Kapan jaminan perlindungan HAM dinyatakan telah di laksanakan? Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional maupun telah dibentuk lembaga untuk penegakannya, tetapi belum menjamin bahwa hak asasi manusia dilaksanakan dalam kenyataan kehidupan sehari - hari atau dalam pelaksanaan pembangunan.
Konflik sosial akhir-akhir ini berkembang sangat memprihatinkan. Diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu 1965 - Januari 2002 yang berpuncak pada korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon, dan Papua (Kompas 1 Juni 2002).
Belum hilang dari ingatan kita, peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali pada 12 Nopember 2002 yang menelan korban meninggal dunia sekitar 181 orang dan ratusan yang luka-luka.
Fenomena kemanusia dalam konteks hak asasi manusia yang juga mengundang keprihatinan dalam kehidupan sehari-hari adalah banyaknya anak dibawah usia 18 tahun yang harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keuangan keluarganya.
Tulisan dalam Makalah ini merupakan upaya untuk merefleksikan kembali penerapan hak-hak sipil di Indonesia dari perspektif hak asasi manusia, konsepsi demokrasi dan hak-hak sipil serta hubungan antara keduanya dengan pendekatan sosio-kultural dari sudut sejarah. Apakah dua konsep ini menggambarkan realita yang sama atau sebenarnya yang satu merupakan instrumen yang lain ? Bagaimana pula halnya dengan kontekstualisasi hak asasi manusia ?
Tulisan dalam makalah ini juga mempertanyakan sejauh mana instrumen nasional hak asasi manusia telah menjamin perlindungan hak asasi manusia di Indonesia? Mengapa seringkali terjadi kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia?
Analisis yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah konvergensi, sedangkan pendekatan yang dipergunakan adalah historis dengan melihat bagaimana sejarah perkembangan demokrasi dan Hak-hak Sipil (Civil Rights) baik yang berskala global maupun nasional.
Perkembangan Konsepsi Hak Asasi Manusia
Konsep hak asasi manusia pada dasarnya dapat ditemukan dari penglihatan dimensi visi dan perkembangan yang termuat dalam Deklarasi hak asasi Universal (Universal Declaration of Human Rights) PBB dan menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
Konsep hak asasi manusia diliihat dari dimensi visi, mencakup visi filsafati, visi yuridis - konstitusional dan visi politik (Saafroedin Bahar, 1994 : 82). Visi filsafati sebagian besar berasal dari teologi agama-agama yang menempatkan jati diri manusia pada tempat yang tinggi sebagai makhluk Tuhan.
Visi yuridis - konstitusional, mengkaitkan pemahaman hak asasi manusia itu dengan tugas, hak, wewenang dan tanggungjawab negara sebagai suatu nation-state. Sedangkan visi politik memahami hak asasi manusia dalam kenyataan hidup sehari-hari yang umumnya berwujud pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh sesama warga masyarakat yang lebih kuat maupun oleh oknum-oknum pejabat pemerintah.
Dilihat dari perkembangan hak asasi manusia, maka konsep hak asasi manusia mencakup generasi I, generasi II, generasi III, dan pendekatan struktural (Todung Mulya Lubis, 1987 : 3-6). Konsep hak asasi manusia pada generasi I sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk tidak disiksa dan tidak ditahan, hak akan equality before the law (persamaan di hadapan hukum), hak akan fair trial (peradilan yang jujur) dan adanya asas praduga tak bersalah.
Hak asasi manusia generasi I ini merupakan reaksi terhadap kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasistis yang mewarnai tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.
Konsep hak asasi manusia generasi II merupakan perluasan secara horizontal dari generasi I, sehingga konsep hak asasi manusia mencakup juga bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Generasi II lahir terutama sebagai reaksi bagi negara dunia ketiga yang telah memperoleh kemerdekaan dalam rangka mengisi kemerdekaannya setelah Perang Dunia II.
Konsep hak asasi manusia generasi III merupakan ramuan dari hak hukum, sosial, ekonomi, politik dan budaya menjadi apa yang disebut hak akan pembangunan (the right to development). Hak asasi manusia dinilai sebagai totalitas yang tidak boleh dipisah-pisahkan sekaligus menjadi suatu masalah antar disiplin yang harus didekati secara interdisipliner.
Pendekatan struktural (dengan melihat dampak dari kebijakan yang telah diterapkan Pemerintah) dalam hak asasi manusia seharusnya merupakan generasi IV dari konsep hak asasi manusia. Karena dalam realitas, masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia cenderung merupakan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada hak asasi manusia.
Misalnya, berkembangnya sistem sosial yang memihak ke atas dan memelaratkan mereka yang di bawah, suatu pola hubungan yang repressive. Sebab jika konsep ini tidak dikembangkan, maka yang kita lakukan hanya memperbaiki gejala, bukan penyakit. Hal ini mengakibatkan perjuangan hak asasi manusia akan berhenti sebagai pelampiasan emosi (emotional outlet).
Pengertian hak asasi manusia menurut Universal Declaration of Human Rights dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak-hak yang sama dan tak dapat dialihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia (Maurice Cranston, 1972 : 127).
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengartikan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Untuk itu, maka kebutuhan dasar manusia dimanapun pada hakekatnya sama, seperti hak atas hidup, bebas mengeluarkan pikirannya, bebas dari rasa takut, tidak ingin dieksploitasi, hidup bahagia dan lain-lain, maka hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat universal.
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung dari Tuhan sendiri karena kodratnya (secundum suam naturam).
Pengertian hak asasi manusia menurut Universal Declaration of Human Rights sering dinilai sebagai konsep hak asasi manusia pada tahap Generasi I, yaitu isinya sarat dengan hak-hak yuridis dan politik. Sedangkan pengertian hak asasi manusia menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 dinilai mengandung visi filsafati dan visi yuridis konstitusional.
Pengertian hak asasi manusia dari sudut visi politik dapat diidentikkan dengan pendekatan struktural, karena keduanya lebih menonjolkan pengertian hak asasi manusia dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung banyak terjadi pelanggaran.
Dinamika Konsepsi Hak Sipil (Civil Rights) dari Perspektif Historik
Upaya pemikiran dan perjuangan Hak Asasi Manusia dimulai sejak lahirnya Kode Hukum Raja Hammurabi yang dimaksudkan untuk memberantas yang congkak dan murka. Selain itu, kode hukum itu dimaksudkan untuk membawa keadilan bagi masyarakat. l
Pada jaman Yunani kuno, Plato (428-348 SM) telah memaklumkan kepada warga polisnya, bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai bila setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Termasuk Aristoteles (384-322 SM) seringkali memberikan nasehat kepada para pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejateraan masyarakat banyak.
