Kita – sama sekali – tidak pernah hidup di ruang hampa, sebagaimana Rasulullah saw. Berbagai macam kelemahan dan kekuatan diri kita selalu berhadapan dengan sejumlah peluang dan tantangan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Kita “pasti” pernah gagal dan juga (pernah) berhasil untuk menggapai target-target yang kita canangkan, dengan perolehan negatif dan positif (yang sangat) beragam.
Andai semua kita sadari, ternyata untuk menjadi diri kita, “diperlukan” keteguhan dan kemampuan untuk memanfatkan seluruh potensi kita dalam berproses untuk menjadi “diri kita” yang (sesungguhnya dan)
seharusnya, berhadapan dengan realitas-empirik yang tidak seluruhnya “pasti” bersahabat dengan diri kita. Renungkan, bila Rasulullah saw. – sebagai seorang manusia — pernah berhasil untuk menjadi dirinya yang (sesungguhnya dan seharusnya) patut diteladani, karena keberhasilannya untuk tetap menjadi “ahsanu taqwîm” (yang terbaik, dalam pengertian komparatif dan kompetitif), kenapa kita belum dan bahkan harus puas untuk tidak berhasil? Kita perlu berkaca diri (bercermin dengan kaca bersih), dan kemudian berbuat sesuatu untuk sebuah cita-cita luhur: “menjadi diri kita yang seharusnya”. Katakan, bahwa “seandainya Rasulullah saw. bisa, kita pun harus bisa”. Insyâallâh.
Prolog
Dalam tradisi filsafat, istilah “etika” lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik.
Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika.
Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam — pada batas tertentu — ialah aliran Mu’tazilah (Rasionalisme Islam).
Aliran kedua ialah subjektivisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek disini bisa saja berupa subjektivisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subjek Tuhan. Faham subjektivisme etika ini terbagi ke dalam beberapa aliran, sejak dari etika Hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham Tradisionalisme Asy’ariyah.
Menurut faham Asy’ariyah (Tradisionalisme Islam), nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada objektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa manusia itu bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu, karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam kitab suci? sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah.
Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Quran sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Quran “pesan etis” selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Dan Kebebasan
Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengamsumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya.
Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariyah yang berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan “gerak wayang”, yang ditentukan oleh ‘dalang’. Dan tidak ada tempat di dalamnya bagi konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme.
Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa, suatu pandangan positif yang menyatakan bahwa manusia memang pantas mendapatkan julukan “ahsanu taqwîm” (the best creature of God, puncak ciptaan Tuhan), meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasul-Nya telah diakhiri, sementara kehidupan manusia, dari waktu ke waktu, kian berkembang sedemikian kompleksnya.
Sebelum kerasulan Muhammad saw. problema kehidupan manusia tidak sekompleks pasca-Muhammad saw., namun justeru pada masa-masa itu Allah sering mengirimkan rasul-rasul-Nya, sedang di masa sekarang Allah sama sekali tidak mengutus mereka. Mengapa demikian? Biasanya kita ajukan dua jawaban klise. Pertama, tuntutan Allah yang diturunkan kepada manusia sudah sempurna (lihat: QS al-Mâidah, 5: 3 dan QS al-Anbiyâ’, 21: 107). Kedua, manusia — dengan kemampuan rasionalitasnya — telah mampu mengevaluasi kehidupan kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.
Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna tersirat pada surat QS al-Mâidah, 5: 3 dan QS al-Anbiyâ’, 21: 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Secara dogmatiko-teologis kedua klaim di atas memang sudah lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.
Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa al-Quran disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa — mau tidak mau — bersifat budaya, ia terikat dengan kaedah-kaedah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas pesan al-Quran akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan substansi bahasalah yang — secara jelas – merupakan dimensi universal yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena – manusia — merupakan animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan simbol-simbol. Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus berbicara ataupun menulis.
Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu masyarakat tercipta, komunikasi antarmereka berlangsung, dan dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Quran, pada QS al-Baqarah, 2: 31 di mana Allah telah mengajar ‘nama-nama’ pada Adam.
Karena rasionalitas dan sistem simbol yang dimiliki manusia maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan dan dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah.
Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa diwariskan kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Quran yang secara eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas dan sistem simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Quran bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam kehidupan modern.
Dengan kata lain, al-Quran dan pesan-pesannya kini telah menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat pandangan positif al-Quran tentang manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat al-Quran segera terlihat bahwa etika al-Quran sangat humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Quran, seperti halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, dan lain sebagainya, semuanya “sejalan” dengan prestasi rasionalitas manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para ilmuwan dan filosof.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, (etika Islam) tidak menentang fitrah manusia. Kedua, (etika Islam) sangat rasionalistik. Sekadar sebagai perbandingan, “cermati” pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sebagai berikut, yaitu: (1) adanya kegandrungan (keinginan kuat) untuk menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; (2) kesediaan untuk menyatakan pendapat; (3) kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang daripada waktu yang telah lampau; (4) rasa ketepatan waktu yang lebih baik; (5) keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; (6) kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; (7) menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan (8) keyakinan pada keadilan yang bisa diratakan.
Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Quran. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal.
Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subjektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subjek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subjektif dalam kerangka nilai-nilai etika objektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan ‘kematian Tuhan’ sebagaimana diproklamasikan oleh Nietzsche atau Sartre. Misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya, manusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya.
Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah pemikiran Barat, kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat ‘filsuf’ biasanya mereka mesti ‘bentrok’ (baca: harus berseberangan) dengan doktrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam, justeru ketika tindakan kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam relativisme dunia dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang Maha Otonom.
Epilog
Pengakuan bahwa kita bukan makluk sempurna yang sudah jadi, dan kemudian diikuti dengan usaha kontinyu (baca: berkelanjutan) menuju Yang Maha Sempurna, di sanalah terletak makna keimanan yang dinamis. Menurut Kant, puncak rasionalitas pada akhirnya akan mengantarkan pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional. Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah objek ilmu pengetahuan. Semua berada di luar jangkauan rasio, namun puncak rasionalitas mengantarkan manusia untuk melakukan loncatan ke arah sana.
sumber : http://blog.umy.ac.id/rodes2008/konsep-akhlak-islam-dan-relevansinya-dalam-kehidupan-modern/