Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya dan politik. Dengan semboyan ini para pendiri bangsa telah menempatkan masyarakat adat sebagai elemen dasar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa:
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang"Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya.
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 28I poin (3) pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati oleh Negara.
Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindungi hak-hak adatnya. Dengan klausal ini maka konstitusi telah menggariskan bahwa penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada ditangan komunitas yang bersangkutan (self-identification and self-claiming), bukan ditentukan oleh pemerintah atau oleh para akademisi/ilmuwan/peneliti.
Artinya kalau suatu komunitas masyarakat adat bisa menunjukkan identitas budayanya dan hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya (penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen menyebut hak ini sebagai hak asal asul) yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, maka negara harus hormatinya.
TAP MPR No. IX/2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Sebaliknya, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara hirarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan/pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada di wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak masyarakat adat dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001.
Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan, sedangkan kepemilikan tetap berada di tangan negara. Dengan demikian maka TAP MPR No. IX/2002 memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk merubah UU No. 41/1999, sehingga UU ini dengan semua peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat atas hutan adat sudah tidak layak digunakan sebagai produk hukum untuk menetapkan LEGALITAS penebangan hutan.
sumber : http://www.gudang-hukum.co.cc/2009/11/hak-hak-masyarakat-adat-dan-posisi.html