Oleh : Heru Atmodjo
Then, in October 1965, Indonesia’s generals stepped in, turned their counterattack against an unsuccessful colonelss’ coup into an anti-communist program, and opened the country’s vast natural resources to exploitation by American corporation. By 1967, Richard Nixon was describing Indonesia as “the greatest prize in Southeast Asian area”. If Vietnam has been the major postwar defeat for an expending American empire, this turnabout in nearby Indonesia is its single victory.
(David Ransom, Building an Elite for Indonesia, Rampart Press. Inc. 1974)
Bagaimana Strategi Penaklukan Indonesia disusun?
Pada Maret 1965 berkumpulah sebuah Tim CIA di Baguio, dekat Manila, Philippina. Mereka terdiri dari Averell Harriman, William Bundy, Elsworth Bunker dan Howard P. Jones, bekas Duta Besar Amerika untuk Indonesia. Mereka ini sebuah team yang tugasnya menentukan garis strategi Penggulingan Presiden Republik Indonesia Sukarno (David T. Johnson, CDI Washington DC)
Disusunlah options yang paling tepat sebagai garis strateginya, sebagai berikut:
Pertama, apakah Amerika akan meneruskan kebijakan politik yang sekarang sedang berjalan terhadap Sukarno? Team berpendapat bulat bahwa situasi di Vietnam yang eskalasinya semakin gawat, tak mungkin bagi Amerika membuka dua front, menolerir kebijakan politik Amerika yang berlangsung hingga kini terhadap Indonesia. Sebuah pertanggungjawaban kepada Kongres tentang hal ini dan akan menempatkan kita dalam kesalahan.
Kedua, kalau demikian, usahakan mendorong Sukarno untuk merubah garis politiknya yang anti-imperialisme Amerika, seperti tertuang dalam pidatonya pada 17 Agustus 1964 yang lalu. Jones, yang bekas Duta Besar di Indonesia menjawabnya bahwa ia ditempatkan di Indonesia selama tujuh tahun dengan mengemban tugas itu. Tak ada duta besar dari negara mana pun yang berhasil mendekati Sukarno seperti yang saya lakukan, kata Jones. Tidak seorang pun di dunia yang akan dapat mengubah politik Sukarno yang anti-imperialis Amerika.
Ketiga, kalau demikian habisi saja Sukarno. Jones menjawab, tujuh kali telah kita mencoba melakukannya sejak Peristiwa Cikini, semuanya gagal. Karena itu kalau tidak ingin menemui kegagalan lagi tidak akan melakukannya secara langsung terhadap Sukarno.
Keempat, semua orang mengetahui bahwa situasi di Indonesia diwarnai oleh pertentangan yang tajam antara Angkatan Darat Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Maka kita dorong Angkatan Darat Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan. Pilihan ini tak dapat dilaksanakan sekarang,karena Angkatan Darat tidak kompak. Sedikitnya ada tiga faksi dalam Angkatan Darat Indonesia, ialah faksi loyalis Sukarno, loyalis Nasution dan faksi sisanya. Pengalaman sejak Peristiwa 17 Oktober 1952 memberikan pelajaran pahit, gagal.
Kelima, situasi politik di Indonesia ditandai dengan pertentangan tajam antara Angkatan Darat Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Tahun 1964 melalui kelompok Murba telah dicoba untuk mendirikan BPS, Badan Pendukung Ajaran Sukarno, Manifest Kebudayaan (Manikebu) yang tujuannya mepertajam kontroversi itu. Gerakan ini tidak berhasil. Malah Pimpinan PKI dalam statementnya beberapa minggu yang lalu, DN Aidit mengatakan: “kami sadar Angkatan Darat tidak menyukai kita. Namun, seandainya mereka meludahi muka kami, saya hanya akan mengampil saputangan dengan mengusap muka kami”.
Statement itu menunjukkan kewaspadaan PKI. Oleh karena itu rapat mengusulkan “biarlah PKI terperosok ke dalam lubang yang mereka buat sendiri. Dan pelarangannya menjadi legal. Kalau ini tidak berhasil, harus diciptakan agar mereka membuat lubangnya sendiri, biarlah dia terperosok ke dalam yang mereka buat sendiri.
Kesimpulan: Meramu pilihan-pilihan dari lima hal tersebut di atas, untuk dijadikan garis strategi kebijakan CIA, penggulingan Sukatno.
Pasca Rapat Baguio
Elsworth Bunker, utusan Presiden Lyndon Johnson dengan pangkat Duta Besar, dari Manila meneruskan perjalanannya menuju Jakarta, dan tinggal dua minggu di Jakarta. Setelah itu kita melihat apa yang terjadi di Jakarta pada bulan April 1965.
Dokumen Gilchrist, suatu telegram sangat rahasia ditemukan di kedutaan besar Inggris di Jakarta kepada Menteri Luar Negeri Inggris di London, ditemukan oleh demonstran yang melakukan demo di kedutaan Inggris.
Isu Dewan Jenderal, yang dibantah oleh Jendral Yani sendiri. Bahwa tidak ada Dewan Jenderal, yang ada adalah Dewan Kebijakan Tinggi untuk meneliti perwira-perwira yang kualitatif akan menjadi Jendral.
