Kelahiran Muhammadiyah tidak lepas dari spirit Kiai Dahlan dalam memaknai, menghayati, dan mengamalkan Al-Qur’an surat Ali Imran ayat ke-104. Inilah ayat Al-Qur’an yang sering diidentikkan sebagai “ayat” Muhammadiyah.
Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah karena panggilan Islam. Keprihatinan utama Kiai dari Kauman, Yogyakarta itu ialah bagaimana menyebarluaskan dan memajukan agama Islam dan kehidupan umat Islam di bumi Indonesia yang waktu itu serba terbelakang dan terjajah.
Secara khusus, menurut H. Djarnawi Hadikusuma dalam bukunya Matahari-Matahari Muhammadiyah, bahwa Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah, karena didorong oleh atau memperoleh inspirasi dari Ayat Al-Qur’an surat Ali Imran ayat ke-104. Ayat Al-Qur’an tersebut sangat melekat dalam kesadaran warga Muhammadiyah, sehingga sering disebut sebagai “ayat” Muhammadiyah. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.s. Ali Imran [3]: 104). Demikian penting dan bersejarahnya ayat ke-104 Surat Ali Imran tersebut hingga secara formal dicantumkan ke dalam dan menjadi esensi dari Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Menurut KH. Djindar Tamimy, ayat tersebut memberikan perintah tersirat tentang wajibnya mendirikan organisasi (Persyarikatan Muhammadiyah) untuk kepentingan dakwah Islam dengan logika fiqhiyah “ma layatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib”, bahwa manakala suatu kewajiban itu tidak akan sempurna jika tanpa sesuatu yang lain (organisasi, wadah), maka sesuatu yang lain dalam hal ini wadah atau organisasi itu kemudian menjadi wajib adanya. Organisasi bukanlah bid’ah, tetapi kewajiban agama untuk mewujudkan risalah Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang dicita-citakan.
Pemikiran Kiai Dahlan tentu saja bukan patsial berdasarkan pada satu ayat Al-Qur’an. Tentu saja secara saling terkait, dapat dirujuk pula ayat-ayat Al-Qur’an lainnya sebagaimana dihimpun oleh K.H. Hadjid dalam 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an yang sering diajarkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan kepada para muridnya. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut memberi inspirasi lebih mendalam dan luas dalam alam pikiran Kiai Dahlan, yang kemudian mendorong gagasan melahirkan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta. Termasuk tentang surat Al-Ma’un yang menjadi basis teologis amal sosial Muhammadiyah.
Kembali pada ayat ke-104 surat Ali Imran. Demikian pentingkah ayat ke-104 surat Ali Imran tersebut bagi kelahiran sebuah gerakan Islam? Tentu saja sangat penting dan mendalam. Jika direnungkan dan dipahami substansi atau isinya, ternyata ayat ke-104 tersebut memiliki rangkaian dengan ayat-ayat sebelumnya pada surat Ali Imran, yakni sejak ayat ke-100. Demikian pula dengan ayat sesudahnya hingga ayat ke-115 pada surat yang sama. Pada prinsipnya ayat ke-100 hingga ke-115 berisi tentang dasar-dasar pergerakan Islam dan pembentukan masyarakat Islam.
Bahwa ayat ke-104 itu memiliki rangkaian kesinambungan substansial dengan ayat sebelum dan sesudahnya sebagai prinsip-prinsip pergerakan dan perjuangan umat Islam untuk mewujudkan Islam sebagai ajaran Allah dan terbentuknya masyarakat yang dicita-citakan.
Dari berbagai tafsir Al-Qur’an dapat dibaca tentang rangkaian isi dari ayat-ayat pergerakan Islam tersebut. Dalam tafsir terjemahan Al-Qur-’an terbitan Departemen Agama Republik Indonesia disebutkan beberapa inti rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, yakni berisi pesan agar umat Islam harus waspada terhadap pihak lain yang memecah-belah, keharusan bertakwa dengan sebenar-benarnya, keharusan berdakwah, kelebihan umat Islam dibanding dengan umat lain, ancaman perpecahan, dan asas sistem kehidupan umat Islam. Semua aspek tersebut merupakan hal-hal mendasar li‘l-‘izzat al-Islam wa al-musminin, demi kejayaan Islam dan umat Islam.
