.
sumber : http://aziz27.wordpress.com/2009/12/10/indonesia-dan-knowledge-based-economy/