Sejak krisis melanda Indonesia pada tahun 1997 kondisi kehidupan bangsa kita mengalami keterpurukan yang sangat memperihatinkan di hampir semua bidang termasuk bidang ekonomi. Krisis tersebut telah berubah (konversi) menjadi krisis multidimensi yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat kita.
Contoh nyata dari krisis dimensional tersebut dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti mengikisnya kehidupan sektor sosial, politik, budaya, dan sektor hukum serta kehidupan humanis lainnya.
Di satu sisi, belum ada usaha serius yang dilakukan pemerintah dan para elite kita lainnya yang bisa dipercaya untuk memperbaiki keadaan perekonomian bangsa menjadi lebih baik. Malah yang kerapkali terjadi adalah mereka membawa kondisi bangsa ini kian tak pasti dan tak dihargai bangsa lain.
Parahnya, bangsa kita terindikasi telah tergadai kepada pihak luar. Buktinya, penanam modal asing telah memiliki segenap komponen aset bumi pertiwi nusantara hampir mendekati angka 96% mulai pertanian (95%), minyak dan gas bumi (95%), PLTN (95%), penguasaan air minum dan jalan tol (95%), transmisi tenaga listrik (95%) kecuali pendidikan yang hanya 49% (Sumber; Perpres No. 77/2007 - Dalam Buku Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, Mohammad Amien Rais, 2008, PPSK Press, Jogjakarta).
Marjinalisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah sebuah kenyataan tak etis yang kerapkali dijumpai di tengah-tengah kehidupan rakyat kita sehari-hari. Suatu kenyataan pahit yang selalu mengebiri dan menyelimuti kondisi perekonomian rakyat kecil dari era orde lama hingga era reformasi ini.
Situasi tersebut merupakan indikator nyata parodi perekonomian bangsa kita yang kian tak menentu dan masih berkubang dalam lumpur ‘keterpurukan’ apalagi setelah terjadinya krisis keuangan global saat ini. Keterbatasan dana yang terjadi pada para pelaku Usaha Kecil dan Menengah seringkali membuat usaha mereka cenderung stasioner dan stagnan (mandeg/tetap).
Betapa tidak, sebab saat ini persaingan dunia usaha terlihat semakin ketat menuntut para pelaku Usaha Kecil dan Menegah lebih giat berusaha dan bekerja keras, namun sayang hal itu tidak dibarengi oleh keberpihakan pemerintah dalam pemberdayaan dan pengembangannya.
Padahal, para pelaku Usaha Kecil dan Menegah tersebut membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah sebagai pengatur (regulator) dan pemasok modal. Akan tetapi, dalam berbagai kesempatan pemerintah beserta kebijakan yang diambilnya hanya berpihak pada kepentingan para elite dan pemodal saja.
Pemerintah lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada perusahaan-perusahaan milik para elitis (pemerintah, politisi, dan swasta) maupun para pemangku ekonomi lainnya yang mempunyai omzet cukup banyak. Seharusnya, pemerintah lebih memberikan perhatian yang serius pada lokus-lokus perekonomian rakyat melalui kredit tanpa agunan maupun permodalan dalam bentuk lainnya.
Derita para pelaku Usaha Kecil dan Menegah ini kian bertambah ketika mereka kesulitan mendapatkan tambahan modal dari bank karena persyaratan dari pihak bank terlalu rumit dan memberatkan para peminjam. Pada akhirnya para pelaku Usaha Kecil dan Menengah kesulitan mengembangkan usaha mereka untuk dapat bersaing pada tataran persaingan yang lebih tinggi yaitu pada kancah perekonomian nasional, mereka tidak mampu melebarkan sayap untuk ikut berperan aktif dalam mengembangkan dunia usaha sebagai benteng perekonomian bangsa.
Di sisi lain, sangat sedikit pihak yang bersungguh-sungguh memiliki kemauan kuat untuk ikut mendorong usaha mereka atau meningkatkan kesejahteraan mereka, justru yang sering terjadi adalah banyaknya lintah darat yang memanfaatkan kesempatan ini sebagai ladang mencari rezeki.
Ironisnya, para lintah darat tersebut tidak segan-segan mengeruk (eksploitasi) keuntungan yang sangat tinggi dari para pelaku Usaha Kecil dan Menengah ditengah kondisi mereka yang terhimpit oleh benturan kekurangan dana dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak (diskriminatif), ibaratnya “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Bagaimana mungkin perekonomian bangsa kita saat ini tidak terjungkil balik sebab basis penyangganya tidak diperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Tidak mengherankan jika lokus ekonomi rakyat tak mampu bersaing menghadapi pasar bebas (liberal market) kapitalisme Barat. Kondisi ini diperparah lagi oleh terjadinya persekongkolan dan perselingkuhan antara para pelaku usaha asing dengan para pelaku usaha dalam negeri (komprador).
Bila bangsa ini ingin memulihkan kondisi perekonomiannya, maka pemerintah dan elemen bangsa lainnya harus menampakkan keinginan yang kuat serta bekerja lebih keras lagi untuk merubah strategi dan kebijakan ekonomi yang berjalan selama ini harus segera dibenahi ke strategi dan kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat.
Perjanjian ekonomi dengan pihak asing harus diakhiri atau setidaknya harus kita tinjau kembali demi kepentingan bangsa kita kedepan. Kita seharusnya berpatokan pada negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Argentina, Bolivia, Ecuador, Uruguay, Brazil, dan beberapa negara lainnya di daratan Amerika Latin.
Negara-negara tersebut berani menentang keras kebijakan-kebijakan bangsa asing yang masuk ke negeri mereka melalui perjanjian kerjasama ekonomi. Dalam kurun waktu empat tahun perekonomian bangsa mereka menuai hasil yang signifikan dan menunjukkan perubahan yang sungguh menakjubkan.
Bangsa-bangsa di Amerika Latin tidak lagi membutuhkan hutang luar negeri yang bertendensi menjebak ke arah kebangkrutan. Bangsa kita harus mencontoh bangsa-bangsa tersebut apalagi kita memiliki bentangan wilayah yang amat luas serta kekayaan alam yang melimpah ruah (gemah ripah loh jinawi).
Persoalan sekaligus tantangan yang kita hadapai sekarang adalah apakah bangsa kita berani menentang bangsa asing yang ingin menguasai seluruh aset bangsa? apakah kita berani menasionalisasi perusahaan asing atau tidak?
Lalu kemudian, apakah pemimpin bangsa kita akan terus memuluskan langkah korporasi-korporasi besar untuk menguras habis kekayaan alam kita dan mengabaikan jeritan tangis anak bangsa yang ingin keluar dari keterpurukan? apakah tidak ada jalan untuk memberdayakan usaha kecil menengah sebagai benteng perekonomian nasional yang nyata-nyata memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa ketimbang memberdayakan perusahaan berskala besar yang cenderung menggerogoti APBN atau kekayaan alam kita dalam arti yang lebih luas.
Kalau beberapa pertanyaan diatas tidak berani dilakukan dan diretas pemerintah kita, maka penulis yakin kita selamanya sebagai anak bangsa yang terus menerus menjadi budak atau kuli di negeri sendiri.
Selain itu, bangsa kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar berjiwa membangun rakyat dengan tulus selain memiliki kemampuan, kemauan, dan keberanian untuk membangun bangsa sehingga kita tumbuh menjadi bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa lain.
Karena kehormatan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keberanian dan kewibawaan pemimpinnya. Sampai detik ini, belum terlihat perubahan signifikan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara lebih-lebih di bidang ekonomi. Dampak yang paling terasa dari kondisi ini adalah terjadinya pemiskinan “sistemik”.
Begitu juga dengan daerah (baca: Lombok Utara). Proses pembangunan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh kemauan dan keberanian pemerintah daerah mengembangkan potensi-potensi sumber perekonomian rakyat melalui sistem pengelolaan “swatata” sesuai kemampuan masyarakat Lombok Utara. Pembinaan dan pemberdayaan sumber-sumber ekonomi tersebut niscaya diperlukan.
Peran serta pemerintah sebagai “subyek” yang memberdayakan berkait dengan regulasi kebijakan yang mengatur potensi sumber ekonomi alam maupun sumber ekonomi lainnya yang bertautan langsung bagi pengembangan lokus-lokus ekonomi tradisional. Pemerintah berkewajiban melakukan pemberdayaan untuk memajukan sistem ekonomi kerakyatan. Sedangkan masyarakat berperan sebagai “obyek” yang diberdayakan berpaut langsung dengan modal dan keberpihakan pemerintah pro-rakyat. Sebagai pelaku ekonomi, masyarakat harus mempunyai aksesibilitas yang cukup untuk mendapatkan informasi aktual mengenai akselerasi dunia usaha, sehingga mereka bisa tetap bertahan walaupun pada kondisi pasang surut atau bahkan pada kondisi resesi perekonomian global sekalipun.
Konteksnya dengan UKM yang ada di Lombok Utara, pemerintah daerah harus melakukan pemberdayaan terutama pembinaan SDM selain modal dan regulasi kebijakan. Karena masalah ini paling sering kita temukan dalam pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di berbagai daerah di Indonesia. Masalah SDM adalah persoalan paling urgen yang harus menjadi prioritas utama pemerintah dalam memberdayakan ekonomi lokal/rakyat. Upaya ini perlu diambil pemerintah sebagai salah satu alternatif jitu guna memacu percepatan (akselerasi) pertumbuhan ekonomi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Lombok Utara yang berkeadilan. Soalnya, tak mungkin sumber daya ekonomi Lombok Utara yang melimpah ruah bisa dikembangkan bila SDM yang mengelolanya belum cukup mumpuni. Modal juga tak kalah pentingnya diperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh oleh pemerintah dalam memberdayakan UKM. Ia diperlukan sebagai basis pokok kedua setelah SDM yang berfungsi sebagai jantung pengembangan sumber-sumber ekonomi masyarakat. Pemerintah daerah harus menempuh jalan memberikan asistensi teknis, bantuan modal, dan membuka jaringan pemasaran terhadap UKM yang dikembangkan masyarakat setempat. Strategi ini penting diambil berangkat dari argumen dasar bahwa usaha masyarakat itu miskin dari sisi kemampuan manajemen, modal, dan jaringan pemasaran. Tak dapat dipungkiri bahwa upaya-upaya intervensi ini di banyak daerah di Indonesia telah menumbuhkan usaha kecil masyarakat, namun pada saat yang sama mereka tidak berdaya manakala berhadapan dengan para tengkulak yang lebih dominan memainkan harga pasar. Upaya lain berkait modal adalah pendirian bank khusus UKM. Ini penting dibentuk mengingat selama ini UKM di Indonesia banyak yang feasible namun tidak bankable. Pelaku UKM dinilai tak layak bank karena tidak memiliki agunan dan kemampuan mengembalikan peminjaman yang rendah sekalipun. Dan dari sisi regulasi, Pemerintah Lombok Utara dalam menetapkan regulasi harus lebih memperhatikan kemaslahatan masyarakat baru kemudian apa yang menjadi cita-cita mulia mensejahterakan masyarakat akan terwujud, kalau tidak, maka cita-cita tersebut akan kian jauh dari harapan semua komponen masyarakat, atau dengan kata lain “makin jauh panggang daripada apinya”. Pendeknya, harus ada keseimbangan (equilibrium) antara ‘das sein’ (seharusnya) denga ‘das solen’ (senyatanya) di lapangan.
Oleh : Waji Achmad Sesait
sumber : http://ipmluyogya.blogspot.com/2010/01/pemberdayaan-ukm-sebagai-basis.html