Dari ayat ke-100 sampai ayat ke-104 terkandung beberapa hal pokok dalam kehidupan kaum muslimin atau orang Islam dalam perjuangan menegakkan Kalimah Allah dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin. Pertama, tentang agama Allah, sebagai sumber nilai gerakan yang utama dan fundamental (ayat ke-100 dan ke-101). Ayat ke-100 perintah Allah agar orang Islam tidak berpaling kepada golongan dan agama lain yang dibawa ahl al-kitab dan harus tetap istiqamah dalam keimanan Islam.
Perkataan “barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Q.s. Ali Imran: 101) menunjukkan Islam sebagai “hidayah” (petunjuk Allah) dan “jalan kehidupan yang lurus” (manhaj al-hayat). Kedua, ketakwaan adalah representasi dari seluruh kekuatan diri (al-quwwat lil al-jinsiyyah) setiap orang beriman/ber-Islam. Jadi sebelum berdakwah seharusnya setiap muslim atau umat Islam secara kolektif harus memiliki basis ketaqwaan yang kokoh, sebanar-benarnya takwa.
Ketiga, aspek persatuan merupakan representasi dari kuatnya umat Islam sebagai sistem kolektif (al-quwwat li al-ijtima‘iyyah), yang merekat umat dalam kohesivitas yang tinggi dan kedap perpecahan. Tidak mungkin dakwah dan perjuangan di jalan Allah sukses, manakala umat Islam tidak bersatu dan mampu menghentikan atau menghindari perpecahan. Keempat, perintah untuk berdakwah Islam, yakni mengajak orang untuk beragama Islam, amar ma’ruf, dan nahi munkar.
Berdakwah Islam itu merupakan tugas atau misi mulia yang sangat berat, karena itu, sebelum panggilan itu terpenuhi maka setiap muslim atau umat secara kolektif harus terlebih dulu istiqamah dan menjadikan Islam sebagai nilai dasar, memiliki kualitas diri dalam ikon ketakwaan yang komprehensif, dan memiliki ukhuwah serta sistem kolektivitas yang kokoh sebagai umat. Kelima, jika dikaitkan dengan ayat ke-110, terkandung pesan fundamental tentang model masyarakat yang dicita-citakan dan harus diwujudkan oleh umat Islam yang berbasis nilai-nilai ajaran Islam, yakni “khaira ummah”.
Kini kembali ke substansi makna ayat ke-104 dari surat Ali Imran yang menjadi pendorong kelahiran Muhammadiyah. Kata “waltakum minkun ummatun” menurut As-Syuyuthi maksudnya “li-takun al-ummat”, yakni suatu proses untuk membentuk “segolongan umat”, yakni mereka yang menjalankan dakwah Islam, yang mengandung arti perintah atau kewajiban berdakwah. Jadi, harus ada pelaku utama perjuangan dakwah, bukan sembarang orang atau kelompok, tetapi segolongan umat yang terpilih. Agar proses dan tujuan dakwah Islam itu terwujud diperlukan sistem gerakan atau sistem perjuangan, yang antara lain berupa wadah untuk bergerak secara teratur dan tersistem.
KH. Djindar Tamimy menafsirkan, bahwa perintah Allah tersebut mengandung kewajiban bagi umat Islam untuk membentuk organisasi dalam mendakwahkan Islam dengan mengikuti logika ushul al-fiqhiyah “ma layatim al-wajib illa bihi fahuwa wajib”, bahwa apabila sesuatu (organisasi) itu menjadi penting untuk sempurnanya suatu kewajiban maka organisasi (sesuatu) itu menjadi wajib adanya.
