Oleh Ben B Nur
Penulis Buku The Golden Rule Of Success
Di depan mata kita, H.M. Sampoerna baru saja menjual perusahaannya kepada Philip Morris, sebuah raksasa perusahaan rokok yang menggurita di seluruh dunia. Urusan jual beli dalam bisnis adalah hal yang biasa. Yang luar biasa adalah Philip Morris membeli perusahaan rokok itu dengan harga lima kali lipat dari nilai aset fisiknya.
Sederhananya begini, andaikan Anda mempunyai sebongkah batu bekas reruntuhan bangunan, mungkin sudah beruntung kalau ada yang mau membelinya seribu perak. Tetapi lain ceritanya bila bongkahan batu itu adalah kepingan dari tembok Berlin yang telah memisahkan Jerman Barat dan Timur selama hampir seratus tahun. Harga bongkahan itu tentu bisa dihargai ratusan ribu bagi yang memiliki keterkaitan emosional dengan sejarah tembok itu.
Penggemar fanatik rokok Sampoerna adalah aset yang abstrak. Demikian pula karyawannya yang telah berpengalaman bekerja puluhan tahun. Belum lagi citra yang baik dari produk rokok itu. Semuanya secara akumulatif menjadi aset abstrak atau biasa disebut sebagai intangible asset.
Kalau anda adalah pemilik sebuah warung makan yang telah menjual sekitar lima tahun di sebuah bangunan tua yang nilai jualnya sekitar 200 juta dengan mengambil perbandingan rumah yang sama yang telah dijual disebelah rumah Anda.
Warung anda memiliki pelanggan tetap sedikitnya 100 orang yang datang setiap hari dan masakan yang anda jual memiliki rasa yang lebih baik dari warung yang sama. Maka sesungguhnya kalau anda menjual warung anda beserta bangunannya sekaligus kesempatan tetap bekerja kepada karyawan termasuk juru masak anda dengan harga 500 juta, masih tergolong murah. Selisih 300 juta rupiah yang Anda peroleh disebut keuntungan dari asset abstrak yang telah anda bangun selama ini.
Aset abstrak anda tadi bukan sesuatu yang melekat kepada bangunan, melainkan keseluruhan proses operasi warung itu, pencitraan yang telah diperoleh warung anda dan pengalaman karyawannya terutama juru masaknya serta langganan warung Anda.
Bila saja warung anda tutup selama sebulan dan setelah itu tak ada lagi juru masaknya karena sudah pindah ke tempat lain, pelangganpun sudah pindah ke warung lain, maka saat Anda mau menjual bangunan anda beserta warungnya maka harga tertinggi yang akan Anda peroleh paling sekitar 200 juta rupiah.
Apa arti dari fenomena ini? Tak lain menjelaskan bahwa bila perusahaan anda memiliki intangible asset dalam kurun waktu tertentu namun tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan operasi usaha anda termasuk dalam perolehan keuntungan, maka lambat laun aset abstrak tersebut akan menguap dengan sendirinya.
Aplikasi atau pendayagunaan dari prinsip ini bisa berlaku dimana saja. Andaikan ada satu kabupaten, katakanlah kabupaten A yang selama sekian waktu telah melakukan investasi pengembangan sistem administrasi yang efisien, perencanaan yang akurat dan kreatif.
Demikian pula sumberdaya manusianya sudah dilatih menjadi lebih cekatan, jujur dan lebih bertanggungjawab mendapatkan dana pembangunan sebesar 100 milyar rupiah. Mana yang lebih baik hasilnya dibanding Kabupaten B yang sistem administrasinya acak-acakan, pola perencanaannya asal-asalan dan sumberdaya manusianya lamban dan korup lagi, diberikan dana 150 milyar Rupiah? Tentu kita akan sepakat bahwa kemungkinan hasil yang lebih baik adalah Kabupaten A, meskipun kita disodori data penunjang lain bahwa Kabupaten B sumberdaya alamnya lebih melimpah dari Kabupaten A.
Mungkin contoh dan ilustrasi tadi bisa menggambarkan betapa pentingnya mengembangkan dan mendayagunakan intangible asset sebagai salah satu cara menghasilkan nilai tambah, baik bagi usaha pribadi, korporasi maupun lembaga pemerintah. Intangible asset hanya mungkin terbangun dan terpelihara bila pengetahuan yang menjadi intinya ditumbuhkan, dipelihara dan didayagunakan secara terencana.
