BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Penggunaan Ilmu Hubungan Internasional saat ini sudah semakin meluas, dikarenakan sistem internasional yang sudah multipolar. Bahkan penggunaan ilmu ini juga neluas tidak hanya negara saja yang ikut serta dalam proses hubungan internasional, bahkan saaat ini hubungan internasional juga sudah meliputi organisasi-organisasi internasional yang bersifat non negara atau Non Government Organization maupun organisai yang berada di bawah naungan suatu negara atau Government bahkan individu juga telah ikut serta dalam sistem hubungan ini.
Makalah ini akan mencoba untuk memaparkan mengenai sejarah perkembangan Ilmu Hubungan Internasional itu sendiri, beserta tingkat dan unit analisisnya. Dalam memahami sebuah sejarah ilmu pengetahuan, khususnya sejarah ilmu sosial, banyak sumber-sumber dan tokoh-tokoh yang berbeda pandangan dan pendapatnya mengenai perkembangan ilmu tersebut.
Setiap tokoh dan sumber selalu memberikan konsep pemikirannya menurut dari perspektif yang dipelajarinya dari apa yang dilihat dia. Sehingga setiap sumber dan tokoh kadang memberikan batasan dan pemikiran yang berbeda. Perbedaan itu dapat dikarenakan lokasi atau tempat mereka melakukan kajian, bisa juga dikarenakan teori yang mereka pakai dalam memberikan batasan.
Ilmu Hubungan Internasional, dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan pola-pola yang tercipta dari interaksi-interaksi internasional yang ada. Dan oleh karena itu, proses lahir dan perkembangan Hubungan Internasional sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri juga harus diberikan perhatian khusus. Agar kita dapat melacak situasi seperti apa yang menuntut lahirnya cabang ilmu ini. Karena kita tidak bisa menolak fakta bahwa, suatu ilmu lahir disebabkkan oleh tuntutan lingkungannya akan sebuah penjelasan yang rasional mengenai fenomena yang terjadi.
BAB II
Pembahasan
1 Batasan dan Istilah
Istilah Hubungan Internasional (International Relations) petama kali diciptakan oleh Jeremy Bantham, yang beliau tujukan untuk mewakili hubungan-hubungan antar negara-bangsa yang bersifat global.
Sedangkan Joseph S. Roucek mengatakan bahwa “International Relations concerned with the analisys of such forces of international politics as the great powers, nationalism and imperialsm. It is also concerned with the legal principle which nations have agreed to observe, and with the nature and the scope of organization to which nations belong” (Roucek, cs., Introduction to Political Science, 1950, page 18. dikutip dari The Liang Gie, Ilmu Politik, 1986, hal 64).
Hubungan Internasional adalah cabang dari ilmu politik, merupakan suatu studi tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara, organisasi-organisasi antarpemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan Internasional adalah suatu bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat positif atau normatif karena berusaha menganalisis serta merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu
Dilihat dari beberapa pendangan diatas, dapat disimpulkan secara umum mengenai studi hubungan internasional, yaitu, suatu studi yang mempelajari hubungan-hubungan lintas negara, yang dilakukan oleh pemerintah, atau organisasi non-pemerintah, atau individu, atau kelompok, baik di dalam batas teritorial suatu negara atau sebaliknya, yang mempengaruhi stabilitas politik global.
2 Sejarah dan Perkembangan Hubungan Internasional
Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari Perdamaian Westphalia pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan. Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan Eropa didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama.
Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai Westphalia mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”.
Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama Perang Dingin. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”.
Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”. “Level-level analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.
Perkembangan ilmu hubungan internasional di Amerika dapat dilacak dari perkembangan aliran-aliran yang ada di sana. Dari segi perkembangannya, aliran-aliran tersebut dapat dibagi ke dalam:
1. Aliran tradisional, terdiri dari:
o Aliran idealis;
o Aliran realis.
2. Aliran perilaku, terdiri dari:
• Aliran perilaku (behavioralis);
• Aliran pasca-perilaku (post-behavioral).
Secara kronologis, perkembangan tersebut dapat diurutkan sebagai berikut:
Pra Perang Dunia I
Hubungan Internasional dulunya merupakan kumpulan berbagai pengetahuan tidak tersusun yang didasarkan pada observasi terhadap suatu objek kajian yang sama (The Liang Gie, Ilmu Politik, Yayasan Studi Ilmu Dan Teknologi Yogyakarta, 1986), yaitu hubungan antar kelompok-kelompok yang berkuasa yang tinggal di tempat yang berbeda-beda.
