PENGORGANISASIAN PARTAI POLITIK DAN KEKUASAAN DALAM PARTAI POLITIK
oleh : Bambang Wahyu Nugroho
Disebabkan karena peran krusial yang dimainkan oleh partai politik, perhatian yang saksama telah difokuskan di mana letak kekuasaan di dalam partai. Organisasi dan struktur partai dengan demikian menyediakan petunjuk vital mengenai distribusi kekuasaan di dalam masyarakat secara menyeluruh. Dapatkan partai berfungsi sebagai badan demokrasi yang memperluas partisipasi dan akses menuju kekuasaan? Atau mereka hanya menngutaakan dominasi para pemimpin dan elitenya?
Salah satu usaha awal untuk menyelidiki demokrasi di dalam partai dilakukan oleh Mosei Ostrogorski dalam karyanya yang bertajuk Democracy and the Organization of Political Parties (1902), yang mengemukakan bahwa representasi kepentingan perseorangan telah dapat dihilangkan bersama tumbuh kembangnya pengaruh mesin dan kendali partai yang dilakukan oleh kauks para tokoh senior partai.
Pandangan yang lebih dikenang-kenang disampaikan oleh Robert Michels dalam Political Parties ([1911] 1962) dalam bentuk “hukum besi oligarki”, atau yang ditegaskannya, “siapa yang bicara tentang organisasi [sesungguhnya] bicara tentang oligarki.” Michels (1876-1936), seorang teoritisi elit yang terkemuka, memperoleh simpulannya itu setelah mengamati Partai SPD Jerman; dia menyampaikan bahwa sekalipun secara formal partai itu sebuah organisasi yang demokratik, namun kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil pemimpin partai.
Bagi Michels, kata “hukum” menjelaskan adanya kegagalan yang tak terelakkan dari sosialisme demokratik, dan memang, kemudian menghancurkan mitos demokrasi politik. Tetapi para pengritik mencatat bahwa pengamatan Michels adalah sebuah generalisasi yang dibuat berdasarkan partai politik tunggal pada saat tertentu, dan juga masih mendasarkan diri pada teori-teori psikologi yang masih dipertanyakan.
Dalam praktiknya, elit partai seringkali lebih terdorong oleh konflik faksional, dan keanggotaan massa kurang diperhitungkan dan kurang diaktifkan. Versi yang lebih modern dari teori itu dikembangkan di Inggris dalam British Political Parties (1953) oleh Robert McKenzie.
McKenzie menantang pandangan yang sudah baku bahwa Partai Konservatif bersifat elitis dan didominasi-pemimpin, sementara Partai Buruh ditandai dengan demokrasi internal tingkat tinggi. Kecuali perbedaan dalam struktur dan sistem tata nilainya, McKenzie menyimpulkan bahwa distribusi kekuasaan di dalam kedua partai itu secara esensial sama: keduanya didominasi oleh nexus para pemimpin partai yang duduk menjadi anggota parlemen.
Warna dan Lambang Partai Politik
Secara umum, di seluruh dunia, partai politik mengasosiasikan dirinya dengan warna-warna, utamanya untuk kepentingan identifikasi, khususnya agar mudah diingat dan dikenali oleh para pemilihnya pada musim kampanye dan pemilihan umum. Merah biasanya menunjukkan partai kiri, komunis, atau sosialis. Konservatif biasanya menggunakan warna biru atau hitam. Namun di Amerika Serikat, trend ini terbalik, yakni merah diasosiasikan dengan Partai Republik (Republican Party) dan biru untuk partai Demokrat (Democratic Party) liberal.
Kadang Pink menandakan sosialis moderat. Kuning sering digunakan untuk menyimbolkan liberalisme. Hijau adalah warna partai hijau (lingkungan hidup), partai Islam dan partai republik nasionalis Irlandia di Irlandia Utara. Orange adalah warna yang kadang-kadang dikaitkan dengan nasionalisme, seperti di Belanda atau dengan Loyalis Ulster di Irlandia Utara, tetapi juga merupakan warna reformasi seperti di Ukraina.
Di masa lalu, Ungu dianggap warna kerajaan (seperti putih), tetapi sekarang ini kadang-kadang digunakan untuk partai pejuang hak-hak wanita. “Partai Ungu” juga digunakan sebagai hipotesis akademik untuk partai yang belum jelas ideologinya, atau partai tengah (sentralis) di Amerika Serikat (ungu karena merupakan pencampuran dari warna partai utama, yakni merah dan biru) dan sebagai partai “perdamaian dan cinta ” yang sangat idealis – yang mungkin sama alirannya dengan Partai Hijau. Hitam umumnya dikaitkan dengan partai fasis, mengacu pada seragam hitam-hitam yang dikenakan pendukung Mussolini. Tetapi hitam juga dikaitkan dengan Anarkisme. Demikian pula, coklat sering dikaitkan dengan Nazisme mengacu pada seragam berwarna cokelat yang dikenakan aparat keamanan Partai Nazi.
