Sebuah Surah di dalam Al Quran yang bernama Ar Rahman dengan begitu banyak hikmah yang dapat diambil daripadanya. Sebuah surah yang menerangkan kepada kita hamba-hamba-Nya tentang salah satu sifat-Nya, Ar Rahman, yang diperuntukkan-Nya bagi seluruh hamba-Nya baik yang kafir maupun yang beriman di dunia ini dan khusus untuk hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat nanti.
Suatu sifat yang bukan hanya untuk manusia tapi juga Jin dan makhluk-makhluk-Nya yang lain seperti tumbuhan dan hewan serta seluruh ciptaan-Nya di jagat raya ini. Tujuh puluh delapan ayat untuk sebuah penjelasan mengenai sifat-Nya dan setiap beberapa ayat selalu diulang perkataan dengan kalimat, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
“Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca. Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu.” (QS Ar Rahman [55]: 7-9)
Kita selalu mengartikan ayat ini hanya dalam hal timbang-menimbang dan ukuran, walaupun tidak demikian kenyataannya. Semua yang Allah Azza wa Jalla ciptakan di dunia ini semuanya dalam keseimbangan. Keseimbangan itu yang kita sebut dengan keadilan. Keadilan akan berbuah ketentraman dalam menjalani hidup. Jika sesuatu dilakukan tanpa melihat prinsip keadilan, maka kita menyebutnya dengan kezaliman. Dan kezaliman pastilah berbuah ke-mudharatan.
Ketika kita makan berlebihan, hal itu telah melampaui batas keseimbangan karena bisa jadi kita telah mengambil porsi /jatah makhluk Allah yang lain. Dengan kata lain kita telah berbuat dzalim karena kita dapat makan lebih dari kenyang sedangkan kita membiarkan orang-orang miskin tidak mendapat porsi yang seharusnya mereka dapatkan. Kemudharatan yang akan timbul adalah terganggunya kesehatan bagi yang makan berlebihan. Dan kesenjangan bagi si miskin. Demikian juga harta yang terus ditumpuk dan selalu merasa kekurangan, cepat atau lambat pastilah berbuah kemudharatan. Sama halnya juga dengan kekuasaan, jika seorang hamba terus menerus menumpuk kekuasaan, maka ia akan cenderung memonopoli kebenaran. Ia merasa dirinya adalah kebenaran dan merasa seluruh orang yang berada dalam kekuasaannya harus mendukungnya dalam keadaan apapun. Ia menafikan kebenaran yang seharusnya ada.
Seorang teman pernah bertanya ketika ia telah mempunyai 4 perusahaan dan keempat-empatnya berkembang dengan baik, malah ia memperoleh kemudharatan dalam kehidupan rumah tangganya. Istrinya mengajukan gugatan cerai kepadanya dan membawa pergi kedua anaknya. “Kenapa hal ini dapat terjadi?” Tanyanya.
Hamba itu hanya teringat akan sebuah hadish Rasulullah, “Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan terhadap kalian sepeninggalku, adalah kemewahan dan keindahan dunia ini. Kalian tambatkan hati kalian padanya.” (HR Bukhari & Muslim).
Kita kadang lupa, ketika kita telah berhasil dengan sebuah usaha, kita ingin membangun atau mengembangkan usaha lain demi untuk mendukung usaha yang telah ada. Dan jika usaha yang kedua telah berhasil, kita pun ingin membangun usaha yang ketiga dan seterusnya. Hawa nafsu yang tidak tertahankan ini menjadikan kita mengabaikan akan sebuah perhatian terhadap keluarga yang seharusnya kita perhatikan dan juga hubungan kepada Allah Azza wa Jalla yang seharusnya bertambah kuat dengan dilapangkannya Rezeki. Dalam kata lain kita telah menzalimi diri kita sendiri dan menyebabkan kemudharatan akan menghampiri kita.