Imam Al-Jalalain memberi keterangan tentang kata minkum (sebagian kamu) dalam bagian ayat tersebut sebagai berikut: wa min li-tab‘id li-anna ma dzukira fardlu kifayat la yulzama kullu al-ummat wa la yulbaqa bi-kulli ahadi ka-al-jahil (artinya: dan kata “min” untuk menunjukkan sebagian, karena apa yang diperintahkan itu merupakan fardlu kifayah, yang tidak berlaku sebagai keharusan bagi seluruh umat dan tidak diberlakukan bagi setiap orang, seperti bagi orang-orang yang bodoh). Mereka yang melakukan dakwah harus terdiri atas orang-orang pilihan yang terorganisasi dengan baik.
Dengan kata lain, hanya orang-orang atau sekelompok orang yang layak (cerdas, berkualitas) yang berkewjiban menjalankan misi dakwah itu. Dalam bahasa lain, jika ingin mengemban risalah dakwah maka haruslah dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki keunggulan, tidak asal orang atau sekelompok orang, karena harus menjadi pelaku (fa‘il) gerakan. Abi Bakr Jabir Al-Jazairi dalam kitab Aiysar al-Tafasir li al-Hukm al-‘Aly al-Kabir (Beirut; al-Maktabah al-Ashiriyah, 2005, hal. 228) bahkan menunjuk yang dimaksud dengan “ummat” dalam ayat tersebut ialah al-mujahiduna, yakni para pejuang dakwah yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar secara gigih.
Yakni, orang-orang yang berjihad dan melakukan tindakan-tindakan mengajak pada kebaikan serta mencegah kemunkaran. Jadi “al-ummah” di sini benar-benar “segolongan orang” yang seharusnya terpilih atau memiliki keunggulan dan kualitas sebagai “mujahid dakwah” atau “mujahid gerakan Islam”, yang gigih dan cerdas, yang unggul di segala bidang, serta bukan sekumpulan orang-orang pasif dan jumud.l
Pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah
sumber : www.muhammadiyah.or.id dan http://ipmdelisrdang.multiply.com/journal/item/9/Tafsir_Gerakan_I_Prasarat_dan_Panggilan_Dakwah
Baca Selengkapnya ..
Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah karena panggilan Islam. Keprihatinan utama Kiai dari Kauman, Yogyakarta itu ialah bagaimana menyebarluaskan dan memajukan agama Islam dan kehidupan umat Islam di bumi Indonesia yang waktu itu serba terbelakang dan terjajah.
Secara khusus, menurut H. Djarnawi Hadikusuma dalam bukunya Matahari-Matahari Muhammadiyah, bahwa Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah, karena didorong oleh atau memperoleh inspirasi dari Ayat Al-Qur’an surat Ali Imran ayat ke-104. Ayat Al-Qur’an tersebut sangat melekat dalam kesadaran warga Muhammadiyah, sehingga sering disebut sebagai “ayat” Muhammadiyah. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.s. Ali Imran [3]: 104). Demikian penting dan bersejarahnya ayat ke-104 Surat Ali Imran tersebut hingga secara formal dicantumkan ke dalam dan menjadi esensi dari Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Menurut KH. Djindar Tamimy, ayat tersebut memberikan perintah tersirat tentang wajibnya mendirikan organisasi (Persyarikatan Muhammadiyah) untuk kepentingan dakwah Islam dengan logika fiqhiyah “ma layatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib”, bahwa manakala suatu kewajiban itu tidak akan sempurna jika tanpa sesuatu yang lain (organisasi, wadah), maka sesuatu yang lain dalam hal ini wadah atau organisasi itu kemudian menjadi wajib adanya. Organisasi bukanlah bid’ah, tetapi kewajiban agama untuk mewujudkan risalah Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang dicita-citakan.