Baca Selengkapnya ..
Penulis Buku The Golden Rule Of Success
Di depan mata kita, H.M. Sampoerna baru saja menjual perusahaannya kepada Philip Morris, sebuah raksasa perusahaan rokok yang menggurita di seluruh dunia. Urusan jual beli dalam bisnis adalah hal yang biasa. Yang luar biasa adalah Philip Morris membeli perusahaan rokok itu dengan harga lima kali lipat dari nilai aset fisiknya.
Sederhananya begini, andaikan Anda mempunyai sebongkah batu bekas reruntuhan bangunan, mungkin sudah beruntung kalau ada yang mau membelinya seribu perak. Tetapi lain ceritanya bila bongkahan batu itu adalah kepingan dari tembok Berlin yang telah memisahkan Jerman Barat dan Timur selama hampir seratus tahun. Harga bongkahan itu tentu bisa dihargai ratusan ribu bagi yang memiliki keterkaitan emosional dengan sejarah tembok itu.
Penggemar fanatik rokok Sampoerna adalah aset yang abstrak. Demikian pula karyawannya yang telah berpengalaman bekerja puluhan tahun. Belum lagi citra yang baik dari produk rokok itu. Semuanya secara akumulatif menjadi aset abstrak atau biasa disebut sebagai intangible asset.
Kalau anda adalah pemilik sebuah warung makan yang telah menjual sekitar lima tahun di sebuah bangunan tua yang nilai jualnya sekitar 200 juta dengan mengambil perbandingan rumah yang sama yang telah dijual disebelah rumah Anda.
Warung anda memiliki pelanggan tetap sedikitnya 100 orang yang datang setiap hari dan masakan yang anda jual memiliki rasa yang lebih baik dari warung yang sama. Maka sesungguhnya kalau anda menjual warung anda beserta bangunannya sekaligus kesempatan tetap bekerja kepada karyawan termasuk juru masak anda dengan harga 500 juta, masih tergolong murah. Selisih 300 juta rupiah yang Anda peroleh disebut keuntungan dari asset abstrak yang telah anda bangun selama ini.
Aset abstrak anda tadi bukan sesuatu yang melekat kepada bangunan, melainkan keseluruhan proses operasi warung itu, pencitraan yang telah diperoleh warung anda dan pengalaman karyawannya terutama juru masaknya serta langganan warung Anda.
Bila saja warung anda tutup selama sebulan dan setelah itu tak ada lagi juru masaknya karena sudah pindah ke tempat lain, pelangganpun sudah pindah ke warung lain, maka saat Anda mau menjual bangunan anda beserta warungnya maka harga tertinggi yang akan Anda peroleh paling sekitar 200 juta rupiah.
Apa arti dari fenomena ini? Tak lain menjelaskan bahwa bila perusahaan anda memiliki intangible asset dalam kurun waktu tertentu namun tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan operasi usaha anda termasuk dalam perolehan keuntungan, maka lambat laun aset abstrak tersebut akan menguap dengan sendirinya.
Aplikasi atau pendayagunaan dari prinsip ini bisa berlaku dimana saja. Andaikan ada satu kabupaten, katakanlah kabupaten A yang selama sekian waktu telah melakukan investasi pengembangan sistem administrasi yang efisien, perencanaan yang akurat dan kreatif.
Demikian pula sumberdaya manusianya sudah dilatih menjadi lebih cekatan, jujur dan lebih bertanggungjawab mendapatkan dana pembangunan sebesar 100 milyar rupiah. Mana yang lebih baik hasilnya dibanding Kabupaten B yang sistem administrasinya acak-acakan, pola perencanaannya asal-asalan dan sumberdaya manusianya lamban dan korup lagi, diberikan dana 150 milyar Rupiah? Tentu kita akan sepakat bahwa kemungkinan hasil yang lebih baik adalah Kabupaten A, meskipun kita disodori data penunjang lain bahwa Kabupaten B sumberdaya alamnya lebih melimpah dari Kabupaten A.
Mungkin contoh dan ilustrasi tadi bisa menggambarkan betapa pentingnya mengembangkan dan mendayagunakan intangible asset sebagai salah satu cara menghasilkan nilai tambah, baik bagi usaha pribadi, korporasi maupun lembaga pemerintah. Intangible asset hanya mungkin terbangun dan terpelihara bila pengetahuan yang menjadi intinya ditumbuhkan, dipelihara dan didayagunakan secara terencana.