oleh Dirgantara Wicaksono (Bom Bom)
Universitas Negeri Jakarta
Keinginan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengubah ideologi dan dasar negara Indonesia menjadi paham komunis murni pada masa Orde Lama menjadi terhambat karena mendapat pertentangan dari tubuh TNI.
Usaha PKI melalui media dan cara apa saja untuk mengkomuniskan masyarakat Indonesia selalu mendapat tantangan. Apalagi saat TNI-AD menolak permintaan PKI untuk membentuk Angkatan V. Para Jenderal besar dipandang sebagai penghalang daripada maksud jahat PKI. Untuk itu, PKI bertekad menyingkirkan para Jenderal dengan membentuk isu Dewan Jenderal.
Angkatan V yang ingin dibentuk PKI pada dasarnya adalah sekumpulan pemuda rakyat yang dilatih militer secara intensif. Mereka dilatih untuk melakukan penembakan, penculikan, penangkapan, dan aksi-aksi terorisme.
Mereka berasal dari Pemuda Rakyat sendiri, Barisan Tani Indonesia, Sukarelawan Dwikora, dan organisasi underbow PKI lainnya yang sangat banyak. Jumlah sukarelawan yang masuk Dwikora yang terdaftar pada waktu itu mencapai 21 juta, sebagian besar diantara mereka sudah mengalami latihan kemiliteran. Tujuannya pembentukan Angkatan V adalah untuk mengimbangi TNI/ABRI dan selanjutnya dijadikan alat untuk merebut kekuasaan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pengaruh PKI mencapai klimaksnya pada pertengahan tahun 1965 dengan berlindung di bawah kharisma Bung Karno, PKI telah membagi kekuatan-kekuatan politik di Indonesia atas pertimbangan kawan dan lawan. Pihak yang dianggap kawan dirangkul, sedangkan pihak yang menjadi lawan disingkirkan. Pihak lain yang masih ragu-ragu dikelabui agar menjadi simpatisan PKI.
Usaha untuk menguasai struktur politik Orde Baru ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai cara telah dilakukan PKI untuk membuat lawan-lawan politiknya takut. Oleh karena usaha dari PKI mengalami kesulitan, tak ada cara lain, para anggota PKI yang dipimpin oleh D.N. Aidit melakukan pemberontakan menculik Dewan Jenderal di Jakarta dan diikuti oleh tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal yang ada di daerah-daerah.
Untuk meneruskan tindakan dan kekejaman PKI, mereka membentuk Dewan Revolusi Indonesia di Pusat, sedangkan di daerah-daerah akan dibentuk Dewan Revolusi Provinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan dan Dewan Revolusi Desa.
Di tingkat desa, tindakan yang dilakukan oleh PKI telah menebarkan ketakutan yang melanda kelompok lain seperti NU, Muhammadiyah, PNI, dan Persis. Masyarakat desa yang umumnya tidak tahu menahu urusan politik terbagi dua. Satu kelompok menjadi pendukung PKI, dan satunya menjadi pendukung organisasi musuh PKI. Di antara mereka terjadi jurang pemisah yang semakin melebar dan memanas karena faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan agama.
Demikian pula yang terjadi di Desa Jatirejo. Oleh karena Masyarakat yang tergabung di dalam BTI Jatirejo menjadi otak penggerak dan sekaligus massa PKI yang mnelancarkan agitasi, provokasi, dan serangan fisik kepada warga lain yang berbeda pilihan politiknya. Mereka melakukan teror, aksi penangkapan, dan penyerobotan tanah milik kyai, tokoh masyarakat, dan politikus desa yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU).
Oleh karena itu, adanya aksi sepihak yang dilakukan PKI itu bagi penulis menarik sekali untuk diteliti dan dikaji. Dengan penelitian dan penyajian kisah yang terjadi di Jatirejo itu diharapkan dapat menemukan akar permasalahan tentang apa yang sebenarnya terjadi sehingga menjadi cermin bagi kita semua untuk melihat masa lalu secara arif dan bijak.
Keadaan Desa Jatirejo
Desa Jatirejo yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Magangan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Ngampel. Desa ini terletak di sebelah selatan dari Kantor Kecamatan Ngamel. Desa Jatirejo merupakan salah satu desa, dari 16 desa yang ada di wilayah Kecamatan Ngampel.
Jarak desa Jatirejo 4 km dari pusat pemerintahan kecamatan ke arah selatan, dan 11 km dari Ibu kota Kabupaten ke arah selatan. Letak desa Jatirejo berbatasan dengan 4 (empat) desa lainnya, yaitu dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan : Desa Rejosari
- Sebelah Selatan berbatasan dengan: Desa Plalangan
- Sebelah Barat berbatasan dengan : Desa Winong
- Sebelah Timur berbatasan dengan :Desa Kedung Pucung, dimana Jembatan Pengilon yang menghubungkannya.
