oleh : Bambang Wahyu Nugroho
Partai politik bukanlah sebuah lembaga yang serbasama, sekalipun ada kesamaan perilaku khususnya dalam hubungannya dengan kekuasaan politik. Dengan alasan-alasan tertentu partai-partai dapat dibedakan jenisnya sebagai berikut:
Berdasarkan sasaran pengembangannya:
1. Partai Kader;
2. Partai Massa;
3. Partai “ambil semua,” baik kader maupun massa (catch-all party).
Berdasarkan hubungan saling-pengaruhnya dengan konstituen:
1. Partai representatif;
2. Partai partisipatif.
Berdasarkan sikapnya terhadap sistem politik:
1. Partai konstitusional;
2. Partai revolusioner
Berdasarkan spektrum ideologisnya:
1. Partai Kanan;
2. Partai Kiri.
1. Partai Kader, Partai Massa, dan Partai “catch-all”
Berdasarkan sasaran pengembangannya, partai dapat dibedakan menjadi Partai Kader, Partai Massa, dan Partai catch all (ambil semua, kader maupun massa). Istilah partai kader aslinya berarti “partainya kaum istimewa” (party of notables), yang didominasi oleh sebuah kelompok pemimpin informal yang memandang rendah terhadap pengembangan organisasi massa.
Partai seperti itu sering kali dikembangkan di luar faksi-faksi atau klik (cliques) parlementer pada suatu waktu ketika pembagian kekuasaan partai sangat terbatas. Tetapi, istilah kader saat ini sangat biasa digunakan untuk menyebut anggota-anggota partai yang terlatih dan profesional yang diharapkan dapat menunjukkan komitmen politik dan disiplin doktriner tingkat tinggi terhadap partainya.
Dalam pengertian ini Partai Komunis Uni Soviet, Partai Nazi Jerman, dan Partai Fasis di Italia, demikian pula Partai Komunis Cina, adalah partai kader. Di masa setelah Perang Dunia II, Partai Kongres India termasuk ke dalam partai kader. Corak yang membedakan partai kader adalah penekanannya pada elit politik yang aktif (biasanya setengah militeristik) yang sangat cakap menawarkan ideologi partai terhadap massa.
Sementara itu partai massa lebih menekankan untuk memperbanyak jumlah keanggotaan dan menyusun basis pemilih yang lebih luas. Contohnya adalah Partai Kristen Demokrat di Jerman dan Partai Buruh di Inggris, yang mengkonstruksi organisasinya secara khusus untuk memobilisasi klas pekerja/buruh. Corak inti dari partai seperti itu yakni mereka menekankan pada rekrutmen dan pengembangan organisasi ketimbang keyakinan politik dan ideologi. Keanggotaan partai massa biasanya tidak mempunyai syarat yang ketat, kecuali bagi segelintir aktivisnya, yakni biasanya sekadar setuju terhadap asas dan tujuan umum partai tersebut.
Sebagian besar partai modern tergolong ke dalam apa yang disebut oleh Otto Kircheimer (1966) sebagai partai ambil semua (catch-all party).[1] Partai-partai seperti ini lah yang secara drastis mereduksi pandangan ideologisnya dengan maksud untuk menarik perhatian dan jumlah dukungan suara yang lebih luas.
Kircheimer khususnya mengamati perkembangan Partai Kristen Demokrat di Jerman, namun contoh yang lebih jelas adalah bentuk Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat, dan juga Partai Buruh di Inggris. Partai-partai seperti ini berbeda dengan model klasik partai massa karena mereka juga menekankan kepemimpinan dan kesatuan (baca: kader), dan kemudian mengerahkan peranan para anggotanya lebih untuk membangun koalisi dukungan suara ketimbang mendekati klas sosial atau kelompok sosial tertentu.[2]
2. Partai Representatif dan Partai Partisipatif
Menurut Sigmund Neumann (1956), partai representatif adalah melihat bahwa fungsi utamanya adalah mengamankan jumlah suara dalam pemilihan umum. Dengan demikian mereka kemudian berusaha lebih merefleksikan, ketimbang membentuk, opini publik.
