Dari pernyataan Salim ini, lantas muncul pertanyaan dalam hati, Pertama, kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu Salim hanya butuh waktu sebulan atau paling tidak 2 sampai 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut. Kedua, bagaimana hal itu bisa ada (sebagaimana Muh. Salim katakan) sedangkan selama ini kita semua mengetahui dan meyakini bahwa Lontara Bugis adalah merupakan pengembangan dari Aksara Lontara Makassar...?
Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kedua diatas saya mencari literatur yang bisa menjawab hal itu, berkat panduan seorang teman sayapun mendapatkan literatur tersebut setelah menelusuri Genesis bahasa Austronesia, bahwa bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Tidak berhenti disitu, saya pun coba mencari literatur yang lain, tanpa sengaja sambil membaca buku "Lontara Makassar" yang ditulis oleh Drs. Syarifuddin Kulle dan Zainuddin Tika, SH mendapatkan bahwa Lontara Makassar (Lontara pertama/ Lontara Jangang-Jangang) ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara SANGSEKERTA.
Berikut kutipannya "Saat kebingungan itu, muncullah ide dari Daeng Pamatte yang saat itu menjabat sebagai syahbandar (sabannara) dermaga Somba Opu. Ia memperhatikan burung-burung dari berbagai gaya, baik gaya terbang, berdiri. dari hasil pengamatan terciptalah 18 aksara. Lontara itu kemudian dikenal dengan istilah Lontara Jangang-Jangang (Jangang-jangang = burung). (Monografi kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan, 1984 : 10). Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa Lontara Jangang-Jangang ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara Sangsekerta (A. Moein MG, 1990 : 14)".
Dari tulisan A. Moein ini, sayapun mencari bukti kebenarannya, Alhamdulillah... saya pun mendapatkannya, hal ini dapat dilihat dari gambar yang ada dibawah, betul bahwa Aksara Pallawa pun tersebut mempunyai jumlah 18 aksara berikut bunyinya sama dengan Lontara Mangkasara (Lontara Jangang-Jangang ciptaan Daeng Pamatte'). Sejarah lahirnya Lontara Makassar inilah yang dimaksud oleh Salim, jadi sangatlah salah kalau Salim mengatakan bahwa bahasa asli dari Sureq Lagaligo itu bercampur dengan Aksara Sangsekerta.
Lalu apa alasan Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” bercampur bahasa Sangsekerta dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti...? Hanya Allah dan dia saja yang tahu. Belum puas sampai disitu. bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain, maka yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda.
Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan sendiri, mengingat keterbatasan dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan. Tapi tidak berhenti disitu, sayapun berusaha untuk mencari keterangan lain, mungkin saja ada keterangan lain yang bisa lebih menguatkan keyakinan saya. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan dari Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A melalui bukunya yang berjudul ISLAMISASI KERAJAAN GOWA, ditulis bahwa B.F. Matthes pada tahun 1883 menghimpun Lontara Pattorioloang dan Lontara Latoa milik Gowa Tallo, Lontara Pattorioloang ini selanjutnya diberi judul Makassaarche Crestomathie, dan disebutkan pula bahwa dalam menggunakan jenis Lontara ini diperlukan kehati-hatian, sebab sebagian bercampur mitos, hal 11 dan 12)*
Akhirnya jelaslah akan semuanya bahwa Lontara asli yang di tulis ulang oleh Collieq Pujie bersama Matthes sebagaimana kita ketahui bersama, diatas kertas papirrus yang lebih dikenal dengan nama Sureq Lagaligo yang menjadi tanda tanya besar selama ini bagi masyarakat, adalah Lontara Pattorioloang milik Gowa Tallo dengan kata lain Sureq Lagaligo adalah KARYA SASTRA MAKASSAR.
Baca juga : Menelusuri Aksara Lontarak sebagai Budaya Sulawesi Selatan (dilengkapi Lontarak versi Matthes)
http://adhiehr.blogspot.com/2010/06/sureq-lagaligo-bukan-karya-sastra-bugis.html