oleh Yudi Rachman/ Majalah Tabligh
Narasumber : Ustad Sukriyanto AR
Di Muhammadiyah, mencari intelektual atau cendikiawan dari berbagai latar belakang disiplin ilmu sangat mudah. Karena perhatian Muhammadiyah terhadap pendidikan memang begitu kuat. Tapi mencari pemimpin di Muhammadiyah seperti mencari jarum dalam jerami, sangat sulit. Bukan sembarang pemimpin tentunya.
Muhammadiyah tidak hanya membutuhkan sosok yang cerdas, berwawasan luas, relasi tak terbatas, tapi sebagai organisasi yang bergerak dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah membutuhkan pemimpin yang mendalam pemahaman keagaamannya yang terpancar dalam ketawadhuan dan kekuatan beribadah.
Sehingga sangat layak, patut, dan pantas untuk dijadikan teladan bagi seluruh warga Muhammadiyah. Selain itu tentunya, harus strong dalam memimpin. Tegas dalam bersikap dan memutuskan kebijakan yang sangat penting bagi kebutuhan umat.
Wawancara ini mulanya ingin menghadirkan Haedar Nashir, salah seorang Ketua PP Muhamadiyah. Namun beberapa saat sebelum wawancara beliau membatalkannya karena harus segera kembali ke Yogyakarta.
Akhirnya, redaksi memutuskan untuk menggantinya dengan Sukriyanto AR, Ketua MTDK PP Muhammadiyah yang juga putra kedua dari tokoh Muhammadiyah AR Fakhrudin. Berikut hasil wawancaranya.
Pandangan Anda mengenai kepemimpinan dalam Islam?
Kepemimpinan dalam Islam itu merujuk kepada kepemimpinan Rasulullah. Nabi itu selain pemikirannya bagus, ucapan bagus, tindakan bagus, sehingga bisa menjadi teladan. Jadi kalau kita mengharapkan pemimpin yang ideal, harus meneladani kepemimpinan Rasulullah.
Misalnya, Rasulullah dalam soal keyakinan itu kan murni hanya kepada Allah. Tidak ada sedikit pun syirik. Dalam arti hablumminallah memang sangat rekat, dekat, dan kuat. Hablumminannasnya, sebagai pemimpin yang dihadapi nabi saat itu masyarakat majemuk, nabi bisa beradaptasi dengan sangat baik, meskipun berbeda latar belakang agama dan suku.
Berarti dalam diri pemimpin harus ada keseimbangan antara hablumminallah dan hablumminannas?
Selain keseimbangan, juga kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Bagaimana dengan konteks kepemimpinan dalam Muhammadiyah?
Seharusnya seperti itu. Karena Muhammadiyah sebagai pengikut Muhammad, seharusnya tidak tergoda oleh unsur-unsur duniawi. Dan kalau memiliki kekuasaan, kekuasaan dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Adakah perbedaan kepemimpinan di Muhammadiyah pra dan pasca reformasi?
Kalau pra reformasi itu kan mundur sampai KH Ahmad Dahlan. KH Ahmad Dahlan itu orang kaya, tapi hidupnya sederhana. Kekayaannya lebih banyak dipakai untuk kepentingan dakwah. Begitu juga dengan para pemimpin sesudahnya.
Artinya, walaupun tidak bisa seperti Rasulullah, tapi semaksimal mungkin mereka mengikuti keteladanan Rasulullah. Setelah reformasi, ada hal-hal yang perlu diperbaiki, terutama kesederhanaan, keteladanan, dan kedekatan dengan umat harus lebih dibangun kembali.
Ada pandangan, kepemimpinan Muhammadiyah pasca reformasi lebih kuat nuansa politiknya dibandingkan pra-reformasi yang lebih kuat karakter keulamaannya, pandangan Anda?
Di dalam Islam, politik itu tidak mungkin ditinggalkan. Tapi bukan arti, politik dalam arti kepartaian. Fungsi-fungsi politik tetap dijalankan sejak dulu. Contohnya, kiprah politik AR Fakhrudin, adalah ketika pemerintah akan membuat UU Perkawinan 1974, di dalam draftnya banyak sekali yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kemudian PP Muhammadiyah menugaskan majelis tarjih untuk mempelajari mana yang tidak sesuai. Yang tidak sesuai kemudian dicatat lalu dibuat semacam draft pembanding. Lalu kedua draft tersebut dibawa ke tokoh-tokoh politik (orang partai) dan menteri agama yang waktu itu Mukti Ali, termasuk ABRI yang pada waktu itu masih dominan.