Sebelum hubungan internasional berdiri sendiri sebagai suatu ilmu. Di Amerika, fakultas-fakultas sejarah, hukum, dan filsafat, masing-masing bertanggung jawab mengajarkan hubungan internasional. Di fakultas sejarah, para sejarawan memberikan substansi diplomasi dan strategi, di fakultas hukum, para ahli hukum menginterpetasikan berbagai perjanjian serta praktek-praktek hukum yang timbul dari adanya hubungan antar bangsa, sedangkan di fakultas filsafat para filsuf mencoba berspekulasi mengenai sifat, hakekat dan perilaku manusia dalam situasi perang, perdamaian, dan yang bertalian dengan keadilan.
Unsur penting dari studi dan pengajaran ilmu ini adalah sejarah diplomasi, hukum Internasional, dan organisasi internasional, yang memberi penekanan pada pendekatan hukum dan organisasi internasional. Optimisme umum abad 19 berasumsi bahwa perdamaian bisa terwujud dengan pembuatan aturan main bersama, hal ini bisa kita selidiki dengan meneliti berbagai perjanjian internasional masa itu, seperti: Perdamaian Westphalia, Konvensi Genewa, dan Konferensi Den Haag.
Perang Dunia I
Terungkap adanya kerapuhan dan ketidaksesuaian diplomasi internasional eropa sebagai alat untuk menyelamatkan tata dunia (world order). Perang dunia I yang menelan korban 20 juta jiwa membuat opini publik dunia menuntut agar perang tidak lagi digunakan sebagai alat kenegaraan, dan agar dibentuk suatu sistem keamanan kolektif yang bersifat global yang mampu mengekang ambisi para agresor. Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson tampil menyuarakan opini tersebut dan mengatakan bahwa Perang Dunia I sebagai perang untuk mengakhiri perang.
Tahun 1920-an
Amerika serikat sebagai kekuatan yang merasa mempunyai tanggung jawab global menstimulir hubungan internasional menjadi bidang studi yang terpisah. Mata kuliah hubungan internasional, hukum internasional dan organisasi internasional dimasukkan ke dalam kurikulum ilmu politik yang pendekatannya bersifat legalistik-moralistik.
Perang dianggap sebagai kecelakaan karena tidak ada lembaga yang efektif dan mampu memberi alternatif pengganti keputusan raja. Perang juga dipandang sebagai dosa karena perang membawa korban manusia. Orang mengharapkan suatu negara dunia yang cukup memiliki kekuasaan untuk mengadili dan melaksanakan cara-cara penyelesaian pertikaian antar negara secara efektif, sebagai alat penangkal perang.
Tahun 1930-an
Penyerbuan tentara Mussolini ke Ethiopia (1935), pencaplokan yang dilakukan Jerman atas Austria, Cekoslovakia, dan Polandia dibawah komando Hitler (1930), invasi Jepang ke Manchuria (1931). Semuanya menunjukkan kelemahan teori-teori normatif studi hubungan internasional awal dalam melaksanakan fungsi deskripsi, eksplanasi, dan prediksinya (Drs. Tulus Warsito, M.Si, Teori-Teori Politik Luar Negeri: Relevansi dan Keterbatasannya, 1997).
Teori-teori yang di dasarkan pada mekanisme legal-institusional ini juga dikritik secara akademis karena hanya mampu membahas bagaimana seharusnya Negara bertindak, tapi tidak mampu menjelaskan mengapa Negara melakukan suatu tindakan tertentu.
Perang-perang tersebut telah meruntuhkan usaha kaum idealis untuk mencari perdamaian melalui norma-norma hukum yang diaplikasikan melalui lembaga supra-nasional. Runtuhnya usaha kaum idealis tersebut kemudian menyulut Perang Dunia II.
Pasca Perang Dunia II
Kegagalan kaum idealis mendapat kecaman, kemudian lahirlah aliran baru yang tidak mau menyerah atau mengalah kepada daya tarik idealisme. Mereka menolak serta membuang pedoman-pedoman diplomasi yang bersifat legalistik-moralistik dan menyebut diri mereka sebagai kaum realis.
