Oleh. Mohammad Takdir Ilahi*
Upaya pelestarian budaya baca di tengah-tengah kehidupan masyarakat, pada dasarnya tidak lepas dari sebuah kesadaran anak bangsa. Karena itu, kesadaran ini tidak boleh berhenti, mandeg dan ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas ke tingkat berikutnya mulai dari tingkat "kesadaran naif" sampai pada tingkat "kesadaran kritis", sehingga sampai pada kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni "kesadarannya kesadaran"(the consice of the consciousness). (Paulo Freire, 2003).
Kesadaran, pada gilirannya menjadi sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh masing-masing individu. Karena melalui proses inilah, sebuah idealisme yang menyangkut masa depan bangsa dapat dilaksanakan sesuai dengan tingkat kesadaran kita, sehingga optimisme yang tinggi dapat menjadi acuan fundamental dalam merealisasikan dambaan tersebut.
Aktivitas membaca buku dalam kehidupan begitu sangat penting. Mengingat dalam sejarah kehidupan manusia, buku memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Namun kedahsyatan buku tidak akan ada artinya, kalau buku tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh, apalagi dibaca.
Implikasi membaca bagi seseorang begitu sangat besar pengaruhnya. Membaca akan membuka cakrawala kita pada peningkatan wawasan keilmuan yang sangat dibutuhkan dalam membangun wacana berpikir secara integral. Membaca, pada akhirnya akan membawa pada petualangan intelektual yang mengasyikkan dan menakjubkan. Sehingga mampu menguasai segala informasi yang dibutuhkan dalam kehidupan. Maka tak heran, ketika Gola Gong, menyatakan bahwa "hanya dengan buku kita dapat menggenggam dunia; menjelajah pemikiran dan imajinasi yang terdapat di jagat raya". (Jawa Pos/ 21/ 06/ 06).
Kenyataan yang diperoleh dari berbagai jenis buku yang dibaca, pada akhirnya memilih diperlukan untuk kebutuhan membaca, dan tiadanya bahan bacaan seolah-olah mengakibatkan "lapar" yang tak teratasi, kecuali dengan kehadirannya bahan bacaan. Dengan demikian, membaca merupakan kebutuhan sehari-hari yang mesti dipenuhi, seperti halnya kebutuhan makan dan minum. Maka tak heran, kalau dalam bahasa belanda ada kata "lesongher", yang berarti lapar membaca atau lapar bacaan.
Bahkan seorang anak, perlu dikondisikan untuk selalu membaca majalah, koran dan lain sebagianya. Dengan jalan ini, budaya baca sejak dini dapat dilestarikan sampai anak tesebut sudah dewasa. Maka tak salah, ketika Brewer J.A dalam bukunya "Early Childhood Education" memberikan pemahaman bahwa, "chidren is our print society are exposed to print in a variety of situations, simply as part of their daily activities. They observes stop signs, labels, on cereal boxes- the observes adults around them reading newspaper. They observes on writing letters- the young child is constanly responding to environment print without being introduced to formal reading intruction" (Brewer, 1992: 25).
Pada titik inilah, budaya baca mesti ditunjang oleh tersedianya cukup waktu untuk kegiatan membaca. Budaya baca tidak mungkin diwujudkan hanya sekedar pada waktu tenggang. Budaya baca hanya bersemi manakala kita secara sadar mengisi waktu (to fill time) dengan membaca, bukan hanya membaca sekedar menghabiskan waktu (to kill time).
Oleh karena itu, momentum Hari Buku Nasional 2009, sangat tepat dijadikan langkah strategis dalam mewujudkan pelestarian budaya baca. Dalam rangka membangun peradaban bangsa yang gemilang, maka pelestarian budaya baca menjadi sebuah keniscayaan yang mesti direalisasikan. Diantara upaya pelestarian budaya baca harus dapat dilaksanakan melalui pelbagai cara.
Pertama, melestarikan pameran buku. Semisal di Wanitatama dan JEC Yogyakarta, yang setiap bulannya mesti ada pameran buku. Dengan tetap terlestarinya pameran buku tersebut, paling tidak akan mampu menumbuhkan minat dan tradisi baca masyarakat terutama generasi muda yang akan menjadi pioner pembangunan bangsa ke depan.
Dalam pandangan Kuswaidi Syafi’ie, pameran buku tetaplah menjadi sarana yang paling ampuh untuk menularkan kecerdasan kepada masyarakat luas secara terbuka. Tidak hanya komunikasi searah antar pembaca dan buku itu yang menularkan kecerdasan, tetapi juga (dan ini yang tidak kalah pentingnya) "persahabatan" dan "persinggungan intelektual" diantara pembaca yang sudah saling kenal, terutama saat mereka berjumpa di tempat pameran buku.
Kedua, memberikan sosialisasi akan signifikansi membaca. Bahkan dapat dikatakan, membaca buku seperti sepotong pizza yang lezat bila dimakan. Dengan jalan ini, pelestarian budaya baca yang kita idam-idamkan akan menjadi kenyataan sesuai dengan harapan kita bersama. Solusi ini, sejatinya hanya merupakan sebuah wacana dan retorika belaka yang perlu dibuktikan dalam realitas kehidupan masyarakat.
Ketiga, menjadikan buku sebagai wujud peradaban bangsa. Sebagaimana yang dikatakan Muhammadun AS dalam tulisannya " Andaikan Buku Sepotong Pizza", dengan menempatkan buku sebagai peran utama dalam mencetak peradaban bangsa. Maka tugas setiap manusia, khususnya yang berkecukupan (the have) untuk mempermudah perpustakaan yang mudah diakses oleh masyarakat banyak.
Keempat, memanfaatkan peran perpustakaan sebagai pusat informasi dan ilmu pengetahuan. Peran perpustakaan dalam wujud peradaban bangsa begitu sangat besar. Melalui jalan inilah, generasi muda akan dibentuk menjadi generasi potensial, tangguh dan mampu bersaing dengan tantangan masa depan.
Kelima, mewujudkan komunitas membaca (reading community). Dambaan ini akan menjadi kenyataan, apabila komitmen yang dibangun terorganisir dengan baik. Terwujudnya komunitas membaca (reading community) merupakan dambaan yang selama ini kita impikan untuk membuat perkumpulan baca antar elemen perpustakaan. Pembangunan komunitas membaca (reading community), pada akhirnya dimaksudkan untuk melestarikan budaya baca masyarakat secara integral. Implikasi membaca pada dasarnya merupakan pencapaian luar biasa dalam membangun komunitas membaca (reading community).
Keenam, membangun mentalitas siswa yang malas membaca buku. Selama ini masyarakat Indonesia terkenal dengan sifatnya yang pemalas dalam melaksanakan setiap aktivitas yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Bagaimanapun biang utamanya adalah terletak pada mentalitas yang mengakibatkan mereka malas membaca. Sampai ada joke satire "kalau orang Jepang tidur sambil membaca, kalau orang Indonesia membaca sambil tidur".
Dengan demikian upaya membangun peradaban bangsa yang gemilang, mesti dilalui dengan pelestarian budaya baca masyarakat Indonesia. Di samping itu pula, diperlukan kesadaran masyarakat secara keseluruhan untuk menjadikan membaca sebagai kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan. Sehingga, dambaan yang kita impikan selama ini dapat menjadi kenyataan. Semoga!
*Mohammad Takdir Ilahi, Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Sedang Belajar Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
sumber : http://mohammadtakdirilahi.blogspot.com/2009/05/revitalisasi-budaya-baca-dan-peradaban.html