Asosiasi terhadap warna berguna untuk melakukan sosialisasi tentang cara memilih ketika pemilih buta huruf berjumlah signifikan. Kasus lain di mana hal itu digunakan adalah saat koalisi dan aliansi dibentuk antara partai politik dan organisasi lainnya, misalnya: Aliansi “Ungu” (Merah-Biru), Aliansi merah-hijau, aliansi biru-hijau, koalisi Pan-hijau, dan koalisi Pan-biru.
Selain warna, partai-partai juga menggunakan lambang. Lambang partai sosialis adalah bunga mawar merah yang tergenggam di kepalan tangan. Partai komunis sering menggunakan palu, sabit, atau keduanya. Simbol bisa sangat penting bila hampir semua pemilih masih buta huruf. Dalam referendum konstitusional Kenya tahun 2005, tanda gambar pisang digunakan sebagai simbol untuk mengatakan “ya”, sementara “tidak” menggunakan tanda gambar jeruk.
Dari mana pembiayaan Partai Politik?
Kegiatan partai politik dapat dibiayai dari kontribusi keanggotaan dan sumbangan perseorangan dan organisasi yang berbagi cita-cita politiknya atau yang menginginkan keuntungan dari ativitas partai tersebut. Partai politik dan faksi, khususnya mereka yang berada di dalam pemerintahan, dilobi dengan sangat intensif oleh berbagai organisasi, badan usaha dan kelompok-kelompok kepentingan seperti serikat buruh (trades unions).
Uang dan berbagai pemberian untuk sebuah partai, atau untuk anggotanya, mungkin ditawarkan sebagai insentif. Di Inggris, sudah diduga bahwa gelar kebangsawanan (peerages) berasosiasi dengan pihak kontributor dana yang menguntungkan para anggota Parlemen Majelis Tinggi (Upper House of Parliament) sehingga dengan demikian mereka dapat berada di lembaga legislatif. Kasus yang terkenal dalam hal ini, yakni Lloyd George yang ketahui telah menjual peerages tersebut.
Maka untuk mencegah korupsi di masa selanjutnya, Parlemen meloloskan Undang-undang Kehormatan (Pencegahan dari penyalahgunaan) pada tahun 1925. Dengan demikian dinyatakan bahwa tindakan jual-beli peerages dan gelar kehormatan serupa sebagai tindakan kejahatan. Namun ada juga beberapa penyandang gelar yang diduga telah berusaha mengakali UU tersebut dengan menjadikan kontribusi mereka sebagai pinjaman, yang menimbulkan skandal “Tunai untuk Peerages”. Kegiatan semacam itu menimbulkan tuntutan agar skala sumbangan seharusnya dibatasi.
Dan karena biaya untuk pemilihan semakin meningkat, maka kebutuhan dana partai politik pun meningkat. Di Inggris beberapa politisi menginginkan partai harus dibiayai oleh negara; sebuah pendapat yang memicu perdebatan menarik. Seiring dengan makin pentingnya arti sumbangan, terjadi pengerutan jangka panjang dalam keanggotaan partai di sejumlah negara demokrasi Barat sendiri, yang akhirnya lebih membatasi soal pendanaan.
Misalnya di Inggris dan Australia keanggotaan dari dua partai utama mereka pada tahun 2006 adalah kurang dari 1/8 dari jumlah anggotanya di tahun 1950, meskipun terdapat peningkatan signifikan jumlah penduduk pada periode itu. Di Irlandia, dipilih wakil-wakil dari pihak Sinn Féin hanya mengambil rata-rata upah industri dari gaji mereka sebagai wakil rakyat, sementara sisanya masuk ke dalam kas partai. Pendapatan lain-lain yang mereka peroleh mungkin tidak diperhitungkan.
Namun wakil-wakil terpilih dari Partai Sosialis (Irlandia) hanya mengambil upah rata-rata industri dari seluruh pendapatan mereka. Beberapa negara seperti Australia, memberikan anggaran negara bagi partai politik untuk tujuan promosi selama masa kampanye pemilihan umum.
sumber :http://bambangwn.wordpress.com/kuliah/kuliah-iv/