Latar Belakang
Asean - China Free Trade Aggrement (ACFTA) kian menjadi polemik bagi bangsa Indonesia. Mukadimah tahun ini menjadi momentum besar yang digunakan sebagai pengesahan perjanjian perdagangan internasional tersebut. Indonesia sendiri telah dengan gamblang mendeklarasikan pengesahan hubungannya dengan China sebagai partner dagang. Jadi secara tidak langsung, tahun ini perjanjian internasional tersebut telah legal untuk direalisasikan diseluruh lini perdagangan Indonesia yang terkait.
Pemerintah seolah mengemban misi penting dalam pengesahan kerjasama yang menimbulkan
berbagai reaksi keras dari para pebisnis tersebut. Asosiasi Industri Plastik, Aromatik, dan Olefin Indonesia (INAplas) meminta pemerintah menunda pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN (ACFTA) dari Januari 2010 menjadi 2015. Lebih jauh lagi INAplas sejak awal juga telah meminta penundaan FTA ASEAN dengan negara lain, di antaranya China, Korea, India, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Tanggapan senada juga muncul dari dunia tekstil Indonesia. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS.
Reaksi keras tidak hanya datang dari pelaku bisnis, namun anggota DPR pun ikut angkat bicara. Komisi VI DPR Komisi IV meminta pemerintah melakukan renegoisasi perjanjian kerja sama ACFTA sekaligus menunda perjanjian di sektor-sektor yang terkait perdagangan bebas. Banyaknya keberatan yang muncul dari berbagai kalangan tersebut harusnya dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap melakukan pengimplementasian Free Trade Area dengan negeri tirai bambu tersebut di tanah air. Namun fakta yang ditemukan adalah FTA ASEAN-China justru resmi diratifikasi Indonesia pada 1 Januari 2010 yang ditandai dengan penghapusan bea masuk dalam program normal track.
Gejolak masyarakat terkait penerapan hubungan dagang dengan China tersebut seakan diabaikan oleh pemerintah. Hal tersebut tentu saja mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejatinya apa factor utama yang menyebabkan pemerintah tetap kukuh memberlakukan Free Trade Area dengan China?
Manfaat penelitian
Diharapkan dengan meneliti rasionalisasi pemerintah Indonesia dalam meratifiksi CAFTA dan mengaitkannya dengan teori yang relevan dapat menjawab kekhawatiran berbagai pihak serta untuk menemukan alasan mendasar pengimplementasian FTA di Indonesia itu sendiri.
Landasan teori
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori Liberalisme interdependensi atau dikenal pula dengan teori interdependensi negara. Teori interdependensi secara singkat dapat didefinisikankan sebagai suatu pergantungan antara satu sama lain atau suatu sikap/tindakan saling ketergantungan.
PEMBAHASAN
Senada dengan definisi singkat dari Kamus Ilmiah Populer diatas, Dalam bukunya, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Robert Jackson dan Georg Sorenson juga membahas mengenai teori Interdependensi. Di dalamnya dijelaskan bahwa teori tersebut berarti ketergantungan timbal-balik. Dalam artian antara dua komponen suatu negara yaitu rakyat dan pemerintah selalu dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimanapun oleh tindakan rekannya di negara lain.
Secara langsung semakin tinggi hubungan suatu negara dengan negara lain maka semakin tinggi pula tingkat pengaruh yang timbul dari luar tersebut. Hal itu juga sering dikaitkan dengan modernisasi yang mulai berkembang pesat pasca 1950an sejak berlangsungnya revolusi industri di belahan dunia.
Dalam buku yang sama dijelaskan pula bahwa sebenarnya pembangunan ekonomi dan perdagangan luar negeri saat ini lebih efektif untuk mengembangkan perekonomian suatu negara dibandingkan dengan high politic seperti persenjataan yang justru membutuhkan biaya yang relatif besar.
Tak dapat dinafikan, seiring berkembangnya teknologi dan informasi, batasan-batasan antarnegara pun kian menyusut. Definisi mengenai siapa sebenarnya aktor hubungan internasional pun kini telah meluas. Siapapun kini cenderung mampu mengadakan hubungan lintas negara dan menjadi aktor internasional. Hubungan internasional kini tak dapat lagi dipahami sebagai hubungan antar pemerintahan namun juga individu, perusahaan dan sejumlah organisasi yang terdiri di dalamnya.
