Pendekatan Teoritis
Saya akan memulai bagian I ini dengan pembahasan tentang dua dimensi pengetahuan matematik siswa. Pertama, dimensi kuantitas yang telah dikenal baik, yang merefleksikan bahwa siswa, sejauh tertentu, mungkin telah memiliki pengetahuan yang cukup komprehensif dalam ranah matematika. Namun, dimensi kedua, yang kurang banyak diketahui, adalah dimensi kualitas, yang merujuk pada fungsionalitas pengetahuan matematika.
Akan diperdebatkan bahwa perkembangan matematik yang positif tidak tergantung terutama pada seberapa banyak pengetahuan yang telah didapat siswa dalam matematika, melainkan pada kualitas pengetahuannya itu.
Contoh
David, seorang siswa yang berkesulitan dalam matematika, telah mencapai kelas 6 [usia 12 tahun]. Salah satu tujuan yang ditetapkan dalam program pengajaran individualnya untuk masa 3 bulan berikutnya adalah agar dia mampu berbelanja di toko: dapat membeli barang-barang sesuai dengan daftar yang telah dibuat, dapat memilih uang kertas atau koin dengan nilai yang tepat, dapat mengecek jumlah akhir yang harus dibayarnya, dapat mengecek uang kembalian dengan jumlah yang benar, dll.
Guru mengontak toko terdekat dan dua orang pelayan toko bersedia bekerjasama, sehingga pendidikan dapat didasarkan atas pengalaman berbelanja yang sesungguhnya dan tidak hanya "main belanjabelanjaan”. Selama tiga bulan pelatihan, David menjadi semakin baik dalam menguasai tugas-tugas yang terkait dengan belanja. Laporan yang dibuat pada akhir pelatihan menyatakan bahwa pelatihan tersebut berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, segera setelah masa pelatihan tersebut, kerangka acuan untuk berbelanja itu diperluas ke wilayah geografis yang lebih besar dan ke toko-toko yang strukturnya berbeda dari toko yang pertama, yaitu ke toko besar.
David tidak lagi dapat berhubungan dengan dua orang pelayan toko yang sama setiap saat. Pelayan tokonya berubah-ubahdari tempat ke tempat dan dari jam ke jam. David menjadi tidak yakin dengan dirinya sendiri. Pengetahuan yang diperolehnya selama masa pelatihan itu, yang jelas telah memperluas gudang pengetahuannya dan telah berfungsi dengan memadai di toko setempat di mana pelatihan tersebut telah dilaksanakan, tak dapat secara langsung diterapkannya untuk menghadapi tantangan baru ketika berbelanja di tempat lain. Dia telah memperoleh pengetahuan yang ternyata terbatas pada pengalaman yang spesifik dan terisolasi. David telah belajar membeli barang-barang biasa di toko kecil, tetapi belum belajar membeli barang-barang dalam arti yang seluas-luasnya. Maka diperlukan satu masa pelatihan yang baru, kali ini diarahkan secara spesifik pada berbelanja di toko besar.Oleh karena itu, gurunya menyelenggarakan program pelatihan lebih lanjut dengan mempertimbangkan hal tersebut.
Dimensi kuantitatif dan kualitatif
Tempat penyimpanan pengetahuan matematik David dapat digambarkan dalam bentuk suatu blok apartemen yang terdiri dari sejumlah besar apartemen yang terdiri dari banyak ruangan. Bila David memperoleh lebih banyak pengetahuan, maka kepingan-kepingan informasi baru [fakta] masuk ke ruangan yang berbeda-beda. Jumlah pengetahuan yang dimiliki siswa dalam ranah matematika, yaitu pengetahuan yang spesifik dalam ranah kuantitas, dapat kemudian diekspresikan sebagai fungsi jumlah ruangan yang “ditempati” oleh kepingan-kepingan informasi yang spesifik kuantitas itu.
Sebagaimana kita ketahui, sebuah blok apartemen tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal penghuninya. Bila orang telah pindah ke blok tersebut, maka blok itu dapat dipandang sebagai unit sosial. Memang, banyak orang yang mengalami bahwa kondisi untuk mencapai interaksi sosial yang fungsional di antara para penghuninya sangat bervariasi dari blok ke blok.
Tempat penyimpanan pengetahuan matematik juga dapat diilustrasikan sebagai unit sosial, di mana prasyarat untuk interaksi fungsional antara berbagai kepingan informasi itu sangat bervariasi dari satu siswa ke siswa lainnya. Oleh karena itu, bila siswa yang tidak berkesulitan dalam matematika belajar lebih banyak matematika sehingga meningkatkan jumlah pengetahuan matematiknya, biasanya kualitas pengetahuannya pun meningkat pula, dan hasilnya adalah pengetahuan matematika fungsional yang berkualitas baik. Ini berarti bahwa telah terjadi kontak antara berbagai kepingan informasi itu.
Di samping itu, dan mungkin lebih signifikan, kepingan-kepingan informasi itu memiliki kemampuan dan keinginan untuk bekerjasama, bertukar fungsi dan saling memberikan tantangan. Oleh karena itu, dimensi kualitas di dalam tempat penyimpanan pengetahuan matematik itu dapat digambarkan sebagai unit sosial yang fungsional. Berdasarkan sistem kontrol umum yang menyeluruh, kepingan-kepingan informasi yang relevan diaktifkan, maka strategi pemecahan masalah yang efisien dipilih untuk memecahkan soal-soal matematika.
Bila tempat penyimpanan pengetahuan sebagai satu unit sosial itu berfungsi dengan baik, maka tempat itu menjadi suatu tempat penyimpanan pengetahuan yang dapat digeneralisasikan, artinya bahwa pengetahuan itu fleksibel, dengan bidang terapan yang merentang ke luar situasi spesifik di mana pembelajaran terjadi, misalnya toko setempat atau buku teks. Di samping itu, pengetahuan tersebut juga menjadi pengetahuan generatif, yaitu pengetahuan yang dapat mendorong perkembangan lebih lanjut.
Konsep representasi
Sebagaimana dikemukakan di atas, kerangka pikir yang saya pergunakan untuk membahas pengetahuan matematika siswa itu didasarkan atas asumsi bahwa pengetahuan itu direpresentasikan secara internal, dan bahwa representasi internal ini terstruktur. Untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu.
Komunikasi memerlukan representasi fisik, yaitu representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau obyek fisik. Sebuah ide matematika tertentu sering dapat direpresentasikan dengan salah satu dari bentuk-bentuk representasi itu atau dengan kesemua bentuk representasi itu.
Namun, dalam belajar matematika representasi tidak terbatas hanya pada representasi fisik saja. Untuk berfikir tentang ide matematik, kita perlu merepresentasikannya secara internal, sedemikian rupa sehingga Memungkinkan pikiran kita beroperasi. Oleh karena itu, istilah representasi dapat juga dipergunakan bila menggambarkan proses kognitif untuk sampai pada pemahaman tentang suatu ide dalam matematika. Di sini representasi bukan perwujudan eksternal melainkan suatu entitas kognitif. Anak dapat diekspos pada sejumlah perwujudan fisik dari “lima” , misalnya, dan kemudian mulai mengabstraksikan konsep lima tersebut. Dalam proses ini, anak tersebut dapat membangun sebuah representasi internal (representasi mental, representasi kognitif, gambaran mental, skema). Para ahli teori sering mendeskripsikan aktivitas kognitif yang tercakup di dalam proses pemecahan soal ini sebagai model mental (Kaput 1988).
Jenis-jenis representasi fisik
Kata konkret, semi-konkret, semi-tanda dan tanda muncul dalam diskusi berikut ini. Konkret merujuk pada benda nyata. Semi-konkret merujuk pada gambar benda nyata.
Semitanda
Mengacu pada representasi benda nyata dengan satu propertinya, yaitu properti jumlah dalam himpunan benda nyata (misalnya garis-garis atau titik-titik sejumlah benda yang direpresentasikan). Tanda mengacu pada simbol arbitrer dan konvensional (lima, 5, dll.). Dengan kata lain, semi-konkret, semi-tanda dan tanda itu merupakan bermacam - macam cara untuk mewakili, menggambarkan atau menyimbolkan benda konkret. Ungkapan “kontinum konkret-tanda” dipergunakan sebagai dasar untuk mendefinisikan, menggambarkan, dan menganalisis “jalur” dari konkret ke tanda, yang dipergunakan dalam pendidikan dasar matematika (Ostad 1989).
Kontinum konkret-tanda dapat dianalisis dan dideskripsikan dalam beberapa cara. Secara linguistik, ungkapan yang terkenal, “dari konkret ke abstrak”, yang mendefinisikan kerangka acuan psikologis untuk kontinum tersebut, berasal dari bahasa Latin. Kata konkret berasal dari concretus (con = dengan, crescere = tumbuh), merujuk pada kebersamaan tumbuh dunia fisik yang nyata, yang merupakan dasar bagi semua pengalaman manusia.
Kata abstrak berasal dari abstractus (abs = jauh, trahere = menarik). Jadi, abstraksi merujuk pada proses kognitif di mana kita “menarik diri” dari unsur-unsur dalam pengalaman kita untuk melihat apa persamaannya. Ini meliputi pindah dari nyata dan aktual ke generic, yaitu pembentukan kelas-kelas dengan properti-properti yang membatasinya. Dengan kata lain, abstraksi mengandung arti bahwa anak menjauhkan dirinya dari kekhususan, kekonkretan, dan mampu mencapai tingkat kebebasan tertentu dari pengalaman langsung yang bersangkutan (Ostad 1989).
Menggunakan benda-benda fisik sebagai kerangka acuan untuk menganalisis kontinum konkret-tanda, misalnya “balok-balok logika”, dapat bervariasi dalam lima hal: besarnya, ketebalan, warna, bentuk dan jumlah. Dalam contoh ini, konkret - benda nyatamempunyai lima properti karakteristik, yaitu (p = 5). Secara fisik, semi-konkret adalah hasil dari penghilangan satu properti karakteristik atau lebih, yaitu (1 < p="1)." p="0)." 3 ="," style="color: rgb(255, 0, 0);">Contoh di atas menunjukkan bahwa kita dapat membedakan antara tiga jenis properti utama yang ada pada konkret:
(1) Properti yang relevan dengan soal – yaitu properti yang memberikan informasi yang relevan dengan soal matematika tertentu (misalnya properti jumlah dalam pertambahan dan pengurangan, properti bentuk dalam geometri).
(2) Properti yang berlebihan untuk soal tertentu – yaitu properti yang memberikan informasi yang relevan dengan soal dalam soal matematika tertentu, tetapi informasi ini tidak diperlukan karena properti lain yang dimiliki oleh konkret memberikan informasi yang sama relevannya dalam soal tertentu.
(3) Properti yang tidak relevan dengan soal – yaitu properti yang tidak memberikan informasi yang relevan dalam hubungannya dengan soal matematika tertentu.
Sejumlah peneliti (Gelman 1969; Miller 1973) mengemukakan bahwa perolehan cara berpikir matematik yang fundamental terutama tergantung pada disasosiasi properti fisik dari benda-benda, yang memungkinkan siswa memperhatikan properti yang relevan dari suatu pengalaman dan mengabaikan properti yang tidak relevan atau berlebihan. Menurut pendapat ini, tingkat keberhasilan yang dicapai dalam memecahkan soal tergantung pada tingkat kemampuan anak untuk membedakan antara informasi yang relevan dan tidak relevan atau berlebihan.
Jika pendapat di atas berlaku, maka representasi internal (gambaran mental) yang fungsional dalam kaitannya dengan pemecahan soal matematika dapat diperoleh sebagai hasil dari ekstraksi yang selektif terhadap informasi yang relevan dengan soal, sedangkan informasi yang tidak relevan dan informasi yang berlebihan tetap berada dalam tempat penyipanan pengetahuan murid. Kesulitan dalam matematika Fenomena bahwa pengetahuan matematika siswa mungkin tersimpan dalam bentuk yang tidak selalu sesuai telah dioperasionalkan dalam apa yang disebut sebagai dimensi berat, di mana dimensi-dimensi premisnya digambarkan dengan ungkapan “gambaran mental berat” atau “gambaran mental ringan”.
Berdasarkan atas prinsip disasosiasi properti fisik dari benda, telah diasumsikan bahwa “beratnya” representasi internal (gambaran mental) itu menunjukkan sejauh mana pengetahuan yang spesifik ranah tertentu dapat menjadi fungsional dalam hubungannya dengan tantangan-tantangan yang digambarkan oleh bermacam-macam soal matematika (Ostad 1989; 1992). Ungkapan fisik “gambaran mental berat” dan “gambaran mental ringan” didasarkan atas pendapat bahwa struktur gambaran mental, yaitu “beratnya”, mencerminkan fungsionalitasnya untuk memecahkan soal-soal matematika.
Secara lebih spesifik, gambaran mental itu “berat” karena disamping informasi yang relevan dengan soal, gambaran mental itu juga “membawa” keping-keping informasi yang tidak relevan atau berlebihan terhadap soal. Dengan kata lain, gambaran mental yang berat itu “sarat muatan” dengan informasi yang relevan dan tidak relevan dengan soal atau berlebihan. Gambaran yang ringan, yang menandai gambaran mental murid yang secara matematis berfungsi dengan baik, telah “menyingkirkan” informasi yang tidak relevan dengan soal dan informasi yang berlebihan, dan karenanya “bermuatan ringan” dengan informasi yang relevan dengan soal (Ostad 1989).
Dalam situasi terakhir ini, tempat penyimpanan pengetahuan mampu menghasilkan gambaran mental yang ringan, yang ditandai dengan informasi yang relevan dengan soal. Oleh karena itu, berdasarkan analisis ini, terjalin hubungan antara keping-keping informasi di dalam jaringan, dan terjadi interaksi “sosial” yang fungsional di antara keping-keping informasi tersebut. Akibatnya, tempat penyimpanan pengetahuan matematika murid itu mempunyai karakter yang fleksibel dan tidak tergantung pada konteks (Ostad 1989; 1992). Kebalikannya, murid yang berkesulitan dalam matematika memiliki gambaran mental yang berat, yaitu gambaran yang didasarkan pada tempat penyimpanan pengetahuan yang kurang terorganisasi menjadi jaringan yang fungsional.
Bila tempat penyimpanan pengetahuan ini diaktifkan untuk memecahkan soal matematika, ini tampaknya tidak dilakukan dengan mereorganisasi secara tepat kepingkeping informasi yang dimilikinya. Oleh karena itu, gambaran mental itu menjadi “pembawa” informasi yang tidak relevan dengan soal dan/atau informasi yang berlebihan. Akibatnya, tempat penyimpanan pengetahuan siswa ini bersifat kaku dan tergantung pada konteks (Ostad 1989; 1992). Kesimpulannya, David dan murid-murid lainnya yang berkesulitan dalam matematika ini dapat dikatakan tidak hanya memiliki pengetahuan matematika yang sedikit, tetapi mungkin bahkan lebih signifikan lagi, mereka memiliki pengetahuan matematika yang berkualitas buruk.
Murid-murid ini tampaknya belajar dengan cara yang berbeda dari murid-murid lain, sehingga kualitas hasil belajarnya lebih rendah. Tempat penyimpanan pengetahuannya tidak berfungsi dengan baik sebagai suatu “unit sosial”. Bila muridmurid ini belajar lebih banyak matematika, tempat penyimpanan pengetahuannya yang spesifik ranah matematika itu meluas, tetapi keping-keping informasi baru tampaknya tetap terisolasi dalam “ruangan tertutup”. Bahkan jika kesempatan untuk kontak dengan ruangan-ruangan lain itu ada, mereka tidak memanfaatkannya. Oleh karena itu, kepingkeping informasi itu tetap terisolasi tanpa saling kontak.
Akibatnya, bila memecahkan soal-soal, murid-murid ini harus mendapatkan kembali pengetahuan matematikanya itu dari balik pintu yang tertutup, dan proses pemecahan soalnya cenderung bersifat “mengikuti resep”. Sejauh “resep” yang sama dapat digunakan dan digunakan lagi, murid-murid itu dapat memperoleh jawaban yang benar untuk soal-soal dalam buku matematikanya. Berdasarkan analisis ini, membeli barang-barang merupakan aktivitas yang terisolasi, yang berfungsi secara relevan hanya dalam situasi tertentu. Kualitas pengetahuannya ditandai oleh isolasionisme serta kurangnya generalitas dan generativitas.
Jadi, perkembangan pengetahuan matematikanya menunjukkan penyimpangan dari perkembangan normal, baik dalam kuantitasnya maupun kualitasnya. Kenyataannya, variabilitas dalam kinerja matematika di kalangan murid-murid yang berkesulitan dalam matematika itu kecil, dan menjadi semakin kecil selama di sekolah dasar (Ostad 1998b). Kesimpulan Di masa lalu, secara otomatis orang menilai apakah murid berkesulitan dalam matematika atau tidak itu dari jumlah jawaban yang benar dalam tes matematikanya. Oleh karena itu, pendidikan kebutuhan khusus dalam bidang matematika dirancang atas dasar hasil diagnosis tentang kuantitas pengetahuannya, bukan berdasarkan kualitasnya. Akan tetapi, hasil penelitian baru-baru ini telah mendokumentasikan tentang pentingnya mengarahkan lebih banyak perhatian pada strategi yang digunakan siswa, yaitu bagaimana siswa memperoleh pengetahuannya dan memecahkan soal matematika.
Studi yang sistematis terhadap perkembangan matematika siswa dari tahun ke tahun selama di sekolah dasar (misalnya Ostad 2000) telah lebih menekankan tentang perlunya meredefinisi faktorfaktor penyebab kesulitan matematika itu. Kesulitan itu seyogyanya tidak dipandang sebagai masalah yang hanya terkait dengan kuantitas pengetahuan yang diperoleh; melainkan terutama merupakan masalah yang terkait dengan kualitas pengetahuan ini. Stagnasi dini yang dialami siswa-siswa ini dalam strategi belajar yang tidak sesuai dapat mengindikasikan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan awal, seharusnya tidak ditujukan agar siswa terus-menerus memperoleh pengetahuan baru. Seharusnya siswa dibantu belajar untuk belajar dengan cara yang tepat, yang menjamin bahwa pengetahuan matematika yang mereka peroleh adalah pengetahuan yang berkualitas terbaik.
Strategi untuk memecahkan soal-soal matematika
Belajar telah menjadi topik sentral dalam psikologi sejak awal bidang ini menjadi satu disiplin ilmu. Selama pertengahan pertama abad ke-20, banyak peneliti meneliti stimulusrespon untuk menjelaskan proses belajar. Teori-teori besar dari Thorndike, Gutherie, Skinner dan Hull menetapkan belajar sebagai topik sentral dalam psikologi pada tahun 1930-an, 1940-an dan 1950-an. Akan tetapi, unit analisis standarnya adalah hubungan stimulus-respon, bukan strateginya.
Gagasan tentang strategi tersebut belum umum, dan baru dibawa serta bersama revolusi kognitif pada akhir tahun 1950-an. Lambat laun, pergeseran ke kualitas terjadi dalam penelitian pendidikan. Belajar mulai dipandang sebagai hasil proses aktif dari sudut pandang pelajar, bukan sekedar sebagai hasil dari penerimaan pengetahuan secara pasif. Para peneliti memperluas bidang penelitiannya dari laboratorium ke tempat-tempat di mana pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang lebih alami, yaitu di TK dan sekolah-sekolah.
Ini menghasilkan unit-unit pelatihan yang lebih rumit, yang harus menjadi perhatian para peneliti. Oleh karena itu, strategi menjadi unit pengukuran yang lebih realistis, tidak hanya sebagai unit-unit pelatihan tetapi juga sebagai unit pengukuran standar untuk analisis belajar bagi para peneliti (Ostad 1997a). Berkembang dari psikologi kognitif pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an adalah pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat representasi pengetahuan.
Misalnya, para peneliti berpostulat bahwa cara informasi digambarkan dalam memori mempengaruhi cara informasi tersebut diproses, dan mereka berpendapat bahwa perbedaan perkembangan dasar pengetahuan pada anak sangat mempengaruhi kinerja tugas-tugas kognitifnya, termasuk penggunaan strateginya. Lambat laun, istilah aritmetika kognitif pun berkembang. Sorotan semakin diarahkan pada pertanyaan, “Bagaimana orang mengerjakan aritmetika di dalam kepalanya”? Selama 25 tahun terakhir ini, penelitian dirancang untuk mengidentifikasi strategi yang digunakan oleh anak pada berbagai tingkatan usia atau pada berbagai tingkatan perolehan keterampilan telah menjadi bagian sentral dari penelitian perkembangan kognitif.
Pada bagian berikut ini saya akan membahas sejumlah strategi yang diterapkan dalam penelitian tentang kinerja matematik. Setelah itu, saya akan mengkaji penelitian dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa penggunaan strategi dalam matematika merupakan suatu produk aktivitas kognitif yang kompleks dan bukan merupakan tindakan yang sederhana. Lebih jauh, saya akan membahas karakteristik pengembangan strategi oleh anak-anak yang baik keberfungsiannya dalam matematika.
Secara keseluruhan, fokus utama kajian ini adalah:
(1) memberikan kerangka kerja untuk meneliti mekanisme kognitif potensial yang mungkin berkontribusi terhadap masalah-masalah belajar dalam matematika, dan
(2) menawarkan saran-saran untuk penelitian tentang strategi di masa mendatang yang melibatkan anak-anak yang berkesulitan dalam matematika.
Definisi Strategi Istilah strategi berasal dari kata Yunani strategos, seorang jendral dalam militer. Satu definisi umum dalam kamus adalah suatu “prosedur untuk mencapai tujuan” (Ostad 1997a:9). Masalah definisi strategi ini sangat bervariasi dalam studi penelitian. Pada awal tahun 1970-an, istilah tersebut memiliki konotasi yang pasti. Istilah tersebut mengacu pada suatu prosedur untuk melatih butir-butir yang harus dipelajari dalam eksperimen memori; umumnya merupakan prosedur latihan yang spesifik. Sekarang ini istilah strategi yang digunakan dalam hubungannya dengan kinerja aritmetik memiliki konotasi yang jauh lebih luas, secara bebas digunakan untuk mengetahui “bagaimana tugas-tugas aritmetika dikerjakan secara mental” (Ostad 1992a: 9).
Sebagaimana dikemukakan di atas, strategi dapat didefinisikan secara sangat sempit. Dalam beberapa penelitian dan kajian, strategi mengacu pada suatu prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Dalam definisi yang paling sederhana dan paling jelas, strategi adalah perilaku pemecahan soal yang terorganisasi yang diarahkan pada pencapaian sebuah tujuan. Dalam kasus-kasus lain, strategi dipandang sebagai entitas yang relatif besar, yang meliputi berbagai cara untuk mencapai tujuan, yang meliputi “semua” proses yang dilibatkan dalam pelaksanaan tugas.
Beberapa peneliti membedakan antara strategi tugas yang spesifik dan strategi umum. Menurut Goldman, strategi tugas yang spesifik difokuskan pada operasi kognitif yang diperlukan untuk memecahkan jenis soal tertentu (misalnya rangkaian operasi yang khusus untuk menambahkan dua angka). Stretegi ini mengarahkan seseorang tentang apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi soal bilangan tertentu (Goldman et. al. 1988). Strategi tugas yang spesifik dapat terdiri dari bermacam-macam bentuk dengan tingkat kompleksitas yang berbeda-beda.
Strategi umum dapat disebut strategi meta-kognitif. Menurut Goldman, strategi jenis ini memberikan kerangka kerja umum bagi anak-anak untuk menghadapi tugas-tugas matematika dan memperoleh informasi tentang kemajuan upaya pemecahannya (Goldman et. al. 1988).
Kesimpulannya, terdapat sekurang-kurangnya dua macam cara fundamental untuk mendefinisikan strategi :
(1) sebagai aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan, atau
(2) sebagai aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan juga temasuk proses sebelum pemilihan yang menghasilkan keputusan untuk menggunakan prosedur tertentu guna memecahkan soal.
Para peneliti membedakan antara dua kelompok utama strategi tugas yang spesifik, yaitu strategi retrieval dan strategi backup. Istilah-istilah ini merupakan konsekuensi dari teori yang dipergunakan oleh para ilmuwan yang mengatakan bahwa pengetahuan matematika siswa merupakan suatu cadangan unit pengetahuan. Bayangkan seorang anak usia tujuh tahun dihadapkan pada soal 5+3 = ... . Dalam mengobservasi tindakan anak itu, mungkin anda menyimpulkan bahwa dia akan menggunakan strategi backup untuk memecahkan soal itu. Satu strategi backup yang digunakan untuk soal pertambahan itu dapat melibatkan langkah-langkah berikut ini: anak mula-mula menghitung lima jari “1-2-3-4-5” dan melanjutkan dengan tangan lainnya “1-2-3”.
Kemudian dia kembali dan menghitung kedelapan jari itu, “1-2-3-4-5-6-7-8”, mengulang “8” dan menulis jawabannya, 8. Beberapa tahun kemudian, proses solusi anak itu berubah. Mungkin anak itu akan menemukan jawaban untuk soal yang sama tanpa tanda-tanda atau tindakan eksternal yang jelas, sama seperti kalau dia diminta menyebutkan kepanjangan namanya. Dalam hal ini anak menggunakan strategi retrieval dan menjawab soal seperti (5+3=...), yang diambil langsung dari ingatan jangka panjangnya. “anak hanya tinggal menyatakan jawabannya setelah soal diberikan”. Suatu strategi backup didefinisikan sebagai “strategi apapun selain strategi retrieval” (Ostad 1997a:11). Contoh-contoh di atas menggambarkan strategi yang relatif sederhana.
Akan tetapi, kebanyakan strategi yang terkait dengan soal-soal tes matematika di tingkat SMP atau SMA sering kali jauh lebih kompleks. Kesimpulannya, meskipun terdapat bermacam-macam pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strategi, tetapi ada hal-hal yang disepakati. Biasanya disepakati bahwa strategi merupakan operasi yang mengarah pada tujuan. Lebih jauh, strategi sering kali dipandang sebagai tindakan yang spesifik pada ranah tertentu, yang dipergunakan untuk memfasilitasi perolehan pengetahuan. Dengan tujuan untuk mempelajari perbedaan perkembangan antara anak-anak dengan dan tanpa masalah belajar dalam matematika, selama anak-anak ini belajar di sekolah dasar, saya mendefinisikan strategi tugas yang spesifik sebagai pola keputusan yang terstruktur, spesifik ranah, dan tidak diwajibkan, yang diaktifkan bila anak dihadapkan pada soal-soal matematika (aritmetika), dan terarah pada tujuan ketika berusaha memecahkan soal (Ostad 1997:12).
Contoh-contoh strategi untuk memecahkan soal bilangan dalam pertambahan (A1) varian backup: (A1a) Menghitung semuanya dan mulai lagi dari awal. Misalnya: 3+5=? Siswa menghitung konkretnya, misalnya jari atau balok Unifix. Mula-mula “satu, dua, tiga” dengan benda konkret, kemudian melanjutkan “satu, dua, tiga, empat, lima” dengan benda konkret lainnya. Kemudian dia memulai dari awal lagi dan menghitung semua unsur dalam kedua jumlah tersebut: “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan”. Benda-benda konkret itu mewakili bilangan bulat dalam soal. (A1b) Menghitung semuanya. Misalnya: 3+5=? Siswa menghitung benda konkret, pertama “satu, dua, tiga” dan melanjutkan dengan menghitung “empat, lima, enam, tujuh, delapan”. (A1c) Menghitung lebih lanjut. Misalnya, 3+5=? Siswa menggunakan benda konkret, tetapi menghitung maju mulai dari bilangan yang ditambahkan.
Dia menghitung “empat, lima, enam, tujuh, delapan”. (A1d) Varian minimum (jumlah minimum dari langkah menghitung). Misalnya: 3+5=? Siswa menghitung benda konkret, tetapi dalam hal ini menghitung dari angka yang mewakili bilangan terbesar, yaitu menghitung dari bilangan terakhir bilangan penambah. Dalam contoh ini berarti menghitung dari 5 yaitu “enam, tujuh, delapan”. (A1e) Varian gambar. Dengan menggunakan pensil, siswa menggambar garis, titik atau apapun pada selembar kertas dan selanjutnya menghitung titik atau garis ini untuk memperoleh jawaban dengan bantuan dari A1a, A1b, A1c atau A1d. (A1f) “Menyentuh titik” pada angka. Siswa menggambar (atau membayangkan) titik-titik pada angka (suatu pola titik yang tepat yang mewakili angka).
Penambahan dilakukan oleh siswa dengan menggunakan titik-titik ini untuk memperoleh jawaban dengan bantuan dari A1a, A1b, A1c atau A1d. (A1g) Varian hitungan lainnya. Mula-mula siswa menggambar sebaris angka dan menghitungnya dengan menggunakan baris angka-angka itu atau menghitung buku-buku jarinya, atau mengkombinasikan unsur-unsur dari dua strategi atau lebih yang digambarkan di atas. (A1h) Menghitung bersuara. Siswa menghitung dengan bersuara atau menggerakan bibirnya seakan-akan sedang menghitung secara implisit. Penghitungan tidak memiliki kerangka acuan eksternal lain yang secara langsung dapat diamati. (A2) Varian retrieval (A2a) Tahu jawabannya. Siswa mengenali contoh soal dan langsung menjawab. (A2b) Varian fakta turunan (derived fact) I.
Siswa tahu jawaban untuk soal pertambahan dengan berbagai kombinasi dan menggunakan jawaban ini sebagai dasar untuk menghitung maju. Misalnya: 3+5=? Siswa tahu bahwa 3+3=6 dan menyebutkan, “tiga tambah tiga sama dengan enam... tambah dua ... (menghitung jarinya, dan menyebutkan) tujuh, delapan”. (A2c) Varian fakta turunan II. Siswa menggunakan pengetahuannya tentang beberapa kombinasi soal-jawab, yang digunakannya sebagai dasar untuk memecahkan soal tanpa menghitung. Jika soalnya 8+6=?, siswa melanjutkan dari delapan dan menyebutkan, misalnya “delapan tambah dua sama dengan sepuluh”.