Isu Sakitnya Bung Karno, yang di dalam pimpinan Angkatan Darat membentuk Kebijakan Program Darurat, yan diketuai Mayor Jendral Suharto. Dan ternyata ia bekerja bersama Guy J. Pauker, dari RAND CORPORATION.
Ledakan Dump Mesiu di Pangkalan Angkatan Udara Iswahyudi, Madiun. Mayor Udara Sujono, Komandan Resimen Pertahanan Pangkalan melatih sukarelawan untuk pengamanan pangkalan.
Rapat-rapat di Rumah Kapten Wahyudi, di Jalan Sindanglaya Menteng, yang dilakukan oleh Kolonel Latif, Komando Brigade Infanteri I, Mayor Sigit, Kapten Suradi, Kapten Wahyudi, juga dihadiri Sam Kamaruzaman dan Pono dari CC PKI, dan Mayor Udara Sujono. Mereka kemudian menyatakan terbentuknya Perwira Progresif Revolusioner. Kelompk ini kemudian merencanakan penangkapan Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta.
Latihan di Kebon Karet Pondok Gede, yang kemudian disebut Lubang Buaya, dilanjutkan, sekali pun telah dibubarkan oleh Deputy Menteri Panglima Angkatan Udara, Komodor Udara I. Dewanto.
Gerakan Penculikan Dewan Jenderal tanggal 1 Oktober 1965, ditembak dirumahnya, Jendral Yani, Jenderal D.I. Panjaitan dan Jendral M.T. Harjono dan Letnan I Pierre Tendean.
Surat Perintah 11 Maret 1966, Super Semar. Yang akhrnya Bung Karno tidak diturunkan pada 1 Oktober 1965, bahkan baru dalam sidan MPRS 1966. Bung Karno diturunkan secara rekayasa dan diangkatlah Jendral Suharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Referensi:
1.The Trojan Horse, Steve Weiseman, Rampart Press.Inc. 1974
2.Francis Stonor Saunders, Who Paid the Piper?, Grants Books, London 1999
3.David T. Johnson, Center of Defence Information, Washington.
4.George Kahin, Subversion as US Foreign Policy, Cornel University.
Heru Atmodjo, Mantan Perwira Intelejen Angkatan Udara, saksi peristiwa 1 Oktober 1965.
sumber : http://bingkaimerah-indonesia.blogspot.com/2009/10/jutaan-manusia-dibantai-di-indonesia.html
Baca Selengkapnya ..
Then, in October 1965, Indonesia’s generals stepped in, turned their counterattack against an unsuccessful colonelss’ coup into an anti-communist program, and opened the country’s vast natural resources to exploitation by American corporation. By 1967, Richard Nixon was describing Indonesia as “the greatest prize in Southeast Asian area”. If Vietnam has been the major postwar defeat for an expending American empire, this turnabout in nearby Indonesia is its single victory.
(David Ransom, Building an Elite for Indonesia, Rampart Press. Inc. 1974)
Bagaimana Strategi Penaklukan Indonesia disusun?
Pada Maret 1965 berkumpulah sebuah Tim CIA di Baguio, dekat Manila, Philippina. Mereka terdiri dari Averell Harriman, William Bundy, Elsworth Bunker dan Howard P. Jones, bekas Duta Besar Amerika untuk Indonesia. Mereka ini sebuah team yang tugasnya menentukan garis strategi Penggulingan Presiden Republik Indonesia Sukarno (David T. Johnson, CDI Washington DC)
Disusunlah options yang paling tepat sebagai garis strateginya, sebagai berikut:
Pertama, apakah Amerika akan meneruskan kebijakan politik yang sekarang sedang berjalan terhadap Sukarno? Team berpendapat bulat bahwa situasi di Vietnam yang eskalasinya semakin gawat, tak mungkin bagi Amerika membuka dua front, menolerir kebijakan politik Amerika yang berlangsung hingga kini terhadap Indonesia. Sebuah pertanggungjawaban kepada Kongres tentang hal ini dan akan menempatkan kita dalam kesalahan.
Kedua, kalau demikian, usahakan mendorong Sukarno untuk merubah garis politiknya yang anti-imperialisme Amerika, seperti tertuang dalam pidatonya pada 17 Agustus 1964 yang lalu. Jones, yang bekas Duta Besar di Indonesia menjawabnya bahwa ia ditempatkan di Indonesia selama tujuh tahun dengan mengemban tugas itu. Tak ada duta besar dari negara mana pun yang berhasil mendekati Sukarno seperti yang saya lakukan, kata Jones. Tidak seorang pun di dunia yang akan dapat mengubah politik Sukarno yang anti-imperialis Amerika.
Ketiga, kalau demikian habisi saja Sukarno. Jones menjawab, tujuh kali telah kita mencoba melakukannya sejak Peristiwa Cikini, semuanya gagal. Karena itu kalau tidak ingin menemui kegagalan lagi tidak akan melakukannya secara langsung terhadap Sukarno.
