Request Artikel !
Seperti yang kita ketahui sebuah perang tentunya akan merugikan kedua belah pihak baik yang bersengketa mauapun yang disengketakan , bahkan dapat mengakibatkan kehancuran bagi kedua belah pihak .
Namun kadangkala perang dibutuhkan untuk menyelesaikan persengketaan , inilah yang disebut dnegan "War for Peace" , hal ini senada dengan pendapat Oppenheim yang berbunyi : "perang adalah persengketaan antara dua Negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh yang menang (Haryomataram,1994)".
Namun dalam perang selain pihak - pihak yang bersengketa , terdapat orang - orang sipil yang tidak tahu menahu persoalan tersebut . Maka perlunya ada aturan yang menjadi aturan bagi pihak yang akan berperang , aturan tersebut dalam Hukum Internasional sebagai hukum humaniter Internasional, yakni ketika terjadi suatu sengketa antar Negara dan pada akhirnya harus melalaui jalan perang maka hukum ini mengatur mengenai hak dan kewajiban Negara-negara yang sedang berperang dan juga dengan pihak ke-tiga yang tidak terlibat perang ( netral ).
Dari segi pengertian , Hukum Humaniter Internasional (juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia dan membatasi penderitaan di masa perang.
Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama dalah Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara universal. Konvensi-konvensi ini mengandung kelemahan dalam beberapa aspek seperti perilaku pertempuran dan perlindungan orang sipil akibat pertempuran.
Tetapi perlu sekali digaris bawahi bahwa tujuan pengaturan perang melalui hukum Perang tidak dimaksudkan untuk menjadi semacam kitab hukum yang berisi tentang aturan “permainan perang”. Melainkan untuk alasan-alasan perikemanusiaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan konflik bersenjata diizinkan.(Starke, 1988)
Pada abad ke 18, Jean Jacques Rosseau dalam bukunya the Social Contract telah mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral (ICRC,1999:1). Moral dalam hukum Perang merupakan suatu konsep yang sangat adiluhung. Konsep ajaran inilah yang kemudian menjadi landasan hukum Humaniter Internasional atau hukum perang.
Konsep ini berfungsi untuk mencegah kekejaman yang menimpa penduduk sipil dalam perang. Sedangkan konsep penghormatan terhadap kemanusiaan di dalam negeri, telah diikrarkan oleh para founding fathers dalam preambule UUD 1945, Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Menurut konvensi Jenewa 1949, orang-orang sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan ketika peperangan berlangsung. Perlindungan umum tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Artinya dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan, dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34, yakni :
1. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan;
2. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani;
3. Menjatuhkan hukuman kolektif;
4. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan;
5. Melakukan pembalasan ( reprisal );
6. Menjadikan mereka sebagai sandera;
7. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi.
Selain itu, Konvensi juga mengatur khusus mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan ( safety zones ), dengan persetujuan bersama antara pihak yang bersangkutan (pasal 14 Konvensi IV ). Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang, yaitu orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan yang memiliki anak-anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak.
Namun demikian peperangan merupakan jalan terakhir bagi penyelesaian sengketa , masih ada cara lain yang disarankan oleh beberapa ahli (baca juga : Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik) . Walaupun ada peribahasa yang menyatakan "Si Vis Pacem Para Bellum" yang berarti jika anda ingin damai maka bersiaplah berperang . Namun sekali lagi saya tekankan disini perang bukan pemecahan utama dari sebuah persengketaan .