Pemikiran Kiai Dahlan tentu saja bukan patsial berdasarkan pada satu ayat Al-Qur’an. Tentu saja secara saling terkait, dapat dirujuk pula ayat-ayat Al-Qur’an lainnya sebagaimana dihimpun oleh K.H. Hadjid dalam 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an yang sering diajarkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan kepada para muridnya. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut memberi inspirasi lebih mendalam dan luas dalam alam pikiran Kiai Dahlan, yang kemudian mendorong gagasan melahirkan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta. Termasuk tentang surat Al-Ma’un yang menjadi basis teologis amal sosial Muhammadiyah.
Kembali pada ayat ke-104 surat Ali Imran. Demikian pentingkah ayat ke-104 surat Ali Imran tersebut bagi kelahiran sebuah gerakan Islam? Tentu saja sangat penting dan mendalam. Jika direnungkan dan dipahami substansi atau isinya, ternyata ayat ke-104 tersebut memiliki rangkaian dengan ayat-ayat sebelumnya pada surat Ali Imran, yakni sejak ayat ke-100. Demikian pula dengan ayat sesudahnya hingga ayat ke-115 pada surat yang sama. Pada prinsipnya ayat ke-100 hingga ke-115 berisi tentang dasar-dasar pergerakan Islam dan pembentukan masyarakat Islam.
Bahwa ayat ke-104 itu memiliki rangkaian kesinambungan substansial dengan ayat sebelum dan sesudahnya sebagai prinsip-prinsip pergerakan dan perjuangan umat Islam untuk mewujudkan Islam sebagai ajaran Allah dan terbentuknya masyarakat yang dicita-citakan.
Dari berbagai tafsir Al-Qur’an dapat dibaca tentang rangkaian isi dari ayat-ayat pergerakan Islam tersebut. Dalam tafsir terjemahan Al-Qur-’an terbitan Departemen Agama Republik Indonesia disebutkan beberapa inti rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, yakni berisi pesan agar umat Islam harus waspada terhadap pihak lain yang memecah-belah, keharusan bertakwa dengan sebenar-benarnya, keharusan berdakwah, kelebihan umat Islam dibanding dengan umat lain, ancaman perpecahan, dan asas sistem kehidupan umat Islam. Semua aspek tersebut merupakan hal-hal mendasar li‘l-‘izzat al-Islam wa al-musminin, demi kejayaan Islam dan umat Islam.
Dari ayat ke-100 sampai ayat ke-104 terkandung beberapa hal pokok dalam kehidupan kaum muslimin atau orang Islam dalam perjuangan menegakkan Kalimah Allah dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin. Pertama, tentang agama Allah, sebagai sumber nilai gerakan yang utama dan fundamental (ayat ke-100 dan ke-101). Ayat ke-100 perintah Allah agar orang Islam tidak berpaling kepada golongan dan agama lain yang dibawa ahl al-kitab dan harus tetap istiqamah dalam keimanan Islam.
Perkataan “barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Q.s. Ali Imran: 101) menunjukkan Islam sebagai “hidayah” (petunjuk Allah) dan “jalan kehidupan yang lurus” (manhaj al-hayat). Kedua, ketakwaan adalah representasi dari seluruh kekuatan diri (al-quwwat lil al-jinsiyyah) setiap orang beriman/ber-Islam. Jadi sebelum berdakwah seharusnya setiap muslim atau umat Islam secara kolektif harus memiliki basis ketaqwaan yang kokoh, sebanar-benarnya takwa.
Ketiga, aspek persatuan merupakan representasi dari kuatnya umat Islam sebagai sistem kolektif (al-quwwat li al-ijtima‘iyyah), yang merekat umat dalam kohesivitas yang tinggi dan kedap perpecahan. Tidak mungkin dakwah dan perjuangan di jalan Allah sukses, manakala umat Islam tidak bersatu dan mampu menghentikan atau menghindari perpecahan. Keempat, perintah untuk berdakwah Islam, yakni mengajak orang untuk beragama Islam, amar ma’ruf, dan nahi munkar.