Dalam pengertian ini, partai representatif menerapkan strategi catch-all dan dengan demikian meletakkan pragmatisme di atas asas dan “riset pasar” ketimbang mobilisasi kerakyatan. Argumen perilaku politik partai seperti itu dapat dipahami berdasarkan model pilihan rasional, sebagaimana digambarkan oleh Joseph Schumpeter dan Anthony Downs, yang memandang politisi sebagai makhluk pemburu kekuasaan yang bersedia menggunakan kebijakan apa saja yang dirasa akan membawanya pada keberhasilan dalam pemilihan umum.[3]
Sedangkan partai integrasi, sebaliknya, menerapkan strategi politik yang proaktif, tidak reaktif; mereka bertindak lebih untuk memobilisasi, mendidik, dan mengilhami massa, ketimbang hanya merespon kehendak massa. Meskipun Neumann melihat ciri khas partai mobilisator sebagai suatu partai kader yang secara ideologi disiplin, partai massa dapat juga menunjukkan kecondongan mobilisasi. Contohnya, sampai mereka dikecewakan oleh hasil pemilihan umum, partai-partai sosialis berusaha memobilisasi dukungan dengan menyerukan keuntungan bagi rakyat yang mau mendukungnya, lapangan pekerjaan, redistribusi, kesejahteraan sosial, dan sebagainya.
Agak ironis, pendekatan ini juga diterapkan oleh Partai Konservatif Inggris di bawah pimpinan Margaret Thatcher pada tahun 1980-an. Mengingkari asas ideologisnya, Thatcher membawa Partai Konservatif menerapkan strategi memotong pajak, mendorong usaha swasta, memajukan tanggung jawab perseorangan, mengambil hati kekuatan serikat dagang, dan sebagainya.
3. Partai Konstitusional dan Partai Revolusioner
Partai konstitusional mengakui hak-hak, kehormatan, dan eksistensi partai lain dan dengan demikian bekerja di dalam sebuah kerangka aturan dan batasan-batasan. Khususnya, mereka mengakui bahwa ada pemilahan antara partai dengan negara, antara partai dengan kekuasaan (pemerintah yang sedang berkuasa), dan lembaga-lembaga negara (birokrasi, kehakiman, kepolisian, bahkan parlemen, dsb) yang memiliki kebebasan formal dan netralitas politik. Lebih dari itu, partai konstitusional mengakui dan menghargai aturan kompetisi dalam pemilihan umum. Mereka mengakui bahwa mereka dapat dengan mudah melepaskan kekuasaan semudah mereka memperolehnya dalam pemilihan umum. Partai-partai arus-utama dalam demokrasi liberal semua memiliki karakter konstitusional seperti itu.[4]
Sedangkan partai revolusioner, di sisi lain, bersikap anti sistem dan anti konstitusi, baik yang berideologi kanan maupun kiri. Partai-partai seperti itu bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan menjatuhkan struktur konstitusional yang ada menggunakan taktik yang membentang dari pemberontakan dan revolusi kerakyatan hingga setengah legalis sebagaimana diperankan oleh Partai Nazi dan Partai Fasis. Dalam beberapa kasus, partai-partai revolusioner secara resmi dinyatakan terlarang dan digolongkan sebagai “ekstrimis” atau “antidemokrasi,” sebagaimana yang terjadi di Jerman pasca Perang Dunia II.[5]
Tetapi apabila partai seperti itu memenangi kekuasaan, mereka akan menjadi partai berkuasa atau partai pemegang rezim, dan menindas partai-partai lawan dan meneguhkan sebuah hubungan permanen dengan mesin kekuasaan (baca: aparatur negara) Dalam sistem partai tunggal, apakah di bawah bendera komunis, fasis, nasionalis, atau apa saja, perbedaan antara partai dan negara sangat tipis.
