Risywah (suap) secara terminologis berarti harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kemudharatan) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Meskipun terdapat kemiripan, ada perbedaan mendasar antara suap dengan upah atau gaji (ujrah). Upah atau gaji diperoleh sebagai imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki mobil, dia tidak berkewajiban untuk mengantarkan orang lain ke tempat tertentu.
Ketika dia diminta oleh orang lain untuk mengantarkan ke suatu tempat, maka imbalan yang diterima bisa disebut sebagai upah. Demikian juga seorang guru. Dia tidak berkewajiban mengajarkan ilmunya kepada orang tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Namun ketika ada orang atau institusi meminta dirinya untuk mengajarkan ilmunya di tempat dan waktu terntu, maka imbalan yang dia dapatkan bisa disebut sebagai upah atau ujrah.
Berbeda halnya dengan suap. Suap adalah imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) wajib dilaksanakan tanpa imbalan apa pun dari orang yang memenuhi kepentingannya. Sebagai contoh, seorang pegawai di sebuah instansi pemerintahan yang bertugas melayani pembuatan KTP atau SIM. Pekerjaan itu telah menjadi kewajiban yang dilakukan. Dia sudah mendapatkan upah dari pemerintah dari pekerjaannya itu. Namun dia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin mendapatkan KTP atau SIM. Maka itu dapat disebut sebagai risywah atau suap.
Bertolak dari pegertian dan contoh tersebut, maka fee yang diterima oleh pejabat Departemen Perhubungan dari pengusaha yang memenangkan tender dapat dapat dikatagorikan sebagai suap. Pasalnya, menyelenggarakan tender berbagai proyek merupakan tugas yang harus dikerjakan. Para pejabat itu pun sudah mendapatkan gaji atas pekerjaan yang dilakukan. Apa pun istilah dan nama yang diberikan, uang yang diterima para pejabat dari pengusaha itu adalah risywah atau suap. Demikian pula uang yang diterima oleh para anggota DPR.
Hukum Suap
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya risywah. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Quran yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka“. (QS al-Maidah [5]: 42).
Kalimat ` akkâlûna li al-suhti ` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
“Dan Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.(QS al-Baqarah [2]: 188).
Selain itu ada banyak sekali dalil dari al-Sunnah yang mengharamkan suap-menyuap dengan ungkapan yang sharîh.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan).”(HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amru, Rasulullah saw juga bersabda:
“Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap“. (HR Khamsah kecuali al-Nasa`i dan di shahihkan oleh al-Tirmidzi).
Dari Tsauban ra:
“Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya“. (HR Ahmad).
sumber : http://jofania.wordpress.com/2009/12/18/suap-menyuap/
Baca Selengkapnya ..
Meskipun terdapat kemiripan, ada perbedaan mendasar antara suap dengan upah atau gaji (ujrah). Upah atau gaji diperoleh sebagai imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki mobil, dia tidak berkewajiban untuk mengantarkan orang lain ke tempat tertentu.
Ketika dia diminta oleh orang lain untuk mengantarkan ke suatu tempat, maka imbalan yang diterima bisa disebut sebagai upah. Demikian juga seorang guru. Dia tidak berkewajiban mengajarkan ilmunya kepada orang tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Namun ketika ada orang atau institusi meminta dirinya untuk mengajarkan ilmunya di tempat dan waktu terntu, maka imbalan yang dia dapatkan bisa disebut sebagai upah atau ujrah.
Berbeda halnya dengan suap. Suap adalah imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) wajib dilaksanakan tanpa imbalan apa pun dari orang yang memenuhi kepentingannya. Sebagai contoh, seorang pegawai di sebuah instansi pemerintahan yang bertugas melayani pembuatan KTP atau SIM. Pekerjaan itu telah menjadi kewajiban yang dilakukan. Dia sudah mendapatkan upah dari pemerintah dari pekerjaannya itu. Namun dia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin mendapatkan KTP atau SIM. Maka itu dapat disebut sebagai risywah atau suap.
Bertolak dari pegertian dan contoh tersebut, maka fee yang diterima oleh pejabat Departemen Perhubungan dari pengusaha yang memenangkan tender dapat dapat dikatagorikan sebagai suap. Pasalnya, menyelenggarakan tender berbagai proyek merupakan tugas yang harus dikerjakan. Para pejabat itu pun sudah mendapatkan gaji atas pekerjaan yang dilakukan. Apa pun istilah dan nama yang diberikan, uang yang diterima para pejabat dari pengusaha itu adalah risywah atau suap. Demikian pula uang yang diterima oleh para anggota DPR.
Hukum Suap
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya risywah. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Quran yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka“. (QS al-Maidah [5]: 42).
Kalimat ` akkâlûna li al-suhti ` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.(QS al-Baqarah [2]: 188).
Selain itu ada banyak sekali dalil dari al-Sunnah yang mengharamkan suap-menyuap dengan ungkapan yang sharîh.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan).”(HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amru, Rasulullah saw juga bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap“. (HR Khamsah kecuali al-Nasa`i dan di shahihkan oleh al-Tirmidzi).
Dari Tsauban ra:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَ
“Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya“. (HR Ahmad).
sumber : http://jofania.wordpress.com/2009/12/18/suap-menyuap/