Oleh: Bambang Wahyu Nugroho
Coba saudara cari data di internet mengenai partai-partai politik yang eksis di negara-negara seluruh dunia ini, misalnya di http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_political_parties_by_country. Di situ saudara akan memperoleh informasi bahwa partai politik ada di hampir semua negara. Dapatkah saudara menyebutkan 20 negara yang tidak memiliki partai politik?
Apa definisi partai politik itu?
Definisi pertama di abad ke-18, yakni dari Sir Edmund Burke: Di dalam buku yang berjudul Thoughts on the Cause of the Present Discontent, (Pemikiran atas Sebab-sebab Kekecewaan di Masa Kini) yang diterbitkan pada tahun 1770, Edmund Burke merumuskan definisi partai politik sebagai, “an organized assembly of men, united for working together for the national interest, according to the particular principle they agreed upon.” (sebuah majelis [yang beranggotakan] orang-orang yang terorganisir, yang bersatu untuk bekerja sama demi mewujudkan kepentingan nasional menurut asas-asas tertentu yang mereka sepakati).
Sementara itu pada tahun 1816, Benjamin Constant merumuskan definisi partai politik secara ideologis, yang kemudian setelahnya hanya tepat untuk partai-partai yang mempunyai, atau lekat pada golongan ideologi-ideologi besar, tetapi tidak untuk partai opportunist atau pragmatic, yang hanya peduli pada akses menuju kekuasaan ketimbang doktrin atau ideologi politik. Baginya, sebuah partai politik adalah “a reunion of men professing the same political doctrine.” (sebuah pertemuan kembali (reuni) orang-orang yang mempunyai doktrin politik yang sama).
Kaum Marxis menggunakan definisi yang berhubugan dengan aksioma sentral doktrin sosialismenya, yakni politik sebagai perjuangan kelas: “a political party is the organization of the most conscious elements of a social class.” (sebuah partai politik adalah organisasi dari elemen-elemen paling tergugah terhadap [masalah] kelas sosial).
Max Weber setuju dengan fungsi partai politik sebagaimana disampaikan oleh Burke, (realisasi dari cita politik), tetapi diperluasnya dengan memasukkan partai-partai yang digerakkan oleh kepentingan material. Menurut Weber sebuah partai adalah “an associative relation, and affiliation based on free recruitment. Its goal is to ensure the power for its leaders within an institutionalized group, having as aim the realization of an ideal or obtaining material advantages for its militants.” (sebuah hubungan dan pemihakan asosiatif yang didasarkan para rekrutmen bebas. Tujuannya adalah untuk memastikan [diperolehnya] kekuasaan bagi para pemimpinnya [yang ada] di dalam kelompok terlembaga, yang memiliki tujuan untuk mewujudkan suatu cita-cita atau mendapatkan keuntungan-keuntungan bagi para pendukung setianya).
Setelah Perang Dunia II (1945-) para sarjana politik dan pemeliti lain memusatkan pehatian lebih pada hakikat teknis dan elektoral dari partai politik. Misalnya bagi Anthony Downs, sebuah partai politik adalah “a team of men seeking to control the governing apparatus by gaining offices in a duly constituted election”. (suatu tim [beranggotakan] orang-orang yang mencari [kekuasaan untuk] mengendalikan aparat-aparat pemerintahan dengan cara menduduki kursi-kursi kekuasaan dalam sebuah pemilihan yang tertib dan teratur).
Secara tradisional, para ilmuwan politik telah memusatkan perhatian pada peran partai politik sebagai instrumen untuk menawarkan kandidat dalam pemilihan umum untuk menduduki jabatan publik. William J. Crotty mendefinisikan partai politik sebagai:
“A political party is a formally organized group that performs the functions of educating the public to acceptance of the system as well as the more immediate implications of policy concerns, that recruits and promotes individuals for public office, and that provides a comprehensive linkage function between the public and governmental decisionmakers.”[1] (Partai politik adalah kelompok yang terorganisasi secara formal yang menunjukkan fungsi mendidik publik untuk menerima sistem dan juga implikasi yang lebih langsung dari penerapan kebijakan, yang merekrut dan mengajukan seseorang bagi untuk menduduki publik, dan yang menyediakan fungsi penautan komprehensif antara publik dengan pengambil keputusan di pemerintahan).
Mirip dengan itu, menurut James C. Coleman, sebuah partai politik adalah: “an association that competes with other similar associations in periodic elections in order to participate in formal government institutions and thereby influence and control the personnel and policy of government.” (suatu asosiasi yang berkompetisi dengan asosiasi semacamnya dalam pemilihan umum yang periodik dengan tujuan ikut serta dalam lembaga-lembaga pemerintahan formal dan dengan demikian memengaruhi dan mengendalikan personil dan kebijakan pemerintah).
Namun, tidak semua pakar politik setuju bahwa partisipasi adalah kriteria penentu partai politik. Neuman menggunakan definisi yang lebih luas, yakni bahwa partai politik adalah: “the articulate organization of society’s active political agents, those who are concerned with the control of governmental power and who compete for popular support with another group or groups holding divergent views.” [2](organisasi agen-agen politik masyarakat yang artikulatif dan peduli dengan pengendalian kekuasaan pemerintah dan yang berkompetisi meraih dukungan rakyat dengan kelompok atau kelompok yang memiliki pandangan [politik] berbeda).
Terlebih, di banyak negara, partai politik memangsa (baca: menguasai) pemilihan umum elections and hak pilih universal (universal suffrage). Leo Suryadinata mencatat bahwa di dalam masyarakat non-Barat, definisi baku “partai politik” menurut orang Barat itu terbatas kegunaannya. Dia menyatakan bahwa fungsi-fungsi dari suatu organisasi seharusnya menjadi aspek esensial [untuk memahami organisasi] dan bahwa suatu organisasi [politik] harus mempunyai fungsi sebagai partai politik tanpa harus secara formal menyatakan dirinya sebagai partai politik.[3]
Di sini kadang kita masih memerlukan perbandingan untuk benar-benar memahami ciri khas partai politik dibandingkan organisasi sosial lainnya. Sebuah partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir untuk tujuan memenangi kekuasaan pemerintah, dengan melalui pemilihan umum atau cara lain. Kadang pemahaman kita tentang partai politik campur-aduk dengan pemahaman tentang kelompok kepentingan dan gerakan politik.
Setidaknya ada 4 (empat) ciri yang membedakan antara partai politik dan kelompok lainnya, yakni:[4]
1. Partai politik bertujuan untuk mendapatkan dengan memenangi jabatan-jabatan politik (partai kecil dengan begitu mungkin menggunakan pemilihan umum lebih ditujukan untuk memperkenalkan platform-nya ketimbang memenangi kekuasaan);
2. Partai politik adalah badan terorganisir dengan “kartu anggota” formal. Ini membedakannya dengan gerakan politik yang lebih luas dan lebih campur aduk;
3. Partai politik biasanya memanfaatkan banyak isu, menaruh perhatian pada aspek apa pun yang dikerjakan oleh pemerintah (tetapi partai kecil biasanya memilih isu tunggal sehingga mirip dengan kelompok kepentingan); dan,
4. Dengan derajat yang bervariasi, partai-partai disatukan dengan pilihan-pilihan politik yang sama dan suatu identitas ideologi umum.
Menggunakan pendekatan sistemik dan struktural-fungsional, partai politik adalah sebuah infrastruktur (prasarana) yang dapat mematangkan orang-orang yang sebelumnya telah “dididik” di dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan atau kelompok-kelompok kepentingan. Sebagai infrastruktur, partai politik dengan demikian merupakan instrumen yang diperlukan untuk menghasilkan pemerintahan (suprastruktur).
Perkembangan partai politik
Dalam konsep pembangunan politik, terutama berdasarkan pemikiran Samuel P. Huntington[5] terdapat tiga kata kunci yakni diferensiasi struktural, sekularisasi kultural, dan partisipasi politik. Sekularisasi kultural adalah proses perubahan legitimasi politik, dari “atas” (baca: tuhan, dewa, agama, nabi, pokoknya segala sesuatu yang adimanusiawi) menjadi legitimasi oleh rakyat.[6] Sekularisasi kultural antara lain berupa rasionalisasi kekuasaan. Sedangkan partisipasi politik adalah semakin terlibatnya rakyat pada pengambilan keputusan publik.[7] Konsep pembangunan politik sendiri artinya adalah perubahan masyarakat dari sistem politik tradisional menuju sistem politik modern yang maju. Diferensiasi adalah meningkatnya spesialisasi subsistem dan lembaga-lembaga di dalam masyarakat.[8] Jika kita sependapat bahwa yang disebut “pembangunan politik” parameternya yakni ketiga kata kunci di atas, maka partai politik merupakan salah satu proses peragaman (diferensiasi) struktur elit politik.[9]
Dalam perkembangannya, embrio partai politik berupa sekumpulan “faksi.” Faksi ialah subsistem dalam sistem partai, yang terbentuk berupa sekelompok orang yang biasanya memiliki kedekatan primordial (keluarga, suku, agama, ras), kesamaan ideologis (ideal), atau kesamaan kepentingan (oportunis, pragmatis). Biasanya faksi dipimpin oleh para pendiri (founding persons) partai itu. Faksi-faksi bukanlah partai, atau setidaknya, pemimpin dan anggota faksi itu sependapat bahwa untuk menjadi sebuah partai masih sangat sedikit sumber daya atau daya dukungnya. Jadi sekalipun berbasis sebuah organisasi sosial atau kelompok kepentingan yang relatif besar, namun untuk menjadi sebuah partai dipandang belum memenuhi syarat minimum, terutama keluasan dukungannya. Namun, ketika faksi-faksi tadi sepakat berkumpul di dalam sebuah badan yang lebih komprehensif, maka terbentuklah sebuah partai politik.[10] Tahapan-tahapan berkembangnya partai politik selanjutnya yakni:[11]
1. Faksionalisasi (“partai” di dalam partai)
2. Polarisasi (peng-kutub-an)
3. Ekstensifikasi (perluasan)
4. Institusionalisasi (pelembagaan)
Faksionalisasi: pada tahapan ini, konflik internal sebuah partai berkutat pada perebutan pengaruh dan wewenang untuk mengendalikan partai yang berakar pada kekuatan faksi-faksi yang tarik-menarik satu sama lain. Apabila dalam proses ini terdapat faksi yang kuat namun menganggap kewenangan diperolehnya tidak proporsional (misalnya kalah karena faksi-faksi lain berkoalisi), dapat terjadi pembangkangan yang berujung pada terpecahnya partai, yakni faksi yang tidak puas tadi akan memisahkan diri, keluar dari partai tersebut dan membentuk partai sendiri. Namun apabila terjadi keselarasan kepentingan dan masing-masing faksi memandang bahwa kewenangan yang mereka peroleh proporsional, maka partai itu akan tetap utuh dan berkembang. Dalam pengertian koalisi, ini sering diistilahkan koalisi tetap atau jangka panjang, dan dalam istilah fusi (penyatuan) sering disebut fusi tuntas (penyatuan sepenuhnya).
Polarisasi: Dengan melewati krisis faksionalisasi, maka eksponen partai tersebut tidak lagi membicarakan dari sudut pandang faksi asal-usulnya, namun kemudian muncul tantangan krisis berikutnya, yakni perdebatan antara kaum tua di partai (biasanya juga para pendiri partai) dengan kaum muda (kader). Kaum tua biasanya bersikap lebih konservatif ketimbang kaum muda. Perbedaan pandangan antara kutub kaum tua dan utub kaum muda partai tersebut apabila tidak ditemukan jalan keluarnya maka partai itu akan terancam pecah. Kaum muda yang tidak puas dapat keluar dan membentuk partai baru, sementara itu dapat pula sebaliknya kaum tua yang keluar dan membentuk partai baru. Namun apabila ditemukan pemecahan masalahnya, maka partai itu akan semakin kokoh berdiri, bukan hanya melupakan faksi-faksi, juga mereka meminggirkan konflik antara kaum muda yang progresif dan kaum tua yang konservatif. Mereka kemudian lebih mendasarkan diri pada paltform partai atau visi-misi partai tersebut.
Ekstensifikasi: Partai politik yang berhasil melewati krisis polarisasi akan menghadapi tantangan berikutnya yakni ekstensifikasi (perluasan). Dalam rangka mendapatkan legitimasi politik yang semakin kokoh yang pada gilirannya akan memperbanyak dukungan politik, sebuah partai akan melakukan ekstensifikasi. Perluasan partai tersebut dapat berupa diversifikasi struktur partai, misalnya pendirian organisasi-organisasi sayap (underbow) partai untuk menampung hasil rekrutmen secara lebih luas.
Dalam tahap ini biasanya terjadi moderatisasi ideologi partai, yakni partai yang tadinya radikal (pendukungnya sedikit) mengendorkan radikalitasnya untuk mengkooptasi segmen massa atau kader yang lebih moderat (baca: oportunis, pragmatis). Namun upaya ini belum tentu berhasil, sebab sebuah partai kadang sudah memiliki beban sejarah dan beban ideologisnya sendiri sehingga tidak mudah bagi segmen moderat itu untuk bergabung. Apabila partai tidak berhasil melakukan ekstensifikasi, maka resikonya akan mengalami satu di antara dua kemungkinan: pertama, partai itu akan stagnan (mandeg). Kedua, apabila stagnasi itu menimbulkan ketidakpuasan pada sebagian eksponen partai, maka partai dapat terpecah.
Institusionalisasi: Partai politik yang berhasil melakukan ekstensifikasi akan memfokuskan diri untuk mengelaborasi platform partai menjadi mekanisme, prosedur, aturan yang semakin jelas dan terlembaga. Dalam tahapan ini partai bukan lagi dilekatkan pada figur tertentu, atau pada kelompok tertentu, namun partai sudah sampai pada tahap “siapa pun harus tunduk dan patuh pada aturan partai.” Partai berjalan di atas konstitusi, bukan di atas kehendak seseorang atau sekelompok orang. Kalau sebuah partai politik dapat mencapai tahapan ini, biasanya partai itu akan berusia panjang. Namun kembali lagi, apabila partai gagal melakukannya, maka resiko ketidakpuasan akan dapat memicu kembali perpecahan partai.
[1] Udofia, O. E.. “Nigerian Political Parties: Their Role in Modernizing the Political System, 1920-1966” dalam Journal of Black Studies, Vol. 11, No. 4. (Jun., 1981), hal. 435-447.
[2] Martz, John D.. Dilemmas in the Study of Latin American Political Parties in The Journal of Politics, Vol. 26, No. 3. (Aug., 1964), pp. 509-531.
[3] Misalnya di negara sedang berkembang, militer kadang berfungsi seperti sebuah partai politik.
[4] Andrew Heywood, Politics, Macmillan, London 1997, hal. 230. Cermati pula Undang-undang Partai Politik di Indonesia, misalnya di http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=ProdukHukum
[5] Samuel Huntington, Political Order in Changing Societies, New Haven, Yale University Press, 1968.
[6] Baca Reinhard Bendix, Kings or People, Power and Mandate to Rule,
[7] Baca Robert Dahl, Polyarchy, Participation and Opposition, New Haven, London, 1971.
[8] Misalnya lihat di http://www.encyclopedia.com/doc/1O88-structuraldifferentiation.html
[9] Dalam istilah Dahl disebut “contestation” (persaingan). Baca Dahl, op. cit.
[10] Misalnya fusi partai politik tahun 1971 di Indonesia menunjukkan bahwa faksi-faksi Parmusi, NU, PSII dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Faksi-faksi PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Lihat http://www.fpdiperjuangan.or.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=127&Itemid=26
[11] Diringkas dari Huntington, op. cit.