A. TAQWA
Taqwa didefinisikan yakni “memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (imtitsâlu awâmirillah wajtinâbu nawâhih)”. Hakekatnya adalah Allah SWT. Rasa takut itu memerlukan ilmu terhadap yang ditakuti. Oleh sebab itu yang berilmu akan takut kepada Allah SWT., dan yang takut kepada Allah akan bertaqwa kepadanya.
“Kitab (AL-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman pada Kitab (AL-Quran) yang telah diturunkan padamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”. (QS. Al-Baqarah 2: 2-4)
Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-4 diatas disebutkan empat kriteria orang-orang yang bertaqwa, yaitu: (1) Beriman kepada yang ghaib, (2) Mendirikan shalat, (3) Menafkahkan sebagian dari rezeki yang diterimanya dari Allah SWT, (4) Beriman dengan Kitab Suci Al-Quran dan kitab-kitab suci sebelumnya, dan (5) Beriman dengan hari Akhir.
“ (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.”
Dari beberepa ayat yang dikutip diatas dapat disimpulkan bahwa hakekat taqwa adalah memadukan secara integral aspek Iman, Islam, dan Ihsan dari diri seorang manusia. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Mukmin, Muslim, dan Muhsin.
Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan dapat memetik manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Yakni antara lain:
1. Mendapatkan Sikap Furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela
2. Mendapatkan Limpahan Berkah dari Langit dan Bumi
3. Mendapatkan Jalan Keluar dari Kesulitan
4. Mendapatkan Rezeki tanpa Diduga-duga
5. Mendapatkan Kemudahan dalam Urusannya
6. Menerima Penghapusan dan Pengampunan Dosa serta Mendapatkan Pahala yang Besar
B. CINTA DAN RIDHA TERHADAP ALLAH SWT
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Cinta dengan pengertian demikian sudah merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Begi seorang mukmin, cinta pertama dan yang utama sekali diberikan kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta utama. Sedangkan cinta kepada ibu-bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan, dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus berada dibawah cinta utama.
Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya. Apabila cinta menengah melebihi cinta utama maka cintanya akan menjadi hina, tidak ada nilainya. Maka inilah yang disebut dengan cinta paling rendah. Pembagian ini didasarkan pada Surat At-Taubah ayat 24:
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Konsekuensi cinta kepada Allah SWT adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Cinta kepada Allah SWT itu bersumber dari iman. Semakin tebal iman seseorang semakin tinggi cintanya kepada Allah. Bahkan bila disebut nama Allah, hatinya akan bergetal. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Anfaal ayat 2:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Sejalan dengan cinta, seorang Muslim haruslah dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya dia harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang dating dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan keyakinan seperti ini dia juga akan rela menerima segala qadha dan qadar Allah terhadap dirinya. Dia akan bersyukur atas segala kenikmatan, dan akan bersabar atas segala cobaan. Demikianlah sikap cinta dan ridha terhadap Allah SWT. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dengan ridha kita mengharapkan cinta-Nya.
C. IKHLAS
Ikhlas yakni dimaksud dengan beramal semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. Dalam bahasa populernya ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. Hal ini dapat dijelaskan atas tiga unsur yakni;
1. Niat yang ikhlas
Dalam Islam faktor niat sangat penting. Apa saja seorang Muslim haruslah berdasarkan niat mencari ridha Allah SWT, bukan berdasarkan motivasi lain.
2. Beramal dengan sebaik-baiknya
Niat yang ikhlas harus diikuti dengan amal yang sebaik-baiknya. Seorang Muslim yang mengaku ikhlas melakukan sesuatu harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan itu sebaik-baiknya.
3. Pemanfaatan hasil usaha dengan tepat
Unsur menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh, misalnya menuntut ilmu. Setelah seorang Muslim berhasil melalui dua tahap keikhlasan, yaitu niat ikhlas karena Allah SWT dan belajar dengan rajin, tekun, dan disiplin, maka setelah berhasil mendapatkan ilmu tersebut, maka bagaimana dia memanfaatkan ilmunya dengan tepat.
