Oleh Ben B Nur
Penulis Buku The Golden Rule Of Success
Pak Leman adalah seorang petani kol di sebuah lereng bukit di suatu Kabupaten. Ia mulai menekuni bercocok tanam kol sejak beberapa tahun lalu dan kini pengetahuannya terhadap hama kol sudah sangat mendalam, demikian pula teknik bercocok tanam dan cara pemupukannya.
Dia sangat bangga dengan hasil yang dicapainya dan berharap tak ada yang menyainginya sebagai petani kol di kampung itu. Karena itu Pak Leman tidak memperkenankan petani lain datang melihat kebunnya, takut ilmunya dicuri.
Saat ada petani lain yang bertanya bagaimana mengatasi hama kol yang menyerang kebun mereka, Pak Leman bahkan memberikan saran yang tidak sebagaimana yang dipraktekkannya sendiri alias berbohong. Tak heran bila kol yang banyak dijual di pasar Kabupaten hanya kol dari kebun Pak Leman karena petani lainnya di kecamatan itu sering gagal panen.
Di kecamatan lain di Kabupaten yang sama ada seorang petani yang baru merintis budidaya kol setahun terakhir setelah melihat sukses yang dicapai pak Leman. Sepintas Pak Leman jauh lebih unggul dibanding Pak Rosi, selain karena pengalamannya, lahan Pak Leman juga jauh lebih luas. Yang membedakan keduanya adalah bahwa Pak Leman tidak suka bergaul dengan petani lainnya karena merasa dirinya lebih unggul dan tidak perlu belajar dari petani lainnya.
Sementara Pak Rosi jauh dari perilaku seperti itu. Ia suka berkumpul dengan petani lainnya sambil membicarakan berbagai informasi yang diperolehnya dari penyuluh pertanian. Ia bahkan menyiapkan dirinya sebagai pembimbing bagi petani pemula.
Kepada rekan-rekannya sesama petani, Pak Rosi memberikan usul agar urunan membeli beberapa buku teknik bercocok tanam dan meminta anaknya yang masih bersekolah di Sekolah Menengah Pertama untuk membacakan buku itu saat mereka sedang kumpul-kumpul di kebun. Sebenarnya pak Rosi bisa membeli buku-buku itu sendiri tetapi dia memilih meminta rekannya urunan agar mereka merasa bahwa pengetahuan yang tertulis di buku itu adalah milik mereka bersama.
Pembaca tentu sudah bisa menebak bagaimana perkembangan Pak Leman dan Pak Rosi tiga tahun kemudian. Bukan hanya keduanya yang patut dibandingkan tetapi juga para petani di kedua kecamatan yang berada di dalam satu Kabupaten itu. Mana diantara keduanya, baik Pak Leman maupun Pak Rosi serta kecamatannya masing-masing yang akan berkembang lebih pesat ?
Illustrasi kedua petani tadi bisa dibawa ke dalam dunia korporasi atau perusahaan serta lembaga pemerintah. Bayangkan bila di kantor atau perusahaan kita perilaku kebanyakan karyawannya seperti perilaku Pak Leman dimana banyak orang pintar tetapi kepintarannya untuk kepentingan sendiri agar terlihat lebih cemerlang dibanding yang lainnya.
Tentu dampaknya dapat diperkirakan bahwa selain perkembangan pengetahuan dan keterampilan staf berjalan lamban, juga tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kemajuan organisasi karena tidak adanya kebersamaan dan tumbuhnya persaingan yang tidak sehat. Setiap orang akan bekerja dengan perasaan was-was karena takut ditelikung atau dihianati oleh rekan lainnya.
Tentu kita semua berharap bahwa perilaku orang-orang di dalam organisasi kita seperti perilaku Pak Rosi yang bukan sekedar berbagi pengetahuan dan saling memberdayakan melainkan jauh lebih penting dari itu adalah membangun rasa kebersamaan dan kesalingpercayaan yang tinggi. Membangun budaya kerja seperti yang tumbuh di tengah komunitas petani di kecamatan Pak Rosi tentu merupakan dambaan kita.
Tetapi apakah kita harus menunggu sampai munculnya inisiatif yang baik dari seseorang seperti Pak Rosi untuk menjadi pionir? Tentu tak akan ada kepastian kapan datangnya perilaku orang seperti itu bila kita hanya mengandalkan proses alam. Apalagi ada kebiasaan unik di banyak organisasi untuk menunggu inisiatif datang dari atas, yakni dari orang yang mereka sebut sebagi pimpinan.
Sementara pada saat yang sama mereka yang di atas menunggu datangnya inisiatif dari bawah. Saat terjadi ketidakberesan maka dengan sangat enteng yang di bawah melempar kesalahan kepada yang di atas, dan yang mereka sebut di atas pun tak kalah sengitnya menyalahkan yang di bawah.
Mari kita mencoba menelaah istilah budaya dalam konteks perbandingan bahasa. Di dalam bahasa Inggris budaya disebut culture dimana kalau diterjemahkan oleh orang yang berlatar belakang pendidikan pertanian, peternakan, kehutanan dan sejenisnya lebih sering diartikan budidaya atau melekat erat dengan istilah pengembangbiakan, baik ikan, ternak maupun tanaman.
Apapun penerjemahan kita yang pasti bahwa makna dari kata budaya maupun budidaya hampir berhimpitan, dimana dimaksudkan sebagai suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu.
Kalau dalam istilah pertanian, peternakan dan perikanan hasil yang dimaksud adalah produksi. Sementara dalam pengertian umum, budaya, khsusnya dalam konteks organisasi hasilnya berupa pencapaian visi atau tujuan organisasi secara berkesinambungan.