Teman tadi masih kurang puas akan jawaban itu. Ia kembali bertanya, “Apakah kita dilarang untuk berusaha agar memperoleh rezeki?” Hamba itu berusaha menjelaskan, “Letakkanlah semua itu sesuai dengan neraca. Ketika kita memiliki simpanan, letakkanlah simpanan itu pada tempatnya, di rekening saja. Begitu dengan mobil yang kita miliki ataupun pakaian bagus yang kita kenakan. Jangan letakkan semuanya di hati yang menyebabkan kita mencintainya. Dan jika kita sudah mencintainya, maka ia akan mengambil alih segala perhatian kita yang seharusnya ditujukan kepada orang-orang yang kita sayangi, lingkungan kita dan terutama kepada Allah Azza wa Jalla dalam rangka mensyukuri segala nikmat-Nya.”
Inilah yang Allah maksud dengan kata ‘Neraca’ dalam ayat-ayat Surah Ar Rahman di atas. Sungguh indah hidup ini jika kita dapat menegakkan ‘Neraca’ yang Allah tetapkan untuk kita. Tidak ada lagi kesenjangan hidup, tidak ada lagi sikap berlebih-lebihan untuk mengisi perut kita yang hanya sejengkal ini. Tidak ada lagi keinginan memiliki kendaraan lebih dari satu, yang bukan lagi dipakai sebagai alat trasnportasi, tapi untuk dipajang di garasi dan dipakai keluar hanya untuk dipanaskan atau dianginkan saja. Dan tidak ada lagi keinginan untuk memiliki rumah ke-2, ke-3 dst yang hanya sebagai sebuah ilusi dalam bermegah-megahan dalam kehidupan dunia.
Rasulullah Saw bersabda, “Kelak di hari akhirat manusia membela dirinya dan berkata, ‘Inilah harta bendaku!’ Padahal tidaklah ada harta yang diperolehnya di dunia kecuali tiga hal, apa yang ia makan akan keluar dari tubuhnya menjadi kotoran, apa yang ia pakai akan rusak (usang), dan apa yang ia sedekahkan akan menjadi kebaikan yang kekal baginya.” (HR Muslim)
Yang Fakir kepada
Ampunan Rabb nya
Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
Baca Selengkapnya ..
Suatu sifat yang bukan hanya untuk manusia tapi juga Jin dan makhluk-makhluk-Nya yang lain seperti tumbuhan dan hewan serta seluruh ciptaan-Nya di jagat raya ini. Tujuh puluh delapan ayat untuk sebuah penjelasan mengenai sifat-Nya dan setiap beberapa ayat selalu diulang perkataan dengan kalimat, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
“Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca. Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu.” (QS Ar Rahman [55]: 7-9)
Kita selalu mengartikan ayat ini hanya dalam hal timbang-menimbang dan ukuran, walaupun tidak demikian kenyataannya. Semua yang Allah Azza wa Jalla ciptakan di dunia ini semuanya dalam keseimbangan. Keseimbangan itu yang kita sebut dengan keadilan. Keadilan akan berbuah ketentraman dalam menjalani hidup. Jika sesuatu dilakukan tanpa melihat prinsip keadilan, maka kita menyebutnya dengan kezaliman. Dan kezaliman pastilah berbuah ke-mudharatan.
Ketika kita makan berlebihan, hal itu telah melampaui batas keseimbangan karena bisa jadi kita telah mengambil porsi /jatah makhluk Allah yang lain. Dengan kata lain kita telah berbuat dzalim karena kita dapat makan lebih dari kenyang sedangkan kita membiarkan orang-orang miskin tidak mendapat porsi yang seharusnya mereka dapatkan. Kemudharatan yang akan timbul adalah terganggunya kesehatan bagi yang makan berlebihan. Dan kesenjangan bagi si miskin. Demikian juga harta yang terus ditumpuk dan selalu merasa kekurangan, cepat atau lambat pastilah berbuah kemudharatan. Sama halnya juga dengan kekuasaan, jika seorang hamba terus menerus menumpuk kekuasaan, maka ia akan cenderung memonopoli kebenaran. Ia merasa dirinya adalah kebenaran dan merasa seluruh orang yang berada dalam kekuasaannya harus mendukungnya dalam keadaan apapun. Ia menafikan kebenaran yang seharusnya ada.
Seorang teman pernah bertanya ketika ia telah mempunyai 4 perusahaan dan keempat-empatnya berkembang dengan baik, malah ia memperoleh kemudharatan dalam kehidupan rumah tangganya. Istrinya mengajukan gugatan cerai kepadanya dan membawa pergi kedua anaknya. “Kenapa hal ini dapat terjadi?” Tanyanya.
Hamba itu hanya teringat akan sebuah hadish Rasulullah, “Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan terhadap kalian sepeninggalku, adalah kemewahan dan keindahan dunia ini. Kalian tambatkan hati kalian padanya.” (HR Bukhari & Muslim).
Kita kadang lupa, ketika kita telah berhasil dengan sebuah usaha, kita ingin membangun atau mengembangkan usaha lain demi untuk mendukung usaha yang telah ada. Dan jika usaha yang kedua telah berhasil, kita pun ingin membangun usaha yang ketiga dan seterusnya. Hawa nafsu yang tidak tertahankan ini menjadikan kita mengabaikan akan sebuah perhatian terhadap keluarga yang seharusnya kita perhatikan dan juga hubungan kepada Allah Azza wa Jalla yang seharusnya bertambah kuat dengan dilapangkannya Rezeki. Dalam kata lain kita telah menzalimi diri kita sendiri dan menyebabkan kemudharatan akan menghampiri kita.
Teman tadi masih kurang puas akan jawaban itu. Ia kembali bertanya, “Apakah kita dilarang untuk berusaha agar memperoleh rezeki?” Hamba itu berusaha menjelaskan, “Letakkanlah semua itu sesuai dengan neraca. Ketika kita memiliki simpanan, letakkanlah simpanan itu pada tempatnya, di rekening saja. Begitu dengan mobil yang kita miliki ataupun pakaian bagus yang kita kenakan. Jangan letakkan semuanya di hati yang menyebabkan kita mencintainya. Dan jika kita sudah mencintainya, maka ia akan mengambil alih segala perhatian kita yang seharusnya ditujukan kepada orang-orang yang kita sayangi, lingkungan kita dan terutama kepada Allah Azza wa Jalla dalam rangka mensyukuri segala nikmat-Nya.”
Inilah yang Allah maksud dengan kata ‘Neraca’ dalam ayat-ayat Surah Ar Rahman di atas. Sungguh indah hidup ini jika kita dapat menegakkan ‘Neraca’ yang Allah tetapkan untuk kita. Tidak ada lagi kesenjangan hidup, tidak ada lagi sikap berlebih-lebihan untuk mengisi perut kita yang hanya sejengkal ini. Tidak ada lagi keinginan memiliki kendaraan lebih dari satu, yang bukan lagi dipakai sebagai alat trasnportasi, tapi untuk dipajang di garasi dan dipakai keluar hanya untuk dipanaskan atau dianginkan saja. Dan tidak ada lagi keinginan untuk memiliki rumah ke-2, ke-3 dst yang hanya sebagai sebuah ilusi dalam bermegah-megahan dalam kehidupan dunia.
Rasulullah Saw bersabda, “Kelak di hari akhirat manusia membela dirinya dan berkata, ‘Inilah harta bendaku!’ Padahal tidaklah ada harta yang diperolehnya di dunia kecuali tiga hal, apa yang ia makan akan keluar dari tubuhnya menjadi kotoran, apa yang ia pakai akan rusak (usang), dan apa yang ia sedekahkan akan menjadi kebaikan yang kekal baginya.” (HR Muslim)
Yang Fakir kepada
Ampunan Rabb nya
Yang Maha Berkuasa
M. Fachri