Bagi umat Islam, ibadah haji adalah rukun kelima yag menjadi ibadah penyempurna setelah empat rukun lainnya; syahadat, sholat, puasa dan zakat. Menunaikan ibadah haji di dua tanah suci Islam; Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah yang berada di wilayah Kerajaan Arab Saudi, menjadi semacam cita-cita dan impian setiap muslim untuk dilaksanakan paling tidak sekali dalam seumur hidupnya. Kurang lengkap rasanya sebagai Muslim, berkalang tanah tanpa pernah menginjak kedua kota suci umat Islam itu.
Seorang Bugis Makassar, yang tradisi keIslamannya sangat kuat, bersedia melakukan apa saja demi melaksanakan ibadah ini. Bahkan tidak jarang seorang muslim rela menjual aset berharganya; sawah, tanah, kendaraan, perhiasan, dan aset lainnya demi untuk menunaikan ibadah yang ritualnya menyerupai rekonstruksi perjalanan para nabi Allah itu, tidak peduli apakah setelah kembali mereka masih punya cukup aset untuk menyambung hidup asalkan sudah pernah menengok kota nabi itu.
Seorang tetangga saya dulu bahkan rela berhutang untuk menutupi ongkos naik haji yang sekarang besarannya sekitar Rp 27 juta. Juga tidak jarang terjadi di masyarakat Bugis/Makassar, orang tua membawa anak-anaknya berangkat haji, bahkan meski si anak belum cukup umur. Dengan anak-anak yang sudah bergelar haji semuanya, status sosial keluarga itu akan sangat terhormat dalam masyarakatnya.
Tidak jarang, cara-cara pintas dan nyeleneh ditempuh untuk mendapatkan kehormatan ini, misalnya dengan menciptakan ritual tandingan berhaji di puncak gunung Bawakaraeng, yang didasarkan pada anggapan bahwa pahala dan ke afdolan nya dianggap sepadan dengan prosesi yang dilakukan di Mekkah dan Medinah.
Akulturasi Haji dalam Masyarakat Bugis Makassar
Dalam kultur sebahagian masyarakat Bugis-Makassar atau nusantara, gelar haji yang diperoleh setelah menunaikan ibadah haji itu dianggap sebagai prestise yang menunjukkan status sosial yang ‘lebih’ dibanding yang lain. Status sosial ini tidak karena tuntutan sang haji, tapi dielaborasi karena adanya penghargaan masyarakat sekitarnya.
Penghargaan ini terlebih dikarenakan untuk menunaikan ibadah haji itu perlu pengorbanan yang besar; waktu, harta dan kadang nyawa. Apalagi di jaman dulu sebelum transportasi semudah jaman sekarang, menunaikan ibadah haji teramat sulit dan lama. Memerlukan ketahanan dan kesabaran untuk mengarungi lautan luas dan ganas selama 3-6 bulan untuk sampai ke sana. Kalau sekarang, hanya 8-10 jam saja naik pesawat terbang sudah cukup memindahkan badan dari tanah air ke tanah suci sana.
Uniknya juga, dalam prosesi lamaran pernikahan dalam budaya bugis makassar, faktor ke-haji-an kerap menjadi penentu dalam menetapkan uang panaik atau dui’menre’ atau uang mahar bagi mempelai perempuan. Calon pengantin perempuan yang sudah bergelar ‘hajjah’ sudah barang tentu mahar atau uang naiknya akan jauh lebih mahal dibanding yang belum hajjah. Besaran ‘perbedaan’ uang panaik/dui menre atau maharini kadang dihitung berdasarkan tarif resmi ONH yang diberlakukan pemerintah.
Sebaliknya, adalah suatu kebanggaan buat mempelai perempuan, apabila calon penganten laki-lakinya suda bergelar haji dan dengan demikian, bisa menjadi nilai tambah dalam menentukan diterima atau tidaknya lamaran yang bersangkutan. Akan berat perjuangan seorang laki-laki yang belum haji yang hendak meminang seorang hajjah, kecuali si laki-laki mengkompensasi nya dengan uang panaik yang tidak sedikit.
Selepas berhaji di tanah suci, dalam kultur bugis/makassar ada semacam ritual wisuda yang dinamakan ‘mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok/kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh syekh atau ulama yang disegani. Di jaman dulu, orang bugis/makassar yang belum menunaikan ibadah haji, akan malu dan segan mengenakan songkok putih karena masyarakat tahu dan akan mencibir kalau pada kenyataannya yang bersangkutan belum pernah naik haji.
Orang ini akan dikatakan sebagai haji palsu, atau diolok-olok dalam bahasa bugis sebagai haji tallattu’. Sebaliknya, orang yang sudah pernah naik haji terkadang tidak mau melepas songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, agar supaya identitas ke-hajinya tetap melekat. Untuk yang perempuan, biasanya disimbolkan dengan kerudung kepala yang dipuntir mengelilingi tepi rambut dan dipasangi manik-manik atau hiasan berwarna emas atau perak.
Menurut Fuad Rumi, seorang ulama dan cendekiawan Makassar, kehajian terakulturasi ke dalam budaya kita untuk memberi simbol status bagi seseorang. Menjadi haji, adalah sebuah kehormatan, dan kehormatan itu disimbolkan dengan gelar dan pakaian.
Diaspora Jemaah Haji asal Bugis Makassar
Pembatasan jumlah jamaah haji untuk setiap negara yang diberlakukan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Pemerintah Kerajaan Saudi, membuat pemerintah tidak bisa lagi seenaknya memobilisasi pengerahan jamaah haji ini. Dengan sistem perhitungan n=1/1000 jumlah penduduk muslim, maka Indonesia hanya kebagian quota 205.000 jamaah haji saja (termasuk ONH Plus 16,000).
Hal yang mana kemudian dielaborasi lagi oleh Pemerintah Indonesia dengan formula yang sama yang diberlakukan OKI untuk setiap propinsi di Indonesia. Karenanya Sulawesi Selatan yang jumlah penduduknya berjumlah tidak kurang dari 7 juta jiwa kebagian quota hanya 6.826 jamaah haji saja.
Prinsip pembagian quota yang dihitung dengan azas ‘keadilan’ ini rupanya justru melibas propinsi yang animo masyarakatnya untuk berhaji cukup tinggi, apalagi yang menganggap ibadah haji bukan lagi sekedar ibadah tapi inheren dengan budaya setempat. Akhirnya tercatatlah antrian/waiting list yang sangat panjang untuk daerah-daerah: Sulawesi Selatan (quota 6826), Kalimantan Timur (2790), Kalimantan Selatan (3461), dan DKI Jakarta (7012).
Tercatat bahwa antrian jamaah haji di daerah-daerah tersebut mencapai 3-5 tahun an. Artinya jamaah haji yang sudah mendaftar dan melunasi ONH nya tahun ini harus rela menanti hingga 3-5 tahun lagi untuk realisasi keberangkatannya. Sungguh waktu yang membosankan untuk menunggu. Bahkan, tempo hari saya sempat menanyakan maksud yang sama di Balikpapan, dan dijawab bahwa saya baru bisa berangkat kira-kira tahun 2013! Enam tahun lagi!
Banyak jalan menuju Roma, demikian adagium yang diciptakan orang untuk menggambarkan kreatifitas mencari solusi alternatif sekiranya solusi yang tersedia sudah terhalang tembok besar. Sistem quota yang membatasi jumlah jamaah haji di daerah-daerah yang disebutkan diatas disiasati dengan mengalihkan pendaftaran ke daerah lain yang quotanya masih belum penuh. Terutama untuk daerah2 yang punya daya tampung ’besar’ tapi ‘peminat’ yang kurang. Sebutlah misalnya untuk daerah Jawa Barat (quota 37.227), Jawa Timur (33.810), Jawa Tengah (29,363), Lampung (6,216), dan Gorontalo (881).
Akibatnya, daerah-daerah berdaya angkut ‘kurang’ ini kemudian diserbu oleh peminat calon jamaah haji yang di daerahnya quota jamaah sudah penuh, terutama orang Bugis Makassar. Akhirnya, terjadilah diaspora jamaah haji asal Bugis Makassar ke daerah lain. Baru-baru ini, menurut sebuah koran nasional, didapati sekitar 116 jamaah haji asal Bugis yang diberangkatkan dari Magelang, Jawa Tengah.
Disebutkan bahwa kejadian ini cukup merepotkan petugas haji disana, karena rupanya semua jamaah haji itu tidak ada satupun yang bisa berbahasa Indonesia, mereka hanya bisa berbahasa Bugis saja. Terbayang, betapa kelabakannya para petugas di sana mencari penerjemah khusus yang bisa berbahasa Bugis, demi untuk melayani jamaah itu.
Kemudahan mengurus KTP atau berkas lainnya (malah terkadang dipalsukan) memberi celah lebar untuk pindah registrasi semacam ini, yang rupanya juga dibantu juga oleh oknum pejabat terkait. Hal yang mana teramat mudah kita jumpai di negara tercinta ini. Seorang tetangga saya di Pannampu Makassar, Haji Nawir asal Bone yang punya usaha mengatur pemberangkatan jamaah haji, setiap tahun bisa memberangkatkan 10-20 jamaah haji asal Bugis-Makassar dari kota pemberangkatan Lampung dan Gorontalo.
Biaya haji yang harus dikeluarkan calon jamaah haji tentu saja bertambah besar, terutama untuk transportasi ke kota pemberangkatan dan pengurusan berkas dokumen. Seorang tetangga di Makassar bahkan perlu merogoh kocek dalam-dalam hingga nyaris 10 juta rupiah hanya untuk urusan ‘pindah’ registrasi ini. Itupun kadang-kadang juga tidak berhasil, apabila petugas di kota yang bersangkutan agak ‘keras’ terhadap pendatang sporadis dan insidentil ini.
Metode lain yang juga jamak dipakai oleh orang-orang yang kebelet pengen naik haji tapi terhambat persoalan quota dan ONH yang tinggi adalah dengan cara umrah overstay. Cara ini ditempuh oleh jemaah dengan melakukan kunjungan ke tanah suci jauh-jauh hari sebelum musim haji dengan niat awal melakukan ibadah umrah. Biasanya mereka berdatangan ke tanah suci ini pada saat bulan ramadhan, yang lamanya hanya sekitar tiga bulan dari bulan haji, zulhijjah.
Seperti yang dilakukan oleh salah seorang tetangga saya asal Bugis juga, sebut saja Haji Ummi. Haji Ummi melakukan ibadah umrah pada saat awal ramadhan, dan berlanjut menetap di tanah suci hingga musim haji dengan menumpang pada rumah salah seorang kerabatnya disana. Yah, banyak jalan menuju Mekkah tentu saja!
Namun tentu saja tidak semua orang Bugis-Makassar yang berangkat haji itu hanya berorientasi kehormatan dan kemudian mencoba mensiasati sistem yang ada. Ada juga yang murni berangkat ke tanah suci melaksanakan ibadah itu demi mencari keridhoan Allah semata, dan mengharap balasan mabrur yang setimpal dengan surga. Sehingga sepulang dari berhaji, dia tidak akan peduli dengan segala gelar dan kehormatan sosial yang jamak berlaku dalam masyarakatnya.
Orang yang sudah berhaji, biasanya akan mendapat tambahan gelar haji di depan namanya,dan dengan demikian akan mendapat panggilan atau sapaan ‘haji’ atau ‘hajjah’ menggantikan atau menambahkan nama yang bersangkutan. Ada aturan tidak tertulis, bahwa sangat tidak sopan apabila menuliskan nama seseorang yang sudah berhaji tanpa menyebut gelar haji itu seperti dalam undangan. Kelupaan menulis gelar haji, bisa berakibat fatal; yang bersangkutan akan merasa tidak dihargai (ifaleppei siri’na) dan akan merenggangkan hubungan sosial diantara keduanya.
Oleh : M Ruslailang Noertika (Daeng Rusle')
http://buginese.blogspot.com/2007/12/kultur-haji-bagi-bugis-makassar.html