Baca Selengkapnya ..
Penulis Buku The Golden Rule Of Success
Pak Leman adalah seorang petani kol di sebuah lereng bukit di suatu Kabupaten. Ia mulai menekuni bercocok tanam kol sejak beberapa tahun lalu dan kini pengetahuannya terhadap hama kol sudah sangat mendalam, demikian pula teknik bercocok tanam dan cara pemupukannya.
Dia sangat bangga dengan hasil yang dicapainya dan berharap tak ada yang menyainginya sebagai petani kol di kampung itu. Karena itu Pak Leman tidak memperkenankan petani lain datang melihat kebunnya, takut ilmunya dicuri.
Saat ada petani lain yang bertanya bagaimana mengatasi hama kol yang menyerang kebun mereka, Pak Leman bahkan memberikan saran yang tidak sebagaimana yang dipraktekkannya sendiri alias berbohong. Tak heran bila kol yang banyak dijual di pasar Kabupaten hanya kol dari kebun Pak Leman karena petani lainnya di kecamatan itu sering gagal panen.
Di kecamatan lain di Kabupaten yang sama ada seorang petani yang baru merintis budidaya kol setahun terakhir setelah melihat sukses yang dicapai pak Leman. Sepintas Pak Leman jauh lebih unggul dibanding Pak Rosi, selain karena pengalamannya, lahan Pak Leman juga jauh lebih luas. Yang membedakan keduanya adalah bahwa Pak Leman tidak suka bergaul dengan petani lainnya karena merasa dirinya lebih unggul dan tidak perlu belajar dari petani lainnya.
Sementara Pak Rosi jauh dari perilaku seperti itu. Ia suka berkumpul dengan petani lainnya sambil membicarakan berbagai informasi yang diperolehnya dari penyuluh pertanian. Ia bahkan menyiapkan dirinya sebagai pembimbing bagi petani pemula.
Kepada rekan-rekannya sesama petani, Pak Rosi memberikan usul agar urunan membeli beberapa buku teknik bercocok tanam dan meminta anaknya yang masih bersekolah di Sekolah Menengah Pertama untuk membacakan buku itu saat mereka sedang kumpul-kumpul di kebun. Sebenarnya pak Rosi bisa membeli buku-buku itu sendiri tetapi dia memilih meminta rekannya urunan agar mereka merasa bahwa pengetahuan yang tertulis di buku itu adalah milik mereka bersama.
Pembaca tentu sudah bisa menebak bagaimana perkembangan Pak Leman dan Pak Rosi tiga tahun kemudian. Bukan hanya keduanya yang patut dibandingkan tetapi juga para petani di kedua kecamatan yang berada di dalam satu Kabupaten itu. Mana diantara keduanya, baik Pak Leman maupun Pak Rosi serta kecamatannya masing-masing yang akan berkembang lebih pesat ?
Illustrasi kedua petani tadi bisa dibawa ke dalam dunia korporasi atau perusahaan serta lembaga pemerintah. Bayangkan bila di kantor atau perusahaan kita perilaku kebanyakan karyawannya seperti perilaku Pak Leman dimana banyak orang pintar tetapi kepintarannya untuk kepentingan sendiri agar terlihat lebih cemerlang dibanding yang lainnya.
Tentu dampaknya dapat diperkirakan bahwa selain perkembangan pengetahuan dan keterampilan staf berjalan lamban, juga tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kemajuan organisasi karena tidak adanya kebersamaan dan tumbuhnya persaingan yang tidak sehat. Setiap orang akan bekerja dengan perasaan was-was karena takut ditelikung atau dihianati oleh rekan lainnya.
Tentu kita semua berharap bahwa perilaku orang-orang di dalam organisasi kita seperti perilaku Pak Rosi yang bukan sekedar berbagi pengetahuan dan saling memberdayakan melainkan jauh lebih penting dari itu adalah membangun rasa kebersamaan dan kesalingpercayaan yang tinggi. Membangun budaya kerja seperti yang tumbuh di tengah komunitas petani di kecamatan Pak Rosi tentu merupakan dambaan kita.
Tetapi apakah kita harus menunggu sampai munculnya inisiatif yang baik dari seseorang seperti Pak Rosi untuk menjadi pionir? Tentu tak akan ada kepastian kapan datangnya perilaku orang seperti itu bila kita hanya mengandalkan proses alam. Apalagi ada kebiasaan unik di banyak organisasi untuk menunggu inisiatif datang dari atas, yakni dari orang yang mereka sebut sebagi pimpinan.
Sementara pada saat yang sama mereka yang di atas menunggu datangnya inisiatif dari bawah. Saat terjadi ketidakberesan maka dengan sangat enteng yang di bawah melempar kesalahan kepada yang di atas, dan yang mereka sebut di atas pun tak kalah sengitnya menyalahkan yang di bawah.
Mari kita mencoba menelaah istilah budaya dalam konteks perbandingan bahasa. Di dalam bahasa Inggris budaya disebut culture dimana kalau diterjemahkan oleh orang yang berlatar belakang pendidikan pertanian, peternakan, kehutanan dan sejenisnya lebih sering diartikan budidaya atau melekat erat dengan istilah pengembangbiakan, baik ikan, ternak maupun tanaman.
Apapun penerjemahan kita yang pasti bahwa makna dari kata budaya maupun budidaya hampir berhimpitan, dimana dimaksudkan sebagai suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu.
Kalau dalam istilah pertanian, peternakan dan perikanan hasil yang dimaksud adalah produksi. Sementara dalam pengertian umum, budaya, khsusnya dalam konteks organisasi hasilnya berupa pencapaian visi atau tujuan organisasi secara berkesinambungan.