Tak ayal kerjasama antar aktor Hi pun kerap terjadi. Bahkan suatu negara pun tentu membutuhkan kerjasama dengan negara lainnya karena perbedaan sektor-sektor unggulan yang dimiliki tiap-tiap negara. Hal itulah yang lantas menjadi asumsi dasar teori interdependensi. Bahwasanya negara-negara di dunia cenderung untuk bekerjasama di bawah suatu perdagangan yang liberal karena faktor keterkaitan interdependensi tersebut.
Pemaparan teori tersebut erat kaitannya dengan alasan yang kiranya melatari pengambilan keputusan oleh Pemerintah Indonesia yang seakan tanpa ragu memulai jalinan kerjasamanya dengan negara Panda tersebut. Untuk menganalisa mutualisme yang terjadi maka akan diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut:
Indonesia sebagai negara agraris
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita telah diajarkan betapa negara ini merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia. Hal tersebut didukung oleh data BPS jumlah petani di Indonesia mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Berdasarkan data Departemen Pertanian, luas lahan sawah Indonesia mencapai 7,6 juta ha. Potensi ini juga didukung oleh kekayaan komoditas dan kesuburan lahan yang sangat baik.
Di tahun 2004, gaung ini pun semakin membesar dengan pernyataan pemerintah bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Selain itu pemerintah juga menargetkan swasembada pangan 2014 yang jika mengacu pada FAO (Food and Agriculture Organization) diistilahkan sebagai ketahanan pangan (food security). Tidak hanya itu, dalam krisis ekonomi tahun 1997 pun hanya sektor ekonomi Indonesia lah yang mampu bertahan.
China sebagai “negara pabrik”
Tak dapat dinafikan, China seakan merangkak muncul sebagai salah satu kekuatan besar di era globalisasi ini. Semua sektor mereka miliki, mulai dari industri, sumber daya manusia, teknologi serta informasi telah berkembang begitu pesat di negeri ini. Namun hanya satu hal yang menjadi kelemahan bagi China. Negara tersebut tidaklah memiliki sektor agraris yang baik.
China adalah negara yang begitu akrab dengan musibah kekeringan sejak decade 1990-an. Contohnya pada penghujung tahun 2009 lalu, Kekeringan melanda China bagian selatan telah dan menggagalkan panen serta menyurutkan air waduk dan sungai hingga ke tingkat terendah dalam sejarah.
Begitu pula dengan tanaman lainnya yang notabene begitu membutuhkan air. Tanaman tersebut mulai kekeringan hingga menyebabkan gagal panen. Menurut laporan Kantor Pengawas Banjir dan Kekeringan Fujian, diperkirakan 1,3 juta are lahan pertanian mengalami kekeringan di Provinsi Fujian, dan 194.000 orang menderita kekurangan air minum. Lusinan waduk level airnya rendah, bahkan beberapa telah kering.
Disamping itu China luarbiasa pesat dalam hal perindustrian, China telah menggeser Jepang sebagai negara industri terbesar dunia kedua, berdasarkan sebuah laporan Organisasi Pengembangan Industri PBB (UNIDO). Berdasarkan perkiraan UNIDO, kontribusi China pada total produksi dunia atau MVA telah mencapai 15,6% pada tahun 2009, sedikit lebih besar dibanding Jepang yang mencapai 15,4%. Sementara Amerika Serikat masih teratas dengan tingkat produksi mencapai 19%.
Karena statusnya sebagai negara industri terbesar kedua itulah pantas bila istilah “negara pabrik” seakan terus melekat pada negara padat penduduk ini. Begitu banyak bahan baku yang diserah oleh China dari beragai negara melalui jalur impor untuk kemudian diproduksi menjadi barang jadi seperti yang kerap kita temui dengan harga miring di negeri ini.
Prospek hubungan RI-China terhadap Indonesia
Dari data-data diatas dapat diamati dengan jelas bahwasanya perdagangan antara RI-China jelas memiliki potensi yang cukup besar bagi perekonomian dua negara. Indonesia adalah negara agraris besar yang terbukti dengan surplus yang telah dicapai Indonesia sebesar US$2 miliar dari hasil ekspor bahan pertanian ke China pada 2010 ini.