Hasilnya, banyak terjadi perubahan meskipun tidak bisa semua dirubah. Contoh kedua, pada pemilu 1992, waktu itu calon anggota DPR dari Golkar kebanyakan non-muslim, sekitar lebih dari 70%. Padahal penduduk Indonesia mayoritas muslim. Kondisi ini kan berbahaya, kalau anggota DPR mayoritas non-muslim.
Kemudian AR Fakhurdin mengumpulkan data-data tersebut. Lalu AR Fakhrudin melakukan silaturahmi kepada tokoh-tokoh ABRI dan tokoh-tokoh Golkar, termasuk ke pak Harto. Saat ketemu pak Harto, AR Fakhrudin mengatakan, ”Pak, Indonesia kan penduduknya mayoritas muslim, tapi mengapa kami menemukan data seperti ini ? Kalau data ini benar, mohon pak Harto dapat mempertimbangkan”. Mungkin pak Harto melakukan kajian. Akhirnya, anggota DPR kembali mayoritas muslim.
Lalu, pada waktu itu tersebar isu ijo royo-royo. Contoh-contoh tersebut menggambarkan fungsi politik tetap berjalan di Muhammadiyah walaupun bukan sebagai partai politik. Inilah keuntungan Muhammadiyah tidak mendukung salah satu partai politik, semua semua sekat politik dapat ditembus dengan baik. Datang ke PPP diterima, ke Golkar juga diterima, ke PDI, termasuk ke Pak Harto. Muhammadiyah harus melaksanakan fungsi politiknya, kalalu tidak Muhammadiyah akan digilas oleh mesin politik yang ada.
Dari beberapa PDM yang kami wawancara, mayoritas merindukan sosok kepemimpinan seperti KH Ahmad Dahlan atau KH AR Fakhrudin, Anda melihat ada apa dibalik kerinduan itu?
Mungkin mereka menginginkan Muhammadiyah tenang namun dinamis. Kemudian hubungan dengan berbagai elemen masyarakat tetap bisa berjalan dengan baik. Mungkin mereka membutuhkan keteladanan, dan itu tidak mudah. Pemimpin yang mau duduk bersama, tidak ada perbedaan tempat tidur.
Dulu, kongres tidak di hotel. Kalau pun di hotel dikondisikan tidak ada sekat antara pimpinan dan anggota. Pemimpin Muhammadiyah harus meniru kesederhanaan Rasulullah. Rasulullah itu kaya raya, bisa membangun istana, bisa membli kendaraan yang paling bagus, tapi Rasulullah hidupnya tetap sederhana. Begitu juga dengan KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansur, AR Sutan Mansur, dan sebaginya.
Mekanisme pemilihan pimpinan di Muhammadiyah berbeda dengan ormas Islam lain, ketua tidak dipilih oleh muktamirin, melainkan tim (formatur), menurut Anda, apa pertimbangan Muhammadiyah menggunakan tata cara pemilihan seperti ini?
Saya tidak tahu persisnya kapan. Tapi saya akan menceritakan beberapa kasus menarik yang berkaitan dengan mekanisme ini. Dulu, pada suatu kongres, ada yang namanya H. Anis, dia mendapatkan suara terbanyak, tapi tidak mau dipilih menjadi ketua. Karena H. Anis mengetahui, yang dipilih peserta sebenarnya bukan dirinya melainkan anaknya, H. Yunus Anis yang bagus dalam berkhutbah dan luas ilmunya.
Kemudian H. Anis mengundurkan diri. Akhirnya, atas kesepakatan, H. Yunus Anis yang tampil. Waktu itu dia masih sangat mudah sekali. Ini contoh yang dipilih karena popularitasnya. Di Muhammadiyah itu yang populer belum tentu yang terbaik. Orang-orang yang terpilih atau masuk tim formatur semuanya punya pikiran ’rumongso biso’, merasa bisa atau mampu, tapi lebih ’biso rumongso’.
Oleh karena itu mereka ditunjuk sebagai ketua belum tentu mau. Kasus seperti ini terjadi pada Kongres sekitar 1938, dari sembilan orang anggota formatur terpilih tidak ada satu pun yang mau ditunjuk sebagai ketua. Akhirnya, tim keliling mencari tokoh yang mempunyai kapasitas dan mampu mempin Muhammadiyah. Dipilihlah KH Mas Mansur, beliau ini sering berdiskusi dengan KH Ahmad Dahlan.
