Setelah berhasil menyingkapi dampak negatif ekonomi ribawi dan pengaruhnya terhadap nilai mata uang Rupiah, maka di bahagian terakhir tulisan ini konsep ekonomi Islam dalam mengatasi inflasi dan mengoptimalkan sistim pembiayaan negara defisit serta dampak negatif hutang luar negeri terhadap ekonomi umat akan dieksplorasikan. Juga, sebelum konklusi diambil, faktor-faktor non-ekonomi juga turut dianalisa secara singkat sebagai penyebab krisis ekonomi tambahan.
Inflasi dan Pembiayaan Anggaran Defisit
Ekonomi Islam tidak melihat sebagai suatu kesalahan bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi dengan sistim pembiayaan anggaran defisit. Cara ini, inter alia (diantaranya), dapat dilakukan oleh pemerintah dengan cara menciptakan/mencetak uang (money creation) di bawah otoritas Bank Sentral (Bank Indonesia). Namun, dalam menciptakan uang, ekonomi Islam mensyaratkan agar uang itu hendaklah disalurkan pada sektor-sektor produktif.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang masing-masing berbunyi: "Apabila seorang islam menanam sebatang pohon atau mengusahakkan sebidang tanah, lantas seekor burung atau manusia atau binatang memakan hasil tanaman tersebut, niscaya amalan tersebut dikira sebagai sedekah" (H.R. Bukhari); dan "Orang yang menjual rumah (tanpa keperluan), tetapi tidak menginvestasikan hasilnya dalam sesuatu yang setaraf dengannya, niscaya Allah swt tidak akan memberkati hasil itu"(H.R. Thabrani).
Inilah yang menyebabkan ekonomi Islam dianggap lebih memungkinkan untuk mengatasi problema ekonomi di bandingkan dengan ekonomi ribawi yang sering menciptakan uang tanpa memerhatikan apakah uang itu disalurkan pada sektor-sektor produktif atau tidak. Implikasi dari usaha ini, menciptakan uang dan kemudian menyalurkan pada sektor-sektor produktif, adalah akan mendorong naiknya tingkat produktivitas ekonomi sehingga, pada gilirannya, akan meningkatkan jumlah produk dan jasa yang tersedia dalam masyarakat.
Dengan adanya keseimbangan antara jumlah uang dengan jumlah barang dan jasa yang beredar dalam masyarakat, maka inflasi tidak akan terjadi. Sebab inflasi terjadi, diantaranya, disebabkan oleh terbatasnya jumlah barang dan jasa yang tersedia di pasar sementara jumlah uang yang beredar dalam masyarakat terlalu banyak sehingga mengakibatkan semakin mahalnya harga barang dan jasa di pasar. Inilah sebenarnya antara ciri khas ekonomi Islam lainnya, yaitu ekonomi dengan tingkat inflasi nol (zero-inflation).
Perlunya zero-inflation dalam sesebuah ekonomi sebenarnya telah diakui para pakar ekonomi konvensional seperti adanya usaha, misalnya, di Malaysia yang sejak beberapa dekade yang lalu telah menggalakkan ekonomi dengan tingkat inflasi sifar (zero-inflation). Begitu pula dengan perekonomian ekonomi Jepang pada enam bulan terakhir ini, dimana tingkat inflasi mereka hampir mendekati inflasi nol.
Di Sudan, sebagai salah satu negara Islam yang mengadopsi sistim ekonomi Islam juga telah membuktikan bahwa tingkat inflasi telah menurun drastis dari lebih 100% sebelum ekonominya dilaksanakan secara Islami ke 3% pada tahun 1993 dibawah sistim ekonomi Islam. Inilah kelebihan ekonomi Islam yang mengagumkan yang tidak akan pernah kita dapati dalam sistim ekonomi ribawi.
Disisi lain, bila inflasi dalam ekonomi begitu tinggi, maka harga barang dan jasa dalam negeri relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang dan jasa sejenis di luar negeri. Hal ini, pada gilirannya, akan mendorong negara untuk mengimport lebih banyak barang dari luar negeri. Bila ini terjadi, maka defisa negara sebagai salah satu sumber dana pembangunan ekonomi akan semakin terkuras. Fenomona ini akan mengakibatkan krisis ekonomi akan semakin parah dan berkepanjangan.
Hutang Luar Negeri
Islam tidak menggalakkan umatnya untuk membiayai hidupnya dengan berhutang. Berhutang dalam Islam hanya diizinkan bila kita betul-betul menghadapi kesulitan ekonomi yang tidak dapat dielakkan. Itupun, hutang itu hendaklah diusahakan bersumber dari hutang yang terbebas dari nilai-nilai riba. Namun, apa yang terjadi di Indonesia sekarang sejak Indonesia merdeka, kebanyakan hutang Indonesia adalah hutang yang mengandung nilai bunga (riba) yang dipinjami dari World Bank, IMF, dan negara-negara donatur lainnya.
Dampak negatif dari berhutang dalam sistim ekonomi ribawi adalah keharusan negara penghutang untuk membayar hutangnya plus bunga hutang dalam keadaan apapun, apakah pinjaman mereka menguntungkan atau tidak. Kewajiban membayar hutang ini pada masa jatuh tempo jelas akan menurunkan nilai Rupiah akibat keharusan kita untuk membayar hutang dalam bentuk nilai mata uang asing (biasanya dalam bentuk Dolar Amerika).
Ketidakmampuan untuk membayar hutang ketika jatuh tempo akan menyebabkan bunga hutang akan semakin membengkak dari waktu ke waktu, apalagi pemerintah harus membayar bunga atas bunga (interest on interest) yang belum terlunas.
Kemudian, penggunaan dana pinjaman asing yang tidak optimal dan dialokasikan pada sektor-sektor non-produktif seperti digunakan untuk membiayai aktivitas rutin pemerintah jelas akan mempersulit kemampuan negara untuk membayar hutang. Bahaya lain dari hutang adalah bila kebanyakan komposisi hutang itu adalah hutang jangka pendek, bukan hutang jangka panjang, maka masa jatuh temponya akan terjadi dalam waktu yang relatif singkat sehingga pengaliran sumber dana pembangunan ke laur negari juga akan terjadi dalam waktu yang cepat sehingga akan menjejaskan pembangunan ekonomi yang lebih stabil.
Kemudian, sistim manajemen dana pinjaman luar negeri yang penuh dengan kebocoran (leakages) akibat praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepostime (KKN) yang tidak bertanggung jawab justeru akan lebih mempersulit posisi ekonomi Indonesia. Namun, bila sistim pinjam-meminjam itu dilakukan secara Islami seperti dijelaskan di atas, maka efek negatif dari hutang tidak akan pernah terjadi dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Namun, sesuatu yang sangat irosis sekali berlaku dikalangan elit pemerintah dan ekonomi Indonesia sekarang, ketika mereka mampu mendapat pinjaman luar negeri baru, dalam keadaan keterpurukan ekonomi sekarang, malah mereka merasa bangga dan mendabik dada bahwa Indonesia masih dipercayai oleh dunia internasional. Bukankah ini sesuatu yang memalukan? Sepatutnya kita merasa malu harus berhutang dari waktu ke waktu, bukan merasa bangga! Mungkin kebanggaan yang dirasakan oleh para elit ekonomi dan pemerintah Indonesia sekarang adalah akibat kejahilan atau ketidaktahuan mereka akan bahaya berhutang ataupun akibat sikap "muka tubai" mereka sejak dilahirkan!
Kalaulah pemerintah lebih peka terhadap konsep ekonomi Islam yang menggalakkan umatnya untuk hidup sederhana, maka dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya yang dianugerahkan Allah swt, maka tidak sepatutnya negara kita terus mengkoleksi hutang sepanjang hidupnya dengan dalih apapun. Usaha untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran negara dengan berhemat cermat, maka dengan sendirinya akan menghindarkan kita dari jebakan hutang luar negeri. Karena diakui atau tidak, bila ekonomi kita harus ditopang dengan hutang, maka dengan sendirinya kita telah mengundang campur tangan negara asing (donatur) hadir untuk mendikte perekonomian kita.