Barangkali bagi khalayak umum keberadaan desa ini nampak asing di telinga. Namun demikian, siapa sangka desa yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Kendal ini ternyata mempunyai catatan sedikit peristiwa pahit tentang keberadaan PKI yang luput dari sejarah yang ada.
Adanya Partai Politik yang awalnya tidak direspon oleh masyarakat ini, tiba-tiba menggemparkan warga sekitar, serta sikap masyarakat yang bertentangan dengan ajaran komunis, menjadi acuan bagi kami untuk mencari dan mengungkap fakta dan problema yang pernah terjadi di desa ini.
Dengan adanya bukti serta narasumber, maka hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa napak tilas tentang PKI pernah singgah di desa ini.
Keadaan Masyarakat
Jatirejo merupakan desa yang terletak di bawah perbukitan, termasuk desa yang subur, dengan terpenuhinya segala sumber daya alam yang ada, mata pencaharian yang utama adalah bertani, baik bertani di atas tanahnya sendiri, maupun bertani di atas tanah orang lain.
Seperti pada desa-desa lain di wilayah kecamatan Ngampel, Desa Jatirejo ini dibagi menjadi beberapa dusun. Dusun yang paling terkenal adalah Dusun Mijil dan Dusun Magangan. Dusun Mijil merupakan dusun yang mempunyai warga paling banyak dan 80% penduduknya mayoritas orang-orang PKI.
PKI di Jatirejo
Latar Belakang
Gambaran kehidupan PKI di Desa Jatirejo terlihat pada kebanggaan mereka memamerkan bendera besar yang terpasang tinggi di atas pohon di depan rumah bapak Sasmito, Kepala Desa Jatirejo. Di pertengahan tahun 1960, di Desa Jatirejo-Magangan, setiap orang yang lewat merasa aneh dan penasaran terhadap gambar “palu arit “ di tengah bendera itu.
Keadaan seperti itu tidak di hiraukan oleh beberapa anggota NU (satu di antara 4 partai yang berdiri tahun 1960-an), mereka telah mengetahui bahwa itu bendera itu adalah lambang PKI. Mereka juga mengetahui bahwa di samping kepala desa, Pak Sasmito juga sebagai ketua di tubuh PKI daerah Jatirejo, sedangkan sekretaris PKI-nya di pegang oleh Pak Su’ud seorang juragan tembakau.
Melalui taktik underground yang di lancarkan oleh Pak Su’ud dengan cara menguasai pertanian di dukuh Mijil, dia mulai mendapatkan kepercayaan dari warga Mijil, satu persatu buruh tani mulai terpengaruh untuk mengikuti organisasi PKI.
Rasa kebersamaan yang di miliki warga sekitar semakin mempermudah PKI untuk melakukan kampanye, awalnya warga sekitar hanya ikut-ikutan saja menjadi anggota PKI, mereka tidak tahu pasti apa dasar dan tujuan dari PKI.
Awal tahun 1965 massa PKI sudah mulai menyeluruh di dukuh Mijil yang berpenduduk hampir kurang lebih 700 orang, jumlah ini hampir satu banding tiga dari jumlah seluruh komponen warga Jatirejo yang berpenduduk sekitar1.500 orang. Mereka yang tergabung dalam PKI di beri nama Pemuda Rakyat sedangkan para anggota petani tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI).
Semua perangkat desa menjadi anggota PKI. Kecuali Pak Umar yang menjadi carik dan Pak Ka’ad yang menjadi bayan. Pak Umar adalah tokoh dari Masyumi, namun saat itu Partai Masyumi tidak mempunyai massa yang cukup banyak, sedangkan Pak Ka’ad salah seorang tokoh NU yang sangat tersohor di warganya.
Tanggal 15 mei 1965, ketua Ansor tingkat Jatirejo, mendapat informasi dari TNI Kendal, bahwa anggota yang tergabung dalam BTI, di Bandar Betsy, Kabupaten Simalungan, Sumatra Utara bersama ormas PKI dan Pemuda Rakyat telah membunuh Pelda Sudjono yang sedang menarik traktor yang terbenam di perkebunan. Pelda Sudjono dibunuh karena menghalangi niat dan rencana para anggota BTI dan Pemuda Rakyat ingin menguasai lahan di tempat tersebut.
Tentu saja hal ini membuat keresahan warga sekitar yang menjadi aktivis partai NU. Bagaimana tidak? Masyarakat Dusun Mijil rata-rata tergabung dalam pemuda Rakyat dan BTI. Akan tetapi, keresahan warga pada saat itu terlalu di perlihatkan. Untungnya, PKI belum atau tidak melakukan tindakan-tindakan yang berbau anarkis.