Bahwa partai berkuasa adalah juga menjadi pemerintah, dan menciptakan aparatur “partai-negara” (aparatur partai juga aparatur negara). Contohnya di Uni Soviet, Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet juga merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.[6]
4. Partai Sayap Kanan dan Partai Sayap Kiri
Berdasarkan orientasi ideologisnya, partai sering digolongkan menjadi partai “sayap kanan” dan partai “sayap kiri.” Partai dipandang sebagai bagian (part) dari “kaum Kiri” (partai-partai progresif, sosialis, dan komunis) jika ditandai dengan komitmennya untuk melakukan perubahan apakah dalam bentuk reformasi sosial atau transformasi ekonomi secara menyeluruh. Secara tradisional mereka menggalang dukungannya dari kaum miskin dan golongan pinggiran yang kurang diuntungkan (klas pekerja kota) dan petani miskin, petani dengan sedikit tanah atau buruh tani yang tak punya tanah (di desa). Partai-partai yang digolongkan “Kanan” (khususnya kaum konservatif dan fasis) yang secara umum berupaya mempertahankan tertib sosial, dan konsekuensinya, menjaga kekuatan demi kesinambungan.
Para pendukung mereka biasanya kaum bisnis dan klas menengah yang mapan secara material. Tetapi cara penggolongan partai Kanan-Kiri seperti ini sangat menyederhanakan, dan beresiko disalahpahami. Karena bukan hanya partai-partai kanan dan kiri yang dicirikan dengan konstitusionalitas atau revolusionernya, tetapi juga semua partai, khususnya yang konstitusional pun kadang menunjukkan perhatiannya kepada persoalan rakyat seolah seperti kaum kiri (melawan kemiskinan, redistribusi, dll.) terutama ketika mereka mencari dukungan suara untuk pemilihan umum.
Istilah “spektrum politik” Kanan-Kiri merupakan cara gampang untuk memetakan gagasan dan keyakinan politik, meringkas posisi ideologi para politisi, partai dan gerakan politik. Asal-usulnya dapat dilacak pada masa Revolusi Prancis dan posisi kelompok-kelompok yang mengikuti pertemuan pertama French Estates-General pada tahun 1789. Tetapi, istilah Kanan dan Kiri itu tidak mempunyai arti yang eksak.
Dalam arti sempit, spektrum politik linier meringkas sikap yang berbeda terhadap ekonomi dan peran negara: sayap-kiri berpandangan mendukung intervensi negara dan kolektivisme, sayap-kanan lebih mendukung pasar dan individualisme.
Spektrum Linier (Heywood, 1995:235)
Baca Selengkapnya ..
Partai politik bukanlah sebuah lembaga yang serbasama, sekalipun ada kesamaan perilaku khususnya dalam hubungannya dengan kekuasaan politik. Dengan alasan-alasan tertentu partai-partai dapat dibedakan jenisnya sebagai berikut:
Berdasarkan sasaran pengembangannya:
1. Partai Kader;
2. Partai Massa;
3. Partai “ambil semua,” baik kader maupun massa (catch-all party).
Berdasarkan hubungan saling-pengaruhnya dengan konstituen:
1. Partai representatif;
2. Partai partisipatif.
Berdasarkan sikapnya terhadap sistem politik:
1. Partai konstitusional;
2. Partai revolusioner
Berdasarkan spektrum ideologisnya:
1. Partai Kanan;
2. Partai Kiri.
1. Partai Kader, Partai Massa, dan Partai “catch-all”
Berdasarkan sasaran pengembangannya, partai dapat dibedakan menjadi Partai Kader, Partai Massa, dan Partai catch all (ambil semua, kader maupun massa). Istilah partai kader aslinya berarti “partainya kaum istimewa” (party of notables), yang didominasi oleh sebuah kelompok pemimpin informal yang memandang rendah terhadap pengembangan organisasi massa.
Partai seperti itu sering kali dikembangkan di luar faksi-faksi atau klik (cliques) parlementer pada suatu waktu ketika pembagian kekuasaan partai sangat terbatas. Tetapi, istilah kader saat ini sangat biasa digunakan untuk menyebut anggota-anggota partai yang terlatih dan profesional yang diharapkan dapat menunjukkan komitmen politik dan disiplin doktriner tingkat tinggi terhadap partainya.
Dalam pengertian ini Partai Komunis Uni Soviet, Partai Nazi Jerman, dan Partai Fasis di Italia, demikian pula Partai Komunis Cina, adalah partai kader. Di masa setelah Perang Dunia II, Partai Kongres India termasuk ke dalam partai kader. Corak yang membedakan partai kader adalah penekanannya pada elit politik yang aktif (biasanya setengah militeristik) yang sangat cakap menawarkan ideologi partai terhadap massa.