Berdakwah Islam itu merupakan tugas atau misi mulia yang sangat berat, karena itu, sebelum panggilan itu terpenuhi maka setiap muslim atau umat secara kolektif harus terlebih dulu istiqamah dan menjadikan Islam sebagai nilai dasar, memiliki kualitas diri dalam ikon ketakwaan yang komprehensif, dan memiliki ukhuwah serta sistem kolektivitas yang kokoh sebagai umat. Kelima, jika dikaitkan dengan ayat ke-110, terkandung pesan fundamental tentang model masyarakat yang dicita-citakan dan harus diwujudkan oleh umat Islam yang berbasis nilai-nilai ajaran Islam, yakni “khaira ummah”.
Kini kembali ke substansi makna ayat ke-104 dari surat Ali Imran yang menjadi pendorong kelahiran Muhammadiyah. Kata “waltakum minkun ummatun” menurut As-Syuyuthi maksudnya “li-takun al-ummat”, yakni suatu proses untuk membentuk “segolongan umat”, yakni mereka yang menjalankan dakwah Islam, yang mengandung arti perintah atau kewajiban berdakwah. Jadi, harus ada pelaku utama perjuangan dakwah, bukan sembarang orang atau kelompok, tetapi segolongan umat yang terpilih. Agar proses dan tujuan dakwah Islam itu terwujud diperlukan sistem gerakan atau sistem perjuangan, yang antara lain berupa wadah untuk bergerak secara teratur dan tersistem.
KH. Djindar Tamimy menafsirkan, bahwa perintah Allah tersebut mengandung kewajiban bagi umat Islam untuk membentuk organisasi dalam mendakwahkan Islam dengan mengikuti logika ushul al-fiqhiyah “ma layatim al-wajib illa bihi fahuwa wajib”, bahwa apabila sesuatu (organisasi) itu menjadi penting untuk sempurnanya suatu kewajiban maka organisasi (sesuatu) itu menjadi wajib adanya.
Imam Al-Jalalain memberi keterangan tentang kata minkum (sebagian kamu) dalam bagian ayat tersebut sebagai berikut: wa min li-tab‘id li-anna ma dzukira fardlu kifayat la yulzama kullu al-ummat wa la yulbaqa bi-kulli ahadi ka-al-jahil (artinya: dan kata “min” untuk menunjukkan sebagian, karena apa yang diperintahkan itu merupakan fardlu kifayah, yang tidak berlaku sebagai keharusan bagi seluruh umat dan tidak diberlakukan bagi setiap orang, seperti bagi orang-orang yang bodoh). Mereka yang melakukan dakwah harus terdiri atas orang-orang pilihan yang terorganisasi dengan baik.
Dengan kata lain, hanya orang-orang atau sekelompok orang yang layak (cerdas, berkualitas) yang berkewjiban menjalankan misi dakwah itu. Dalam bahasa lain, jika ingin mengemban risalah dakwah maka haruslah dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki keunggulan, tidak asal orang atau sekelompok orang, karena harus menjadi pelaku (fa‘il) gerakan. Abi Bakr Jabir Al-Jazairi dalam kitab Aiysar al-Tafasir li al-Hukm al-‘Aly al-Kabir (Beirut; al-Maktabah al-Ashiriyah, 2005, hal. 228) bahkan menunjuk yang dimaksud dengan “ummat” dalam ayat tersebut ialah al-mujahiduna, yakni para pejuang dakwah yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar secara gigih.
Yakni, orang-orang yang berjihad dan melakukan tindakan-tindakan mengajak pada kebaikan serta mencegah kemunkaran. Jadi “al-ummah” di sini benar-benar “segolongan orang” yang seharusnya terpilih atau memiliki keunggulan dan kualitas sebagai “mujahid dakwah” atau “mujahid gerakan Islam”, yang gigih dan cerdas, yang unggul di segala bidang, serta bukan sekumpulan orang-orang pasif dan jumud.l
Pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah
sumber : www.muhammadiyah.or.id dan http://ipmdelisrdang.multiply.com/journal/item/9/Tafsir_Gerakan_I_Prasarat_dan_Panggilan_Dakwah