Di masyarakat Timur, seperti pada masyarakat Jawa Kuno telah dikenal “Hak Pepe” yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa setempat, seperti mengemukakan pendapat, walaupun hak itu bertentangan dengan kemauan penguasa (Paul S.Baut & Beny Harman K., 1988 : 3-4)
Thomas Hobbes (1588 - 1679) salah seorang tokoh Ilmu Negara berkebangsaan Inggris, seorang penganut teori Kontrak Sosial tentang Asal Mula Negara, berpendapat bahwa satu-satunya hak asasi adalah hak hidup. Sedangkan John Locke (1632 - 1704), pemikir politik dari Inggris menyatakan bahwa hak asasi meliputi hak hidup (the right to life), kemerdekaan (the right to liberty) dan hak milik (the right to property) (Rodee & Anderson, 1988 : 194).
Pendapat John Locke ini sangat dipengaruhi oleh gagasan hukum alam (natural law) ketika dalam keadaan alamiah (state of nature), yaitu suatu keadaan dimana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa-apa, semua orang sama sekali bebas dan sama derajatnya.
Dalam perkembangannya, di antara orang-orang itu sering terjadi percekcokan karena perbedaan pemilikan harta benda dan karena ada orang yang hidup di atas penderitaan orang lain. Kondisi tersebut telah menggeser keadaan alamiah ke keadaan perang (state war) sehingga menimbulkan pemikiran untuk melindungi ketiga hak-hak fundamental, yaitu hak hidup, kemerdekaan dan hak milik.
Kondisi demikian menuntut masyarakat untuk berkumpul dan mengadakan perjanjian masyarakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak mereka kepada seorang pemimpin / in casu negara yang bertugas untuk melindungi ketiga hak tersebut sebagai hak individu dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya, dan diterima manusia sejak lahir dan bukan merupakan pemberian hukum manusia atau masyarakat (Baut & Harman, 1988 : 6-7).
Ditinjau dari perspektif sejarah dan sosio-kultural, gagasan tentang hak asasi manusia dan instrumentasinya di dalam kehidupan bernegara sebenarnya telah berlangsung selama berabad-abad. Di Eropa paling tidak kita mulai mengenal dari Dictatus Papae pada abad ke11 yang kemudian disusul dengan Magna Charta 1215; sementara di Timur sebenarnya tercatat telah ada Piagam Madinah yang disusun negara Islam awal yang juga memuat perlindungan hak asasi manusia seperti yang dikenal pada zaman modern ini.
Nabi Muhammad saw (671 M) menekankan dengan tegas sekali prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam pidato perpisahan (Khutbat al Wada”) sekitar dua bulan sebelum wafat. Dalam pidato itu beliau memaparkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yang paling utama ialah kesucian hidup, harta dan kehormatan (al dima’. Al amwal, al a’radl) persis seperti ungkapan pada penghujung deklarasi kemerdekaan Amerika : lives, fortunes, sacred honor (Nurcholish Madjid, 2000 : 5)
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa walau secara historik pemakaian hak asasi manusia di dalam kehidupan bernegara telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, tetapi pada umumnya dipahami bahwa wacana ini baru berkembang pesat setelah revolusi Amerika dan revolusi Perancis sebab sejak revolusi itulah ada upaya mengimplementasikan gagasan John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan penggagas-penggagas besar lainnya tentang perlindungan hak asasi manusia di bawah pemerintahan yang demokratis.
Tonggak sejarah kedua revolusi itu bagi instrumentasi hak asasi manusia bisa dilacak dari Declaration of Independence pada tahun 1776 yang disusul dengan The Virginia Declaration of Rights tahun 1791 di Amerika Serikat yang selanjutnya memberi ilham bagi revolusi Perancis 1789 dengan Declaration des Draits de Thomme et du citoyen.
Di dalam konstitusi negara-negara demokrasi modern setelah itu, perlindungan hak asasi manusia menjadi isi pokoknya sehingga dapat disimpulkan bahwa konstitusi sebenarnya merupakan instrumen utama bagi perlindungan hak asasi manusia sebab setiap pemerintah kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi. Di dalam ilmu politik dan hukum tata negara konstitusi memang memiliki fungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak tampil secara sewenang-wenang.
Ada juga catatan sejarah bahwa negara-negara demokrasi modern yang lahir menyusul kedua revolusi itu telah melahirkan masalah sosial baru karena liberalisme yang mendasarinya telah menimbulkan kesenjangan ekonomi atau kelaparan dan kemiskinan massal.
Individualisme yang menjadi dasar kehidupan demokrasi telah menemukan jalan bagi dilakukannya ekploitasi dari manusia yang kuat secara ekonomis (kaum borjuis) terhadap warga-warga yang miskin. Melalui kesempatan untuk merebut kursi-kursi parlemen pada saat pemilu, kaum borjuis berhasil menggunakan kekayaannya untuk membeli suara rakyat dan merebut kursi-kursi di parlemen sehingga praktis parlemen hadir tidak sebagai wakil rakyat tetapi tampil sebagai wakil kaum borjuis.
Parlemen ini kemudian menggunakan wewenangnya untuk membuat produk legislatif (hukum) yang cenderung membenarkan dilakukannya eksploitasi dari kaum borjuis terhadap kaum miskin. Dalam keadaan seperti ini pemerintah (eksekutif) tidak dapat berbuat apa-apa karena di dalam sistem yang liberal seperti itu pemerintah hanyalah menjadi alat netral yang bersikap pasif sebagai nachwarkerstaat (penjaga malam). Yang diutamakan dalam sistem seperti ini hanyalah pelaksanaan hak-hak sipil dan hak politik individu warga yang dalam praktiknya hanya dilakukan ketika ada pemilihan anggota perlemen yang dapat dipandang sebagai pengutamaan atas hak asasi manusia yang lebih bersifat individual. Konsepsi yang demikian selanjutnya dikenal sebagai konsepsi hak asasi manusia generasi I yakni hak asasi manusia yang lebih melindungi hak-hak individu perseorangan.
Kekecewaan atas implementasi hak asasi manusia yang menekankan pada hak sipil dan politik bagi individu-individu warga negara dengan ekses kesenjangan sosial yang parah ini telah mendorong timbulnya pemikiran tentang negara demokrasi dan hukum yang baru yang lebih dikenal sebagai welfare state atau konsepsi perlindungan hak asasi manusia generasi II.
Di dalam paham ini hak asasi manusia tidak boleh hanya ditekankan pada perlindungan hak-hak individu yang liberalistis tetapi yang harus diutamakan adalah hak asasi manusia yang lebih bersifat sosial atau komunal. Oleh sebab itu, hak-hak sosial ekonomi dan budaya mendapat tempat cukup penting dalam proses instrumentasi hak asasi manusia di dalam konstitusi.
Di dalam konsepsi yang demikian, negara kemudian diberi peran aktif untuk mendorong dan melindungi kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sebagai satu kesatuan atau suatu komunitas clan bukan sebagai orang-perseorangan.
Ekses buruk terjadi juga pada konsepsi HAM generasi II. Negara atas nama kepentingan masyarakat sebagai satu kesatuan. kemudian masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat secara penetratif dan intervensionis melalui lembaga “freies Ermessen” yang kerapkali menampilkan sistem yang tidak demokratis clan mendesak hak-hak asasi warga negara secara individual. Kerapkali di negara dengan wawasan yang baru ini hak-hak pribadi warga negara ditekankan ke dalam jargon-jargon hak-hak masyarakat sebagai satu kesatuan.
Jadi terlihat jelas bahwa wacana hak asasi manusia telah terperangkap ke dalam tolak tarik antara HAM generasi I dengan sistem politik yang liberal dan hak asasi manusia generasi II dengan sistem politik yang otoriter. Meskipun tidak sepenuhnya benar bagi akibat “kesenjangan sosial atau “kesejahteraan sosial”, Amerika Serikat dan bekas Uni Soviet dapat dipandang sebagai contoh dari pelaksanaan HAM generasi I dan II itu, paling tidak dari sudut sistem politik yang dilahirkannya.
Amerika Serikat yang lebih menekankan pada hak-hak individu telah melahirkan sistem politik yang demokratis meskipun memiliki program- program sosial yang cukup efektif; sedangkan bekas Uni Soviet, atas nama perlindungan HAM yang komunal clan demokrasi rakyat, telah melahirkan sistem politik totaliter yang menindas.
Yang segera dapat disimpulkan dari uraian tersebut adalah kenyataan bahwa konsepsi hak asasi manusia memiliki spektrum yang luas dan memperlihatkan tolak tarik antara peran negara dan peran warga negara dalam pelaksanaannya.
Suatu negara yang dikecam dunia internasional sebagai pelanggar hak asasi manusia kerapkali berdalih bahwa yang dilakukannya justru melindungi hak asasi manusia kolektif atau hak asasi manusia yang lebih luas, sebaliknya suatu negara lain yang dikecam tidak memiliki keperdulian bagi hak masyarakat sebagai satu kesatuan (kolektif) dapat berdalih bahwa kebijakannya justru untuk melindungi hak-hak individu yang tidak dapat diganggu gugat.
Agenda utama yang perlu dicari oleh setiap negara sebenarnya adalah bagaimana membangun keseimbangan antara konsepsi hak asasi manusia I dan konsepsi hak asasi manusia generasi II agar keduanya tidak saling menegasikan antara yang satu dengan yang lain. Bahkan akhir-akhir ini, ketika masalah lingkungan menjadi persoalan masyarakat di berbagai negara, telah muncul konsepsi hak asasi manusia generasi III yang juga harus mendapat perhatian dari berbagai negara yakni hak asasi manusia yang dikaitkan dengan perlindungan manusia dari kerusakan lingkungan.
Di sini ditekankan bahwa selain hak sosial, ekonomi, dan budaya, setiap pemerintah dan warga negara harus menjaga kelestarian lingkungan agar hak-hak hidup masyarakat tidak terganggu karena rusaknya lingkungan.
Dilema Kontekstualisasi Hak Asasi Manusia dari Perspektif Budaya
Belum lepas perdebatan teoritik mengenai generasi konsepsi HAM serta kontroversi HAM apakah HAM itu benar universal atau harus disesuaikan dengan konteks kebudayaan sejarah dari setiap negara dan setiap kebudayaan yang melahirkan pluralisme dalam konsepsi tentang HAM, muncul tuntutan baru dari negara-negara maju agar supaya pelaksanaan HAM selayaknya dimasukkan sebagai suatu conditionality dalam memberi bantuan kepada suatu negara lain.
Dalam pertemuan CGI (The Consultative Group on Indonesia) di Jakarta, pada tanggal 1-2 Pebruari 2000 telah ditetapkan tiga conditionalities untuk memberikan pinjaman kepada Indonesia, yaitu : good governance, judicial reform dan decentralization. Sedangkan conditionalities seperti itu biasanya tercantum dalam operational directives dalam pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia
Pada tingkat tertentu, hal ini dapat dipahami, karena negara-negara donor akan mengalami kesulitan dalam negeri kalau pemerintahnya terbukti memberi bantuan kepada suatu negara yang kemudian memakai bantuan keuangan itu untuk memperkaya diri penguasa dan orang-orang di sekitarnya atau malahan memakai uang tersebut untuk melanggar hak-hak politik masyarakat setempat.
Kontroversi tersebut di atas kemudian timbul karena usul tersebut bisa ditanggapi sebagai intervensi berlebihan dari negara-negara donor terhadap kedaulatan negara-negara penerima bantuan. Selain itu, dicoba pula untuk memakai argumen tentang hubungan dan perbedaan antara hak-hak sipil dan hak-hak politik di satu pihak, dan hak-hak sosial, hak ekonomi, dan hak-hak budaya di pihak lainnya.
Dalam argemen ini dikatakan bahwa negara-negara maju lebih memandang HAM dari perspektif hak politik dan hal sipil yang amat menekankan kepada hak-hak kemerdekaan serta perlindungan bagi setiap individu. Sedangkan untuk negara berkembang hak sosial terhadap pembangunan dan kesejahteraan tidak kurang pentingnya dari hak-hak politik tersebut sehingga kalaupun pada waktu-waktu tertentu terjadi pelanggaran hak politik demi untuk menyelamatkan hak-hak sosial maka keadaan ini perlu dipertimbangkan secara khusus dan tidak bisa digeneralisasikan sebagai pelanggaran HAM berdasarkan perspektif hak politik.
Persoalan kontekstualisasi HAM pernah menjadi aktual setelah dilansir apa yang dinamakan nilai-nilai Asia atau Asia values dengan Lee Kuan Yew (sampai tingkat tertentu, juga Mahathir) sebagai juru bicara utamanya. Persoalan ini mendapatkan momentumnya dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru di Asia Timur dan Asia Tenggara yang ternyata berhasil dalam pembangunan ekonominya, seperti Korea Selatan, Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Maka nilai-nilai Konfusian tiba-tiba dipandang demikian penting sebagai suatu etos yang telah mendorong perkembangan kapitalisme di negeri-negeri Asia, kira-kira sejalan dengan teori Max Weber, bahwa Calvinisme dengan etika protestan-nya telah menjadi roh yang mendorong secara nyata perkembangan kapitalisme di negara-negara Eropa Utara dan Amerika Utara, serta merta persoalan nilai-nilai Asia ini berkembang juga menjadi wacana dalam bidang politik dan bidang hukum khususnya yang menyangkut HAM.
Dalam analisis terakhir, nilai-nilai Asia ini dapat dipandang sebagai isu politik, isu ekonomi dan isu hukum menyangkut hak asasi. Ketiga nilai-nilai tersebut hadir dalam wacana yang lebih banyak bersifat apologetik daripada suatu teori yang inovatif. Dalam bidang politik, nilai Asia sering menjadi alat di negara-negara Asia untuk memaafkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dalam pelaksanaan politik sehari-hari. Lee Kuan Yew misalnya, dengan terang-terangan mempersoalkan bahwa negara-negara Asia yang sedang berkembang pembangunanan ekonomi dan pengentasan kemiskinan lebih mendesak dari pelaksanaan demokrasi secara penuh.
Sekalipun tidak menggunakan jargon nilai-nilai Asia, di Indonesia selama Orde Baru, Presiden Soeharto dan rezimnya kurang lebih berpikir dalam paradigma yang sama. Pelanggaran oposisi politik selama orde baru didasarkan keyakinan atau dalih bahwa demokrasi haruslah menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat di Indonesia, yang dalam pandangan Soeharto, lebih berorientasi pada harmoni daripada konflik.
Istilah “nilai-nilai Asia” oleh Soeharto dan para administratornya hanya diterjemahkan menjadi sifat nasional dan konsep kebudayaan nasional, tetapi mengandung pemikiran yang persis sama. Ini artinya, nilai-nilai Asia telah menjadi alasan dan dalih yang membenarkan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan pelanggaran hak-hak politik masyarakat karena baik pembaharuan ekonomi (dalam versi Lee Kuan Yew) maupun pembaharuan politik (dalam versi Soeharto) dianggap dijalankan oleh negara.
Asumsinya ialah negara sebagai pranata harus melindungi masyarakat dari beban nilai-nilai asing yang masih terlalu berat dilaksanakan pada waktu itu. Secara singkat, nilai-nilai Asia menjadi sarana untuk sarana pembenaran diri (means of self-justification) negara atas pelanggaran yang dilakukannya terhadap hak-hak politik masyarakat.
Dari gambaran diatas, sekali lagi pertanyaannya apakah perbedaan pengalaman sejarah dan perbedaan sistem nilai yang dianut oleh berbagai komunitas masyarakat mengharuskan HAM dipahami secara berbeda dan diterapkan secara berbeda pula ?
Perlu diingat, bahwa HAM adalah suatu kategori das sollen dan bukan kategori das sein. Apa yang dirumuskan dalam Universal Declaration of Human Rights pertama-tama patutlah dipandang sebagai cita-cita ideal yang wajib dipenuhi dan dijalankan oleh masyarakat yang beradab dan bukanlah kenyataan empiris yang sudah ada dan dapat dipahami dalam kehidupan setiap hari. Dengan istilah ilmu sosial, menurut Nasikun, HAM adalah kategori normatif yang bersifat preskriptif dan bukan kategori empiris yang bersifat deskriptif (Nasikun, 2001).
Pernyataan ini tidak menyangkal kenyataan bahwa norma-norma itu barulah ada manfaatnya dan artinya kalau diwujudkan dalam kenyataan dan diterjemahkan menjadi empiris dan historis. Akan tetapi, argumen sebaliknya adalah suatu logical fallacy, kalau dikatakan bahwa HAM tidak sesuai dengan kebudayaan setempat karena tidak bisa dilaksanakan, alasan seperti ini kira-kira sama dengan mengatakan bahwa pemerintahan bersih tidak cocok di Indonesia karena terjadi begitu banyak korupsi dan kolusi atau bahwa lampu lalu lintas bukanlah suatu yang cocok dengan kebudayaan Indonesia karena setiap orang menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi justeru pada saat lampu merah menyala.
Yang perlu ditekankan adalah bahwa seandainya pun HAM sebagaimana yang kita kenal sekarang, masih mengalami berbagai hambatan dalam penerapannya di tanah air kita, hal itu tidaklah dengan sendirinya membenarkan bahwa perlu dicari konsepsi HAM lain yang lebih sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Ini adalah argumen untuk menjawab keberatan pada tingkat teoritis menyangkut masalah perbedaan budaya dan konsekuesninya untuk konsepsi HAM dan pelaksanaan HAM dalam kehidupan hukum dan politik.
Di tingkat praktis, HAM harus dilaksanakan di Indonesia karena negara kita telah menyepakati dokumen Universal Declaration of Human Rights, dimana persetujuan ini diberikan secara ipso facto pada waktu Indonesia menjadi anggota PBB pada tahun 1948.
Keberatan teoritis diatas barulah ada artinya kalau dokumen HAM secara eksplisit ditolak oleh negara RI ataupun kalau pada saat itu dengan berbagai pertimbangan negara kita menarik diri dari keanggotaannya dalam PBB. Sekalipun hal ini dilakukan, terlihat dari uraian sebelum ini bahwa argumen teoritis itu tidak begitu kuat karena keberatan budaya pada dasarnya bersifat empiris, sedangkan dokumen hak-hak asasi manusia itu bersifat normatif.
Sedangkan alasan kedua, bahwa Universal Declaration of Human Rights adalah suatu dokumen yang berisi nilai-nilai budaya yang berasal dari Barat amat didominasi oleh pandangan dan kebudayaan dari kelas borjuasi.
Apakah nilai-nilai budaya dari suatu tempat tertentu dapat begitu saja ditransfer dan dipindahkan ke tempat lain dengan konteks sejarah dan budaya yang barangkali amat berbeda ? Bukankah hal ini merupakan pemaksaan untuk menerima nilai-nilai suatu kelompok budaya oleh kelompok budaya lainnya ?
Keberatan ini dapat dijawab, nilai-nilai budaya pada dasarnya diterima bukan karena asal usulnya, melainkan karena sesuai tidaknya nilai-nilai tersebut dengan kebudayaan budaya yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Demikian pula harus dikatakan bahwa diterimanya seperangkat nilai budaya tergantung dari keputusan pihak yang menjadi resipien budayanya.
Dalam interaksi budaya, asal usul nilai-nilai budaya, seperti juga asal usul benda-benda budaya tidaklah begitu penting. Asal usul itu barangkali penting untuk sejarah kebudayaan, tetapi sama sekali tidak penting untuk kehidupan dan perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Siapakah yang masih mempersoalkan bahwa komputer yang sekarang kita gunakan berasal dari teknologi militer yang dikembangkan selama perang dingin baik oleh pihak NATO maupun oleh pihak Pakta Warsawa dan yang sekarang telah dibuka untuk umum dan boleh dijadikan komoditi yang komersial sifatnya ? Siapa pula yang masih peduli bahwa celana panjang, jas, dasi yang kita kenakan sekarang berasal dari kebiasaan orang-orang di Barat yang mengenakannya pada musim dingin untuk menutup dirinya dari dinginnya udara ? Demikian pula siapa yang masih ingat bahwa berbagai jenis bakmi yang kita makan setiap hari sekarang di Indonesia berasal dari sebuah negeri utara yang bernama Tiongkok atau China.
Jadi, asal usul budaya dapat dikatakan tidak lagi menentukan apakah suatu nilai dan benda budaya dapat atau tidak dapat diterapkan di suatu tempat. Yang menentukan dalam hal ini adalah penerimaan dari pihak resipien berdasarkan sesuai tidaknya nilai - nilai tersebut dengan kebutuhan budaya yang ada dalam suatu kelompok budaya.
Kembali ke persoalan HAM, maka sekalipun HAM bisa dibuktikan berasal dari negara-negara Barat yang mewakili sistem nilai kelas borjuasi, tetapi hal ini tidak berarti bahwa HAM dengan sendirinya tidak dapat diterapkan di tanah air kita.
Dalam kasus kita, Indonesia telah menyatakan diri setuju untuk menerima perangkat nilai-nilai Universal Declaration of Human Rights dengan menjadi anggota PBB. Ini artinya negara dan pemerintah kita sebagai pihak resipien telah sepakat bahwa nilai-nilai tersebut dibutuhkan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia.
Dengan demikian, asal usul nilai-nilai tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan alasan bahwa seharusnya ada konsep HAM lain yang lebih disesuaikan dengan kebudayaan - kebudayaan yang hidup di negeri ini karena kita tidak mau di-dikte begitu saja oleh sistem nilai suatu negeri lain dan dari suatu kebudayaan lain.
Korelasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dari Perspektif Historik
Hubungan demokrasi dan HAM sudah dinyatakan dalam banyak kesepakatan seperti Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights, Solidarity Rights dan berbagai macam konvensi tentang hak asasi manusia.
Demokrasi itu bisa terwujud kalau ada hak asasi manusia, terutama International Covenant on Civil and Political Rights, dan karena hak dan kebebasan politik itu baru pada tahap potensial, karena dalam praktek belum tentu semua bisa menggunakan itu, maka International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights juga menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi.
Sesungguhnya dua jenis HAM itu merupakan prasyarat untuk wujudnya demokrasi. Tetapi supaya HAM ini semuanya bisa ditegakkan seterusnya, maka pluralisme politik dan the rule of law itu menjadi instrumen yang sangat strategis untuk menegakkan hak asasi manusia. HAM tidak bisa ditegakkan kalau Rule of Law itu tidak bisa ditegakkan, karena itu demokrasi, hak dan kebebasan politik itu bisa dijamin kalau dua jenis HAM tadi dijamin, karena dari segi ini HAM itu merupakan prasyarat bagi demokrasi.
Berdasarkan hasil studi banding yang dilakukan di beberapa negara, The Rule of Law tidak bisa dipisahkan dengan HAM (Sunaryati Hartono, 1982).
Berdasarkan penelusuran sejarah, konsep dasar hak asasi manusia mulai berkembang dalam wacana politik di Eropah Barat pada abad-abad pertengahan sejalan dengan berkembangnya paham kebangsaan yang kemudian mengilhami terbentuknya negara-negara bangsa yang modern dan sekuler.
Ketika itu negara bangsa yang tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh pola yang sentralistis di tangan para penguasa tunggal yang bekerja secara absolut yang semula legitimasinya didasarkan pada konsepsi teokrasi.
Keadaan ini tentu saja memancing timbulnya berbagai konflik antara para penguasa dan warga negara atau antara kekuasaan dan kebebasan.
Kekuasaan raja-raja merambah ke suatu negeri beserta seluruh rakyatnya dan hanya berkuasa atas teritori tertentu dan dalam urusan-urusan duniawi saja. Hal ini kemudian memunculkan persoalan tentang legitimasi atas kekuasaan seorang raja.
Yang dipertanyakan adalah dari mana raja memiliki kekuasaan atas teritori dan urusan keduniawian. Persoalan itu tidak muncul ketika teori ketuhanan dalam wacana kedaulatan masih berlaku sebab dengan teori ketuhanan raja yang berkuasa dianggap memiliki legitimasi sebagai wakil Tuhan atau pelaksana kekuasaan Tuhan.
Bahkan ada yang mengaku dirinyalah Tuhan itu. Namun, setelah kekuasaan raja-raja dan kaisar itu dibatasi pada urusan-urusan duniawi atau disekularkan, sehingga raja dan kaisar tidak lagi berkuasa atas urusan-urusan rohani umat yang universal dan yang melintasi teritori dan kebangsaan, mulai timbullah pertanyaan tentang dasar legitimasi bagi seorang raja.
Sekularisasi kekuasaan raja-raja ditimbulkan oleh konflik yurisdiksi antara raja dan gereja (Paus) yang berkuasa pada abad ke-13 dan ke-14. Pada satu pihak raja dengan lambang kekuatan nasionalnya melakukan ekspansi untuk melebarkan kekuasaannya atas wilayah-wilayah lain beserta seluruh penduduknya yang sebangsa, sedangkan Paus berusaha menegakkan kekuasaan politik gerejanya atas semua insan yang beragama Kristen tanpa membedakan kebangsaan dan wilayah yang didiaminya.
Benih sekularisasi atas kekuasaan raja ini sebenarnya dimulai dari pernyataan Paus Gregorius VII yang pada tahun 1075 mengeluarkan Dictatus Papae. Sangat berbeda dengan pandangan Augustinian yang berkembang sebelum itu, Dictatus Papae ini ternyata memberi pengakuan atas kekuasaan kaisar dan raja-raja untuk memerintah suatu teritori terbatas tertentu dalam masalah-masalah duniawi meskipun tetap dikatakan bahwa kedudukan raja itu berada di bawah Paus dan pendeta.
Dari sini, dasar legitimasi kekuasaan raja yang semula bisa dikaitkan dengan Tuhan menjadi tidak ada lagi, karena urusan perintah Tuhan atau pembinaan rohani masyarakat dilakukan oleh Paus dan para pendeta atau gereja-gereja.
Raja tidak berkuasa atas nama Tuhan karena yang berkuasa atas nama Tuhan adalah Paus, pendeta-pendeta, dan gereja-gerejanya, tetapi berkuasa karena manusia melalui kesepakatan atau perjanjian masyarakat (social contract).
Di dalam rasionalisasi ini disebutkan bahwa raja berkuasa karena ada perjanjian masyarakat yang memberi kekuasaan duniawi kepada raja untuk mengatur perbedaan kepentingan yang kerapkali berbenturan ketika manusia masih dalam status naturalis. Dengan teori ini para penduduk yang tadinya dikuasai secara mutlak oleh raja menjadi berani menyatakan statusnya sebagai warga negara yang melalui suatu kontrak sosial yang konstitusional dan legal memberi amanat untuk memerintah kepada mereka yang dipercaya dapat menata dan mengelola kehidupan para warga negara itu.
Dengan rasionalisasi ini pula menjadi jelas bahwa sumber kekuasaan (legitimasi) raja atau pemerintah itu adalah rakyat dengan kedaulatannya. Inilah akar teori kedaulatan rakyat yang kemudian disebut demokrasi. Dengan teori ini, dasar kekuasaan negara itu bukan lagi vox Dei (suara Tuhan), tetapi vox populi (suara rakyat) meskipun kerapkali keduanya disetarakan atau yang satu dinisbahkan ke yang lain melalui ungkapan vox populi, vox Dei `suara rakyat adalah suara Tuhan’. Inilah dasar legitimitas yang baru (menggantikan teori kedaulatan Tuhan) bagi kekuasaan pemerintah.
Jadi, sebenarnya demokratisasi dalam ketatanegaraan di Eropa Barat itu pertama-tama tidak muncul karena reaksi penolakan terhadap sentralisasi clan absolutisme kekuasaan negara dan pemerintahan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sekularisasi kekuasaan tersebut yang semula disandarkan pada teori ketuhanan atau teokrasi (untuk) kemudian diberi rasionalitas baru yakni kedaulatan rakyat atau demokrasi (Mahfud MD, 1999 : 96).
Pada proses pencarian keseimbangan ulang antara kekuasaan dan kebebasan dalam proses sekularisasi dan demokratisasi itulah lahir ide konstitusionalisme yang hendak menjamin kebebasan asasi manusia dalam kedudukannya sebagai warga di hadapan negara. Dengan demikian, gagasan konstitusionalisme jelas bukan merupakan fungsi residual kekuasaan negara beserta aparat pemerintahannya, melainkan sebaliknya konstitusi itu merupakan fungsi residual kebebasan dan hak-hak dasar manusia yang diserahkan (sebagai sisa) kepada negara.
Artinya, besar kecilnya kekuasaan negara itu akan sangat ditentukan oleh kesediaan warga negara menyisakan sebagian hak dan kebebasannya untuk diurus (diamanatkan kepada) negara melalui kesepakatan di antara mereka.
Dan kesepakatan tentang residu hak dan kebebasan yang diamanatkan kepada negara itulah yang kemudian dituangkan di dalam konstitusi dan berbagai jabaran implementatifnya ke dalam undang-undang (Mahfud, 1999).
J.J. Rousseau dapat dicatat sebagai salah seorang pemikir besar yang memberi konstribusi bagi gagasan seperti ini ketika mengatakan bahwa dasar kekuasaan negara adalah suatu kontrak antara seluruh masyarakat untuk membentuk suatu pemerintahan yakni segolongan manusia yang diberi kuasa untuk menjalankan pemerintahan dengan batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi, tidak lagi berdasarkan teori ketuhanan tetapi berdasarkan kedaulatan rakyat.
Gagasan untuk membatasi kekuasaan negara yang dapat menjamin kebebasan dan hak dasar warga negara pada awalnya memang dilontarkan oleh pemikir dan politisi yang cenderung mewakili kepentingan kaum aristokrat dan borjuis elit (seperti Magna Charta 1215 atau Habeas Corpus 1689 di Inggris).
Namun, sejak abad ke-18 paham konstitusionalisme itu kian menjadi populis sehingga - tidak lagi terbatas pada aristokrat dan borjuis elit melainkan lebih ditekankan pada seluruh warga negara.
Pada Revolusi Kemerdekaan Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis 1789 sifat populis tampak sangat kuat pada perjuangan konstitusionalisme yang juga menuntut dibangunnya negara-negara bangsa yang berdasar atas hukum (rechtsstaat dan the rule of law).
Konsep rechtstaat menggariskan ciri-ciri : (1) adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan HAM, (3) Pemerintahan berdasarkan peraturan, dan (4) Adanya peradilan Administrasi.
Sedangkan ciri-ciri pada the rule of law adalah : (1) Adanya supremasi aturan-aturan hukum, (2) Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan (3) Adanya jaminan perlindungan HAM.
Sebenarnya pengalaman sejarah Amerika itulah yang banyak memberi ilham bagi munculnya tuntutan untuk memberikan pangakuan HAM bagi khalayak karena sejarah Amerika sendiri memang tidak pernah mengenal kelas aristokrat. revolusi borjuis di Perancis 1789 yang kemudian berubah total menjadi revolusi rakyat yang sangat terkenal sebagai Glorious Revolution itu sebenarnya diilhami oleh revolusi di Amerika 1776 yang sangat populis itu.
Mengingat pentingnya kedudukan hak-hak asasi manusia, yang ternyata mempunyai hubungan dasar yang erat dengan struktur dan merupakan inti daripada sistem demokrasi yang berkaitan dengan martabat manusia, kiranya tidak berlebihan jika hak-hak asasi manusia itu disebut dengan : sudut susila demokrasi, (Koentjoro Purbopranoto, 1975 : 88).
Setelah Perang Dunia II bermunculan negara-negara bangsa di Asia dan Afrika yang meniru model negara-negara bangsa yang pernah berkembang sebelumnya di Eropa. Kenyataan itu dapat dipahami sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa para nasionalis clan perintis kemerdekaan di Asia dan Afrika merupakan tokoh-tokoh yang mengalami pendidikan Eropah dari para pendidik kolonialnya.
Mereka memang tidak secara total meniru model Eropa melainkan melakukan modifikasi sesuai dengan tuntutan kondisi sosio-kultural tanpa meninggalkan konsep pokoknya. Meskipun mereka dapat memahami semua substansi kognitif tentang negara bangsa seperti di Eropa, dalam kenyataanya tidak mudah untuk begitu saja menghayati tradisi ketatanegaraan Eropa dengan segala nilai-nilai dasarnya.
Ada kecenderungan pada para nasionalis bumiputera untuk bersikap formalistik dalam persoalan persoalan ketatanegaraan dan politik. Oleh sebab itu, meskipun para nasionalis negara-negara Asia dan Afrika itu cukup pandai menyusun konstitusi seperti yang berkembang di Eropa, sesungguhnya mereka tidak banyak memikirkan atau bermaksud merujuk ke dasar-dasar konstitusionalisme yang mendasari berbagai konstitusi di negara negara-negara Eropa. Ini disebabkan oleh pengaruh akar budaya mereka.
Menurut Ignas Kleden, sebagaimana dikutip Rhoda E. Howard menegaskan bahwa kontekstualisasi demokrasi dipahami secara berbeda khususnya yang terjadi di Asia. Atas nama “nilai-nilai Asia” menjadi alasan dan dalih yang membenarkan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan pelanggaran hak-hak politik masyarakat karena baik pembangunan ekonomi (dalam versi Lee Kuan Yew), maupun pembangunan politik (dalam versi Soeharto) dianggap dijalankan oleh Negara (Rhoda E. Howard, 2000).
Implementasi Demokrasi di Indonesia dari Perspektif Hak-Hak Sipil
1. Implementasi hak-hak sipil di Indonesia
Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak - hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.
Hak-hak sipil (Civil Rights) dalam pengertian yang luas, mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan, merupakan hak yang dinikmati oleh manusia dalam hubungannya dengan warga negara yang lainnya, dan tidak ada hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, salah satu jabatan dan kegiatannya (Subhi, 1993 : 236)
Hak - hak sipil (kebebasan-kebebasan fundamental) meliputi hak-hak berikut :
1) hak hidup;
2) hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;
3) hak bebas dari perbudakan;
4) hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
5) hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri;
6) hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;
7) hak atas praduga tak bersalah.
8) hak kebebasan berpikir;
9) hak berkeyakinan (consciense) dan beragama;
10) hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
11) hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
12) hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
13) hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
14) hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum; dan
15) hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Masuknya pasal-pasal Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Ir.Soekarno dan Mr.Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukkanya konsep hak asasi manusia (terutama Moh. Hatta).
Munculnya dua pendapat yang berbeda tersebut, sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa “kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet (Undang - Undang Dasar) menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial) yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong - royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Drs.Mohammad Hatta, antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan sampai menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat.
Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap - tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara”.
Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad Yamin.
Dari kedua pendapat di atas, maka memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945, rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Drs.Mohammad Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter.
Sampai memasuki abad ke-21, persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional.
Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional dan telah dibentuk lembaga yang berkomitmen melindungi hak asasi manusia, tetapi belum menjamin bahwa perlindungan hak asasi manusia telah dilaksanakan.
Lukman Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator bahwa suatu pembangunan telah melaksanakan hak-hak asasi manusia apabila telah menunjukkan adanya indikator-indikator, sebagai berikut :
Pertama, dalam bidang politik berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan kepentingan dalam masyarakat;
kedua, dalam bidang sosial berupa : (1) perlakuan yang sama oleh hukum antara wong cilik dan priyayi; (2) toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama dan ras warga negara Indonesia; serta Ketiga, dalam bidang ekonomi dalam bentuk tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku (Paul S.Baut, 1989 : 227)
Ketiga indikator tersebut, jika dipakai untuk melihat pelaksanaan pembangunan di Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan ekonomi, masih jauh dari yang diharapkan.
Kehidupan politik masih cenderung didominasi konflik antar elit politik sering berimbas pada konflik dalam masyarakat (konflik horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan kepentingan diri atau kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat sebagai konstiuennya diabaikan. Ingat berkecamuknya konflik di Ambon, Poso, konflik prokontra pemekaran provinsi di Papua, dan konflik antar simpatisan partai politik (akhir Oktober 2003) di Bali.
Di bidang hukum, masih terlihat lemahnya penegakan hukum, banyak pejabat yang melakukan pelanggaran hukum sulit dijamah oleh hukum, sementara ketika pelanggaran itu dilakukan oleh wong cilik hukum tampak begitu kuat cengkeramannya. Dalam masyarakat juga masih tampak kurang adanya toleransi terhadap perbedaan agama, ras konflik. Berbagai konflik dalam masyarakat paling tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA.
Sedangkan di bidang ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang (konglomerat) yang menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk berusaha. Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia begitu sulit untuk keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Ini berarti harus diakui bahwa dalam pelaksanaan hak-hak sipil masih banyak terjadi pelanggaran dalam berbagai bidang kehidupan.
Banyaknya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia, baik dilakukan oleh Pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Namun ada kecenderungan pihak Pemerintah lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan cara-cara manipulasi sehingga mengorbankan hak-hak pihak lain. Seperti kebijakan pemerintah mengenai impor beras, dirasakan sangat merugikan para petani.
Masih terbenam dalam ingatan, kasus Marsinah. Kasus yang berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993 yang berbuntut di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa rekan-rekannya. Pada 5 Mei 1993, Marsinah ‘menghilang’, yang kemudian ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan pada 9 Mei 1993 di hutan Wilangan, Nganjuk. Perkembangan pengusutan kasus ini membuktikan adanya keterlibatan 6 anggota TNI-AD dari kesatuan Danintel Kodam, Kopasus, 20 anggota Polri dan 1 orang dari Kejaksaan.
Namun perlakuan Kodim tidak berhenti pada PHK 13 orang dan tewasnya Marsinah, karena pada tanggal 7 Mei 1993masih ada 8 orang buruh PT.CPS yang juga di PHK oleh pihak Kodim di Markas Kodim (Prisma, 4 April 1994 : 71-73, Saurip Kadi, 2000 : 24)
Peristiwa berdarah di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujung Pandang pada tanggal 26 April 1996 juga menyisakan kenangan yang memilukan. Kasus yang berawal dari aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Muslim Indonesia terhadap kenaikan tarif angkutan kota (pete-pete) bagi kalangan pelajar dan mahasiswayang dikenai aturan lebih dari yang ditetapkan Menteri Perhubungan yaitu sebesar Rp.100,-. Dalam kasus tersebut, aparat keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa dengan menyerbu kampus UMI dan menembak dengan peluru tajam sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa (Surip Kadi, 2000 : 27)
Pelanggaran hak-hak sipil yang dilakukan oleh masyarakat, terutama tampak pada kasus konflik horizontal di berbagai daerah, seperti konflik berdarah di Palangkaraya, Sambas, kasus Sanggauledo, Tasikmalaya, Maluku dan Ambon.
Salah satu kebiasaan yang sudah membudaya, yaitu pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri (eigenrichting) dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik sudah sangat kuat mempengaruhi kalangan pelajar dan mahasiswa, serta pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau tertangkap tangan melakukan pencurian.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia
Mengapa pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak-hak sipil sering terjadi di Indonesia, meskipun seperti telah dikemukakan di atas telah dijamin secara konstitusional dan telah dibentuknya lembaga penegakan hak asasi manusia?
Apabila dicermati secara seksama ternyata faktor penyebabnya sangat kompleks. Faktor - faktor penyebabnya antara lain:
a. Masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep hak-hak sipil antara paham yang memandang hak asasi manusia bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham hak asasi manusia tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama dalam pelaksanaannya (partikularisme).
Di Indonesia, ada kecenderungan Pemerintah menganut partikularisme dengan alasan bahwa hak-hak sipil harus dipandang dari beragam perspektif, karena pada umumnya masyarakat dunia ketiga sangat beragam.
Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa konsep hak asasi manusia sebagiamana konsep Pancasila adalah hasil galian terhadap sejarah kehidupan bangsa. Menurut aliran pemikiran partikularisme, hak-hak sipil sudah dijamin pelaksanaannya, tidak saja secara konstitusional namun juga dalam kenyataan struktural. Aliran ini dianut oleh Pemerintah Orde Baru.
Departemen Luar Negeri RI dalam rangka membela Indonesia di berbagai forum internasional, mengajukan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yaitu : universalitas, pembangunan nasional, kesatuan hak asasi manusia, obyektivitas atau non selektivitas, keseimbangan, kompetensi nasional, dan negara hukum (Bahar, 1994 : 93)
Pernyataan Departemen Luar Negeri RI di atas, mencerminkan sikap ambivalensi. Dikatakan demikian, karena mengakui prinsip hak asasi manusia adalah universal, tetapi dalam implementasinya partikularistik. Pemahaman yang demikian dianut oleh kelompok yang mengatasnamakan Forum Eksponen’ 98 (FE 98) yang menuntut dibubarkannya Komisi Pemeriksa Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan II.
Selain alasan legalitas, juga dinilai Komnas HAM khususnya KPP HAM lebih loyal kepada kepentingan asing daripada kedaulatan Indonesia (Kompas, 25 Maret 2002). Sikap ini menunjukkan pandangan bahwa masalah hak asasi manusia adalah masalah urusan dalam negeri.
Munculnya sikap tersebut tidak lepas karena alasan untuk melindungi kepentingan negara dan pembangunan. Namun dalam kenyataannya cenderung dimanipulasi untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Meski dengan alasan kepentingan negara, tetapi bukankah eksistensi negara untuk memenuhi kepentingan manusia sebagai warganya.
Agar perbedaan antara aliran universalisme dan partikularisme tidak menjadi kendala bagi penegakan hak asasi manusia, maka perlu bersikap arif bijaksana dengan cara melihat kekurangan selama ini dalam pelaksanaan hak asasi manusia dengan belajar keberhasilan pelaksanaan hak asasi manusia di dunia internasional.
Memang harus diakui, bahwa manusia hidup dalam pelbagai masyarakat yang berlainan nilai-nilai sosial dan budaya. Tetapi harus diingat bahwa manusia memiliki semua hak manusiawi dasar yang melekat padanya karena kemanusiaannya. Sehingga, tentunya tidak dapat dibenarkan karena alasan perbedaan sosial budaya kemudian dalam implementasi hak asasi manusia, justru secara substansi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
b. Adanya dikhotomi Individualisme dan Kolektivisme yang seharusnya tidak dipandang secara kontradiktif karena hal itu merupakan fakta sosial dan masing-masing memiliki tempatnya, bahkan ada hak-hak yang memiliki dimensi individual dan kolektif.
Selama ini, pandangan yang muncul dan disosialisasikan di Indonesia, kepentingan umum harus dikedepankan dibandingkan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, ketika seseorang berusaha memperjuangkan hak-haknya sering dinilai individualistik. Pandangan yang demikian tentunya tidak menguntungkan bagi upaya penegakan hak asasi manusia. Sebab yang terjadi, dengan alasan demi kepentingan umum, maka kepentingan individu menjadi korban yang berarti hak-haknya sebagai individu tidak dapat diwujudkan.
Oleh karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana kepentingan tersebut terakomodasi. Misalnya, ketika hak milik pribadi diperlukan oleh negara untuk kepentingan pembangunan, maka orang yang bersangkutan tetap harus dijamin hidup secara layak misalnya dengan pemberian ganti rugi dengan pertimbangan rasional dan bijaksana.
Atau memperhatikan kenyataan yang ada, ketika hak-hak kebebasan individu di kedepankan, maka potensinya sebagai manusia akan berkembang secara optimal dan hal itu akan berimbas kepada kemajuan masyarakatnya, karena dalam kebebasan individu, bukankah masih ada tanggung jawab sosial? Oleh karena itu, pandangan yang mengkontradiksikan antara individualisme dan kolektivisme dinilai kurang tepat karena hal itu merupakan kenyataan sosial dan manusiawi.
c. Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu Polisi, Jaksa dan Pengadilan.
Ketua Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Sjahrir pernah berpendapat tentang korupsi yang merajalela. Ia menyatakan, “Rakyat sadar bahwa penangkapan pembesar politik dan pengusaha kakap itu sekedar tawar-menawar bisnis diantara politisi dan pembuat hukum, pengacara dan penuntut umum, polisi dan keluarga terdakwa” (Kompas, 23 Maret 2002)
Dalam kondisi yang demikian, ada kecenderungan kepercayaan masyarakat terhadap berfungsinya lembaga penegak hukum menurun. Jika kondisi kurang percaya masyarakat terhadap lembaga penegak hukum semakin menguat, maka dapat dipastikan masyarakat akan menggunakan cara-cara lain di luar prosedur hukum dalam mengatasi berbagai masalah konflik atau bentuk pelanggaran hukum. Hal ini tentunya akan mempersulit upaya penegakan hak asasi manusia.
d. Pemahaman yang belum merata baik di kalangan sipil maupun militer.
Kurangnya pemahaman tentang hak asasi manusia di kalangan militer, terlihat dari sikapanya yang bertindak tidak proporsional, represif, bahkan nyaris seperti menghadapi musuh dengan menggunakan peluru tajam yang mematikan ketika berhadapan dengan para demonstran yang sedang menyuarakan pendapatnya.
Upaya untuk menempatkan militer hanya pada fungsi pertahanan dan Polri pada fungsi keamanan merupakan bukti bahwa militer sering terjebak pada pelanggaran hak asasi manusia. Demikian halnya dengan Polri yang telah lama dididik dengan pola militer, maka masih terlihat dengan jelas perilaku Polri yang tidak banyak berbeda dengan perilaku militer dalam menangani masalah-masalah ketertiban masyarakat, yaitu represif dan mengedepankan kekerasan fisik. Mestinya perilaku Polri dalam upaya menertibkan masyarakat lebih mengedepankan fungsi penegakan hukum .
Johannes Johny Koynja, SH.,MH
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mataram
johnykoynja@yahoo.com
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2010/04/27/implementasi-demokrasi-di-indonesia-dari-perspektif-hak-hak-sipil/
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !