Nilai Siri' na Pacce dalam Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia
oleh Ramli Semmawi
Pengantar
Nilai - nilai kearifan lokal di masing - masing daerah kini menjadi salah satu cara untuk mengingatkan kembali putra - putri daerah untuk kembali menanamkan nilai - nilai tersebut disegala aspek.
Kearifan lokal di Sulawesi Selatan sendiri kita mengenal nilai luhur Siri' na Pacce, adapun nilai tersebut akan dijabarkan pada tulisan kali ini. Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai nilai Siri' na Pacce ini menjadikan masyarakat bagaikan kacang lupa kulit, sehingga perlu ditumbuhkan kembali nilai ini dalam masyarakat.
Dalam tulisan dari Ramli Semmawi ini nilai Siri' na Pacce dikaitkan dengan penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia. Aspek ini memang cukup sensitif dalam keseharian kita, karena kita sudah seringkali melihat perlakuan yang tebang pilih dalam menegakkan hukum kepada rakyat.
Lalu bagaimanakah Siri' na Pacce mempengaruhi sikap seseorang dalam aspek Hukum dan Keadilan ini ? Mari kita simak bersama tulisan dari Ramli Semmawi.
A. Pendahuluan
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini menjadi sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Dalam masyarakat, apapun yang menjadi falsafah hidupnya, maka itu akan menjadi pengangan yang diikuti dan sangat dijunjung tinggi olehnya. Lebih khusus lagi kesadaran hukum masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku hidup masyarakat tersebut, dan dengan memegang teguh falsafah hidupnya, mereka akan taat terhadap aturan yang dibuat dan berlaku didalamnya.
Ada hal yang menarik dalam masyarakat Bugis dengan nilai siri’ na pacce’nya, yang dalam masyarakat luar kadang kala diartikan berbeda dengan makna yang sebenarnya. Ini pun terjadi dalam masyarakat Bugis itu sendiri kadang dimaknai seperti apa yang dipahami oleh masyarakat lainnya. Yang lebih cenderung memahami siri’ na pacce’ ini pada konotasi yang negatif penuh kebencian dan kekerasan.
Ketika berbicara hukum, maka tidak terlepas dari konteks hukum dimana keberadaan suatu masyarakat itu berada, jadi ketika berbicara masalah nilai siri’ na pacce’ tidak terlepas dari konsep penegakan hukum di Indonesia, dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa penegakan hukum nasional kita sangat kuat didominasi oleh The civil law system (CIV) yaitu selalu dimulai dari penciptaan perundang-undangan, yaitu notabene bersifat abstrak.
Sebagaimana diketahui sistem tersebut berbeda dari The common law system (COL), yang pada dasarnya tidak mendasarkan pada perundang-undangan abstrak, melainkan pada penciptaan kaidah-kaidah konkret. Oleh karena itu, sistem ini lebih mendasarkan pada keputusan pengadilan atau sistem stare decisis.[1]
Memahami bentuk kebijakan negara dalam penegakan hukum yang sangat formalistis legalis (menganggap undang-undanglah yang menjadi acuan dalam penegakan hukum), maka nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan rasa keadilan masyarakat seringkali terabaikan demi kepentingan kelompok tertentu yang mempunyai kekuasaan. Hal ini dikarenakan penguasa kadangkala menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan untuk menindas atau pun membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bagaimana pentingnya keadilan dalam msyarakat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, sebagaimana yang cita-cita konstitusi bangsa Indonesia, dan betapa pentingnya memahami nilai-nilai siri’ na pacce’ dalam upaya penegakan hukum di negeri tercinta ini. Berangkat dari asumsi ini, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah nilai siri’ na pacce’ dapat diimplementasikan sebagai panglima dalam penegakan hukum di Indonesia ?
B. Pengertian Siri’ na pacce’
1. Pengertian siri’
Dalam pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri’ ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya sendiri. Siri’ ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.[2]
Siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji siri’ sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan siri’ yang salah sasaran. Menurut mereka, siri’ seharusnya – dan biasanya, memang – seiring sejalan dengan pacce’(Makassar) / pesse(Bugis).[3]
2. Pengertian pacce’
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.[4]
Melalui latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat).[5] Jelaslah kiranya bagaimana pandangan ini dapat dijadikan acuan dalam melihat nilai keadilan dalam masyarakat, yang seharusnya menjadi nilai yang akan dicapai dalam penegakan hukum di Indonesia.
C. Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada peristiwa pelangggaran atau kemungkinan pelanggaran dan perbuatan melawan atau kemungkinan melawan hukum, hendaknya tidak hanya dimaksudkan sebagai mempertahankan hukum dalam arti tindakan represif semata, tetapi mencakup juga tindakan preventif. Penegakan hukum secara preventif dapat dilakukan denga sistem kontrol, supervisi, memberikan kemudahan dan perhargaan (reward) bagi mereka yang menjalankan atau mentaati hukum. Penegakan hukum dari kemungkinan terjadi pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Karena hal-hal yang disebut terakhir ini (reward) termasuk penegakan hukum, maka berbagai bahan bacaan ada yang mengategorikannya sebagai suatu bentuk sanksi.[6]
Dengan demikian, sanksi tidak semata-mata dalam arati memberikan penderitaan (badan, harta benda, nyawa), tetapi termasuk juga penghargaan. Sanksi dalam arti luas ini sering disebut dengan ungkapan strik and carrot atau punishment and reward.[7]
Penegakan hukum dilaksanakan juga oleh kekuasaan pembuat undang-undang, dan kekuasaan eksekutif atau administrasi negara. Di bebarapa negara, kekuasaan membuat undang-undang berwenang menjatuhkan sanksi pada anggota yang memlanggar hukum. Kekuasaan eksekutif dan atau administrasi negara juga menegakkan hukum seperti wewenang mencabut izin, keimigrasian, bea cukai, pemasyarakatan dan berbagai tindakan administatif lainnya. Seperti halnya membuat dan menjalankan hukum, masyarakat pun berperan menegakkan hukum. Pranata perdamaian (di desa dan di kota), mediasi di luar pengadilan, konsiliasi, arbitrase merupakan contoh-contoh keikutsertaan masyarakat dalam penegakan hukum diantara mereka sendiri. Demikian pula sanksi sosial dan adat, dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk penegakan hukum oleh masyarakat sendiri. Namun perlu dicatat, tidak termasuk penegakan hukum oleh masyarakat, tindakan-tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting) seperti yang akhir-akhir ini acapkali terjadi.[8]
D. Implementasi Nilai Filosofis Siri’ na Pacce’ dalam Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia
Penegakan hukum menjadi suatu prioritas yang harus dilaksanakan bilamana suatu bangsa ingin menjadi lebih baik dan lebih berkeadilan pada masyarakatnya. Melihat dari permasalahan hukum yang terjadi dalam setiap pemerintahan suatu negara, di mana kekuasaan menjadi nomor satu dan menafikan penegakan hukum, maka akan terjadi ketimpangan dimana-mana dan akan terjadi pemerintahan otoriter dan bertangan besi. Akan tetapi bila yang menjadi acuan adalah penegakan hukum maka akan terjadi keadilan dalam masyarakat.
Di mana posisi siri’ dan pacce’ dalam penegakan hukum ini mempunyai peranan sangat penting. Sebab, dengan memegang teguh falsafah ini, maka siapapun akan menjadi lebih menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas akan lebih baik. Ini dikarenakan nilai dari siri’ dan pacce’ ini bila dijalankan dengan sebenarnya akan menjadi senjata yang ampuh dalam penegakan hukum.
Siri’ na Pacce’ bilamana dijadikan sebagai panglima dalam penegakan hukum kita, maka didapati setiap permasalahan hukum yang ada, akan terselesaikan dengan lebih baik dan dapat memberikan rasa keadilan yang lebih baik pula pada masyarakat. Ini dikarenakan dari memahami makna dari falsafah ini, maka sebagaimana yang dikemukan Andi Zainal, bahwa siri’ identik dengan manusia, yang berarti harkat dan martabat manusia. Kalau harkat dan martabat itu dinodai maka timbullah perasaan aib pada orang yang dihina itu.[9] Bila hal ini dipegang teguh oleh penegak hukum kita, maka mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akan menjadi aib bagi mereka.
Jadi mereka akan melakukan atau memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan dengan seadil-adilnya, dikarenakan, pertama; mereka tidak ingin mendapat siri’ (malu) dari sebuah keputusan yang menurut rasa kemanusiaan hal itu adalah sebuah kesalahan, kedua; mereka merasa mencederai rasa keadilan dalam masyarakat, dikarenakan mereka telah memberikan keputusan yang salah baik di mata hukum maupun dalam masyarakat.
Sejalan dengan pandangan di atas menarik jika apa yang dipesankan Karaeng Matoaya kepada putranya Kareang Pattingalloang, yang dikutip dan dimasukkan Dr. H. F. Matthes dalam buku Makassaarsche Chrestonanthic halaman 240 sebagai berikut:
Ala apa lakupiturungiangko, iamo anne kanaya, limpanrupaya, punna nualleanja. Antu pokokna guak mabijaka, limai rupanna. Sekremi rupanna punna niak nuguakang, ciniki appakna gauka. Makaruana, teako larroi nipakaingak. Makatalunna, mamallakko ri tumalam-busuk. Makaappakna, teako mammpilanggeri kareba, ia pilanngeri kammatojenna. Makalimanna, iapa nusisala makukuppako.
(Tidak ada yang akan aku berikan kepadamu, selian daripada kata-kata yang lima macam ini, sekiranya engkau mau memperhatikannya. Adapun pokok perbuatan yang baik itu ada lima jenisnya. Pertama, kalau engaku hendak melakukan sesuatu, pandanglah akan ujung/akhir perbuatan itu. Kedua, janganlah engkau marah kalau dinasehati. Ketiga, takutlah kepada orang yang jujur. Keempat, janganlah hendaknya mendengarkan sas-sus (kabar angin), dengarkan yang benar saja. Kelima, engaku baru berselisih, sekiranya engaku dalam kemarahan).[10]
Satu di antara kelima jenis amanat ini yang paling menarik perhatian dikemukakan di sini ialah amanat ketiga. Mamallakko ri tumalambusuk! (Takutlah engkau kepada orang jujur!). suatu amanat yang perlu mendapat perhatian dan perlu direnungkan dalam hati setiap penegak hukum. Karena biasanya, seseorang itu takut kepada seseorang orang lain karena kekayaannya, berhubung karena orang kaya itu banyak uangnya. Bukankah dalam bahasa Makassar kita bertemu dengan sebuah ungkapan yang berbunyi Tena takulle doeka (tidak ada yang tidak dapat dikerjakan uang itu). Oleh karena itu, dalam bahasa Makassar yang itu biasa disebut Daeng Makulle (si Sanggup). Ada pula seseorang yang takut kepada seseorang orang lain itu karena pangkatnya. Sebab, orang berpangkat itu memiliki kekuasaan. Tetapi, berbeda dengan apa yang dijelaskan itu, Karaeng Matoaya justru berpesan kepada putranya supaya takut kepada orang yang jujur.[11]
Sebagai penegak hukum dengan tanggungjawab yang sangat tinggi dan menyangkut hidup mati seseorang, maka melaksanakan tugas dengan penuh kejujuran merupakan sebuah keharusan. Jujur pada diri sendiri, jujur kepada sesama manusia, jujur kepada cita-cita, dan jujur kepada Tuhan Semesta Alam. Inilah nilai dari pesan Karaeng Matoaya kepada putranya. Dan hal ini sangat sesuai dengan nilai siri’ pada posisi yang sebenarnya.
Menegakkan hukum terutama memberantas kejahatan tidak boleh ditunda-tunda, karena kejahatan itu sendiri akan menguasai kita dan menghancurkan apa yang ada. Apa yang terjadi di Indonesia dengan usaha penegakan hukumnya menghadapi kendala, karena rakyat hampir-hampir tak mempercayai lagi lembaga penegakan hukum kita. Ada hal menarik dari negara-negara tetangga kita, seperti Mengapa Pemerintah Korea Selatan berani konsekuen menegakkan hukum? Jawabnya, karena mereka tahu kunci menyelamatkan negara dari ancaman kritis kewibawaan dan mengatasi krisis ekonomi, ialah kepada rakyat harus diperlihatkan bahwa hukum berlaku tegas tanpa diskriminasi.[12] Inilah yang seharusnya dilakukan oleh para penegak hukum dan pemerintah kita.
Semua kegiatan di bidang hukum ini perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. Misalnya, untuk menegakkan keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan putusan yang adil, tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan penyidikan yang sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian berkekuatan hukum tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukuman yang tertib sesuai dengan bunyi vonis.
Bisa dibayangkan, apabila hasil penyidikan kurang akurat kemudian hakim menerimanya dan dijadikannya dasar pemeriksaan di muka pengadilan, maka hasil proses peradilan tersebut akan dapat mengecawakan. Contoh, kasus Lingah bin Sentana dan kawan-kawannya di Ketapang (Kalimantan Barat). Mereka ini dengan dakwaan melakukan pembunuhan telah divonis. Bahkan, mereka sudah menjalani pidananya, yang ternyata bukan mereka pelakunya.[13]
Dalam praktik penegakan hukum, khususnya pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana di muka pengadilan, sering trjadi hal-hal yang mengejutkan. Sering pula ada perkara yang sesungguhnya sederhana, dalam arti tidak sulit pembuktiannya, tetapi di pengadilan dinyatakan bebas oleh hakim.