Hanya dengan keikhlasanlah semua amal ibadah akan diterima oleh Allah SWT. Rsulullah saw bersabda, yang artinya:
“Selamatlah para mukhlisin.Yaitu orang-orang yang bila hadir tidak dikenal, bila tidak hadir tidak dicari-cari. Mereka pelita hidayah, mereka selalu selamat dari fitnah kegelapan…”
Seorang mukhlis tidak akan pernah sombong kalau berhasil, tidak putus asa kalau gagal. Tidak lupa diri menerima pujian dan tidak mundur dengan cacian. Sebab dia hanya berbuat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.
Lawan dari ikhlas adalah riya. Yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tapi karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya. Seorang yang riya adalah orang yang ingin memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dilakukannya. Sifat riya adalah sifat orang munafik, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat An-nisaa ayat 142:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Rasulullah saw menamai riya dengan syirik kecil. Riya atau syirik kecil akan menghapus amalan seseorang. Dalam sebuah hadist yang panjang Rasulullah saw menggambarkan bahwa di akhirat nanti ada beberapa orang yang dicap oleh Allah SWT sebagai pendusta, ada yang mengaku berperang pada jalan Allah hingga mati syahid, padahal dia berperang hanya karena ingin dikenal sebagai seorang pemberani; ada yang mengaku mendermakan hartanya untuk mencari ridha Allah SWT, padahal dia hanya ingin disebut dermawan; dan sebagainya. Amalan semua orang itu ditolak Allah SWT dan mereka dimasukkan kedalam neraka.
Riya menyebabkan seseorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan dalam beramal. Dia akan cepat mundur dan patah semangat apabila ternyata tidak ada yang memujinya. Dia akan cepat kehabisan stamina; nafasnya tidak panjang dalam berjuang. Sebaliknya bila menerima pujian dan sanjungan dia akan cepat sombong dan lupa diri. Kedua hal tersebut jelas sangat merugikannya. Berbeda dengan orang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian dan tidak patah semangat dengan kritikan. Staminanya beramal dan berjuang sangat kuat. Nafasnya panjang. Dan lebih dari itu, dia senantiasa diridhai oleh Allah SWT.
D. KHAUF DAN RAJA’
Khauf
Khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Dalam Islam rasa takut harus bersumber kepada Allah. Karena hanya Allah SWT yang berhak ditakuti.
Menurut Sayyid Sabiq, ada dua sebab kenapa seseorang takut kepada Allah SWT:
1. Karena dia mengenal Allah SWT (ma’rifatullah). Takut seperti ini dinamai khauf al’ Arifin. Semakin sempurna pengenalannya terhadap Allah semakin bertambah takutnya.
Rasullullah saw adalah hamba Allah yang paling mengenal-Nya, oleh sebab itu beliaulah orang yang paling takut terhadap Allah dibandingkan siapapun. Beliau besabda:
“Sesungguhnya aku orangbyang paling mengenal Allah di antara kalian, dan aku pulalah yang paling takut di antara kalian kepada-Nya.” (HR. Tirmidzi)
2. Karena dosa-dosa yang dilakukannya, karenakan takut azab Allah.
Dua dampak positif dari kahuf menurut Sayyid Sabiq:
1. Melahirkan kebenaran, menyatakan kebenaran, dan memberantas kemungkaran secara tegas tanpa hrus takut pada makhluk yang menghlanginya. Keberanian seperti itulah yang dimiliki oleh para Rsul dalam penyampaian ajaran Allah.
2. Menyadarkan manusia untuk tidak meneruskan kemaksiatan yang telah dilakukannya serta menjauhkannya dari segala macam bentuk kefasikan dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Ahmad Faridh menyatakan bahwa orang yang yang takut kepada Allah bukanlah orang yang bercucuran air matanya lalu ia mengusapnya, melainkan orang yang takut kepada Allah ialah orang yang meninggalkan segala sesuatu perbuatan yang ia takuti hukumnya.
Raja’ adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Raja’ harus didahului dengan usaha yang sungguh-sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong (tamanni).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah 2: 218)
Seorang mukmin haruslah bersikap raja’, berbuat amal saleh semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Bila menyadari akan kesalahan segeralah bertaubat dan meminta maaf pada-nya, janganlah berputus asa untuk mencari rahmat serta ridha-Nya, karena sifat putus asa merupakan sikap-sikap orang kafir:
“...Sesungguhnya tiada berputus asalah kamu dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf 12: 87)
Kauf dan raja’ harus berlangsung sejalan dan seimbang dalam diri seorang Muslim. Kalau hanya membayangkan azab Allah seseorang akan berputus asa untuk dapat masuk surga, sebaliknay bila hanya membayangkan rahmat Allah semua merasa dapat masuk surga. Rasulullah saw bersabda:
“Kalau seorang mukin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah maka tidak seorang pun dapat berharap masuk surga. Dan jika orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah tidak seorang pun berputus asa untuk msuk surga.” (HR. Muslimin)
E. TAWAKKAL
Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
Makna Bertawakkal Kepada Allah
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul Qadir, 5/311). Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.”
Macam-macam Tawakkal
Ditinjau dari sisi tujuanya, tawakkal dibagi menjadi dua macam:
1. Tawakkal kepada Allah
Bertawakkal kepada Allah merupakan bentuk ibadah yang sangat agung, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Tawakkal kepada Allah baru akan sempurna jika disertai keadaan hati yang merasa butuh kepada Allah dan merendahkan diri kepadaNya serta mengagungkannya.
2. Tawakkal kepada selain Allah
Bertawakkal kepada selain Allah ada beberapa bentuk:
• Tawakkal dalam hal-hal yang tidak mampu diwujudkan kecuali oleh Allah, seperti menurunkan hujan, tolak balak, tercukupinya rizki dst. Tawakkal jenis ini hukumnya syirik besar.
• Tawakkal dalam hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah namun Allah jadikan sebagian makhluqnya sebagai sebab untuk terwujudnya hal tersebut. Misalnya kesehatan, tercukupinya rizqi, jaminan keamanan, dst. Yang bisa mewujudkan semua ini hanyalah Allah. Namun Allah jadikan dokter dan obat sebab terwujudnya kesehatan, Allah jadikan suami sebagai sebab tercukupinya rizqi keluarganya, Allah jadikan petugas keamanan sebagai sebab terwujudnya keamanan, dst..
Maka jika ada orang yang bersandar pada sebab tersebut untuk mewujudkan hal yang diinginkan maka hukumnya syirik kecil, atau sebagian ulama menyebut jenis syirik semacam ini dengan syirik khofi (samar). Namun sayangnya banyak orang yang kurang menyadari hal ini. Sering kita temukan ada orang yang terlalu memasrahkan kesembuhannya pada obat atau dokter. Termasuk juga ketergantungan hati para istri terhadap suaminya dalam masalah rizqi. Seolah telah putus harapannya untuk hidup ketika ditinggal mati suaminya.
• Tawakkal dalam arti mewakilkan atau menugaskan orang lain untuk melakukan tugasnya. Tawakkal jenis ini hukumnya mubah selama tidak disertai jiwa merasa butuh dan penyandaran hati kepada orang tersebut.
Jenis-jenis Tawakkal
Pertama, tawakkal pada peker-jaan yang mempunyai sebab dan illat. Dalam hal ini, kita harus berusaha menuruti sebab dan illat tersebut. Hulunyakitatelusuri, mua-ranya kita hiliri. Bila sudah tertumbuk ke hulu dan sampai ke hilir, barulah kita bertawakkal. Jadi, tawakkal di sini menuruti perjalanan sebab dan akibat.
Kedua, tawakkal dalam urusan-urusan yang tidak berillat dan bersebab.