Sedangkan sedikitnya juga ada tiga sektor lain yang mengalami peningkatan ekspor. Yaitu obat-obatan tradisional seprti ekspor jamu Indonesia selama periode Januari-Oktober 2009 menunjukkan kenaikan dibandingkan priode yang sama tahun 2008.
yaitu dari 8.294 juta dolar AS naik menjadi 9.676 juta dolar AS. Kemudian disusul sektor perhiasan yang meningkat jumlah ekspornya sebesar 26,04 persen. Produk tekstil pun tak kalah bersaing, dalam lima tahun terakhir (2004-2008) menunjukan pertumbuhan nilai ekspor sebesar 7,21 persen. Di mana perolehan ekspor pada tahun 2008 mencapai 10.1 miliar dolar AS.
Badan Pusat Statistik atau BPS menyebut bahwa untuk pertama kalinya ekspor Indonesia ke China pada awal tahun ini menempati posisi nomor dua dibandingkan negara-negara tujuan lainnya. Bahkan, ekspor nonmigas Indonesia ke China yang mencapai 1,011 miliar dollar AS mengalahkan ekspor ke Amerika Serikat yang mencapai 997,7 juta dollar AS.
Tentu saja otomatis ekspor Indonesia tentu juga amat dibutuhkan negara tirai bambu tersebut yang pada dasarnya membutuhkan pasokan impor pangan dari negara agraris seperti Indonesia. Begitu pula dengan produksi ban yang mulai meningkat pesat di China dengan target pasar seluruh dunia, menyebabkan China membutuhkan suplai karet dalam jumlah besar dari Indonesia.
Menjawab kekhawatiran berbagai kalangan terkait akan terpuruknya perdagangan di Indonesia bila CAFTA diratifikasi agaknya belum terbukti. Secara nasional ekspor non migas ke China sepanjang kuartal I/2010 meningkat hingga 113,3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dan yang terpenting adalah Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Anton Supit menyebutkan kenaikan impor produk China tidak didominasi oleh barang jadi, tetapi berbentuk bahan baku penolong atau bahan modal yang akan digunakan untuk proses produksi lanjutan di dalam negeri.
Kesimpulan
Berdasarkan penguraian diatas, pada quartal I penerapannya, misi pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terbilang efektif. Secara tidak langsung, teori interdepedensi yang melatari kaitan mutualisme dua negara juga terbukti karena hubungan kerjasama perdagangan RI-China sejauh ini telah menunjukkan gejala yang menguntungkan kedua negara.
Program yang mungkin harus lebih dimasifkan oleh pemerintah adalah bagaimana untuk terus meningkatkan fasilitas dalam negeri guna menunjang berbagai sektor terutama pertanian. Insentif dan sosialisasi pertanian juga perlu ditingkatkan agar petani Indonesia kian mampu bersaing menciptakan produksi yang handal.
Kemudian dalam hal birokrasi, pemerintah juga wajib mengawasi dengan ketat arus masuk barang melalui badan bea dan cukai. Standarisasi produk yang telah disepakati bersama harus terus dipantau pelaksanaannya. Barang-barang illegal di perbatasan juga sedapat mungkin kian ditertibkan guna penerapan mekanisme kontrol yang terarah.
Kepada masyarakat luas ada baiknya pemerintah terus mengkampanyekan untuk tetap membeli produk dalam negeri yang kualitasnya juga harus diperhatikan oleh pemerintah agar layak bersaing dengan produk impor.
Terakhir dalam hal investasi, berhubung agraris merupakan sektor penunjang negeri ini, pemerintah dirasa wajib mengontrol laju investasi modal asing dalam sektor tersebut agar tidak terjadi arus investasi yang justru akan merugikan satu pihak (baca: Indonesia). Tak lupa pula sosialisasi mengenai globalisasi di dunia, layaknya dipahami bukan sebagai hambatan, namun justru sebagai tantangan bagi rakyat negeri ini.
oleh Novia Syafrawi Umar
http://www.facebook.com/note.php?note_id=424419651517
sumber :
http://www.gudangmateri.com/2010/08/dampak-acfta-terhadap-devisa-negara.html
http://www.gudangmateri.com/2010/04/industri-kreatif-teknologi-di-indonesia.html
Baca Selengkapnya ..
Asean - China Free Trade Aggrement (ACFTA) kian menjadi polemik bagi bangsa Indonesia. Mukadimah tahun ini menjadi momentum besar yang digunakan sebagai pengesahan perjanjian perdagangan internasional tersebut. Indonesia sendiri telah dengan gamblang mendeklarasikan pengesahan hubungannya dengan China sebagai partner dagang. Jadi secara tidak langsung, tahun ini perjanjian internasional tersebut telah legal untuk direalisasikan diseluruh lini perdagangan Indonesia yang terkait.
Pemerintah seolah mengemban misi penting dalam pengesahan kerjasama yang menimbulkan
berbagai reaksi keras dari para pebisnis tersebut. Asosiasi Industri Plastik, Aromatik, dan Olefin Indonesia (INAplas) meminta pemerintah menunda pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN (ACFTA) dari Januari 2010 menjadi 2015. Lebih jauh lagi INAplas sejak awal juga telah meminta penundaan FTA ASEAN dengan negara lain, di antaranya China, Korea, India, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Tanggapan senada juga muncul dari dunia tekstil Indonesia. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS.
Reaksi keras tidak hanya datang dari pelaku bisnis, namun anggota DPR pun ikut angkat bicara. Komisi VI DPR Komisi IV meminta pemerintah melakukan renegoisasi perjanjian kerja sama ACFTA sekaligus menunda perjanjian di sektor-sektor yang terkait perdagangan bebas. Banyaknya keberatan yang muncul dari berbagai kalangan tersebut harusnya dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap melakukan pengimplementasian Free Trade Area dengan negeri tirai bambu tersebut di tanah air. Namun fakta yang ditemukan adalah FTA ASEAN-China justru resmi diratifikasi Indonesia pada 1 Januari 2010 yang ditandai dengan penghapusan bea masuk dalam program normal track.
Gejolak masyarakat terkait penerapan hubungan dagang dengan China tersebut seakan diabaikan oleh pemerintah. Hal tersebut tentu saja mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejatinya apa factor utama yang menyebabkan pemerintah tetap kukuh memberlakukan Free Trade Area dengan China?
Manfaat penelitian
Diharapkan dengan meneliti rasionalisasi pemerintah Indonesia dalam meratifiksi CAFTA dan mengaitkannya dengan teori yang relevan dapat menjawab kekhawatiran berbagai pihak serta untuk menemukan alasan mendasar pengimplementasian FTA di Indonesia itu sendiri.
Landasan teori
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori Liberalisme interdependensi atau dikenal pula dengan teori interdependensi negara. Teori interdependensi secara singkat dapat didefinisikankan sebagai suatu pergantungan antara satu sama lain atau suatu sikap/tindakan saling ketergantungan.
PEMBAHASAN
Senada dengan definisi singkat dari Kamus Ilmiah Populer diatas, Dalam bukunya, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Robert Jackson dan Georg Sorenson juga membahas mengenai teori Interdependensi. Di dalamnya dijelaskan bahwa teori tersebut berarti ketergantungan timbal-balik. Dalam artian antara dua komponen suatu negara yaitu rakyat dan pemerintah selalu dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimanapun oleh tindakan rekannya di negara lain.
Secara langsung semakin tinggi hubungan suatu negara dengan negara lain maka semakin tinggi pula tingkat pengaruh yang timbul dari luar tersebut. Hal itu juga sering dikaitkan dengan modernisasi yang mulai berkembang pesat pasca 1950an sejak berlangsungnya revolusi industri di belahan dunia.
Dalam buku yang sama dijelaskan pula bahwa sebenarnya pembangunan ekonomi dan perdagangan luar negeri saat ini lebih efektif untuk mengembangkan perekonomian suatu negara dibandingkan dengan high politic seperti persenjataan yang justru membutuhkan biaya yang relatif besar.
Tak dapat dinafikan, seiring berkembangnya teknologi dan informasi, batasan-batasan antarnegara pun kian menyusut. Definisi mengenai siapa sebenarnya aktor hubungan internasional pun kini telah meluas. Siapapun kini cenderung mampu mengadakan hubungan lintas negara dan menjadi aktor internasional. Hubungan internasional kini tak dapat lagi dipahami sebagai hubungan antar pemerintahan namun juga individu, perusahaan dan sejumlah organisasi yang terdiri di dalamnya.
Tak ayal kerjasama antar aktor Hi pun kerap terjadi. Bahkan suatu negara pun tentu membutuhkan kerjasama dengan negara lainnya karena perbedaan sektor-sektor unggulan yang dimiliki tiap-tiap negara. Hal itulah yang lantas menjadi asumsi dasar teori interdependensi. Bahwasanya negara-negara di dunia cenderung untuk bekerjasama di bawah suatu perdagangan yang liberal karena faktor keterkaitan interdependensi tersebut.
Pemaparan teori tersebut erat kaitannya dengan alasan yang kiranya melatari pengambilan keputusan oleh Pemerintah Indonesia yang seakan tanpa ragu memulai jalinan kerjasamanya dengan negara Panda tersebut. Untuk menganalisa mutualisme yang terjadi maka akan diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut:
Indonesia sebagai negara agraris
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita telah diajarkan betapa negara ini merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia. Hal tersebut didukung oleh data BPS jumlah petani di Indonesia mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Berdasarkan data Departemen Pertanian, luas lahan sawah Indonesia mencapai 7,6 juta ha. Potensi ini juga didukung oleh kekayaan komoditas dan kesuburan lahan yang sangat baik.
Di tahun 2004, gaung ini pun semakin membesar dengan pernyataan pemerintah bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Selain itu pemerintah juga menargetkan swasembada pangan 2014 yang jika mengacu pada FAO (Food and Agriculture Organization) diistilahkan sebagai ketahanan pangan (food security). Tidak hanya itu, dalam krisis ekonomi tahun 1997 pun hanya sektor ekonomi Indonesia lah yang mampu bertahan.
China sebagai “negara pabrik”
Tak dapat dinafikan, China seakan merangkak muncul sebagai salah satu kekuatan besar di era globalisasi ini. Semua sektor mereka miliki, mulai dari industri, sumber daya manusia, teknologi serta informasi telah berkembang begitu pesat di negeri ini. Namun hanya satu hal yang menjadi kelemahan bagi China. Negara tersebut tidaklah memiliki sektor agraris yang baik.
China adalah negara yang begitu akrab dengan musibah kekeringan sejak decade 1990-an. Contohnya pada penghujung tahun 2009 lalu, Kekeringan melanda China bagian selatan telah dan menggagalkan panen serta menyurutkan air waduk dan sungai hingga ke tingkat terendah dalam sejarah.
Begitu pula dengan tanaman lainnya yang notabene begitu membutuhkan air. Tanaman tersebut mulai kekeringan hingga menyebabkan gagal panen. Menurut laporan Kantor Pengawas Banjir dan Kekeringan Fujian, diperkirakan 1,3 juta are lahan pertanian mengalami kekeringan di Provinsi Fujian, dan 194.000 orang menderita kekurangan air minum. Lusinan waduk level airnya rendah, bahkan beberapa telah kering.
Disamping itu China luarbiasa pesat dalam hal perindustrian, China telah menggeser Jepang sebagai negara industri terbesar dunia kedua, berdasarkan sebuah laporan Organisasi Pengembangan Industri PBB (UNIDO). Berdasarkan perkiraan UNIDO, kontribusi China pada total produksi dunia atau MVA telah mencapai 15,6% pada tahun 2009, sedikit lebih besar dibanding Jepang yang mencapai 15,4%. Sementara Amerika Serikat masih teratas dengan tingkat produksi mencapai 19%.
Karena statusnya sebagai negara industri terbesar kedua itulah pantas bila istilah “negara pabrik” seakan terus melekat pada negara padat penduduk ini. Begitu banyak bahan baku yang diserah oleh China dari beragai negara melalui jalur impor untuk kemudian diproduksi menjadi barang jadi seperti yang kerap kita temui dengan harga miring di negeri ini.
Prospek hubungan RI-China terhadap Indonesia
Dari data-data diatas dapat diamati dengan jelas bahwasanya perdagangan antara RI-China jelas memiliki potensi yang cukup besar bagi perekonomian dua negara. Indonesia adalah negara agraris besar yang terbukti dengan surplus yang telah dicapai Indonesia sebesar US$2 miliar dari hasil ekspor bahan pertanian ke China pada 2010 ini.
Sedangkan sedikitnya juga ada tiga sektor lain yang mengalami peningkatan ekspor. Yaitu obat-obatan tradisional seprti ekspor jamu Indonesia selama periode Januari-Oktober 2009 menunjukkan kenaikan dibandingkan priode yang sama tahun 2008.
yaitu dari 8.294 juta dolar AS naik menjadi 9.676 juta dolar AS. Kemudian disusul sektor perhiasan yang meningkat jumlah ekspornya sebesar 26,04 persen. Produk tekstil pun tak kalah bersaing, dalam lima tahun terakhir (2004-2008) menunjukan pertumbuhan nilai ekspor sebesar 7,21 persen. Di mana perolehan ekspor pada tahun 2008 mencapai 10.1 miliar dolar AS.
Badan Pusat Statistik atau BPS menyebut bahwa untuk pertama kalinya ekspor Indonesia ke China pada awal tahun ini menempati posisi nomor dua dibandingkan negara-negara tujuan lainnya. Bahkan, ekspor nonmigas Indonesia ke China yang mencapai 1,011 miliar dollar AS mengalahkan ekspor ke Amerika Serikat yang mencapai 997,7 juta dollar AS.
Tentu saja otomatis ekspor Indonesia tentu juga amat dibutuhkan negara tirai bambu tersebut yang pada dasarnya membutuhkan pasokan impor pangan dari negara agraris seperti Indonesia. Begitu pula dengan produksi ban yang mulai meningkat pesat di China dengan target pasar seluruh dunia, menyebabkan China membutuhkan suplai karet dalam jumlah besar dari Indonesia.
Menjawab kekhawatiran berbagai kalangan terkait akan terpuruknya perdagangan di Indonesia bila CAFTA diratifikasi agaknya belum terbukti. Secara nasional ekspor non migas ke China sepanjang kuartal I/2010 meningkat hingga 113,3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dan yang terpenting adalah Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Anton Supit menyebutkan kenaikan impor produk China tidak didominasi oleh barang jadi, tetapi berbentuk bahan baku penolong atau bahan modal yang akan digunakan untuk proses produksi lanjutan di dalam negeri.
Kesimpulan
Berdasarkan penguraian diatas, pada quartal I penerapannya, misi pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terbilang efektif. Secara tidak langsung, teori interdepedensi yang melatari kaitan mutualisme dua negara juga terbukti karena hubungan kerjasama perdagangan RI-China sejauh ini telah menunjukkan gejala yang menguntungkan kedua negara.
Program yang mungkin harus lebih dimasifkan oleh pemerintah adalah bagaimana untuk terus meningkatkan fasilitas dalam negeri guna menunjang berbagai sektor terutama pertanian. Insentif dan sosialisasi pertanian juga perlu ditingkatkan agar petani Indonesia kian mampu bersaing menciptakan produksi yang handal.
Kemudian dalam hal birokrasi, pemerintah juga wajib mengawasi dengan ketat arus masuk barang melalui badan bea dan cukai. Standarisasi produk yang telah disepakati bersama harus terus dipantau pelaksanaannya. Barang-barang illegal di perbatasan juga sedapat mungkin kian ditertibkan guna penerapan mekanisme kontrol yang terarah.
Kepada masyarakat luas ada baiknya pemerintah terus mengkampanyekan untuk tetap membeli produk dalam negeri yang kualitasnya juga harus diperhatikan oleh pemerintah agar layak bersaing dengan produk impor.
Terakhir dalam hal investasi, berhubung agraris merupakan sektor penunjang negeri ini, pemerintah dirasa wajib mengontrol laju investasi modal asing dalam sektor tersebut agar tidak terjadi arus investasi yang justru akan merugikan satu pihak (baca: Indonesia). Tak lupa pula sosialisasi mengenai globalisasi di dunia, layaknya dipahami bukan sebagai hambatan, namun justru sebagai tantangan bagi rakyat negeri ini.
oleh Novia Syafrawi Umar
http://www.facebook.com/note.php?note_id=424419651517
sumber :
http://www.gudangmateri.com/2010/08/dampak-acfta-terhadap-devisa-negara.html
http://www.gudangmateri.com/2010/04/industri-kreatif-teknologi-di-indonesia.html