“Jika perempuan ingin melakukan perubahan di dalam masyarakat dimana mereka berada maka mereka haruslah berupaya untuk mendapatkan posisi kekuasaan.”
(Stacey dan Price, dalam Women, Power and Politics).
Pernyataan diatas menunjukkan sebuah tantangan yang saat ini dihadapi bagi kaum perempuan khususnya di Aceh dalam merebut kekuasaan. Pemilu 2009 yang lalu menunjukkan angka yang kecil bagi kelompok perempuan untuk masuk dalam kelompok kekuasaan dan pengambil kebijakan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi di era transisi damai, yang membutuhkan tangan perempuan untuk ikut dalam transformasi politik hari ini? Bukankah disisi lain perempuan masuk dalam parlemen sebagai bagian dari perubahan mainstream yang terkadang sangat merugikan kelompok perempuan.
Di negara-negara pasca konflik, keterlibatan perempuan dalam politik memberikan kesempatan yang lebih tinggi baik di eksekutif, legislative maupun pemerintahan. Anehnya di Aceh, kondisi ini berbalik dengan kondisi yang ada.
Keterlibatan perempuan dalam politik, seakan-akan masih diliputi rasa trouma pada masa lalu di saat konflik, sementara disisi lain, perdamaian membutuhkan tangan perempuan dalam merawatnya. Nah, siapakah yang pada akhirnya menentukan perempuan dalam politik jika bukan perempuan itu sendiri yang mencoba merubahnya.
Semua itu dapat dilakukan, jika perempuan dapat masuk dalam wilayah kekuasaan politik. Perempuan di Aceh menurut hemat penulis selalu menang dalam ekonomi, sosial dan pendidikan, namun mengapa selalu “kalah” dalam politik. Mari kita kaji secara objektif dalam persepsi politik, dimana yang harus kita perbaiki.
Politik saat ini memang masih sangat didominasi oleh kelompok laki-laki, bukan hanya di Aceh, di Indonesia bahkan di dunia, sehingga muncul gagasan sebuah perspektif gender yang dianggap masih jauh dari harapan kelompok feminis. Kajian terhadap gender dan kekuasaan adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Kajian ini muncul seiring dengan munculnya gerakan feminisme pada awal tahun 1970-an dan munculnya gagasan yang dilakukan gerakan feminisme dalam melihat bahwa kehidupan masyarakat politik dan hubungan diantara negara dan warga negara selama ini selalu didominasi oleh cara berpikir laki-laki dan kepentingan laki-laki.
Kelompok feminis juga melihat bahwa apabila kehidupan di dalam masyarakat dan hubungan antara negara dan warga negara akan lebih ramah jika perempuan, anak-anak, orang-orang lemah dan tidak berdaya mendapatkan hak yang sama dan mendapatkan politik pengakuan public (politics of recognition).
Sementara dalam perspektif politik, perempuan haruslah ikut berpartisipasi dalam politik sebagai warganegara yang terepresentasikan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan jika ingin memperbaiki kondisi yang menentukan bagi perempuan, kelompok-kelompok minoritas dan atau yang terpinggirkan. Kondisi secara realita menunjukkan masih lemahnya dan rendahnya perempuan dalam keterwakilan politik di dalam lembaga pemerintahan maupun di dalam lembaga pengambilan keputusan.
Tantangan Perempuan
Terdapat beberapa kondisi objektif dan kebutuhan dari para ilmuwan politik bahwa perempuan haruslah ikut berpartisipasi dalam politik sebagai warganegara dan terepresentasikan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan.
Pertama, Kehidupan di dalam masyarakat politik dan hubungan di antara negara dan warga negara selama ini terlalu didominasi oleh cara berpikir, perspektif dan kepentingan laki-laki.
Kedua, kehidupan di dalam masyarakat dan hubungan antara negara dan warga negara akan lebih ramah terhadap perempuan, anak-anak, orang-orang yang lemah dan tidak berdaya, jika perspektif dan cara berpikir atau keberadaan dan kepentingan perempuan diperhitungkan atau ikut menentukan.