Kematian yang menimpa seseorang secara tiba-tiba, atau harta benda yang terbakar secara tiba-tiba. Di saat seperti ini kita tidak boleh goyang, tidak boleh putus asa, tetapi katakanlah: ”Inaaa lillaahi wa inna ilaihi raji’uun“. Resapkan makna kalimat ini ke dalam hati, sembari mengingat, bahwa kita dilingkupi oleh takdir. Untuk itu kita harus bertawakkal (berserah diri) kepada Allah SWT. Firman Allah SWT :
“….Kemudian apabila kamu telah rftembulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“.(QS.Ali Imran : 159).
Hakikat Tawakkal
Di kalangan masyarakat awam banyak orang yang salah paham tentang tawakkal. Menurut mereka tawakkal ialah menyerahkan diri secara bulat-bulat kepada Allah SWT, tanpa adanya usaha dan ikhtiar. Serahkan diri kepada Allah SWT tanpa sesuatu usaha seperti mayat di hadapan orang yang memandikannya, tidak bergerak dan tidak berkata apa-apa. Adanya pendapat yang demikian, jatuhlah umat Islam di mata dunia, hina dinalali martabat mereka di tengah-tengah penduduk di dunia.
Padahal agama Islam adalah agama yang penuh dinamika, yang mendorong umatnya untuk merebut kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi. Berusaha dan berikhtiar tidaklah akan mengeluarkan orang dari garis tawakkal. Berjuang mencari isi perut sesuap pagidan sesuap petang tidaklah akan menafikan tawakkal, karena hidup ini adalah untukberjuang.
Dalam sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban diceritakan, bahwa ada seorang Arab Badwi (dusun) yang katanya hendak bertawakkal kepada Allah SWT, sehingga dilepaskannya semua untanya. Lantas Nabi SAW menegurnya: “Ikatlali untamu itu, kemudian baru bertawakkal”
Keutamaan Bertawakkal
1. Tawakkal adalah setengah agama.
Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Fatihah ayat 5, Allah berfirman, yang artinya: “Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.” Para ahli tafsir menjelaskan bahwa induk Al Qur’an adalah surat Al Fatihah. Sedangkan inti dari surat Al Fatihah adalah ayat yang ke-5 di atas. Dengan kata lain, ajaran yang terkandung dalam ayat ini merupakan inti dari ajaran islam.
Karena bagian inti dari islam adalah beribadah hanya kepada Allah semata. Sementara kita tidak mungkin bisa mewujudkan tujuan ini kecuali hanya dengan bantuan dari Allah. Penggalan pertama ayat ini: “hanya kepadaMu kami beribadah” merupakan tujuan ajaran islam, sedangkan penggalan kedua: “hanya kepadaMu kami memohon pertolongan” merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan inti ajaran islam tersebut.
2. Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman dan terwujudnya amal shaleh
Ibnul Qoyyim menyatakan, “Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman, ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakkal terhadap amal seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagaimana kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali di atas pondasi tawakkal.” (Dinukil dari Fathul Majid 341)
3. Tawakkal merupakan bukti iman seseorang
Allah berfirman, yang artinya: “Bertawakkal-lah kalian hanya kepada Allah jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23). Ayat ini menunjukkan bahwa tawakkal hanya kepada Allah merupakan bagian dari iman dan bahkan syarat terwujudnya iman.
4. Tawakkal merupakan amal para Nabi ‘alahimus shalatu was salam
Hal ini sebagaimana keterangan Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan satu kalimat: “hasbunallaah wa ni’mal wakiil” yang artinya, “Cukuplah Allah (menjadi penolong kami) dan Dia sebaik-baik Dzat tempat bergantungnya tawakkal.” Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alahis shalatu was salam ketika beliau dilempar ke api. Dan juga yang diucapkan Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam ketika ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah arab telah bersatu untuk menyerang kalian (kaum muslimin)…” (HR. Al Bukhari & An Nasa’i).
5. Orang yang bertawakkal kepada Allah akan dijamin kebutuhannya
Allah berfirman, yang artinya, “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya).” (QS. At Thalaq: 3)
Manfaat dan Faedah Utama Implementasi Tawakkal
Jika hati bersandar kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bertawakkal kepadaNya, tidak menyerah pada prasangka-prasangka buruk, tidak dikuasai khayalan-khayalan negatif, yakin serta mengharapkan sekali karunia Alloh Subhanahu wa Ta’ala, maka :
1. Akan terusirlah perasaan sedih dan hilanglah berbagai macam penyakit fisik dan jiwa. Hati bisa mendapatkan kekuatan, kelapangan dan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan.
2. Terjauhkan prevented) dari pra-sangka-prasangka buruk dan khayalan-khayalan menyesatkan.
3. Diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diberiNya taufik untuk berusaha menda-patkan faktor-faktor yang bisa menguatkan hatinya dan mengusir kegelisahannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya.” (QS: Ath-Thalaq: 3) Artinya Alloh akan mencukupkan untuknya semua apa yang dia butuhkan dari urusan agama dan dunianya.
4. Hatinya kuat. Tidak dapat dipengaruhi prasangka-prasangka buruk, tidak dapat digoncang oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi, sebab dia tahu hal itu termasuk indikasi lemahnya jiwa dan perasaan takut yang tidak beralasan.
5. Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan menjamin sepenuhnya orang yang bertawakkal kepada-Nya, dia yakin kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan tenang karena percaya akan janjiNya sehingga hilanglah kesedihan dan kegelisahannya. Kesulitan berubah menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kegembira-an dan perasaan takut menjadi keamanan.
F. SYUKUR
Syukur adalah suatu sikap atau perilaku memuji, berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Allah atas karunia-Nya, bahagia atas karunia tersebut dan mencintai-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Syukur adalah salah satu sifat yang merupakan hasil refleksi dari sikap tawakal. Secara bahasa, syukur mengandung arti “sesuatu yang menunjukan kebaikan dan penyebarannya”.
Sedangkan secara syar’i, pengertian syukur adalah “memberikan pujian kepada yang memberikan segala bentuk kenikmatan (Allah swt) dengan cara melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dalam pengertian tunduk dan berserah diri hanya kepada-Nya”
Firman Alloh SWT yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah: 172)
Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
o Al-I’tiraaf
I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
o At-Tahadduts
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya. Firman Alloh SWT
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”
o At-Tha’ah (taat)
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Tingkatan Syukur
1. Tingkatan syukur yang pertama, adalah syukur yang sudah sering kita lakukan, yaitu syukur bersyarat atau syukur parsial. Kita bersyukur atas sesuatu yang kita miliki atau kondisi baik yang kita alami. Syukur semacam ini mirip seperti rasa syukur atau ucapan terima kasih yang dilontarkan anak kecil setelah dibelikan mainan atau permen oleh bundanya.
2. Tingkatan syukur yang kedua adalah rasa syukur tak bersyarat atau syukur yang menyeluruh (holistic), yang mencakup juga semua rasa syukur yang berada di tingkatan syukur pertama (syukur parsial). Rasa syukur ini tidak terikat pada situasi dan kondisi serta menyatu pada diri Anda atau menjadi identitas Anda.
Manfaat Syukur Bukan Untuk Tuhan
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali kepada orang yang bersyukur, sedang Allah Swt. sama sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari syukur makhluk-Nya.
“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Mahamulia” (QS An-Naml [27]: 40)
Walaupun manfaat syukur tidak sedikit pun tertuju kepada Allah, namun karena kemurahan-Nya, Dia menyatakan diri-Nya sebagai Syakirun 'Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan Syakiran Alima (QS An-Nisa' [4]: 147), yang keduanya berarti, Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui, dalam arti Allah akan menganugerahkan tambahan nikmat berlipat ganda kepada makhluk yang bersyukur.
Cara untuk Bersyukur
1. Syukur dengan Hati.Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuh-penuhnya nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan nikmat dari Allah. Syukur dengan hati mengantarkan manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa harus berkeberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Allah sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya.