Sebaliknya keresahan justru terjadi pada diri Pak Ka’ad. Semua perangkat desa yang berjumlah 10 orang mulai memusuhi Pak Ka’ad. Para anggota PKI ini sering mengunjungi rumah Pak Ka’ad dan menawarinya untuk menjadi anggota PKI, bahkan mereka akan menjadikannya sebagai ketua untuk menggantikan posisi Pak Sasmito yang kala itu merangkap 2 jabatan.
Dari keterangan yang dapat diambil menjelaskan bahwa pak Ka’ad juga seorang juragan tembakau, tak heran dalam keanggotaan NU, Pak Ka’ad dapat mencari massa yang banyak yang tentu saja hal ini merupakan halangan bagi PKI untuk mengembangkan jumlah massa yang lebih besar, apa lagi dia selalu menolak tawaran apapun dari PKI.
Oleh karena itu aksi-aksi anarki mulai dilancarkan oleh PKI, di antaranya pelemparan batu terhadap rumah Pak Ka’ad setiap malam hari, genteng-genteng berjatuhan di mana-mana, rusaknya areal padi miliknya yang mencapai 2 hektar serta pemukulan terhadap warga NU pun di lakukan oleh sejumlah orang yang tidak di kenal.
Oleh karena di rasa situasi sudah tidak aman lagi dan rumah Pak Ka’ad selalu menjadi sasaran anggota PKI, akhirnya dia mengungsikan istri beserta anak-anaknya ke Kendal. Insiden ini juga di ikuti oleh pencurian-pencurian di beberapa rumah warga.
Para anggota yang tergabung dalam Ansor dan Fatayat mengadakan musyawarah pada tanggal 2 agustus 1965, namun hasil yang di peroleh bertolak belakang terhadap keinginan warga NU. Ketua Ansor, Pak Asnawi menekankan bahwa semuanya tidak diperbolehkan untuk membalas dendam. Beberapa pernyataan itu antara lain:
“Apapun yang terjadi, warga NU sebagai warga yang baik tetap harus menjaga Tepo Seliro terhadap warga lain yang tidak sepaham dengan kita. Kita ber ideologi pancasila yang mengutamakan persatuan dan kesatuan. Pada tanggal 18 agustus 1965 nanti, jam 01.00 kita ajak PKI, Masyumi, PNI, dan NU, untuk menggelar pawai bersama tingkat desa guna mempererat tali persaudaraan.”
Pak Ka’ad, yang menjabat sebagai sekretaris partai NU merasa tidak nyaman dengan keputusan itu, sebab dia orang yang paling di benci orang-orang PKI Jatirejo, namun kebijaksanaan yang dimilikinya membuatnya dia bertahan dari segala kondisi yang terjadi.
Tanggal 15 agustus 1965, Pak Handoko dengan Kyai Abdul Jalil, salah satu anggota NU, bertugas mengirim undangan ke pada masing-masing partai dari berbagai ormas yang ada di desa Jatirejo. Dari anggota Masyumi dan PNI mendapat respon yang positif, namun ketika mereka menyampaikan ke pada Pak Sasmito, ketua PKI Jatirejo tertawa terpingkal-pingkal. Pak Handoko dan Kyai heran dengan sikap kepala desa tersebut, apa lagi saat itu di rumah Pak Sasmito sadang ada rapat anggota PKI.
Kedua tamu tersebut dipersilahkan duduk di ruang tamu. Sejumlah uang dan kertas diberikan Pak Sasmito kepada kedua tamu tersebut agar mereka mau bergabung dengan anggota Barisan Tani Indonesia yang secara kebetulan Pak Handoko adalah petani.
Akan tetapi tawaran itu di tolak oleh Pak Handoko dan Kyai Abdul Jalil. Secara spontan orang-orang PKI yang hadir di situ menatap tajam kedua orang tersebut. Pak Handoko merasa gelisah tetapi Kyai Abdul Jalil mencoba untuk menenangkannya.
Pak Handoko dan Kyai Abdul Jalil sempat dibisiki oleh Pak Sasmito dengan segelintir kata, ’’Siap-siaplah menghadapi sesuatu yang akan terjadi.’’ Kata itu menyisakan pertanyaan bagi mereka, namun mereka tidak mengatakan hal tersebut kepada ketua Ansor, karena mereka menganggap bahwa perkataan Pak Sasmito hanya bercanda.
Sesuai yang di jadwalkan sebelumnya, tanggal 18 agustus akan dilaksanakan pawai bersama. Semua Ormas dari berbagai partai berkumpul di depan Balai Desa Jatirejo, namun anggota dari PKI tidak satupun yang hadir. Situasi ini membuat geram tokoh-tokoh dari NU.