Disinilah sebernarnya kehinaan sesebuah negara bermula. Kenapa tidak? Karena apabila kita sudah terperangkap dalam hutang, dengan sendirinya bukan hutang material sahaja yang timbul, tetapi kita juga telah terjebak dalam hutang budi dan jasa. Bila ini terjadi, maka dengan sendirinya kita harus memenuhi keinginan negara pemberi hutang (donatur) tidak hanya terhadap syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian hutang (debt¬agreement), tetapi juga terhadap konsekwensi yang terjadi akibat berhutang tersebut.
Dampak negatif berhutang, sebenarnya, tidak berhenti disitu sahaja. Berhutang, disamping, memburukkan image bangsa dan negara, ianya juga turut memburukkan dan merendahkan image agama.
Untuk menghindari kita terjebak dengan hutang berbunga (ribawi) dan juga negara-negara Islam lainnya, maka sudah saatnya negara-negara Islam bersatu untuk menciptakan sebuah badan keuangan internasional yang menyediakan dana untuk dipinjami anggota-anggotanya, negara-negara Islam bila mengalami kesulitan ekonomi.
Daripada harus menengadah tangan meminta pinjaman ke badan keuangan internasional di bawah sistim ekonomi konvensional, seperti World Bank, IMF, dan badan-badan keuangan dunia lainnya bila mengalami kesulitan ekonomi, negara-negara Islam telah mempunyai badan tersendiri, katakanlah, dibawah nama Dana Keuangan Islam Internasional (International Islamic Monetary Fund, IIMF) yang dijalankan secara Islami sehingga tidak akan menjerat ekonomi negara-negara Islam terpuruk di bawah bayang-bayang ekonomi kapitalis dan komunis.
Faktor-faktor non-Ekonomi
Krisis ekonomi, sebenarnya, tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi yang disebutkan di atas sahaja. Tetapi sistim pemerintahan yang berkeadilan, sistim politik, dan juga kejujuran pelaku ekonomi adalah diantara faktor lain yang sangat memainkan peranan penting dalam menstabilkan ekonomi umat.
Sistim pemerintahan Indonesia yang sentralis, ditambah pula dengan luas wilayah negara yang besar, jelas akan mempersulit pengontrolan dan pendistribusian hasil alam secara berkeadilan. Begitu juga keadaan politik yang tidak stabil akan memperparah krisis ekonomi. Karena kedua sistim politik dan ekonomi adalah suatu sistim yang integral yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Ini tidak ubahnya seperti mata uang yang bersisi ganda, sisi gambar dan nilai. Satu sisi adalah sistim ekonomi dan sisi lain adalah sistim politik. Bila sisi ekonominya rusak, maka sisi politikpun akan hancur, begitu juga sebaliknya.
Bahkan hubungan antara politik dan ekonomi dapat diibaratkan seperti hubungan air dengan sebuah botol. Bila botolnya pecah, maka airnya yang ditempatkan dalam botol akan tumpah berhamburan. Bila politiknya hancur Berdasarkan ibarat di atas, jelas terlihat bahwa keadaan krisis politik yang tidak menentu yang dialami Indonesia sekarang telah mengakibatkan krisis ekonomi semakin sukar dipulihkan. Namun, menurut hemat penulis, ini hanya berlaku di negara-negara berkembang dan negara terbelakang sahaja yang, pada umumnya, tidak memiliki fundamental ekonomi yang kukuh. Seperti kita lihat di Jepang yang hampir tiap waktu terjadi pergantian Perdana Menteri serta diekori dengan krisis politik, namun keadaan ekonomi mereka tidak mengalami kegoyahan yang berarti.
Oleh: DR. M. Shabri Abdul Madjid
[Penulis adalah alumni Bidang Ekonomi pada International Islamic University, Malaysia (IIUM)]