Keempat, semua orang mengetahui bahwa situasi di Indonesia diwarnai oleh pertentangan yang tajam antara Angkatan Darat Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Maka kita dorong Angkatan Darat Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan. Pilihan ini tak dapat dilaksanakan sekarang,karena Angkatan Darat tidak kompak. Sedikitnya ada tiga faksi dalam Angkatan Darat Indonesia, ialah faksi loyalis Sukarno, loyalis Nasution dan faksi sisanya. Pengalaman sejak Peristiwa 17 Oktober 1952 memberikan pelajaran pahit, gagal.
Kelima, situasi politik di Indonesia ditandai dengan pertentangan tajam antara Angkatan Darat Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Tahun 1964 melalui kelompok Murba telah dicoba untuk mendirikan BPS, Badan Pendukung Ajaran Sukarno, Manifest Kebudayaan (Manikebu) yang tujuannya mepertajam kontroversi itu. Gerakan ini tidak berhasil. Malah Pimpinan PKI dalam statementnya beberapa minggu yang lalu, DN Aidit mengatakan: “kami sadar Angkatan Darat tidak menyukai kita. Namun, seandainya mereka meludahi muka kami, saya hanya akan mengampil saputangan dengan mengusap muka kami”.
Statement itu menunjukkan kewaspadaan PKI. Oleh karena itu rapat mengusulkan “biarlah PKI terperosok ke dalam lubang yang mereka buat sendiri. Dan pelarangannya menjadi legal. Kalau ini tidak berhasil, harus diciptakan agar mereka membuat lubangnya sendiri, biarlah dia terperosok ke dalam yang mereka buat sendiri.
Kesimpulan: Meramu pilihan-pilihan dari lima hal tersebut di atas, untuk dijadikan garis strategi kebijakan CIA, penggulingan Sukatno.
Pasca Rapat Baguio
Elsworth Bunker, utusan Presiden Lyndon Johnson dengan pangkat Duta Besar, dari Manila meneruskan perjalanannya menuju Jakarta, dan tinggal dua minggu di Jakarta. Setelah itu kita melihat apa yang terjadi di Jakarta pada bulan April 1965.
Dokumen Gilchrist, suatu telegram sangat rahasia ditemukan di kedutaan besar Inggris di Jakarta kepada Menteri Luar Negeri Inggris di London, ditemukan oleh demonstran yang melakukan demo di kedutaan Inggris.
Isu Dewan Jenderal, yang dibantah oleh Jendral Yani sendiri. Bahwa tidak ada Dewan Jenderal, yang ada adalah Dewan Kebijakan Tinggi untuk meneliti perwira-perwira yang kualitatif akan menjadi Jendral.
Isu Sakitnya Bung Karno, yang di dalam pimpinan Angkatan Darat membentuk Kebijakan Program Darurat, yan diketuai Mayor Jendral Suharto. Dan ternyata ia bekerja bersama Guy J. Pauker, dari RAND CORPORATION.
Ledakan Dump Mesiu di Pangkalan Angkatan Udara Iswahyudi, Madiun. Mayor Udara Sujono, Komandan Resimen Pertahanan Pangkalan melatih sukarelawan untuk pengamanan pangkalan.
Rapat-rapat di Rumah Kapten Wahyudi, di Jalan Sindanglaya Menteng, yang dilakukan oleh Kolonel Latif, Komando Brigade Infanteri I, Mayor Sigit, Kapten Suradi, Kapten Wahyudi, juga dihadiri Sam Kamaruzaman dan Pono dari CC PKI, dan Mayor Udara Sujono. Mereka kemudian menyatakan terbentuknya Perwira Progresif Revolusioner. Kelompk ini kemudian merencanakan penangkapan Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta.
Latihan di Kebon Karet Pondok Gede, yang kemudian disebut Lubang Buaya, dilanjutkan, sekali pun telah dibubarkan oleh Deputy Menteri Panglima Angkatan Udara, Komodor Udara I. Dewanto.
Gerakan Penculikan Dewan Jenderal tanggal 1 Oktober 1965, ditembak dirumahnya, Jendral Yani, Jenderal D.I. Panjaitan dan Jendral M.T. Harjono dan Letnan I Pierre Tendean.
Surat Perintah 11 Maret 1966, Super Semar. Yang akhrnya Bung Karno tidak diturunkan pada 1 Oktober 1965, bahkan baru dalam sidan MPRS 1966. Bung Karno diturunkan secara rekayasa dan diangkatlah Jendral Suharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Referensi:
1.The Trojan Horse, Steve Weiseman, Rampart Press.Inc. 1974
2.Francis Stonor Saunders, Who Paid the Piper?, Grants Books, London 1999
3.David T. Johnson, Center of Defence Information, Washington.
4.George Kahin, Subversion as US Foreign Policy, Cornel University.
Heru Atmodjo, Mantan Perwira Intelejen Angkatan Udara, saksi peristiwa 1 Oktober 1965.
sumber : http://bingkaimerah-indonesia.blogspot.com/2009/10/jutaan-manusia-dibantai-di-indonesia.html