Tahun 1950-an
Pertentangan antara kaum idealis dan kamu realis terus berlanjut sampai pada suatu saat para sarjana hubungan internasional yang jumlahnya semakin banyak, menemukan bahwa konsep politik kekuasaan (power politic) tidak tepat dan terlalu intuitif untuk dapat digunakan secara efektif sebagai pdoman untuk menganalisis dan bertindak.
Akhir tahun 1950-an muncul aliran pemikiran ketiga yang menolak tradisi pemikiran idealis maupun realis. Mereka menamakan dirinya kaum behavioralis yang melakukan pendekatan dari segi tingkah laku. Mereka segera mengumumkan bahwa pendekatan tradisional, baik yang idealis maupun realis, segi pentingnya hanya sebagai dasar membangun ilmu hubungan internasional.
Perdebatan antara kaum idealis (pendekatannya dari segi legalistik-moralistik) dan kaum realis (pendekatannya dari segi historis) dengan aliran behavioralis (pendekatan tingkah laku), berkisar pada relevansi teori hubungan internasional bagi para pembuat kebijaksanaan.
Tahun 1970-an
Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum behaviroalis mulai mereda. Kedua aliran menarik diri dari soal-soal polemik yang tidak kunjung selesai seperti misalnya bahwa politik tidak akan dapat dipelajari secara ilmiah, atau bahwa ilmu politik tanpa kuantifikasi dan bebas nilai tidak akan bermanfaat. Sementara semakin lama makin banyak studi yang orientasinya lebih bersifat ekletik (orirentasi post-behavioral).
Orientasi post-behavioral seringkali mengkombinasikan unsur-unsur pendekatan ilmiah dengan tujuan-tujuan yang jelas nilainya nilainya seperti mensubstitussi perang dengan metode-metode perdamaian untuk menyelesaikan pertikaian, pengendalian penduduk, perlindungan terhadap lingkungan, pemberantasan kemelaratan, penyakit dan keterasingan manusia.
3. Level Analisis dan Tingkat Analisis Hubungan Internasional
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu Hubungan Internasional dituntut untuk mampu mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan fenomena internasional yang terjadi. Untuk mampu melakukan hal-hal tersebut, ilmuwan HI dituntut untuk mampu memberikan analisa yang tajam dan tepat, dimana salah satu kunci keberhasilannya adalah ketepatan menentukan tingkat analisa (level of analysis) yang akan digunakan dalam memahami fenomena sosial yang terjadi.
Ada beberapa alasan mengapa penentuan tingkat analisa penting dalam mempelajari fenomena HI yaitu:
1. . Pertama: satu peristiwa dapat saja memiliki lebih dari satu faktor penyebab, seperti dari perilaku Pemimpin, karakteristik suatu negara, perilaku kelompokdan hubungannya dengan negara lain dalam ruang lingkup regional.
2. Kedua: kerangka berpikir membantu memilah-milah faktor yang akan menjadi penekanan utama di dalam penganalisaan masalah. Karena tidak semua tingkat analisa penting atau memiliki pengaruh signifikan di dalam sebuah peristiwa.
3. Ketiga: untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kesalahan metodologis yang disebut sebagai, 1) fallacy of composition, yaitu kesalahan berasumsi bahwa generalisasi tentang perilaku “bagian” bisa juga dipakai untuk menjelaskan “keseluruhan”, dan; 2) ecological fallacy, yaitu kesalahan akibat memakai generalisasi yang ditarik pada tingkat “keseluruhan” untuk menjelaskan tingkat “bagian”.
4. Keempat: membantu memilah-milah mana dampak dari suatu factor tertentu terhadap suatu fenomena dan dampak pada sekumpulan factor lainnya terhadap fenomena itu. Kemudian membandingkan kedua dampak tersebut sehingga untuk fenomena yang sama kita dapat memperoleh beberapa penjelasan yang altern
4. Unit Eksplanasi dan Unit Analisa
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sejalan dengan penentuan tingkat analisa yaitu penentuan unit analisa dan unit eksplanasi. Unit analisa adalah obyek yang perilakunya akan dianalisa atau disebut juga dengan variabel dependen. Sementara unit eksplanasi adalah obyek yang mempengaruhi perilaku unit analisa yang akan digunakan atau disebut juga sebagai variabel independen. Dengan demikian, dalam melakukan penganalisaan masalah, unit analisa dan unit eksplanasi saling terkait
Terdapat tiga model hubungan antara unit analisa dan unit eksplanasi yaitu, model korelasionis, model induksionis dan model reduksionis. Disebut model korelasionis jika tingkat unit eksplanasi dan unit analisanya sama. Kedua, disebut model induksionis jika tingkat unit eksplansinya lebih tinggi dari tingkat unit analisa dan ketiga, disebut model reduksionis jika tingkat unit eksplanasi lebih rendah dari tingkat unit analisa. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel: Unit Eksplanasi Dan Unit Analisa
Unit Eksplanasi Unit Analisa
Individu & Kelompok Negara-Bangsa Sistem Regional & Global
Individu & Kelompok korelasionis reduksionis reduksionis
Negara-Bangsa induksionis korelasionis reduksionis
Sistem Regional & Global induksionis induksionis korelasionis
Sumber: Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1994.
5. Tingkat-Tingkat Analisa
Hingga hari ini ilmuwan Hubungan Internasional tidak memiliki kesepakatan tentang jumlah tingkat analisa di dalam Hubungan Internasional . Kenneth Waltz membaginya menjadi tiga, yaitu individu, negara dan sistem internasional. Begitu pula John Spanier menegaskan tiga tingkat analisa, yaitu tingkat system, tingkat negara-bangsa dan tingkat pembuat keputusan (individu).
Sementara Stephen Andriole mengidentifikasi lima tingkat analisa, yaitu individu, kelompok individu, negara-bangsa, antar negara atau multi-negara dan sistem internasional. Begitu pula dengan Patrick Morgan mengusulkan lima tingkat analisa, yaitu individu, kelompok individu, negara-bangsa, kelompok negara-bangsa dan sistem internasional.
Bruce Russet dan Harvey Starr menetapkan enam tingkat analisa, yaitu individu pembuat keputusan dan sifat-sifat kepribadiannya, peranan yang dijalankan oleh para pembuat keputusan tersebut, struktur pemerintah tempat mereka melakukan kegiatan, masyarakat tempat mereka tinggal dan yang mereka perintah, jaringan hubungan antara para pembuat keputusan itu dengan aktor-aktor internasional lainnya, dan tingkat sistem dunia.
Mohtar Mas’oed sendiri membaginya menjadi lima tingkat analisa, yaitu :
1. perilaku individu, fokus penelaahan adalah sikap dan perilaku tokoh-tokoh utama pembuat keputusan, seperti kepala pemerintahan, manteri luar negeri, penasehat militer dan lain-lain.
2. perilaku kelompok, yang menjadi fokus utama adalah mempelajari perilaku kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang terlibat di dalam hubungan internasional.
3. negara-bangsa, penelaahan difokuskan pada proses pembuatan keputusan tentang hubungan interasional, yaitu politik luar negeri, oleh suatu negara-bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh. Di tingkat ini asumsinya adalah semua pembuat keputusan, dimana pun berada, pada dasarnya berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Dengan demikian, analisa harus ditekankan pada perilaku negara-bangsa karena hubungan internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku negara bangsa.
4. pengelompokan negara, asumsinya adalah seringkali negara-bangsa tidak bertindak sendiri-sendiri melainkan sebagai sebuah kelompok. Karena itu fokusnya adalah pengelompokan negara-negara baik di tingkat regional maupun global, yang berupa aliansi, persekutuan ekonomi dan perdagangan, dan lain-lain,
5. sistem internasional, fokus kajiannya adalah sistem internasional itu sendiri. Asumsinya adalah perubahan atau dinamika di dalam sistem internasional menentukan perilaku aktor-aktor HI.
Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat pula Joshua S. Goldstein yang juga berusaha menjelaskan tingkat-tingkat analisa di dalam HI. Goldstein membaginya menjadi empat tingkat analisa, yaitu tingkat individu, tingkat domestik, tingkat antar negara dan tingkat global.
1. tingkat individu fokusnya adalah persepsi, pilihan dan tindakan yang diambil oleh seorang individu. Sementara di tingkat domestik, kajian diarahkan pada pengaruh yang diberikan oleh sekelompok orang di dalam negara terhadap tindakan atau keputusan yang diambil negara. Kelompok-kelompok itu adalah organisasi politik, kelompok kepentingan dan/atau lembaga-lembaga negara (government agencies). Selain itu, Goldstein juga memasukan, konflik etnis, tipe sistem politik, military-industrial complex (MIC), jender, sektor ekonomi dan industri, dan opini publik ke dalam tingkat domestik.
2. tingkat antar-negara atau tingkat sistem, perhatian diberikan pada pengaruh yang diberikan oleh sistem internasional terhadap aktor-aktor HI. Dengan demikian fokusnya adalah interaksi antar negara itu sendiri. Salah satunya adalah memberikan perhatian pada posisi kekuatan/kemampuan (power) relatif negara-negara di dalam sistem internasional. Contoh yang diberikan Goldstein adalah balance of power, aliansi, perjanjian dan kesepakatan, dan lain-lain.
3. tingkat global, perhatian diberikan pada tren global dan tekanan-tekanan yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan di dalam interaksi antar negara. Misalnya adalah, perubahan teknologi, revolusi informasi, imperialisme barat, dan lain-lain.
6. Cara Penentuan Tingkat Analisa
Dalam menentukan tingkat analisa yang tepat dan efektif ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu teori yang digunakan dan tujuan analisa. Pertama, teori yang yang kita gunakan untuk meneliti fenomena, menuntun kita untuk memilih tingkat analisa yang hendak dipakai. Jika teori yang digunakan menekankan pada pengaruh sistem dalam menentukan perilaku aktor-aktor HI maka tingkat analisa dari unit eksplanasinya adalah tingkat atau level sistem. Begitu pula jika penekanan teorinya pada negara-bangsa atau individu, maka unit eksplanasinya serta-merta berada pada level negara-bangsa atau individu.
Kedua, begitu pula dengan tujuan analisa. Setidanya ada dua pertimbangan dalam tujuan analisa. Pertama, tujuan akademik, yaitu untuk memperoleh atau mengembangkan pengetahuan tentang ilmu hubungan internaisonal. Kedua, tujuan praktis (policy-oriented). Tujuan yang kedua ini lebih banyak digunakan oleh para pengambil keputusan. Mereka ini akan lebih menyukai tingkat analisa yang berkaitan atau memiliki dampak langsung terhadap kepentingan mereka. Misalnya, para penjabat pemerintahan akan lebih menyukai analisa di tingkat negara-bangsa karena langsung bersentuhan dengan pekerjaan dan tugas mereka.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hubungan internasional sudah ada sejak lama. Pentingnya hubungan antar negara dapat dirasakan pada awal perang dunia I. Perang dunia I pada tahun 1914-1918 yang mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan, menimbulkan dampak tersendiri bagi masyarakatnya. Terjadinya perang pada masa itu membuat negara-negara dunia untuk selalu dapat menjalin kerjasama dan menjaga perdamaian.
Menurut para pengajar Ilmu Politik di Universitas yang ada di Amerika, komponen dari hubungan internasional meliputi teori hubungan internasional orang Amerika dan analisis perbandingan kebijakan luar negeri, hukum internasional, organisasasi internasional, perbandingan sistem politik, hubungan antar regional, strategi pembelajaran, perkembangan internasional, perjanjian damai, penyelesaian konflik (yang menyangkut dengan kontrol senjata dan pelucutan senjata).
Tingkat analisa memiliki peranan penting di dalam di dalam kajian ilmu Hubungan Internasional karena dapat membantu untuk memfokuskan analisa masalah (fenomena) dan menghindari terjadinya kesalahan metodologis. Dalam penentuan tingkat analisa, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu penentuan unit eksplanasi dan unit analisa. Unit eksplanasi dan unit analisa saling berhubungan dalam tiga model yaitu, model korelasionis, reduksionis dan induksionis.
Setiap ilmuwan menyusun kategori tingkat analisanya masing-masing, walaupun demikian, secara umum tingkat analisa yang mereka susun relatif sama. Dimana tingkat individu adalah tingkat yang terendah, sementara tingkat global adalah tingkat yang tertinggi.
Dalam menentukan tingkat analisa yang tepat ada dua hal yang umumnya menjadi perhatian yaitu, teori yang digunakan dan tujuan analisa. Tujuan analisa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu tujuan akademik dan tujuan praktis (policy-oriented).
sumber : http://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/level-analisis-dan-tingkat-analisis-hubungan-internasional-dan-perkembangan-hubungan-internasional/