Menghadapi peristiwa seperti ini biasanya dengan mudah saja orang terus menuduh hakimnya tak fair dalam memutus perkara tersebut. Memang buktinya kesalahan tertuduh. Artinya kalau jaksa penuntut umum bersungguh-sungguh membuktikan, biasanya dapat dibuktikan kalau memang peristiwa pidana itu terjadi.
Untuk mencapai hasil kerja yang posistif, jaksa tersebut perlu lebih dulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Dalam dunia modern dewasa ini pengaruh negatif cenderung semakin lebih kuat, sehingga kalau mental kita kurang tangguh, mudah kita tergiring mengikuti hawa nafsu yang merusak keadilan tersebut.
Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara yang memenuhi rasa keadilan tentulah setiap unit yang turut serta dalam penyelesaian perkara itu berada dalam kondisi yang dapat diharapkan untuk berbuat jujur. Tentu bukan saja hakim yang wajib memututs dengan adil, dan bukan hanya jaksa penuntut umum yang perlu cermat dan profesional dalam mengemban tugasnya, tetapi sejak dimulainya awal penyidikan oleh aparat penyidik (khususnya Kepolisian) perlu terjaga kondisi agar aparat penyidik tersebvut dapat dapat menyelesaikan tugasnya dengan cermat dan sempurna.[14]
Untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang menjadi penegak hukum, maka mereka harus mempunyai siri’ dan pacce’ dan menjiwai prinsip ini. Dengan begitu apa yang diharapkan dari penegak hukum kita dapat dicapai yaitu rasa keadilan dalam penegakan hukum, adanya kepastian hukum dan good government. Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipernuhi dalam penegakan hukum. Menurut Mertokusumo, kepastian hukum merupakan; perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.[15]
Dalam penegakan hukum pun, maka seharusnya kita berusaha untuk melaksanakan nilai pacce’ dalam pengertian menerima kembali orang yang telah menjalani masa pidananya dan tidak menapihkan mereka dalam pergaulan setelah lepas dari menjalani hukuman.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disumpulkan sebagai berikut:
Pertama; sebenarnya, bagi seseorang yang konsekuen dalam pendirian dan dalam mempertegak siri’ dan pacce’, baik seorang petani, pedagang, buruh, pegawai atau pun sebagai pejabat, kemungkinan terjadinya suatu penyelewengan atau penyalagunaan pada bidangnya masing-masing tidak akan terjadi.
Kedua; dengan membudayakan siri’ dan pacce’ dalam kehidupan sehari-hari dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari falsafah hidup Bugis-Makassar ini akan menolong orang untuk selalu bersikap adil terhadap diri sendiri, orang di sekitarnya, dan bahkan kepada lingkungannya.
Inilah yang menjadi pesan dari falsafah hidup siri’ na pacce’, diharapkan bagi setiap Penegak Hukum dan seluruh masyarakat untuk senantiasa menjunjung tingginya demi tegaknya keadilan dan kebenaran dalam proses hukum.
Daftar Pustaka
Andi Zainal Abidin. 19999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet. Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar.
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Cet. I, Penerbit UII Press, Yogyakarta
Baharuddin Lopa. 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta.
Charles Himawan, 2003, Hukum sebagai Panglima, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Christian Pelras, 2006, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta.
E. Fernando M. Manullang. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Cet. Pertama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
H. D. Mangemba, 2002, Takutlah pada Orang Jujur (Mozaik Pemikiran), Penerbit Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
M Syamsudin dkk, 1998, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Catatan Kaki
[1] M Syamsudin dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 167.
[2] H. D. Mangemba, Takutlah pada Orang Jujur (Mozaik Pemikiran), Penerbit Universitas Hasanuddin dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 218-219.
[3] Christian Pelras, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta, 2006. hlm. 251.
[4] Ibid. , hlm. 219. dan Lihat Juga, Christian Pelras, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta, 2006. hlm. 252-253.
[5] Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta., 2003, hlm. 3-4.
[6] Lihat, P.S. Atiyah, Law & Modern society, 1995 dalam Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Cet. I, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm. 33-34.
[7] Ibid., hlm. 34.
[8] Ibid., hlm. 35.
[9]Andi Zainal Abidin, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet. Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar, 1999, hlm. 143.
[10] H. D. Mangemba, loc. cit., hlm. 189-190.
[11] Ibid.,hlm. 190.
[12]Baharuddin Lopa. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta, 2002, hlm. 130.
[13] Ibid., hlm. 133.
[14] Ibid., hlm. 137.
[15] E. Fernando M. Manullang. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Cet. Pertama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 92.