Konsepsi dan praktek kewarganegaraan yang lebih adil akan dapat dicapai jika perspektif perempuan atau jender diperhitungkan dalam peraturan-peraturan dan kebijakan yang dilaksanakan dalam masyarakat dan negara.
Disisi lain alasan-alasan rasional yang muncul setidaknya secara sederhana dapat dilihat pada tiga bentuk.
Pertama, tradisi politik yang tidak universal dan tidak netral gender sebagaimana diperkirakan selama ini.
Kedua, pengekslusifan perempuan dari ruang politik dan publik, terkait dengan pemisahan publik dan privat, ketidakadilan struktural di wilayah domestik dan publik.
Ketiga, perlu dikembangkan kewarganegaraan politik dengan perspektif gender untuk memperbaiki kehidupan perempuan dan meningkatkan kualitas kewarganegeraan yang berbasis gender.
Kritik para penulis dan akademisi feminis memperlihatkan adanya ketidak universalan dan ketidak netralan tradisi yang ada. Kritik ini juga melihat bahwa pengeklusian perempuan dari ruang public dan arena perpolitikan sangat terkait dengan pemisahan public dan privat, ketidakadilan structural di wilayah domestik (keluarga) dan publik (pasar kerja).
Dan oleh karena itu, muncul beberapa gagasan penting dalam perspektif politik untuk perlu dikembangkan kewarganegaraan politik dengan persepsi jender untuk memperbaiki kondisi kehidupan perempuan serta meningkatkan kualitas kewarganegaraan, sebuah bentuk kewarganegaraan yang lebih adil gender dan nyaman bagi perempuan dan mereka yang lemah.
Disisi lain, Bhikhu Parekh (2008) mengatakan bahwa kaum perempuan juga tidak dapat mengekpresikan dan mewujudkan identitas mereka tanpa adanya kebebasan penentuan diri, iklim yang kondusif untuk keanekaragaman (diversity) peluang, dan sumber daya material, pengelolaan dan penataan hukum yang sesuai.
Tantangan selanjutnya adalah diskursus dikhotomi ranah publik dan privat yang berlaku bagi kelompok perempuan. Wilayah privat merupakan sebuah konsep abstrak yang menunjukkan ranah atau wilayah dimana individu berada dengan dirinya sendiri dan dengan individu lain yang mempunyai relasi intim dengannya.
Dalam konsep ini negara tidak boleh melakukan intervensi kedalam wilayah ini dan individu mendapatkan kebebasan yang sebenarnya untuk melakukan apapun dengan dirinya sendiri dan semua yang dimiliki. (Soeseno, 2008). Wilayah publik adalah konsep abstrak yang menunjukkan wilayah atau ranah umum dimana individu individu melakukan kegiatan dan berpartisipasi secara ekonomi, politik dan sosial.
Negara menjaga semua kegiatan diwilayah publik dapat berjalan dengan baik dan individu-individu mengikuti aturan yang berlaku dan tidak ada kebebasan atau kontrak yang dilanggar. Negara berfungsi untuk melakukan intervensi untuk menghilangkan hambatan, pelanggaran atau ancaman tersebut sehingga semua aktivitas dapat dilaksanakan.
Kritik feminis terhadap konsepsi kewarganegaraan mainstream di lihat pada praktek yang dijalankan dalam kewarganegaraan tidak adil terhadap perempuan, perempuan dianggap warganegara kelas dua, yang pasif dan tidak terlibat dan sering tidak diperhitungkan dalam keputusan ataupun kegiatan yang menentukan kebijakan umum.
Hal ini disebut sebagai pengiklusian perempuan. Sementara kritik terhadap privat dan publik, melihat bahwa pengiklusian perempuan dari ruang public dan pemisahan yang sangat ketat kedua ruang tersebut merupakan hambatan besar bagi perempuan.
Perempuan sebagai Warganegara Politik: Sebuah Solusi
Melihat realita politik yang sangat kompleks, apa yang harus dilakukan? Jawaban terhadap kekhawatiran ini setidaknya dapat kita jawab dengan beberapa pemikiran mengenai perempuan sebagai warga negara politik sebagai alternatif yang muncul dalam dunia politik.
Tiga konsep besar yang muncul :
Pertama, perempuan sebagai anggota dari suatu warga negara. Menurut Judith Squire, konsep keanggotaan warga dalam negara menjadi hal yang sangat penting. Teori kewarganegaraan yang ada terlalu terfokus pada keanggotaan formal dalam negara. Keanggotaan formal yang dimaksud berdasarkan aturan yang berlaku atau sesuai dengan hukum atau tatanan legal formal yang berlaku. Secara politik kondisi ini tidak menguntungkan dan tidak mendorong perempuan untuk bisa melaksanakan hak-hak ataupun kewajiban kewarganegaraan mereka seperti laki-lakinya.
Kedua, Perempuan sebagai kewarganegaraan politik. Menurut Soeseno (2008) terdapat dua pola terhadap konsepsi kewarganegaraan yaitu gender-neutral atau netral gender yang mengatakan bahwa prinsip dan praktek kewarganegaraan membuka kemungkinan bagi perempuan untuk berpartisipasi sebagai rekan yang sederajat dengan laki-laki di wilayah public. dan kedua disebut dengan konsepsi kewarganegaraan gender-differentiated atau berbeda jender. Yang memberikan pengakuan dan penghargaan pada peran dan tanggung jawab perempuan di wilayah privat. Konsep ini menurut Carole Pateman sebagai dilemma Wollstonecraft.
Menurut Soeseno, kedua konsepsi ini dikenal dengan dua pendekatan sosial perempuan dalam kewarganegaraan. Dalam diskursus kewarganaheraan, ketidakpuasaan terhadap pola diatas memunculkan berkembangnya konsep warganegara berpenghasilan (citizen the wage earner) dan warganegara pemelihara (citizen the career). Jadi yang harus dilakukan perempuan adalah memperjuangkan arti dari persamaan (equality) atau perbedaan (difference). Persamaaan dan perbedaan muncul dalam kompetisi antara dua konsep yaitu citizen the wage earner/ warga negara berpenghasilan dan citizen the carer atau warga negara pemelihara.
Ketiga, perempuan senagai kewarganegaraan partisipatif. Konsepsi kewarganegaraan yang dapat menjawab permasalahan tersebut adalah konsepsi kewarganegaraan baru yang disebut kewarganegaraan yang partisipatif (women’s active agency).
Konsep ini menggabungkan dimensi kemampuan, kebutuhan, aspirasi dan kekhususan perempuan dengan hak-hak kewarganegaraan umum dan universal yang dikenal dengan istilah breadwinner (laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Kemampuan perempuan (women’s agency) sebagai sebuah faktor yang penting dalam kerangka kerja. Birte Siim menawarkan tiga hak perempuan yaitu hak-hak sipil, hak-hak sosial, dan hak hak demokratis.
Catatan Akhir: Sebuah Kesimpulan
Posisi kekuasaan dan partisipasi politik perempuan merupakan jawaban terhadap tantangan dan kebutuhan dari kelompok perempuan dalam memperjuangkan keadilan politik bagi kelompok perempuan. Adanya semakin banyak kelompok perempuan yang terepresentasikan dalam posisi posisi kekuasaan, baik formal maupun informal maka semakin besar kemungkinan kepentingan dan kebijakan bagi perempuan dapat diartikulasikan dalam kehidupan politik saat ini, sebagaimana negara-negara Scandinavia, misalkan di Norwegia. Mungkinkan Aceh dapat belajar dari negara-negara Scandinavia, Wahai kaum perempuan Aceh, bersatulah!
Penulis adalah Peneliti dan Pengamat Politik Aceh. Saat ini menjabat Direktur Eksekutif Pusat Penguatan Perdamaian (3P).
Sumber : http://pusatperdamaian.com/index.php/2009/12/perempuan-aceh-di-era-damai-tantangan-politik-dan-kekuasaan/
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !