Memotret situasi politik Indonesia pasca reformasi 1998 ibarat memotret karnaval yang meriah dan penuh warna, sementara di pinggir jalan raya sepanjang karnaval rakyat miskin menonton untuk melupakan pahitnya penderitaan hidup mereka. Anak-anak dengan ingus meleleh dan baju rombeng tertawa-tawa melihat para badut menari-nari di depan mereka.
Dalam karnaval itu memang muncul banyak badut. Ada banyak pejabat dan tokoh masyarakat. Ada generasi muda dengan “semangat juang 98”. Ada cendekiawan yang senantiasa menebar senyum arif seolah bersaing dengan para agamawan yang juga tersenyum lembut sambil terus berdoa. Lalu para anggota parlemen pun membusungkan dada sebagai wakil rakyat terpilih yang terhormat. Selain itu para selebritas dari berbagai profesi pun turut memeriahkan karnaval. Drum band, kesenian tradisional mulai dari ondel-ondel sampai jaipongan, seniman dan budayawan, “trio macan”, trio gajah, dan
trio-trio lain, tampil bersemangat sepanjang karnaval.
Semua tumplek-blek dalam karnaval yang meriah itu. Semua mencoba ambil bagian untuk memeriahkan karnaval dengan berbagai cara. Tujuannya kurang lebih hanya untuk mendapatkan perhatian rakyat yang menonton karnaval. Rakyat dalam kondisi ini masih tetap menjadi “objek”, menjadi “komoditas” yang diperjualbelikan, diperas, dan bila perlu dijadikan “korban”. Seperti dikatakan Mugiyono, aktivis korban penculikan 1998, “Negara saat ini sedang mengajak kita semua untuk lupa.” Melalui sebuah karnaval yang meriah, rakyat memang bisa “diajak untuk lupa” akan penderitaan mereka.
Sebuah karnaval hakikatnya adalah sebuah hiburan massal. Tapi hiburan massal secanggih apa pun sebenarnya takkan pernah benar-benar mampu mengajak rakyat untuk melupakan lapar yang menggigit, panas yang membakar, atau dingin yang menusuk tulang. “Politik karnaval” hanya akan memperburuk keadaan dan mementahkah agenda reformasi kembali ke titik nol. Perjalanan sembilan tahun reformasi memang telah membuahkan beberapa langkah maju di dunia politik, sebut misalnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Lalu ada juga kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi, tentu dengan segala kekurangan dan catatan kaki. Namun, apa pun kekurangan itu, tetaplah kita harus menghargai secara objektif langkah maju di bidang ini.
Karena masih asyik berkarnaval-ria, upaya mewujudkan kehidupan demokratis yang sejahtera, aman, dan damai sebagai cita-cita reformasi sepertinya memang masih jauh dari kenyataan. Otonomi daerah ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan para pemikir desentralisasi. Jika harapan otonomi adalah pemerataan kesejahteraan, yang terjadi justru pemerataan sistem Orde Baru di berbagai daerah. Artinya, terjadi diseminasi sistem secara instan karena tidak ada alternatif sistem lain yang diketahui pemerintah daerah.
Lebih celaka lagi, otonomi daerah justru diterjemahkan sebagai ajang mengeruk keuntungan di tingkat daerah ketika kini tak perlu terlalu menghamba pada pemerintah pusat. Sehingga tak mengherankan bila kita mendapati bertumpuk berkas korupsi, baik yang dilakukan oleh anggota parlemen daerah maupun birokratnya. Atau menemukan sekian ragam peraturan daerah “aneh-aneh” yang justru bertentangan dengan semangat demokrasi, begitu keran desentralisasi terbuka lebar dan terimplementasikan. Tak heran bila kemudian Teten Masduki, kampiun pemerang korupsi, mengatakan bahwa tipologi korupsi pasca-reformasi mengalami pergeseran baik secara vertikal maupun horizontal. Bila dulu korupsi cuma jadi barang mainan para kroni dan kerabat Soeharto, kini korupsi telah menyebar rata di partai-partai serta lapis-lapis politisi baru dan para birokrat dari pusat hingga daerah.
Setiap proses perubahan sistem dan masyarakat selalu memunculkan tabrakan-tabrakan politik serta rasa masygul. Hal tersebut muncul karena jaringan politik lama masih eksis dan proses transformasi belum menunjukkan hasil nyata. Suatu hal yang benar-benar dirasa-inderakan masyarakat. Semisal turunnya harga kebutuhan pokok, murahnya biaya pendidikan, jaminan kesehatan hingga pekerjaan. Tak jarang kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama sebagai rute untuk kembali berkuasa.
Tak bisa disangkal proses transformasi politik dan kultur kekuasaan butuh waktu. Namun tak bijak juga untuk menyembunyikan setiap keraguan memerangi sisa kekuatan politik lama dalam permakluman tersebut. Tiga pemerintahan sebelumnya tak cukup memenuhi harapan rakyat karena tak tegas dalam menindak praktik ekonomi-politik warisan Orde Baru yang masih mengakar. Tiga presiden setelah Soeharto juga tak kunjung mengambil sikap tegas terhadap semua pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau. Bahkan perulangan kasus pelanggaran juga dianggap tak cukup bagi penguasa saat ini untuk mengatakan, “Sekarang waktunya meluruskan sejarah! Menimbang dengan arif kesalahan dan kemaslahatan lampau! Menghukum dan menghargai dengan bijak para pelaku dan korban di masa lalu!”
Akankah Susilo Bambang Yudhoyono mengulang kisah usang tiga rezim setelah kekuasaan Soeharto? Semua kembali pada keberanian Yudhoyono untuk mengatakan tidak pada perulangan sejarah tersebut. Dan tentu saja yang paling menentukan adalah bagaimana menjelmakan kekuasaan rakyat (res publica) dalam setiap proses demokrasi dan institusionalisasinya melalui prinsip-prinsip partisipasi serta kontrol sosial.
Oleh FX Rudi Gunawan & RW Jati
sumber : http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/02/politik-indonesia-setelah-9-tahun.html