Sementara itu partai massa lebih menekankan untuk memperbanyak jumlah keanggotaan dan menyusun basis pemilih yang lebih luas. Contohnya adalah Partai Kristen Demokrat di Jerman dan Partai Buruh di Inggris, yang mengkonstruksi organisasinya secara khusus untuk memobilisasi klas pekerja/buruh. Corak inti dari partai seperti itu yakni mereka menekankan pada rekrutmen dan pengembangan organisasi ketimbang keyakinan politik dan ideologi. Keanggotaan partai massa biasanya tidak mempunyai syarat yang ketat, kecuali bagi segelintir aktivisnya, yakni biasanya sekadar setuju terhadap asas dan tujuan umum partai tersebut.
Sebagian besar partai modern tergolong ke dalam apa yang disebut oleh Otto Kircheimer (1966) sebagai partai ambil semua (catch-all party).[1] Partai-partai seperti ini lah yang secara drastis mereduksi pandangan ideologisnya dengan maksud untuk menarik perhatian dan jumlah dukungan suara yang lebih luas.
Kircheimer khususnya mengamati perkembangan Partai Kristen Demokrat di Jerman, namun contoh yang lebih jelas adalah bentuk Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat, dan juga Partai Buruh di Inggris. Partai-partai seperti ini berbeda dengan model klasik partai massa karena mereka juga menekankan kepemimpinan dan kesatuan (baca: kader), dan kemudian mengerahkan peranan para anggotanya lebih untuk membangun koalisi dukungan suara ketimbang mendekati klas sosial atau kelompok sosial tertentu.[2]
2. Partai Representatif dan Partai Partisipatif
Menurut Sigmund Neumann (1956), partai representatif adalah melihat bahwa fungsi utamanya adalah mengamankan jumlah suara dalam pemilihan umum. Dengan demikian mereka kemudian berusaha lebih merefleksikan, ketimbang membentuk, opini publik.
Dalam pengertian ini, partai representatif menerapkan strategi catch-all dan dengan demikian meletakkan pragmatisme di atas asas dan “riset pasar” ketimbang mobilisasi kerakyatan. Argumen perilaku politik partai seperti itu dapat dipahami berdasarkan model pilihan rasional, sebagaimana digambarkan oleh Joseph Schumpeter dan Anthony Downs, yang memandang politisi sebagai makhluk pemburu kekuasaan yang bersedia menggunakan kebijakan apa saja yang dirasa akan membawanya pada keberhasilan dalam pemilihan umum.[3]
Sedangkan partai integrasi, sebaliknya, menerapkan strategi politik yang proaktif, tidak reaktif; mereka bertindak lebih untuk memobilisasi, mendidik, dan mengilhami massa, ketimbang hanya merespon kehendak massa. Meskipun Neumann melihat ciri khas partai mobilisator sebagai suatu partai kader yang secara ideologi disiplin, partai massa dapat juga menunjukkan kecondongan mobilisasi. Contohnya, sampai mereka dikecewakan oleh hasil pemilihan umum, partai-partai sosialis berusaha memobilisasi dukungan dengan menyerukan keuntungan bagi rakyat yang mau mendukungnya, lapangan pekerjaan, redistribusi, kesejahteraan sosial, dan sebagainya.
Agak ironis, pendekatan ini juga diterapkan oleh Partai Konservatif Inggris di bawah pimpinan Margaret Thatcher pada tahun 1980-an. Mengingkari asas ideologisnya, Thatcher membawa Partai Konservatif menerapkan strategi memotong pajak, mendorong usaha swasta, memajukan tanggung jawab perseorangan, mengambil hati kekuatan serikat dagang, dan sebagainya.
3. Partai Konstitusional dan Partai Revolusioner
Partai konstitusional mengakui hak-hak, kehormatan, dan eksistensi partai lain dan dengan demikian bekerja di dalam sebuah kerangka aturan dan batasan-batasan. Khususnya, mereka mengakui bahwa ada pemilahan antara partai dengan negara, antara partai dengan kekuasaan (pemerintah yang sedang berkuasa), dan lembaga-lembaga negara (birokrasi, kehakiman, kepolisian, bahkan parlemen, dsb) yang memiliki kebebasan formal dan netralitas politik. Lebih dari itu, partai konstitusional mengakui dan menghargai aturan kompetisi dalam pemilihan umum. Mereka mengakui bahwa mereka dapat dengan mudah melepaskan kekuasaan semudah mereka memperolehnya dalam pemilihan umum. Partai-partai arus-utama dalam demokrasi liberal semua memiliki karakter konstitusional seperti itu.[4]
Sedangkan partai revolusioner, di sisi lain, bersikap anti sistem dan anti konstitusi, baik yang berideologi kanan maupun kiri. Partai-partai seperti itu bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan menjatuhkan struktur konstitusional yang ada menggunakan taktik yang membentang dari pemberontakan dan revolusi kerakyatan hingga setengah legalis sebagaimana diperankan oleh Partai Nazi dan Partai Fasis. Dalam beberapa kasus, partai-partai revolusioner secara resmi dinyatakan terlarang dan digolongkan sebagai “ekstrimis” atau “antidemokrasi,” sebagaimana yang terjadi di Jerman pasca Perang Dunia II.[5]
Tetapi apabila partai seperti itu memenangi kekuasaan, mereka akan menjadi partai berkuasa atau partai pemegang rezim, dan menindas partai-partai lawan dan meneguhkan sebuah hubungan permanen dengan mesin kekuasaan (baca: aparatur negara) Dalam sistem partai tunggal, apakah di bawah bendera komunis, fasis, nasionalis, atau apa saja, perbedaan antara partai dan negara sangat tipis.
Bahwa partai berkuasa adalah juga menjadi pemerintah, dan menciptakan aparatur “partai-negara” (aparatur partai juga aparatur negara). Contohnya di Uni Soviet, Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet juga merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.[6]
4. Partai Sayap Kanan dan Partai Sayap Kiri
Berdasarkan orientasi ideologisnya, partai sering digolongkan menjadi partai “sayap kanan” dan partai “sayap kiri.” Partai dipandang sebagai bagian (part) dari “kaum Kiri” (partai-partai progresif, sosialis, dan komunis) jika ditandai dengan komitmennya untuk melakukan perubahan apakah dalam bentuk reformasi sosial atau transformasi ekonomi secara menyeluruh. Secara tradisional mereka menggalang dukungannya dari kaum miskin dan golongan pinggiran yang kurang diuntungkan (klas pekerja kota) dan petani miskin, petani dengan sedikit tanah atau buruh tani yang tak punya tanah (di desa). Partai-partai yang digolongkan “Kanan” (khususnya kaum konservatif dan fasis) yang secara umum berupaya mempertahankan tertib sosial, dan konsekuensinya, menjaga kekuatan demi kesinambungan.
Para pendukung mereka biasanya kaum bisnis dan klas menengah yang mapan secara material. Tetapi cara penggolongan partai Kanan-Kiri seperti ini sangat menyederhanakan, dan beresiko disalahpahami. Karena bukan hanya partai-partai kanan dan kiri yang dicirikan dengan konstitusionalitas atau revolusionernya, tetapi juga semua partai, khususnya yang konstitusional pun kadang menunjukkan perhatiannya kepada persoalan rakyat seolah seperti kaum kiri (melawan kemiskinan, redistribusi, dll.) terutama ketika mereka mencari dukungan suara untuk pemilihan umum.
Istilah “spektrum politik” Kanan-Kiri merupakan cara gampang untuk memetakan gagasan dan keyakinan politik, meringkas posisi ideologi para politisi, partai dan gerakan politik. Asal-usulnya dapat dilacak pada masa Revolusi Prancis dan posisi kelompok-kelompok yang mengikuti pertemuan pertama French Estates-General pada tahun 1789. Tetapi, istilah Kanan dan Kiri itu tidak mempunyai arti yang eksak.
Dalam arti sempit, spektrum politik linier meringkas sikap yang berbeda terhadap ekonomi dan peran negara: sayap-kiri berpandangan mendukung intervensi negara dan kolektivisme, sayap-kanan lebih mendukung pasar dan individualisme.
Spektrum Linier (Heywood, 1995:235)