Renaisan Indonesia dan Pembentukan Masyarakat Madani : Menyambut Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2009
Oleh. Mohammad Takdir Ilahi
Tanggal 20 Mei 2009, terasa menjadi momen spesial bagi sejarah panjang bangsa Indonesia dalam merengkuh manisnya sebuah kemerdekaan dari kaum penjajah. Betapa tidak, momen tersebut menjadi titik balik kebangkitan para pemuda Indonesia yang berjuang dengan segala daya dan kekuatan dalam merealisasikan dambaan bangsa agar terbebas dari belenggu penjajahan. Itulah mengapa, semangat nasionalisme anak muda perlu ditumbuhkan kembali sehingga bisa mencapai cita-cita ideal bangsa kita, yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.
Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, nasionalisme akan mencapai idealismenya yang sangat fundamental, yakni terbentuknya masyarakat madani (civil society). Istilah masyarakat madani (civil society), sebenarnya bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika tengah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, dan ketika itu ia ke Indonesia membawa “istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan civil society.
Gagasan ini merupakan sebuah perwujudan dalam membangun sebuah bangsa yang benar-benar maju di setiap sektor pembangunan. Seperti halnya masa kejayaan yang telah dicapai oleh Rasulullah yang mampu membawa ummat Islam dalam sebuah kehidupan yang sejahtera dan demokratis. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sehingga John E. Esposito (1990) berpendapat terhadap psikologi Madinah kala itu, yaitu Madinah di bawah bimbingan Muhammad (Islam) makin memperlihatkan kristalisasinya sebagai sebuah sistem sosio-politik.
Dengan demikian, masyarakat madani adalah sebuah gagasan tentang masyarakat ideal. Di mana civil society yang hingga kini masih belum ditemukan terjemahannya yang tepat itu, adalah merupakan bagian dari masyarakat madani. Di sini, civil society diartikan sebagai sesuatu “ruang publik” yang independen dari negara, sehingga masyarakat madani dapat dipahami dalam kerangka yang lebih luas, termasuk pada fungsi negara dan masyarakat. Yakni, pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal, dimana kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial.
Menuju Masyarakat Berkeadaban dan Berperadaban
Terbentuknya masyarakat madani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada dasarnya merupakan cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadaban dan berperadaban. Menurut Nurcholis Madjid (1999) dalam bukunya ”Cita-Cita Politik Islam”, terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itulah, pembentukan masyarakat madani harus dipahami sebagai sebuah cita-cita untuk mewujudkan kebangsaan modern (modern nation state) yang demokratis, merdeka, inklusif dan kosmopolit. Ketika dicetuskan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, telah menunjukkan bahwa kristalisasi wawasan kebangsaan modern tersebut, berwatak membebaskan. Peradaban yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia memunculkan stigma positif untuk kemajuan bangsa ke arah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, ke-bhinneka-an dan kemungkinan menjadi berbeda bukanlah sesuatu yang asing dalam peradaban.
Maka tidak berlebihan, kalau peradaban yang ideal akan mampu membangun bangsa dalam kemajuan yang signifikan. Itulah kenapa, Sufyanto (2000) dalam bukunya “Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Nurcholis Madjid”, menilai bahwa perspektif masyarakat madani di Indonesia adalah dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan Tuhan. Ditambah lagi dengan nilai sosial yang luhur, seperti toleransi, dan juga pluralisme adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban. Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).
Pluralisme tidak bisa dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, justru hanya mendiskripsikan kesan fragmentase, bukan pluralisme. Pluralisme tidak bisa dipahamami hanya sebagai “kebaikan negatif” (negative good), yang hanya ditilik dari kegunaan menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticsm at boy). Akan tetapi, dalam pandangan Ahmad Baso (2002), pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati ke-bhinneka-an dalam ikatan keadaban (genuine engagement af deversities within the bond of civility).
Dalam konteks modernisasi saat ini, cita-cita kemajemukan (the ide of progress) bangsa yang berbasis peradaban, perlu di-ijtihadi secara sungguh-sungguh, agar pengembangan kondisi masyarakat dan bangsa pasca Orde Baru segera direalisasikan untuk menuju masyarakat madani. Sebab semakin majemuk struktur masyarakat, maka kehadiran dan berfungsinya masyarakat madani semakin diperlukan. Dengan kata lain, masyarakat madani adalah tiang utama dari tatanan politik yang demokratis dan masyarakat bangsa yang pluralistik.
Reaktualisasi Pembentukan Masyarakat Madani
Dalam hal ini, ada tiga poin penting yang perlu dikemukakan, kaitannya dengan revitalisasi nasionalisme dalam membangun masyarakat madani, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Heru Nugroho (2003) sebagai berikut:
Pertama, menghidupkan dan mengembangkan secara terus menerus wacana pluralisme di tingkat publik, sebagai dasar pemahaman nasionalisme. Dalam hal ini, konseptualisasi nasionalisme merupakan anugrah Tuhan, karena tentu saja kekayaan kebangsaan Indonesia yang berupa suku, agama, ras, dan antar golongan relatif bisa dipelihara dalam kerangka kesatuan bangsa.
Kedua, meyakinkan bahwa pluralisme selain berpeluang menciptakan konflik (hal ini cendrung terjadi dalam iklim politik yang monolitik), tetapi juga dapat menjadi energi besar bagi proses pembetukan civil society menuju ke arah demokratis. Cita-cita ini menjadi instrumen positif bagi pembangunan masyarakat madani yang benar-benar memenuhi kriteria bangsa yang tamaddun. Oleh karena itu, struktur masyarakat majemuk sebagaimana masyarakat madani Indonesia, pada dasarnya tidak bisa ditafsirkan sebagai ancaman bagi kohesivitas sosial.
Ketiga, kenyataan ini sesunguhnya memberikan isyarat bagi otonomi kepada masyarakat, dari cara berpikir sampai bertindak melalui penyemaian media-media komunikasi di tingkat lokal sebagai basis pembentukan kesadaran. Dengan bentuk kesadaran, semangat nasionalisme yang merupakan “pschological state of mind” harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan. Jelas kiranya bahwa nasionalisme Indonesia, seperti nasionalisme negara Asia Tenggara lainnya mempunyai basis historis pada kolonialisme, dan karena itu anti kolonialisme merupakan kekuatan pengimbangnya.
Pada titik inilah, gagasan masyarakat madani perlu mendapatkan perhatian secara khusus (special attention) dari pihak pemerintah, agar potensi untuk membangun sebuah bangsa yang integral dapat terwujud. Menurut Prof. Dr. Suhartono (2000), perkembangan nasionalisme di Indonesia dalam segala perwujudannya adalah berlandaskan pada kesadaran, sentimen bersama, dan keinginan berjuang untuk kebebasan rakyat dan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, implementasi nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada perkembangan selanjutnya dapat menjadi pendorong (motivator) timbulnya kesadaran masyarakat. Inilah yang digunakan dan dimobilisasikan sebagai kekuatan nasionalisme. Dalam hal ini, nasionalisme ingin mengembalikan “the human dignity”, yaitu harga diri dan martabat manusia yang tereleminasi dari permukaan, karena adanya kolonialisme dan imprealisme sebagai implikasi utamanya.
Mohammad Takdir Ilahi,(Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, Sedang Studi Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta.
E-mail. tkdr_ilahi@yahoo.co.id.
sumber : http://mohammadtakdirilahi.blogspot.com/2009/05/renaisan-indonesia-dan-pembentukan.html