Nama La Galigo oleh kalangan masyarakat khususnya masyarakat Sulawesi Selatan bukanlah merupakan sebuah nama yang asing di telinga masing-masing, dimana nama La Galigo ini paling tidak dikenal sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia, mengenai epik mitos penciptaan yang ditulis diantara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi (Sureq Galigo) ditulis dalam huruf Lontara kuno.
La Galigo sendiri adalah anak dari Sawerigading yang merupakan keturunan dari Batara Guru (atau dikenal pula sebagai To Manurung). I La Galigo sebagaimana diceritakan dalam Sureq Galigo adalah merupakan seorang yang mempunyai perawakan yang tidak baik.
Tumbuh sebagai anak yang dilimpahi kasih sayang berlebihan, I La Galigo jadi terbiasa menyalahgunakan posisinya sebagai pangeran putra mahkota. Jika kalah di gelanggang adu ayam, dia mengingkari kekalahannya lalu meraih senjata dan membunuhi ayam yang menang aduan. I La Galigo adalah si congkak pongah yang menamakan dirinya Raja yang tiada taranya, baik di Kayangan maupun di Dunia Bawah.
Tanpa pandang bulu dia merayu dan memojokkan perempuan mana pun yang ia suka, baik yang masih lajang maupun yang sudah bersuami. Selain mencuri, dia juga berdusta. Bahkan anak dan istrinya, La Mappanganro dan Karaeng Tompo misalnya, mencari perkara kepadanya karena sepak terjangnya yang menggemparkan. Dalam riwayat lain disebutkan sebagai seorang yang celaka dan tercatat sebagai seorang yang zalim.
Inilah gambaran dari sosok I La Galigo, entah kita (masyarakat umum) mengetahui atau tidak, yang jelas banyak diantara kita menggunakan atau memakai nama ini pada namanya sebagai identitas diri, bahkan ada yang menganggap sebagai sebuah nama yang suci dan di sakralkan. Benar, bahwa yang demikian (menggunakannya) adalah hak dari masing-masing tiada yang bisa melarang. Ehmm....tapi bukankah nama juga merupakan sebuah doa...?
http://adhiehr.blogspot.com/2010/06/my-name-is-la-galigo.html