Ini berarti bahwa terdapat sisa empat. Sepuluh tambah empat sama dengan empat belas”. (Untuk contoh-contoh strategi pemecahan soal cerita dan soal bilangan fakta dalam pengurangan, Lihat Ostad 1998a; 1999). Sketsa pola perkembangan normal Apa yang menandai perkembangan strategi di kalangan anak-anak yang berfungsi baik dalam matematika, yaitu anak-anak tanpa kesulitan matematika selama mereka belajar di sekolah dasar? Sejumlah studi perkembangan telah mengungkapkan adanya kemajuan umum dari penggunaan strategi yang tidak matang ke matang (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000). Menurut pandangan konvensional, perkembangan strategi tugas yang spesifik berlangsung berdasarkan pola yang tetap. Misalnya, penggunaan strategi siswa memiliki hubungan 1/1 dengan usianya.
Oleh karena itu, strategi yang digunakan siswa dari satu kelas ke kelas berikutnya mencerminkan usianya pada masing-masing kelas itu. Telah menjadi semakin jelas bahwa satu komponen penting dari perkembangan strategi adalah perluasan dasar pengetahuan tentang strategi tugas yang spesifik(Ostad 1997b). Jadi, pola utama perkembangan yang normal ditandai oleh fakta bahwa bila siswa bertambah usia, strategi baru pun terbentuk. Jadi, jumlah pengetahuan tentang strategi tugas yang spesifik itu meningkat, dan siswa perlahan-lahan mendapatkan koleksi strategi yang lebih bervariasi. Kemiskinan akan strategi menandakan bahwa penggunanya belum matang, (sangat muda), sedangkan kekayaan strategi menandakan bahwa pengguna strategi itu sudah matang. Soal-soal bervariasi dari satu tingkat kelas ke tingkat kelas lainnya, alat bantunya bervariasi, dan waktu yang dibutuhkan siswa pun beragam, dll.
Lebih jauh, sering kali terjadi bahwa kondisi kognitif untuk memecahkan soal juga bervariasi. Siswa cenderung dapat berkonsentrasi dalam situasi kerja. Untuk dapat mengaitkan penggunaan strategi dengan berbagai kondisi yang berubah-ubah, penting bagi siswa untuk memiliki pengetahuan tentang bermacam-macam strategi. Ini mengisyaratkan bahwa fungsionalitas penggunaan strategi siswa sebagian dapat merupakan fungsi kuantitas pengetahuan strateginya. Faktor sentral lainnya dalam perkembangan adalah bahwa tempat penyimpanan strategi siswa itu berubah terus. Penelitian saya sendiri menunjukkan bahwa strategi tugas yang spesifik itu melewati berbagai tahap perkembangan selama masa kanak-kanak (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000). Misalnya, terdapat perkembangan dalam kerangka strategi backup. Jadi, dalam pertambahan, penggunaan strategi di kelas satu ditandai dengan penghitungan jari. Kemudian, bila penghitungan diperlukan, biasanya menggunakan penghitungan verbal, bukan menggunakan strategi penghitungan jari.
Setelah itu, secara bertahap siswa juga mampu menemukan jawaban berdasarkan pengetahuannya tentang beberapa kombinasi pertambahan, mereka tahu jumlah dua bilangan yang ditambahkan tanpa harus menghitungnya (Ostad 1997b). Pada umumnya, penelitian empirik menunjukkan bahwa frekuensi strategi backup menurun sedangkan frekuensi strategi retrieval terus meningkat. Dengan kata lain, pola utama dalam perkembangan yang normal ditandai dengan menghilangnya penggunaan penghitungan dan strategi backup lainnya, sedangkan strategi retrieval lambat laun memainkan peran sentral. Maka, bila strategi backup, seperti menghitung jari, mendominasi proses pemecahan soal, hal itu seyogyanya ditafsirkan secara berbeda-beda, tergantung pada usia anak. Strategi yang umum dipergunakan di kelas satu, yang merupakan mata rantai alami dalam perkembangan yang alami, dapat merupakan gejala gangguan perkembangan jika strategi yang sama mendominasi cara pemecahan soal pada kadar yang sama di kelas lima. Di dalam alur perkembangan, kualitas dasar pengetahuan strategi berubah ke arah yang lebih fleksibel dalam hal kemampuan untuk mengadaptasikan pengetahuan strategi itu dengan berbagai situasi yang berbeda-beda (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000).
Bila seorang siswa, dalam kurun waktu yang sangat panjang, misalnya dua tahun, selalu menggunakan strategi yang sama tanpa variasi dari satu situasi ke situasi lainnya, ini dapat disebabkan oleh kemiskinannya akan strategi. Tetapi mungkin juga pengetahuan strateginya tidak disimpan dengan tepat. Fenomena ini dapat disebut sebagai kekakuan strategi. Pola perkembangan yang normal juga ditandai dengan lebih efektifnya penggunaan strategi.
Siswa yang lebih tua memiliki jawaban retrieval yang lebih benar. Di samping itu, pemrosesan informasi tampaknya berlangsung lebih cepat sehingga waktu solusinya pun menjadi lebih singkat. Kesimpulannya, alur perkembangan yang normal untuk strategi tugas yang spesifik telah menunjukkan kemajuan yang jelas seiring dengan berjalannya waktu, dari strategi penghitungan yang tidak matang, tidak efisien, ke penghitungan secara verbal, dan akhirnya ke pengungkapan fakta aritmetik di luar kepala, seiring dengan perjalanan belajar anak di sekolah dasar.
Kesulitan dalam matematika
Beberapa peneliti telah berkeyakinan bahwa kesulitan belajar matematika itu relatif umum (misalnya Badian 1983). Secara lebih spesifik, sebuah studi yang diterbitkan baru-baru ini (Ostad 1998a) menunjukan bahwa layanan pendukung sekolah telah menemukan sekitar 10% dari anak-anak di beberapa sekolah dasar memerlukan program remedial dalam matematika ketika anak-anak ini duduk di kelas dua (sekitar usia 8-9 tahun).
Meskipun demikian, kesulitan belajar matematika masih relatif terabaikan dalam literatur penelitian (Geary 1993). Hanya beberapa studi empirik tentang mekanisme kognitif yang secara
potensial berkontribusi terhadap masalah belajar matematika yang telah dilakukan meskipun sudah banyak yang dipelajari tentang cara perolehan konsep dan prosedur matematika dasar pada anak-anak yang normal matematikanya (misalnya, Ahcraft 1992; Siegler 1990).
Keberhasilan atau kegagalan dalam matematika sering kali ditentukan oleh kinerja dalam tes prestasi yang distandarisasi. Namun, tes ini tidak memberikan informasi mengenai proses mental yang mungkin mempengaruhi prestasi anak. Satu pendekatan alternatif adalah membandingkan kelompok-kelompok anak yang beragam dalam tingkat prestasinya, dalam soal-soal yang menuntut keterampilan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Dengan demikian, semakin banyak hasil penelitian telah memberikan informasi yang bermanfaat tentang penggunaan strategi oleh anak yang mengalami kesulitan belajar matematika. Dibanding dengan teman sebayanya yang normal dalam matematikanya, anak-anak ini ditandai dengan penggunaan strategi pemecahan soal yang tidak efisien, waktu solusi yang lebih lama, dan seringnya membuat kesalahan penghitungan dan kesalahan yang terkait dengan ingatan.
Penelitian saya sendiri, yang bertitik tolak dari proyek yang relatif komprehensif dan longitudinal (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000) telah menunjukan bahwa anak-anak yang berkesulitan matematik terus menggunakan strategi backup dasar di semua kelas di sekolah dasar.
Lebih jauh, alur perkembangan anak-anak ini menunjukan bahwa mereka menggunakan jenis strategi yang jauh lebih sedikit (hanya satu atau dua varian) selama masa sekolah dasar. Mereka biasanya terus menggunakan varian strategi yang sama dari tahun ke tahun selama masa sekolah dasarnya.
Secara ringkas, pola perkembangan menunjukan bahwa anak yang berkesulitan belajar matematika pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) hanya menggunakan strategi backup,
(2) menggunakan strategi backup primer,
(3) tingkat variasinya kecil dalam menggunakan varian-varian strategi,
(4) tingkat perubahan yang terbatas dalam penggunaan strategi dari tahun ke tahun selama masa sekolah dasar.
Mungkin bahkan lebih signifikan, pola perkembangan ini tampaknya hampir menetap secara permanen pada akhir kelas satu.
Kesimpulan
Temuan-temuan dalam berbagai penelitian ini memiliki implikasi pendidikan. Untuk memperhatikan kebutuhan anak-anak yang berkesulitan belajar matematika, metode pengajaran perlu mengubah fokusnya, sejak tahun-tahun pertama sekolah dasar, dari cara belajar lebih banyak matematika menjadi cara belajar matematika dengan menggunakan strategi yang tepat. Itu berarti memberikan pengajaran kepada anak-anak ini untuk membantu mereka agar menjadi pengguna strategi yang baik dan beralih dari sekedar menghafal keterampilan-ketrampilan dasar.
Beberapa proyek telah dimulai untuk memperhatikan kebutuhan pengajaran matematika yang lebih baik. Pentingnya meta-kognisi untuk memecahkan soal-soal matematika diakui dalam banyak literatur. Pengajaran dengan strategi kognitif merupakan altenatif yang menjanjikan untuk menggantikan pendekatan-pendekatan yang kini dipergunakan untuk mengajar matematika kepada siswa-siswa yang berkesulitan belajar matematika. Penelitian intervensi yang difokuskan pada pengajaran cara pemecahan soal telah membuktikan bahwa siswa yang kekurangan strategi pemecahan soal memerlukan pengajaran yang eksplisit untuk memudahkan mereka membaca, memahami, mengerjakan dan mengevaluasi soal.
Akan tetapi, apakah anak-anak yang berkesulitan belajar matematika dapat menjadi pengguna strategi yang baik setelah menerima lebih banyak pengajaran tentang strategi pada usia dini, tetap merupakan pertanyaan terbuka. Jawaban yang lebih pasti untuk pertanyaan ini harus menunggu hasil penelitian lebih lanjut.
Created by : Snorre A. Ostad
Kami dari Admin GudangMateri berterima kasih untuk izin publikasi , terhadap Snorre A.Ostad . Dimohon jika anda mengutip dari artikel ini agar mencantumkan pada Referensi anda :
Snorre A. Ostad di http://gudangmateri.blogspot.com/2010/02/memahami-dan-menangani-bilangan.html diunduh : ( tanggal akses anda )
Baca Selengkapnya ..
Saya akan memulai bagian I ini dengan pembahasan tentang dua dimensi pengetahuan matematik siswa. Pertama, dimensi kuantitas yang telah dikenal baik, yang merefleksikan bahwa siswa, sejauh tertentu, mungkin telah memiliki pengetahuan yang cukup komprehensif dalam ranah matematika. Namun, dimensi kedua, yang kurang banyak diketahui, adalah dimensi kualitas, yang merujuk pada fungsionalitas pengetahuan matematika.
Akan diperdebatkan bahwa perkembangan matematik yang positif tidak tergantung terutama pada seberapa banyak pengetahuan yang telah didapat siswa dalam matematika, melainkan pada kualitas pengetahuannya itu.
Contoh
David, seorang siswa yang berkesulitan dalam matematika, telah mencapai kelas 6 [usia 12 tahun]. Salah satu tujuan yang ditetapkan dalam program pengajaran individualnya untuk masa 3 bulan berikutnya adalah agar dia mampu berbelanja di toko: dapat membeli barang-barang sesuai dengan daftar yang telah dibuat, dapat memilih uang kertas atau koin dengan nilai yang tepat, dapat mengecek jumlah akhir yang harus dibayarnya, dapat mengecek uang kembalian dengan jumlah yang benar, dll.
Guru mengontak toko terdekat dan dua orang pelayan toko bersedia bekerjasama, sehingga pendidikan dapat didasarkan atas pengalaman berbelanja yang sesungguhnya dan tidak hanya "main belanjabelanjaan”. Selama tiga bulan pelatihan, David menjadi semakin baik dalam menguasai tugas-tugas yang terkait dengan belanja. Laporan yang dibuat pada akhir pelatihan menyatakan bahwa pelatihan tersebut berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, segera setelah masa pelatihan tersebut, kerangka acuan untuk berbelanja itu diperluas ke wilayah geografis yang lebih besar dan ke toko-toko yang strukturnya berbeda dari toko yang pertama, yaitu ke toko besar.
David tidak lagi dapat berhubungan dengan dua orang pelayan toko yang sama setiap saat. Pelayan tokonya berubah-ubahdari tempat ke tempat dan dari jam ke jam. David menjadi tidak yakin dengan dirinya sendiri. Pengetahuan yang diperolehnya selama masa pelatihan itu, yang jelas telah memperluas gudang pengetahuannya dan telah berfungsi dengan memadai di toko setempat di mana pelatihan tersebut telah dilaksanakan, tak dapat secara langsung diterapkannya untuk menghadapi tantangan baru ketika berbelanja di tempat lain. Dia telah memperoleh pengetahuan yang ternyata terbatas pada pengalaman yang spesifik dan terisolasi. David telah belajar membeli barang-barang biasa di toko kecil, tetapi belum belajar membeli barang-barang dalam arti yang seluas-luasnya. Maka diperlukan satu masa pelatihan yang baru, kali ini diarahkan secara spesifik pada berbelanja di toko besar.Oleh karena itu, gurunya menyelenggarakan program pelatihan lebih lanjut dengan mempertimbangkan hal tersebut.
Dimensi kuantitatif dan kualitatif
Tempat penyimpanan pengetahuan matematik David dapat digambarkan dalam bentuk suatu blok apartemen yang terdiri dari sejumlah besar apartemen yang terdiri dari banyak ruangan. Bila David memperoleh lebih banyak pengetahuan, maka kepingan-kepingan informasi baru [fakta] masuk ke ruangan yang berbeda-beda. Jumlah pengetahuan yang dimiliki siswa dalam ranah matematika, yaitu pengetahuan yang spesifik dalam ranah kuantitas, dapat kemudian diekspresikan sebagai fungsi jumlah ruangan yang “ditempati” oleh kepingan-kepingan informasi yang spesifik kuantitas itu.
Sebagaimana kita ketahui, sebuah blok apartemen tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal penghuninya. Bila orang telah pindah ke blok tersebut, maka blok itu dapat dipandang sebagai unit sosial. Memang, banyak orang yang mengalami bahwa kondisi untuk mencapai interaksi sosial yang fungsional di antara para penghuninya sangat bervariasi dari blok ke blok.
Tempat penyimpanan pengetahuan matematik juga dapat diilustrasikan sebagai unit sosial, di mana prasyarat untuk interaksi fungsional antara berbagai kepingan informasi itu sangat bervariasi dari satu siswa ke siswa lainnya. Oleh karena itu, bila siswa yang tidak berkesulitan dalam matematika belajar lebih banyak matematika sehingga meningkatkan jumlah pengetahuan matematiknya, biasanya kualitas pengetahuannya pun meningkat pula, dan hasilnya adalah pengetahuan matematika fungsional yang berkualitas baik. Ini berarti bahwa telah terjadi kontak antara berbagai kepingan informasi itu.
Di samping itu, dan mungkin lebih signifikan, kepingan-kepingan informasi itu memiliki kemampuan dan keinginan untuk bekerjasama, bertukar fungsi dan saling memberikan tantangan. Oleh karena itu, dimensi kualitas di dalam tempat penyimpanan pengetahuan matematik itu dapat digambarkan sebagai unit sosial yang fungsional. Berdasarkan sistem kontrol umum yang menyeluruh, kepingan-kepingan informasi yang relevan diaktifkan, maka strategi pemecahan masalah yang efisien dipilih untuk memecahkan soal-soal matematika.
Bila tempat penyimpanan pengetahuan sebagai satu unit sosial itu berfungsi dengan baik, maka tempat itu menjadi suatu tempat penyimpanan pengetahuan yang dapat digeneralisasikan, artinya bahwa pengetahuan itu fleksibel, dengan bidang terapan yang merentang ke luar situasi spesifik di mana pembelajaran terjadi, misalnya toko setempat atau buku teks. Di samping itu, pengetahuan tersebut juga menjadi pengetahuan generatif, yaitu pengetahuan yang dapat mendorong perkembangan lebih lanjut.
Konsep representasi
Sebagaimana dikemukakan di atas, kerangka pikir yang saya pergunakan untuk membahas pengetahuan matematika siswa itu didasarkan atas asumsi bahwa pengetahuan itu direpresentasikan secara internal, dan bahwa representasi internal ini terstruktur. Untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu.
Komunikasi memerlukan representasi fisik, yaitu representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau obyek fisik. Sebuah ide matematika tertentu sering dapat direpresentasikan dengan salah satu dari bentuk-bentuk representasi itu atau dengan kesemua bentuk representasi itu.
Namun, dalam belajar matematika representasi tidak terbatas hanya pada representasi fisik saja. Untuk berfikir tentang ide matematik, kita perlu merepresentasikannya secara internal, sedemikian rupa sehingga Memungkinkan pikiran kita beroperasi. Oleh karena itu, istilah representasi dapat juga dipergunakan bila menggambarkan proses kognitif untuk sampai pada pemahaman tentang suatu ide dalam matematika. Di sini representasi bukan perwujudan eksternal melainkan suatu entitas kognitif. Anak dapat diekspos pada sejumlah perwujudan fisik dari “lima” , misalnya, dan kemudian mulai mengabstraksikan konsep lima tersebut. Dalam proses ini, anak tersebut dapat membangun sebuah representasi internal (representasi mental, representasi kognitif, gambaran mental, skema). Para ahli teori sering mendeskripsikan aktivitas kognitif yang tercakup di dalam proses pemecahan soal ini sebagai model mental (Kaput 1988).
Jenis-jenis representasi fisik
Kata konkret, semi-konkret, semi-tanda dan tanda muncul dalam diskusi berikut ini. Konkret merujuk pada benda nyata. Semi-konkret merujuk pada gambar benda nyata.
Semitanda
Mengacu pada representasi benda nyata dengan satu propertinya, yaitu properti jumlah dalam himpunan benda nyata (misalnya garis-garis atau titik-titik sejumlah benda yang direpresentasikan). Tanda mengacu pada simbol arbitrer dan konvensional (lima, 5, dll.). Dengan kata lain, semi-konkret, semi-tanda dan tanda itu merupakan bermacam - macam cara untuk mewakili, menggambarkan atau menyimbolkan benda konkret. Ungkapan “kontinum konkret-tanda” dipergunakan sebagai dasar untuk mendefinisikan, menggambarkan, dan menganalisis “jalur” dari konkret ke tanda, yang dipergunakan dalam pendidikan dasar matematika (Ostad 1989).
Kontinum konkret-tanda dapat dianalisis dan dideskripsikan dalam beberapa cara. Secara linguistik, ungkapan yang terkenal, “dari konkret ke abstrak”, yang mendefinisikan kerangka acuan psikologis untuk kontinum tersebut, berasal dari bahasa Latin. Kata konkret berasal dari concretus (con = dengan, crescere = tumbuh), merujuk pada kebersamaan tumbuh dunia fisik yang nyata, yang merupakan dasar bagi semua pengalaman manusia.
Kata abstrak berasal dari abstractus (abs = jauh, trahere = menarik). Jadi, abstraksi merujuk pada proses kognitif di mana kita “menarik diri” dari unsur-unsur dalam pengalaman kita untuk melihat apa persamaannya. Ini meliputi pindah dari nyata dan aktual ke generic, yaitu pembentukan kelas-kelas dengan properti-properti yang membatasinya. Dengan kata lain, abstraksi mengandung arti bahwa anak menjauhkan dirinya dari kekhususan, kekonkretan, dan mampu mencapai tingkat kebebasan tertentu dari pengalaman langsung yang bersangkutan (Ostad 1989).
Menggunakan benda-benda fisik sebagai kerangka acuan untuk menganalisis kontinum konkret-tanda, misalnya “balok-balok logika”, dapat bervariasi dalam lima hal: besarnya, ketebalan, warna, bentuk dan jumlah. Dalam contoh ini, konkret - benda nyatamempunyai lima properti karakteristik, yaitu (p = 5). Secara fisik, semi-konkret adalah hasil dari penghilangan satu properti karakteristik atau lebih, yaitu (1 < p="1)." p="0)." 3 ="," style="color: rgb(255, 0, 0);">Contoh di atas menunjukkan bahwa kita dapat membedakan antara tiga jenis properti utama yang ada pada konkret:
(1) Properti yang relevan dengan soal – yaitu properti yang memberikan informasi yang relevan dengan soal matematika tertentu (misalnya properti jumlah dalam pertambahan dan pengurangan, properti bentuk dalam geometri).
(2) Properti yang berlebihan untuk soal tertentu – yaitu properti yang memberikan informasi yang relevan dengan soal dalam soal matematika tertentu, tetapi informasi ini tidak diperlukan karena properti lain yang dimiliki oleh konkret memberikan informasi yang sama relevannya dalam soal tertentu.
(3) Properti yang tidak relevan dengan soal – yaitu properti yang tidak memberikan informasi yang relevan dalam hubungannya dengan soal matematika tertentu.
Sejumlah peneliti (Gelman 1969; Miller 1973) mengemukakan bahwa perolehan cara berpikir matematik yang fundamental terutama tergantung pada disasosiasi properti fisik dari benda-benda, yang memungkinkan siswa memperhatikan properti yang relevan dari suatu pengalaman dan mengabaikan properti yang tidak relevan atau berlebihan. Menurut pendapat ini, tingkat keberhasilan yang dicapai dalam memecahkan soal tergantung pada tingkat kemampuan anak untuk membedakan antara informasi yang relevan dan tidak relevan atau berlebihan.
Jika pendapat di atas berlaku, maka representasi internal (gambaran mental) yang fungsional dalam kaitannya dengan pemecahan soal matematika dapat diperoleh sebagai hasil dari ekstraksi yang selektif terhadap informasi yang relevan dengan soal, sedangkan informasi yang tidak relevan dan informasi yang berlebihan tetap berada dalam tempat penyipanan pengetahuan murid. Kesulitan dalam matematika Fenomena bahwa pengetahuan matematika siswa mungkin tersimpan dalam bentuk yang tidak selalu sesuai telah dioperasionalkan dalam apa yang disebut sebagai dimensi berat, di mana dimensi-dimensi premisnya digambarkan dengan ungkapan “gambaran mental berat” atau “gambaran mental ringan”.
Berdasarkan atas prinsip disasosiasi properti fisik dari benda, telah diasumsikan bahwa “beratnya” representasi internal (gambaran mental) itu menunjukkan sejauh mana pengetahuan yang spesifik ranah tertentu dapat menjadi fungsional dalam hubungannya dengan tantangan-tantangan yang digambarkan oleh bermacam-macam soal matematika (Ostad 1989; 1992). Ungkapan fisik “gambaran mental berat” dan “gambaran mental ringan” didasarkan atas pendapat bahwa struktur gambaran mental, yaitu “beratnya”, mencerminkan fungsionalitasnya untuk memecahkan soal-soal matematika.
Secara lebih spesifik, gambaran mental itu “berat” karena disamping informasi yang relevan dengan soal, gambaran mental itu juga “membawa” keping-keping informasi yang tidak relevan atau berlebihan terhadap soal. Dengan kata lain, gambaran mental yang berat itu “sarat muatan” dengan informasi yang relevan dan tidak relevan dengan soal atau berlebihan. Gambaran yang ringan, yang menandai gambaran mental murid yang secara matematis berfungsi dengan baik, telah “menyingkirkan” informasi yang tidak relevan dengan soal dan informasi yang berlebihan, dan karenanya “bermuatan ringan” dengan informasi yang relevan dengan soal (Ostad 1989).
Dalam situasi terakhir ini, tempat penyimpanan pengetahuan mampu menghasilkan gambaran mental yang ringan, yang ditandai dengan informasi yang relevan dengan soal. Oleh karena itu, berdasarkan analisis ini, terjalin hubungan antara keping-keping informasi di dalam jaringan, dan terjadi interaksi “sosial” yang fungsional di antara keping-keping informasi tersebut. Akibatnya, tempat penyimpanan pengetahuan matematika murid itu mempunyai karakter yang fleksibel dan tidak tergantung pada konteks (Ostad 1989; 1992). Kebalikannya, murid yang berkesulitan dalam matematika memiliki gambaran mental yang berat, yaitu gambaran yang didasarkan pada tempat penyimpanan pengetahuan yang kurang terorganisasi menjadi jaringan yang fungsional.
Bila tempat penyimpanan pengetahuan ini diaktifkan untuk memecahkan soal matematika, ini tampaknya tidak dilakukan dengan mereorganisasi secara tepat kepingkeping informasi yang dimilikinya. Oleh karena itu, gambaran mental itu menjadi “pembawa” informasi yang tidak relevan dengan soal dan/atau informasi yang berlebihan. Akibatnya, tempat penyimpanan pengetahuan siswa ini bersifat kaku dan tergantung pada konteks (Ostad 1989; 1992). Kesimpulannya, David dan murid-murid lainnya yang berkesulitan dalam matematika ini dapat dikatakan tidak hanya memiliki pengetahuan matematika yang sedikit, tetapi mungkin bahkan lebih signifikan lagi, mereka memiliki pengetahuan matematika yang berkualitas buruk.
Murid-murid ini tampaknya belajar dengan cara yang berbeda dari murid-murid lain, sehingga kualitas hasil belajarnya lebih rendah. Tempat penyimpanan pengetahuannya tidak berfungsi dengan baik sebagai suatu “unit sosial”. Bila muridmurid ini belajar lebih banyak matematika, tempat penyimpanan pengetahuannya yang spesifik ranah matematika itu meluas, tetapi keping-keping informasi baru tampaknya tetap terisolasi dalam “ruangan tertutup”. Bahkan jika kesempatan untuk kontak dengan ruangan-ruangan lain itu ada, mereka tidak memanfaatkannya. Oleh karena itu, kepingkeping informasi itu tetap terisolasi tanpa saling kontak.
Akibatnya, bila memecahkan soal-soal, murid-murid ini harus mendapatkan kembali pengetahuan matematikanya itu dari balik pintu yang tertutup, dan proses pemecahan soalnya cenderung bersifat “mengikuti resep”. Sejauh “resep” yang sama dapat digunakan dan digunakan lagi, murid-murid itu dapat memperoleh jawaban yang benar untuk soal-soal dalam buku matematikanya. Berdasarkan analisis ini, membeli barang-barang merupakan aktivitas yang terisolasi, yang berfungsi secara relevan hanya dalam situasi tertentu. Kualitas pengetahuannya ditandai oleh isolasionisme serta kurangnya generalitas dan generativitas.
Jadi, perkembangan pengetahuan matematikanya menunjukkan penyimpangan dari perkembangan normal, baik dalam kuantitasnya maupun kualitasnya. Kenyataannya, variabilitas dalam kinerja matematika di kalangan murid-murid yang berkesulitan dalam matematika itu kecil, dan menjadi semakin kecil selama di sekolah dasar (Ostad 1998b). Kesimpulan Di masa lalu, secara otomatis orang menilai apakah murid berkesulitan dalam matematika atau tidak itu dari jumlah jawaban yang benar dalam tes matematikanya. Oleh karena itu, pendidikan kebutuhan khusus dalam bidang matematika dirancang atas dasar hasil diagnosis tentang kuantitas pengetahuannya, bukan berdasarkan kualitasnya. Akan tetapi, hasil penelitian baru-baru ini telah mendokumentasikan tentang pentingnya mengarahkan lebih banyak perhatian pada strategi yang digunakan siswa, yaitu bagaimana siswa memperoleh pengetahuannya dan memecahkan soal matematika.
Studi yang sistematis terhadap perkembangan matematika siswa dari tahun ke tahun selama di sekolah dasar (misalnya Ostad 2000) telah lebih menekankan tentang perlunya meredefinisi faktorfaktor penyebab kesulitan matematika itu. Kesulitan itu seyogyanya tidak dipandang sebagai masalah yang hanya terkait dengan kuantitas pengetahuan yang diperoleh; melainkan terutama merupakan masalah yang terkait dengan kualitas pengetahuan ini. Stagnasi dini yang dialami siswa-siswa ini dalam strategi belajar yang tidak sesuai dapat mengindikasikan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan awal, seharusnya tidak ditujukan agar siswa terus-menerus memperoleh pengetahuan baru. Seharusnya siswa dibantu belajar untuk belajar dengan cara yang tepat, yang menjamin bahwa pengetahuan matematika yang mereka peroleh adalah pengetahuan yang berkualitas terbaik.
Strategi untuk memecahkan soal-soal matematika
Belajar telah menjadi topik sentral dalam psikologi sejak awal bidang ini menjadi satu disiplin ilmu. Selama pertengahan pertama abad ke-20, banyak peneliti meneliti stimulusrespon untuk menjelaskan proses belajar. Teori-teori besar dari Thorndike, Gutherie, Skinner dan Hull menetapkan belajar sebagai topik sentral dalam psikologi pada tahun 1930-an, 1940-an dan 1950-an. Akan tetapi, unit analisis standarnya adalah hubungan stimulus-respon, bukan strateginya.
Gagasan tentang strategi tersebut belum umum, dan baru dibawa serta bersama revolusi kognitif pada akhir tahun 1950-an. Lambat laun, pergeseran ke kualitas terjadi dalam penelitian pendidikan. Belajar mulai dipandang sebagai hasil proses aktif dari sudut pandang pelajar, bukan sekedar sebagai hasil dari penerimaan pengetahuan secara pasif. Para peneliti memperluas bidang penelitiannya dari laboratorium ke tempat-tempat di mana pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang lebih alami, yaitu di TK dan sekolah-sekolah.
Ini menghasilkan unit-unit pelatihan yang lebih rumit, yang harus menjadi perhatian para peneliti. Oleh karena itu, strategi menjadi unit pengukuran yang lebih realistis, tidak hanya sebagai unit-unit pelatihan tetapi juga sebagai unit pengukuran standar untuk analisis belajar bagi para peneliti (Ostad 1997a). Berkembang dari psikologi kognitif pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an adalah pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat representasi pengetahuan.
Misalnya, para peneliti berpostulat bahwa cara informasi digambarkan dalam memori mempengaruhi cara informasi tersebut diproses, dan mereka berpendapat bahwa perbedaan perkembangan dasar pengetahuan pada anak sangat mempengaruhi kinerja tugas-tugas kognitifnya, termasuk penggunaan strateginya. Lambat laun, istilah aritmetika kognitif pun berkembang. Sorotan semakin diarahkan pada pertanyaan, “Bagaimana orang mengerjakan aritmetika di dalam kepalanya”? Selama 25 tahun terakhir ini, penelitian dirancang untuk mengidentifikasi strategi yang digunakan oleh anak pada berbagai tingkatan usia atau pada berbagai tingkatan perolehan keterampilan telah menjadi bagian sentral dari penelitian perkembangan kognitif.
Pada bagian berikut ini saya akan membahas sejumlah strategi yang diterapkan dalam penelitian tentang kinerja matematik. Setelah itu, saya akan mengkaji penelitian dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa penggunaan strategi dalam matematika merupakan suatu produk aktivitas kognitif yang kompleks dan bukan merupakan tindakan yang sederhana. Lebih jauh, saya akan membahas karakteristik pengembangan strategi oleh anak-anak yang baik keberfungsiannya dalam matematika.
Secara keseluruhan, fokus utama kajian ini adalah:
(1) memberikan kerangka kerja untuk meneliti mekanisme kognitif potensial yang mungkin berkontribusi terhadap masalah-masalah belajar dalam matematika, dan
(2) menawarkan saran-saran untuk penelitian tentang strategi di masa mendatang yang melibatkan anak-anak yang berkesulitan dalam matematika.
Definisi Strategi Istilah strategi berasal dari kata Yunani strategos, seorang jendral dalam militer. Satu definisi umum dalam kamus adalah suatu “prosedur untuk mencapai tujuan” (Ostad 1997a:9). Masalah definisi strategi ini sangat bervariasi dalam studi penelitian. Pada awal tahun 1970-an, istilah tersebut memiliki konotasi yang pasti. Istilah tersebut mengacu pada suatu prosedur untuk melatih butir-butir yang harus dipelajari dalam eksperimen memori; umumnya merupakan prosedur latihan yang spesifik. Sekarang ini istilah strategi yang digunakan dalam hubungannya dengan kinerja aritmetik memiliki konotasi yang jauh lebih luas, secara bebas digunakan untuk mengetahui “bagaimana tugas-tugas aritmetika dikerjakan secara mental” (Ostad 1992a: 9).
Sebagaimana dikemukakan di atas, strategi dapat didefinisikan secara sangat sempit. Dalam beberapa penelitian dan kajian, strategi mengacu pada suatu prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Dalam definisi yang paling sederhana dan paling jelas, strategi adalah perilaku pemecahan soal yang terorganisasi yang diarahkan pada pencapaian sebuah tujuan. Dalam kasus-kasus lain, strategi dipandang sebagai entitas yang relatif besar, yang meliputi berbagai cara untuk mencapai tujuan, yang meliputi “semua” proses yang dilibatkan dalam pelaksanaan tugas.
Beberapa peneliti membedakan antara strategi tugas yang spesifik dan strategi umum. Menurut Goldman, strategi tugas yang spesifik difokuskan pada operasi kognitif yang diperlukan untuk memecahkan jenis soal tertentu (misalnya rangkaian operasi yang khusus untuk menambahkan dua angka). Stretegi ini mengarahkan seseorang tentang apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi soal bilangan tertentu (Goldman et. al. 1988). Strategi tugas yang spesifik dapat terdiri dari bermacam-macam bentuk dengan tingkat kompleksitas yang berbeda-beda.
Strategi umum dapat disebut strategi meta-kognitif. Menurut Goldman, strategi jenis ini memberikan kerangka kerja umum bagi anak-anak untuk menghadapi tugas-tugas matematika dan memperoleh informasi tentang kemajuan upaya pemecahannya (Goldman et. al. 1988).
Kesimpulannya, terdapat sekurang-kurangnya dua macam cara fundamental untuk mendefinisikan strategi :
(1) sebagai aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan, atau
(2) sebagai aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan juga temasuk proses sebelum pemilihan yang menghasilkan keputusan untuk menggunakan prosedur tertentu guna memecahkan soal.
Para peneliti membedakan antara dua kelompok utama strategi tugas yang spesifik, yaitu strategi retrieval dan strategi backup. Istilah-istilah ini merupakan konsekuensi dari teori yang dipergunakan oleh para ilmuwan yang mengatakan bahwa pengetahuan matematika siswa merupakan suatu cadangan unit pengetahuan. Bayangkan seorang anak usia tujuh tahun dihadapkan pada soal 5+3 = ... . Dalam mengobservasi tindakan anak itu, mungkin anda menyimpulkan bahwa dia akan menggunakan strategi backup untuk memecahkan soal itu. Satu strategi backup yang digunakan untuk soal pertambahan itu dapat melibatkan langkah-langkah berikut ini: anak mula-mula menghitung lima jari “1-2-3-4-5” dan melanjutkan dengan tangan lainnya “1-2-3”.
Kemudian dia kembali dan menghitung kedelapan jari itu, “1-2-3-4-5-6-7-8”, mengulang “8” dan menulis jawabannya, 8. Beberapa tahun kemudian, proses solusi anak itu berubah. Mungkin anak itu akan menemukan jawaban untuk soal yang sama tanpa tanda-tanda atau tindakan eksternal yang jelas, sama seperti kalau dia diminta menyebutkan kepanjangan namanya. Dalam hal ini anak menggunakan strategi retrieval dan menjawab soal seperti (5+3=...), yang diambil langsung dari ingatan jangka panjangnya. “anak hanya tinggal menyatakan jawabannya setelah soal diberikan”. Suatu strategi backup didefinisikan sebagai “strategi apapun selain strategi retrieval” (Ostad 1997a:11). Contoh-contoh di atas menggambarkan strategi yang relatif sederhana.
Akan tetapi, kebanyakan strategi yang terkait dengan soal-soal tes matematika di tingkat SMP atau SMA sering kali jauh lebih kompleks. Kesimpulannya, meskipun terdapat bermacam-macam pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strategi, tetapi ada hal-hal yang disepakati. Biasanya disepakati bahwa strategi merupakan operasi yang mengarah pada tujuan. Lebih jauh, strategi sering kali dipandang sebagai tindakan yang spesifik pada ranah tertentu, yang dipergunakan untuk memfasilitasi perolehan pengetahuan. Dengan tujuan untuk mempelajari perbedaan perkembangan antara anak-anak dengan dan tanpa masalah belajar dalam matematika, selama anak-anak ini belajar di sekolah dasar, saya mendefinisikan strategi tugas yang spesifik sebagai pola keputusan yang terstruktur, spesifik ranah, dan tidak diwajibkan, yang diaktifkan bila anak dihadapkan pada soal-soal matematika (aritmetika), dan terarah pada tujuan ketika berusaha memecahkan soal (Ostad 1997:12).
Contoh-contoh strategi untuk memecahkan soal bilangan dalam pertambahan (A1) varian backup: (A1a) Menghitung semuanya dan mulai lagi dari awal. Misalnya: 3+5=? Siswa menghitung konkretnya, misalnya jari atau balok Unifix. Mula-mula “satu, dua, tiga” dengan benda konkret, kemudian melanjutkan “satu, dua, tiga, empat, lima” dengan benda konkret lainnya. Kemudian dia memulai dari awal lagi dan menghitung semua unsur dalam kedua jumlah tersebut: “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan”. Benda-benda konkret itu mewakili bilangan bulat dalam soal. (A1b) Menghitung semuanya. Misalnya: 3+5=? Siswa menghitung benda konkret, pertama “satu, dua, tiga” dan melanjutkan dengan menghitung “empat, lima, enam, tujuh, delapan”. (A1c) Menghitung lebih lanjut. Misalnya, 3+5=? Siswa menggunakan benda konkret, tetapi menghitung maju mulai dari bilangan yang ditambahkan.
Dia menghitung “empat, lima, enam, tujuh, delapan”. (A1d) Varian minimum (jumlah minimum dari langkah menghitung). Misalnya: 3+5=? Siswa menghitung benda konkret, tetapi dalam hal ini menghitung dari angka yang mewakili bilangan terbesar, yaitu menghitung dari bilangan terakhir bilangan penambah. Dalam contoh ini berarti menghitung dari 5 yaitu “enam, tujuh, delapan”. (A1e) Varian gambar. Dengan menggunakan pensil, siswa menggambar garis, titik atau apapun pada selembar kertas dan selanjutnya menghitung titik atau garis ini untuk memperoleh jawaban dengan bantuan dari A1a, A1b, A1c atau A1d. (A1f) “Menyentuh titik” pada angka. Siswa menggambar (atau membayangkan) titik-titik pada angka (suatu pola titik yang tepat yang mewakili angka).
Penambahan dilakukan oleh siswa dengan menggunakan titik-titik ini untuk memperoleh jawaban dengan bantuan dari A1a, A1b, A1c atau A1d. (A1g) Varian hitungan lainnya. Mula-mula siswa menggambar sebaris angka dan menghitungnya dengan menggunakan baris angka-angka itu atau menghitung buku-buku jarinya, atau mengkombinasikan unsur-unsur dari dua strategi atau lebih yang digambarkan di atas. (A1h) Menghitung bersuara. Siswa menghitung dengan bersuara atau menggerakan bibirnya seakan-akan sedang menghitung secara implisit. Penghitungan tidak memiliki kerangka acuan eksternal lain yang secara langsung dapat diamati. (A2) Varian retrieval (A2a) Tahu jawabannya. Siswa mengenali contoh soal dan langsung menjawab. (A2b) Varian fakta turunan (derived fact) I.
Siswa tahu jawaban untuk soal pertambahan dengan berbagai kombinasi dan menggunakan jawaban ini sebagai dasar untuk menghitung maju. Misalnya: 3+5=? Siswa tahu bahwa 3+3=6 dan menyebutkan, “tiga tambah tiga sama dengan enam... tambah dua ... (menghitung jarinya, dan menyebutkan) tujuh, delapan”. (A2c) Varian fakta turunan II. Siswa menggunakan pengetahuannya tentang beberapa kombinasi soal-jawab, yang digunakannya sebagai dasar untuk memecahkan soal tanpa menghitung. Jika soalnya 8+6=?, siswa melanjutkan dari delapan dan menyebutkan, misalnya “delapan tambah dua sama dengan sepuluh”.
Ini berarti bahwa terdapat sisa empat. Sepuluh tambah empat sama dengan empat belas”. (Untuk contoh-contoh strategi pemecahan soal cerita dan soal bilangan fakta dalam pengurangan, Lihat Ostad 1998a; 1999). Sketsa pola perkembangan normal Apa yang menandai perkembangan strategi di kalangan anak-anak yang berfungsi baik dalam matematika, yaitu anak-anak tanpa kesulitan matematika selama mereka belajar di sekolah dasar? Sejumlah studi perkembangan telah mengungkapkan adanya kemajuan umum dari penggunaan strategi yang tidak matang ke matang (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000). Menurut pandangan konvensional, perkembangan strategi tugas yang spesifik berlangsung berdasarkan pola yang tetap. Misalnya, penggunaan strategi siswa memiliki hubungan 1/1 dengan usianya.
Oleh karena itu, strategi yang digunakan siswa dari satu kelas ke kelas berikutnya mencerminkan usianya pada masing-masing kelas itu. Telah menjadi semakin jelas bahwa satu komponen penting dari perkembangan strategi adalah perluasan dasar pengetahuan tentang strategi tugas yang spesifik(Ostad 1997b). Jadi, pola utama perkembangan yang normal ditandai oleh fakta bahwa bila siswa bertambah usia, strategi baru pun terbentuk. Jadi, jumlah pengetahuan tentang strategi tugas yang spesifik itu meningkat, dan siswa perlahan-lahan mendapatkan koleksi strategi yang lebih bervariasi. Kemiskinan akan strategi menandakan bahwa penggunanya belum matang, (sangat muda), sedangkan kekayaan strategi menandakan bahwa pengguna strategi itu sudah matang. Soal-soal bervariasi dari satu tingkat kelas ke tingkat kelas lainnya, alat bantunya bervariasi, dan waktu yang dibutuhkan siswa pun beragam, dll.
Lebih jauh, sering kali terjadi bahwa kondisi kognitif untuk memecahkan soal juga bervariasi. Siswa cenderung dapat berkonsentrasi dalam situasi kerja. Untuk dapat mengaitkan penggunaan strategi dengan berbagai kondisi yang berubah-ubah, penting bagi siswa untuk memiliki pengetahuan tentang bermacam-macam strategi. Ini mengisyaratkan bahwa fungsionalitas penggunaan strategi siswa sebagian dapat merupakan fungsi kuantitas pengetahuan strateginya. Faktor sentral lainnya dalam perkembangan adalah bahwa tempat penyimpanan strategi siswa itu berubah terus. Penelitian saya sendiri menunjukkan bahwa strategi tugas yang spesifik itu melewati berbagai tahap perkembangan selama masa kanak-kanak (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000). Misalnya, terdapat perkembangan dalam kerangka strategi backup. Jadi, dalam pertambahan, penggunaan strategi di kelas satu ditandai dengan penghitungan jari. Kemudian, bila penghitungan diperlukan, biasanya menggunakan penghitungan verbal, bukan menggunakan strategi penghitungan jari.
Setelah itu, secara bertahap siswa juga mampu menemukan jawaban berdasarkan pengetahuannya tentang beberapa kombinasi pertambahan, mereka tahu jumlah dua bilangan yang ditambahkan tanpa harus menghitungnya (Ostad 1997b). Pada umumnya, penelitian empirik menunjukkan bahwa frekuensi strategi backup menurun sedangkan frekuensi strategi retrieval terus meningkat. Dengan kata lain, pola utama dalam perkembangan yang normal ditandai dengan menghilangnya penggunaan penghitungan dan strategi backup lainnya, sedangkan strategi retrieval lambat laun memainkan peran sentral. Maka, bila strategi backup, seperti menghitung jari, mendominasi proses pemecahan soal, hal itu seyogyanya ditafsirkan secara berbeda-beda, tergantung pada usia anak. Strategi yang umum dipergunakan di kelas satu, yang merupakan mata rantai alami dalam perkembangan yang alami, dapat merupakan gejala gangguan perkembangan jika strategi yang sama mendominasi cara pemecahan soal pada kadar yang sama di kelas lima. Di dalam alur perkembangan, kualitas dasar pengetahuan strategi berubah ke arah yang lebih fleksibel dalam hal kemampuan untuk mengadaptasikan pengetahuan strategi itu dengan berbagai situasi yang berbeda-beda (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000).
Bila seorang siswa, dalam kurun waktu yang sangat panjang, misalnya dua tahun, selalu menggunakan strategi yang sama tanpa variasi dari satu situasi ke situasi lainnya, ini dapat disebabkan oleh kemiskinannya akan strategi. Tetapi mungkin juga pengetahuan strateginya tidak disimpan dengan tepat. Fenomena ini dapat disebut sebagai kekakuan strategi. Pola perkembangan yang normal juga ditandai dengan lebih efektifnya penggunaan strategi.
Siswa yang lebih tua memiliki jawaban retrieval yang lebih benar. Di samping itu, pemrosesan informasi tampaknya berlangsung lebih cepat sehingga waktu solusinya pun menjadi lebih singkat. Kesimpulannya, alur perkembangan yang normal untuk strategi tugas yang spesifik telah menunjukkan kemajuan yang jelas seiring dengan berjalannya waktu, dari strategi penghitungan yang tidak matang, tidak efisien, ke penghitungan secara verbal, dan akhirnya ke pengungkapan fakta aritmetik di luar kepala, seiring dengan perjalanan belajar anak di sekolah dasar.
Kesulitan dalam matematika
Beberapa peneliti telah berkeyakinan bahwa kesulitan belajar matematika itu relatif umum (misalnya Badian 1983). Secara lebih spesifik, sebuah studi yang diterbitkan baru-baru ini (Ostad 1998a) menunjukan bahwa layanan pendukung sekolah telah menemukan sekitar 10% dari anak-anak di beberapa sekolah dasar memerlukan program remedial dalam matematika ketika anak-anak ini duduk di kelas dua (sekitar usia 8-9 tahun).
Meskipun demikian, kesulitan belajar matematika masih relatif terabaikan dalam literatur penelitian (Geary 1993). Hanya beberapa studi empirik tentang mekanisme kognitif yang secara
potensial berkontribusi terhadap masalah belajar matematika yang telah dilakukan meskipun sudah banyak yang dipelajari tentang cara perolehan konsep dan prosedur matematika dasar pada anak-anak yang normal matematikanya (misalnya, Ahcraft 1992; Siegler 1990).
Keberhasilan atau kegagalan dalam matematika sering kali ditentukan oleh kinerja dalam tes prestasi yang distandarisasi. Namun, tes ini tidak memberikan informasi mengenai proses mental yang mungkin mempengaruhi prestasi anak. Satu pendekatan alternatif adalah membandingkan kelompok-kelompok anak yang beragam dalam tingkat prestasinya, dalam soal-soal yang menuntut keterampilan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Dengan demikian, semakin banyak hasil penelitian telah memberikan informasi yang bermanfaat tentang penggunaan strategi oleh anak yang mengalami kesulitan belajar matematika. Dibanding dengan teman sebayanya yang normal dalam matematikanya, anak-anak ini ditandai dengan penggunaan strategi pemecahan soal yang tidak efisien, waktu solusi yang lebih lama, dan seringnya membuat kesalahan penghitungan dan kesalahan yang terkait dengan ingatan.
Penelitian saya sendiri, yang bertitik tolak dari proyek yang relatif komprehensif dan longitudinal (Ostad 1997b; 1998a; 1999; 2000) telah menunjukan bahwa anak-anak yang berkesulitan matematik terus menggunakan strategi backup dasar di semua kelas di sekolah dasar.
Lebih jauh, alur perkembangan anak-anak ini menunjukan bahwa mereka menggunakan jenis strategi yang jauh lebih sedikit (hanya satu atau dua varian) selama masa sekolah dasar. Mereka biasanya terus menggunakan varian strategi yang sama dari tahun ke tahun selama masa sekolah dasarnya.
Secara ringkas, pola perkembangan menunjukan bahwa anak yang berkesulitan belajar matematika pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) hanya menggunakan strategi backup,
(2) menggunakan strategi backup primer,
(3) tingkat variasinya kecil dalam menggunakan varian-varian strategi,
(4) tingkat perubahan yang terbatas dalam penggunaan strategi dari tahun ke tahun selama masa sekolah dasar.
Mungkin bahkan lebih signifikan, pola perkembangan ini tampaknya hampir menetap secara permanen pada akhir kelas satu.
Kesimpulan
Temuan-temuan dalam berbagai penelitian ini memiliki implikasi pendidikan. Untuk memperhatikan kebutuhan anak-anak yang berkesulitan belajar matematika, metode pengajaran perlu mengubah fokusnya, sejak tahun-tahun pertama sekolah dasar, dari cara belajar lebih banyak matematika menjadi cara belajar matematika dengan menggunakan strategi yang tepat. Itu berarti memberikan pengajaran kepada anak-anak ini untuk membantu mereka agar menjadi pengguna strategi yang baik dan beralih dari sekedar menghafal keterampilan-ketrampilan dasar.
Beberapa proyek telah dimulai untuk memperhatikan kebutuhan pengajaran matematika yang lebih baik. Pentingnya meta-kognisi untuk memecahkan soal-soal matematika diakui dalam banyak literatur. Pengajaran dengan strategi kognitif merupakan altenatif yang menjanjikan untuk menggantikan pendekatan-pendekatan yang kini dipergunakan untuk mengajar matematika kepada siswa-siswa yang berkesulitan belajar matematika. Penelitian intervensi yang difokuskan pada pengajaran cara pemecahan soal telah membuktikan bahwa siswa yang kekurangan strategi pemecahan soal memerlukan pengajaran yang eksplisit untuk memudahkan mereka membaca, memahami, mengerjakan dan mengevaluasi soal.
Akan tetapi, apakah anak-anak yang berkesulitan belajar matematika dapat menjadi pengguna strategi yang baik setelah menerima lebih banyak pengajaran tentang strategi pada usia dini, tetap merupakan pertanyaan terbuka. Jawaban yang lebih pasti untuk pertanyaan ini harus menunggu hasil penelitian lebih lanjut.
Created by : Snorre A. Ostad
Kami dari Admin GudangMateri berterima kasih untuk izin publikasi , terhadap Snorre A.Ostad . Dimohon jika anda mengutip dari artikel ini agar mencantumkan pada Referensi anda :
Snorre A. Ostad di http://gudangmateri.blogspot.com/2010/02/memahami-dan-menangani-bilangan.html diunduh : ( tanggal akses anda )