2. Syukur dengan Lisan. Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Ny. Di dalam al-qur’an pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi ‘’al-hamdulillah’’. Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji ataupun kepada yang lain. Kata ‘’al’’ pada ‘’alhamdulillah’’ disebut al lil istigraq, yakni mengandung arti ‘’keseluruhan’’, sehingga kata ‘’al-hamdu’’ yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
3. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Siapa yang Harus disyukuri
Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah Swt. Al Quran memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya, Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah"dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah (Begitu bunyi suatu riwayat yang disandarkan kepada Rasul Saw).
Keutamaan dan Manfaat bersyukur
Dengan tegas dan jelas, banyak sekali ayat Al Quran yang menjanjikan keutamaan bagi orang yang bersyukur.
1. Dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Firman Alloh “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qhashas [27] : 77)
2. Bersyukur dapat menambah nikmat.
Dengan tegas dan jelas, banyak sekali ayat Al Quran yang menjanjikan keutamaan bagi orang yang bersyukur. Firman-Nya, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim [14] : 7).
3. Dapat menenangkan hati dan jiwa serta lebih menjadikan seseorang menjadi pribadi yang bertakwa dan taat kepada Alloh SWT dan lain-lain.
G. MURAQABAH
Muraqâbah berakar dari kata râqaba yang berarti menjaga, mengawal, menanti dan mengamati. Semua pengertian dari kata raqaba tersebut dapat disimpulkan dalam satu kata yaitu pengawasan. muraqâbah dalam pembahasan kita adalah kesadaran seorang Muslim bahwa dia selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Kesadaran itu sendiri lahir dari keimanannya bahwa Allah SWT dengan sifat 'ilmu, bashar, dan sama' (mengetahui, melihat, mendengar). Dia maha mengetahui apa yang kita perbuat, kita pikirkan dan kita rasakan kapan saja dan dimana saja. Tidak ada satupun yang luput dari pengawasan-Nya. Sebutir bijipun dalam gelap gulita yang berlapis-lapis tetap diketahui oleh Allah SWT.
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; taka da yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetaahui apa yang di daratan dan apa yang di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dantidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaksesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulus dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An'âm 6: 59)
Dalam beberapa ayat lain Allah SWT menjelaskan bahwa Dia mengawasi segala tingkah laku hamba-Nya. Perhatikan beberapa firman berikut:
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“...Sesungguhnya Allah sellu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisâ' 4: 1)
“...Dan addalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzâb 33: 52)
“Dia mengethui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mukmin 40: 19)
Menurut Rasulullah saw, muraqâbah yang paling tinggi yaitu apa bila seseorang dalam beribadah kepada Allah SWT bersikap seolah-olah dia dapat melihat-Nya. Sekalipun dia tidak dapat melihat-Nya, tapi dia yakin Allah SWT pasti melihat. Inilah yang dinamai dengan sikap ihsân.
Muhasâbah
Kesadaran akan pengawasan Allah SWT akan mendorong seorang Muslim untuk melakukan (perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku, dan sikap hatinya sendiri. Dalam hal ini berfungsi sebagai jalan menuju (al- muraqâbah thâriq ila al-muhasâbah )
Di jelaskan oleh Râid 'Abd al-Hâdi dalam bukunya Mamarât al-Haq bahwa muhasâbah dapat dilakukan sebelum dan sesudah amal. Sebelum melakukan sesuatu harus menghitung dan mempertimbangkan terlebih dahulu buruk baik dan manfaat perbuatan itu, dan juga menilai kembali motivasinya. Muhasâbah sesudah amal ada tiga macam:
1. Muhasâbah hak Alllah SWT. Yaitu tentang keikhlaannya beramal karena Allah, kesesuaian amalnya dengan petunjuk Rasl, sikap iihsannya dalam beramal, dsb.
2. Muhasâbah amalan yang akan lebih baik tidak dilakukan dari pada melakukannya.
3. Muhasâbah amalan mubah atau kebiasaannya. Kenapa dia lakukan? Apakah ia melakukannya karena menginginkan ridha Allah dan Akhirat. Jika memang mencari ridha Allah tentu ia beruntung, jika tidak dia akan merugi.
Muhasâbah akan memberi banyak manfaat bagi seorang Muslimin. Antara lain:
1. Untuk mengetahui kelemahan diri supaya dia dapat memperbaikinya. Karena orang yang
tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri tidak akan dapat memperbaikinya.
2. Untuk mengetahui hak Allah SWT. Karena orang yang tidak mnetahui hak Allah SWT ibadahnya tidak bermanfaat banyak bagi dirinya.
3. Untuk mengurangi beban hisab esok hari.
Tentang manfaat muhasâbah yang ketiga di atas 'Umar bin Khaththâb menulis surat kepada para aparatnya:
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab kelak. Timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang kelak. Karena sesungguhnya akan ringan bagimu menghadapi hisab esok hari bila kamu telah menghisabnya hari ini. Berhiaslah kamu untuk hari “pameran besar” di mana pada hari itu dirimu akan dipamerkan tanpa ada yang tersembunyi sedikitpun.
H. TAUBAT
Taubat berakar dari kata tâba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu; kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridhai-Nya, kembali dari saling yang bertentangan menuju ke yang saling menyenangkan, kembali kepada Allah setelah meninggalka-Nya dan kembali taat setelah menentang-Nya.
Searti dengan kata tâbaadalah anâbadan âba. Orang yang taubat karena takut azab Allah disebut tâib,bila karena malu disebut munib, dan bila karena mengagungkan Allah disebut awwâb.
Apabila seorang Muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dia wajib segera taubat kepada Allah SWT. Kesalahan atau kemaksiatan disini adalah semua perbuatan yang melanggar ketentuan syari'at Islam, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan, baik yang termasuk shaghâir(dosa kecil) atau kabâir(dosa besar).
Taubat tersebut adalah suatu keniscayaan bagi manusia, sebab tidak satu pun anak keturunan Adam AS di dunia ini yang tidak luput dari berbuat dosa. Semua manusia, pasti pernah melakukan berdosa. Hanya para nabi dan malaikat saja yang luput dari dosa dan maksiyat (lihat Qs. At-Tahrim 66: 6). Manusia yang baik bukan orang yang tidak berdosa, melainkan manusia yang jika berdosa dia melakukan taubat. Rasulullah Saw telah bersabda:
“Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah] (‘Atha, 1993).
Bertaubat hendaknya jangan ditunda-tunda, jika seorang Muslim sadar bahwa dia telah berbuat kesalahan atau kemaksiatan dia harus segera bertaubat kepada Allah SWT. Kenapa harus segera bertaubat? Karena kematian itu misteri, tidak ada seorang pun yang tau kapan datangnya hari kematian itu.
Tidak ada kata terlambat untuk kita bertobat kecuali sebelum maut menjemput dan matahari terbit dari barat. Sebesar apapun dosa yang telah diperbuat anak adam, jika dilakukan secara murni dalam hati engan ridha-Nya pasti dosa tersebut akan diampuni. Dalam suatu hadis qudsi Allah berfirman:
"Wahai Bani Adam, kalian tidaklah (sungguh-sungguh) berdoa dan mengharap pada-Ku, Aku akan mengampuni dosa-dosa kalian dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, jikalau dosa kalian mencapai awan di langit, lalu kalian minta ampun pada-Ku, Aku akan mengampuni kalian, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, jikalau kalian datang pada-Ku dengan dosa sebesar ukuran bumi, tetapi kemudian kalian mendatangiku dengan tanpa berbuat syirik pada-Ku, maka Aku akan datang padamu dengan ampunan sebesar itu pula." (HR. At-¬Tirmidzi).
Nabi SAW bersabda, “Sungguh, Allah membentangkan tangan-Nya setiap malam agar orang yang berbuat kejelekan di siang hari mau bertaubat. Dan Dia juga membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat kejelekan di malam hari mau bertaubat." (HR. Muslim dan Imam Ahmad).