Kepintaran dan kedalam ilmunya sering dipuji KH Mas Mansur. Ini terjadi pada periode pertama. kasus lain, terjadi pada Muktamar 1953 di Banyumas. Tim formatur yang berjumlah 9 orang kembali tidak ada yang mau. Kemudian dicari orang yang dianggap bisa memimpin. Diketahui di Pekalongan ada yang bernama AR Sutan Mansur. Ia sering bertemu dan diskusi juga dengan KH Ahmad Dahlan.
Sehingga AR Sutan Mansur ditunjuk menjadi ketua. Tapi, waktu pertama kali diminta, ia tidak mau. Kemudian dibujuk oleh KH. Mukhtar agar mau menjadi ketua. ”Saya istikharah dulu”, kata AR Sutan Mansur. ”Silahkan istikharah, tapi supaya mau”, jawab KH Mukhtar.
Jadi, separuhnya AR Sutan Mansur dipaksa KH. Mukhtar. Ia merupakan salah satu sesepuh Muhammadiyah pada waktu itu. Dari beberapa peristiwa itu kita dapat menangkap, bahwa tim formatur itu adalah orang yang dipilih umat (muktamirin-red). Kemudian tim tersebut mempunyai hak untuk memilih atau menunjuk yang akan menjadi ketua, dari dalam tim atau dari luar tim. Mekasnisme ini memadukan antara popularitas dan kapabilitas atau kompetensi.
Pandangan bapak tentang perkembangan dakwah di Muhammadiyah, mulai dari dai terpencil sampai menangani paham liberalisme, sekulerisme, gerakan kristenisasi dan paham lain yang berbeda dengan nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah?
Saya kira Muhammadiyah kekurangan mubaligh. Kalau mubalighnya cukup, paham-paham seperti itu tidak mungkin berkembang. Karena mubalighnya kurang, penjelasan tentang Islam yang benar menurut paham Muhammadiyah tidak tersampaikan ke umat.
Akhirnya, muncul aliran sesat dan sebagainya, termasuk TBC. Jadi, menurut saya menanggulanginya, kita harus memperbanyak dan meningkatkan kualitas mubaligh Muhammadiyah. Untuk mempertahankan ruh dan spirit Muhammadiyah saja, di setiap ranting itu dibutuhkan 5 orang mubaligh. Makin banyak makin bagus. Di setiap cabang itu dibutuhkan minimal satu orang ulama (tafaqquh fiddin). Tingkat di atasnya harus lebih banyak lagi ulamanya, sampai tingkat pimpinan pusat.
Apa konsep bapak untuk membangun kemandirian, melihat amal usaha di bidang ekonomi belum berkembang dengan baik?
Orang-orang Muhammadiyah harus banyak terjun sebagai wirausaha atau pedagang. Kalau kita kaitakan dengan ayat-ayat al-Qur’an banyak sekali yang berkaitan dengan perdagangan dan jual beli. Hal itu menunjukkan, menurut saya, Islam sangat dekat dengan para pedagang. Secara historis, Rasulullah dan para sahabat adalah pedagang. Kenapa Madinah bisa dipertahankan oleh umat Islam.
Karena para sahabat Rasulullah banyak yang menjadi saudagar, sampai-sampai mengalahkan saudagar Yahudi. Salah satu faktor inilah yang membuat kelompok (bani) orang Yahudi memusuhi Islam. Apalagi mereka adalah orang yang sangat materialis.
Bagaimana menumbuhkan semangat berdagang di Muhammadiyah?
Harus diajarkan paham agama yang benar. Orang Muhammadiyah harus didorong wirausahawan-wirausahawan. Keuntungan lain, rapat di Muhammadiyah itu tidak harus memilih hari libur, karena pedagang waktunya fleksibel. Kita bisa menggunakan empat sifat Rasulullah. Shiddiq, manajemen harus dilandasi kejujuran. Amanah, tanggung jawab dalam bisnis modern itu kan sangat penting.
Contohnya, semakin besar perusahaan, ia akan sangat memperhatikan pelayanan terhadap pelanggan seperti garansi. Tabligh, bisa dimaknai sebagai pemasaran (marketing). Punya barang baik tapi tidak punya kemampuan marketing. Kemudian fathonah, artinya cerdas. Peluang itu hanya lewat satu kali. Tidak bisa ditangkap, maka akan lewat begitu saja.
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !