Meski masalah ini sedikit serius, tapi mari kita mendiskusikannya dengan santai. Pertama saya ingin menyamakan persepsi bahwa negara berkewajiban memenuhi hak dasar setiap warganegara dalam arti luas, termasuk warga negara lain yang tunduk pada konstitusi negara. Hak dimaksud termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal. Singkatnya hak warga negara adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.
Negara dalam skala global lebih dipandang sebagai suatu badan hukum dengan sejumlah hak dan kewajibannya pada tataran universal. Dalam konteks kepentingan rakyat suatu bangsa, negara adalah organisasi yang di dalamnya dilengkapi dengan organ-organ guna menjalankan fungsinya. Secara garis besar organ-organ ini kita sudah sama ketahui yakni ekskutif, yudikatif dan legislatif sebagaimana pengelompokan yang dilakukan oleh Montesque yang mengenalkan istilah trias politica.
Kewajiban negara kepada warga negara seharusnya telah terbagi habis kepada ketiga pilar negara sebagaimana yang disebutkan tadi dimana kewajiban pelaksanaannya diamanahkan kepada eksekutif, pengaturannya dalam bentuk ligislasi yang mengikat setiap warga negara diamanahkan kepada legislatif dan pengawasan serta penegakan dari aturan negara tersebut menjadi tanggungjawab lembaga yudikatif. Ketiga lembaga ini seharusnya independen dalam fungsinya masing-masing. Fungsi ini tidak bisa dikompromikan apalagi dicampur baur karena akan berakibat merugikan pihak yang dilayani alias warga negara atau rakyat.
Sekarang kita membatasi lingkup diskusi kita pada satu lembaga yakni lembaga eksekutif atau umum dikenal sebagai lembaga pemerintah. Untuk melaksanakan amanah negara dalam hal memberikan pelayanan kepada warga negara baik langsung maupun tidak langsung, pemerintah diberikan kewenangan oleh negara untuk membelanjakan uang negara yang diperoleh atau diterima dari berbagai sumber termasuk pajak yang dibayarkan oleh setiap warga negara kepada negara.
Dari kewenangan berbelanja inilah yang kemudian melahirkan suatu bentuk aktivitas pemerintah yang disebut sebagai pengadaan barang/ jasa pemerintah. Atas dasar filosofi ini sehingga setiap orang yang diberikan amanah oleh organisasinya terlibat dalam proses pengadaan, harus benar-benar menghayati bahwa uang yang dibelanjakan adalah uang titipan rakyat untuk peruntukan memaksimalkan pelayanan kepada rakyat baik langsung maupun tidak langsung.
Maka seharusnya azas yang pertama dan mutlak ditaati dalam melaksanakan amanah pengadaan barang/ jasa di lingkungan pemerintah termasuk lembaga negara lainnya adalah azas kehati-hatian.
Bagaimana mempraktekkan azas kehati-hatian ini, saya tidak punya rujukan resmi. Yang selalu saya ingat adalah pesan kakek bila saya pamit mau bepergian berkendaraan: “Hati-hati di jalan nak, selamat sampai ke tempat tujuan.” Yang maksudnya agar saya menaati peraturan lalu lintas, menghormati hak pengguna jalan yang lain, tidak keluar jalur, menjaga keselamatan kendaraan dan tentunya harus membiasakan bertanya bila tersesat agar hemat bahan bakar alias efisien. Untungnya sekarang ada Geo Pisitioning System (GPS) dimana sangat membantu bila tersesat dan tak ada yang bisa ditanya, terutama di jalan tol.
Kembali ke soal pengadaan. Seorang rekan suatu hari bertanya soal pengadaan ini dalam hubungannya dengan pelayanan kepada rakyat. Ia menanyakan hubungan antara pembelian mobil operasional di lingkungan tempat kerjanya.
“Apa hubungannya mobil pejabat dengan kepentingan rakyat?” Tanyanya lalu menambahkan bahwa yang berhubungan dengan kepentingan rakyat itu pastinya adalah sekolah, jalan, sarana air bersih, jembatan dan semacamnya.
Saya tidak menyalahkan pandangan itu karena justru pemikiran seperti itu yang dominan ada di kepala orang. Termasuk banyak yang menanyakan hubungan antara biaya rapat, studi banding, kajian dan semacamnya untuk kepentingan rakyat.
Tentu saja jawaban saya bukan bermaksud pembenaran, yang pasti bahwa pelayanan kepada rakyat atau masyarakat tidak semuanya dalam wujud yang langsung dalam bentuk fisik. Kalau dengan pengadaan mobil, studi banding, rapat, kajian dan sebagainya diyakini dapat mendorong kinerja organisasi untuk menghasilkan output dan outcomes yang secara berantai membawa dampak (impact) kepada perbaikan tatanan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan sosial, ekonomi, budaya, ideologi, hukum, pertahanan, dan keamanan yang bermuara pada peningkatan kualitas kehidupan rakyat serta kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seharusnya tidak ada alasan mengatakan studi banding dan kegiatan semacamnya itu salah.
Bagaimana cara memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan didasarkan atas perspektif bagi sebesar-besar kepentingan rakyat? Jawabannya, tidak ada cara lain selain menegakkan disiplin perencanaan, mulai dari perencanaan kegiatan, perencanaan anggaran hingga perencanaan pengadaan, semangatnya harus sama yakni bagi sebesar-besar kepentingan rakyat !
Makanya salah satu hal yang mendasar dari perubahan Keppres 80/2003 menjadi Perpres 54/2010 adalah dari aspek penegasan perencanaan pengadaan sebagai bagian penting dari seluruh proses pengadaan.
Perlu diingat bahwa selain lembaga eksekutif juga ada lembaga lain yang harusnya berdiri tegak memasang filter agar tidak ada satupun kegiatan atau anggaran yang bisa lolos kecuali jelas muaranya dalam jangka pendek maupun panjang bagi kepentingan rakyat. Lembaga itu adalah lembaga legislatif. Saat lembaga eksekutif merampungkan tugasnya membuat perencanaan kegiatan dengan ancar-ancar anggarannya, maka di lembaga yang terdapat di tingkat nasional, propinsi hingga kabupaten yang merupakan wakil resmi rakyat secara konstitusi, akan berbicara lantang mengoreksi setiap program dan mempertajamnya bagi tujuan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemasalahatan rakyat, termasuk mengoreksi anggaran yang diajukan eksekutif agar uang negara yang berarti uang rakyat dibelanjakan secara efisien. Itulah tugas utamanya.
Setelah proses pengadaan berjalan, mulai dari perencanaan hingga barang/ jasa yang dibutuhkan diterima oleh pihak yang mengadakan, maka setelahnya masih ada satu lembaga lagi yang juga merupakan representasi negara dalam menjalankan kewajibannya kepada rakyat yang bertugas melakukan koreksi dan menjatuhkan sanksi bila ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang mendapat amanah pengadaan yang terbukti merugikan negara.
Begitulah sekilas pemikiran saya dalam melihat pengadaan barang jasa dari perspektif organisasi negara dan fungsi pemerintah dalam melaksanakan pelayanan bagi kepentingan rakyat. Intinya perangkat negara untuk megemban amanah rakyat relatif lengkap, namun kadang lemah dalam pelaksanaan (Col-Kronika7212)
Baca Selengkapnya ..
Negara dalam skala global lebih dipandang sebagai suatu badan hukum dengan sejumlah hak dan kewajibannya pada tataran universal. Dalam konteks kepentingan rakyat suatu bangsa, negara adalah organisasi yang di dalamnya dilengkapi dengan organ-organ guna menjalankan fungsinya. Secara garis besar organ-organ ini kita sudah sama ketahui yakni ekskutif, yudikatif dan legislatif sebagaimana pengelompokan yang dilakukan oleh Montesque yang mengenalkan istilah trias politica.
Kewajiban negara kepada warga negara seharusnya telah terbagi habis kepada ketiga pilar negara sebagaimana yang disebutkan tadi dimana kewajiban pelaksanaannya diamanahkan kepada eksekutif, pengaturannya dalam bentuk ligislasi yang mengikat setiap warga negara diamanahkan kepada legislatif dan pengawasan serta penegakan dari aturan negara tersebut menjadi tanggungjawab lembaga yudikatif. Ketiga lembaga ini seharusnya independen dalam fungsinya masing-masing. Fungsi ini tidak bisa dikompromikan apalagi dicampur baur karena akan berakibat merugikan pihak yang dilayani alias warga negara atau rakyat.
Sekarang kita membatasi lingkup diskusi kita pada satu lembaga yakni lembaga eksekutif atau umum dikenal sebagai lembaga pemerintah. Untuk melaksanakan amanah negara dalam hal memberikan pelayanan kepada warga negara baik langsung maupun tidak langsung, pemerintah diberikan kewenangan oleh negara untuk membelanjakan uang negara yang diperoleh atau diterima dari berbagai sumber termasuk pajak yang dibayarkan oleh setiap warga negara kepada negara.
Dari kewenangan berbelanja inilah yang kemudian melahirkan suatu bentuk aktivitas pemerintah yang disebut sebagai pengadaan barang/ jasa pemerintah. Atas dasar filosofi ini sehingga setiap orang yang diberikan amanah oleh organisasinya terlibat dalam proses pengadaan, harus benar-benar menghayati bahwa uang yang dibelanjakan adalah uang titipan rakyat untuk peruntukan memaksimalkan pelayanan kepada rakyat baik langsung maupun tidak langsung.
Maka seharusnya azas yang pertama dan mutlak ditaati dalam melaksanakan amanah pengadaan barang/ jasa di lingkungan pemerintah termasuk lembaga negara lainnya adalah azas kehati-hatian.
Bagaimana mempraktekkan azas kehati-hatian ini, saya tidak punya rujukan resmi. Yang selalu saya ingat adalah pesan kakek bila saya pamit mau bepergian berkendaraan: “Hati-hati di jalan nak, selamat sampai ke tempat tujuan.” Yang maksudnya agar saya menaati peraturan lalu lintas, menghormati hak pengguna jalan yang lain, tidak keluar jalur, menjaga keselamatan kendaraan dan tentunya harus membiasakan bertanya bila tersesat agar hemat bahan bakar alias efisien. Untungnya sekarang ada Geo Pisitioning System (GPS) dimana sangat membantu bila tersesat dan tak ada yang bisa ditanya, terutama di jalan tol.
Kembali ke soal pengadaan. Seorang rekan suatu hari bertanya soal pengadaan ini dalam hubungannya dengan pelayanan kepada rakyat. Ia menanyakan hubungan antara pembelian mobil operasional di lingkungan tempat kerjanya.
“Apa hubungannya mobil pejabat dengan kepentingan rakyat?” Tanyanya lalu menambahkan bahwa yang berhubungan dengan kepentingan rakyat itu pastinya adalah sekolah, jalan, sarana air bersih, jembatan dan semacamnya.
Saya tidak menyalahkan pandangan itu karena justru pemikiran seperti itu yang dominan ada di kepala orang. Termasuk banyak yang menanyakan hubungan antara biaya rapat, studi banding, kajian dan semacamnya untuk kepentingan rakyat.
Tentu saja jawaban saya bukan bermaksud pembenaran, yang pasti bahwa pelayanan kepada rakyat atau masyarakat tidak semuanya dalam wujud yang langsung dalam bentuk fisik. Kalau dengan pengadaan mobil, studi banding, rapat, kajian dan sebagainya diyakini dapat mendorong kinerja organisasi untuk menghasilkan output dan outcomes yang secara berantai membawa dampak (impact) kepada perbaikan tatanan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan sosial, ekonomi, budaya, ideologi, hukum, pertahanan, dan keamanan yang bermuara pada peningkatan kualitas kehidupan rakyat serta kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seharusnya tidak ada alasan mengatakan studi banding dan kegiatan semacamnya itu salah.
Bagaimana cara memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan didasarkan atas perspektif bagi sebesar-besar kepentingan rakyat? Jawabannya, tidak ada cara lain selain menegakkan disiplin perencanaan, mulai dari perencanaan kegiatan, perencanaan anggaran hingga perencanaan pengadaan, semangatnya harus sama yakni bagi sebesar-besar kepentingan rakyat !
Makanya salah satu hal yang mendasar dari perubahan Keppres 80/2003 menjadi Perpres 54/2010 adalah dari aspek penegasan perencanaan pengadaan sebagai bagian penting dari seluruh proses pengadaan.
Perlu diingat bahwa selain lembaga eksekutif juga ada lembaga lain yang harusnya berdiri tegak memasang filter agar tidak ada satupun kegiatan atau anggaran yang bisa lolos kecuali jelas muaranya dalam jangka pendek maupun panjang bagi kepentingan rakyat. Lembaga itu adalah lembaga legislatif. Saat lembaga eksekutif merampungkan tugasnya membuat perencanaan kegiatan dengan ancar-ancar anggarannya, maka di lembaga yang terdapat di tingkat nasional, propinsi hingga kabupaten yang merupakan wakil resmi rakyat secara konstitusi, akan berbicara lantang mengoreksi setiap program dan mempertajamnya bagi tujuan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemasalahatan rakyat, termasuk mengoreksi anggaran yang diajukan eksekutif agar uang negara yang berarti uang rakyat dibelanjakan secara efisien. Itulah tugas utamanya.
Setelah proses pengadaan berjalan, mulai dari perencanaan hingga barang/ jasa yang dibutuhkan diterima oleh pihak yang mengadakan, maka setelahnya masih ada satu lembaga lagi yang juga merupakan representasi negara dalam menjalankan kewajibannya kepada rakyat yang bertugas melakukan koreksi dan menjatuhkan sanksi bila ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang mendapat amanah pengadaan yang terbukti merugikan negara.
Begitulah sekilas pemikiran saya dalam melihat pengadaan barang jasa dari perspektif organisasi negara dan fungsi pemerintah dalam melaksanakan pelayanan bagi kepentingan rakyat. Intinya perangkat negara untuk megemban amanah rakyat relatif lengkap, namun kadang lemah dalam pelaksanaan (Col-Kronika7212)