Lima Dimensi Taubat
Taubat yag sempurna harus memenuhi lima ddimensi:
1. Menyadari kesalahan. Karena sesorang tidak mugkin bertaubat kalau dia tidak menyadari kesalahannya atau tidak merasa bersalah. Di sinilah perlunya seorang Muslim mempelajari Islam, terutama tentang hal-hal yang wajib diikutinya dan wajib ditinggalkan. Dan pentingnya sesama muslim saling ingat-mengingatkan.
2. Menyesali kesalahan. Sekalipun seorang tahu bahwa dia bersalaha tetapi dia tidak menyesal telah melakukannya maka oarang tadi belum dikatakan bertaubat. Apalagi bila orang itu bangga dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. Rasulullah saw bersabda:
“Menyesal itu adalah taubat.” (HR. Abu Daud dan Hakim)
3. Memohon ampun kepada Allah SWT (istghfar), dengan keyakinan atau husn azh-zhan bahwa Allah SWT akan mengampuninya. Semakin banyak dan sering seseorang mengucapkan istighfar kepada Allah semakin baik.
4. Berjanji tidak akan mengulangi lagi. Janji harus terucap dari hati nurani. Sehingga tidak ada pikiran atau hasrat akan mengulangi lagi dosa tersebut sewaktu-waktu. Betapa kecilnya dosa itu jika dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi dosa yang besar.
5. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal saleh. Allah SWT befirman:
kebaikan yang dilakukan setelah bertaubat akan menghapus keburukan pada masa lalu. Friman Allah: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha 20: 82)
Hadits lain Rasulullah saw memberikan perumpamaan bagaimana kebaikan menghapuskan keburukan:
“Perumpamaan orang yang mengrjakan perbuatan burukkemudian mengerjakan perbuatan baik adalah seperti seorang yang terbelenggu oleh rantai-rantai, lalu dia melakukan kebaikan, maka terlepaslah satu ikatannya, kemudian dia melakukan kebaikan lagi, maka terlepaslah dai dari rantai-rantai lainnya sampai ia terlepas.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Taubat yang memenuhi lima dimensi di atas yang disebut taubat sempurna atau dalam Al-Qur'an disebut taubat nashuha (QS. At-Tahrim 66: 8)
I. STUDY KASUS
Dilema
Dahulu kala seorang penyair mengungkapkan tntang “jaman edan” Di era seperti ini banyak orang yang dilema karena keterpurukan. Bila tidak ikut-ikutan tidak mendapatkan apa-apa, dan bila ikut-ikutan “gila” merasa bersalah pada Yang Kuasa.
Banyak fenomena khususnya di Indonesia dengan alasan keterdesakan ekonomi, mereka menyambung nyawa dengan cara-cara yang tidak baik, akan tetapi merekapun menyadari bahwa hal tersebut tidak baik dilakukan, ingin rasanya bertaubat tapi mereka ragu, karena takut tidak bisa bertahan hidup.
Banyak orang saat kesusahan, saat terkena musibah tidak dengan ikhlas menerimanya bahwa itu adalah ujian dari Allah, yang pada akhirnya mereka melupakan Allah,atau ingin keluar dari masalah dengan cara-cara yang tidak benar.
Allah tidak akan memberi ujian melampaui kemampuan kaumnya. Dan jangan menyembunyikan kebenaran karena hanya takut yang bersumber bukan dari Allah, contohnya; menerima uang tutup mulut. Sesungguhnya Allahpun telah berfirman: mati itu ada di tangan Allah (QS. Ali Imran 3: 145), rezeki sudah di diatur dan dijamin Allah (QS. Hud 11: 6).
Menerima keadaan dan mensyukuri apa yang telah diberi Allah, belajarlah dengan bijak mengambil hikmah dari segala sesuatunya, tanpa mengurangi semangat berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik bagi dunia dan akhirat. Dan selalu berbuat amal soleh karena amal soleh dapat menolong pada saat kesusahan.
Daftar Pustaka
Ilyas Yunahar, Prof. Dr. M.A, Kuliah Akidah, Kuliah Akhlak, Yogyakarta, 2008