Ketidakhadiran PKI membuat tanda tanya. Pak Handoko yang bertugas menyampaikan undangan, memberitahukan semua yang terjadi saat ia bersama kyai Abdul Jalil mengunjungi rumah kepala desa yang menjadi ketua dari masa PKI. Oleh karena sudah lama menungu akhirnya pawai tersebut dilaksanakan tanpa kehadiran seorangpun dari PKI.
2. Terbunuhnya Pak Handoko
Tanggal 30 september 1965 hari kamis tepatnya ba’da subuh warga sekitar Jatirejo serentak di kejutkan oleh oleh penemuan mayat yang diketahui bernama Pak Handoko. Korban di temukan di tempat pembuangan sampah di Dukuh Duren oleh salah seorang penjaga tempat sampah tersebut bernama Pak Arif. Kemudian, mayat Pak Handoko dibawa ke Balai desa.
Semua orang berkumpul di balai desa guna menyaksikan mayat Pak Handoko yang terbujur kaku dengan kepala yang berlumuran dengan darah bekas sabetan pedang. Polisi yang datang merasa kebingungan mencari informasi tentang pembunuhan Pak Handoko tersebut.
Istrinya yang masih trauma akibat kehilangan suaminya secara tidak wajar tersebut. Ketika ditanya, Mbah Sumirah menjelaskan bahwa 2 malam sebelum peristiwa terjadi, tepatnya habis Isyak, dia ingin menghadiri pernikahan adiknya di Desa Kedung Pucung, namun sewaktu lewat daerah jembatan Pengilon, tempat penghubung Desa Jatirejo dengan Desa Kedung Pucung, dia melihat beberapa orang membawa kotak besar yang berwarna hitam dari arah Kedung Pucung menuju Dukuh Mijil. Beberapa di antara mereka membawa senjata tajam.
Setelah peristiwa itu, Pak Asnawi selaku ketua Ansor merasa terbebani dengan kejadian tersebut, apa lagi tidak ada tindak lanjut dengan peristiwa itu dari kepala desa, massa NU mulai garam dengan kematian pak Handoko yang masih banyak menyisakan pertanyaan. Polisi yang di tunggu kehadirannya hanya berjanji untuk mencari berbagai informasi.
Tentu saja kata itu tidak memuaskan anggota NU. Pada hari Kamis mereka meminta laporan dari Sumirah istri Pak Handoko. Dari hasil tersebut mereka menduga orang PKI-lah yang membunuh Pak Hndoko. Semua anggota NU lalu mendatangi rumah Pak Sasmito, melempari rumahnya dengan batu dan membakar bendera PKI.
Mereka minta agar para anggota PKI bertanggung jawab atas kejadian itu. Tentu saja alasan itu di tolak karena tidak ada bukti yang jelas, dan hal itu di tentang keras oleh anggota-anggota PKI yang saat itu hadir. Sosok Pak Sasmito yang menjadi kepala desa Jatirejo bagaikan kapal yang di kemudikan oleh nakhoda PKI.
Pak Asnawi menduga bahwa kotak yang di bawa oleh para orang yang tidak di kenal yang di lihat oleh istri korban ada kemungkinan berisi senjata, sebab pada waktu yang lalu berita dari radio memberitahukan bahwa D. N. Aidit ketua pusat PKI meminta pada Ir. Soekarno untuk menyetujui angkatan V, meskipun permintaan itu tidak di respon penuh, setidaknya demi tercipta keinginan PKI, bisa saja mereka akan melakukan hal-hal di luar dugaan, seperti mengirim senjata pada ranting-ranting PKI di desa-desa.
Oleh karena kekhawatiran, malam hari itu mereka mengadakan penjagaan. Nampaknya kecurigaan warga NU terhadap PKI tidak membuahkan hasil, semalam mereka berjaga dan mata-matai jembatan Kedung Pengilon, seluruh rumah PKI di lewati tidak ada apa-apa, hanya saja 2-3 orang PKI sedang duduk-duduk bersama, malam itu tanggal 30 september 1965, seperti malam-malam biasa tidak ada kecurigaan dari simpatisan PKI. Sehabis subuh semua yang ikut berjaga pulang ke rumah masing-masing, melepas lelah di rumah.
3. Aksi Sepihak PKI di Jatirejo
Tanggal 1 Oktober 1965, tepatnya pukul 08.00, ratusan massa PKI yang tergabung dalam Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia menyerbu rumah Pak Asnawi. Saat itu Pak Asnawi berada di rumah Pak Su’ud yang sedang mengadakan syukuran. Massa PKI yang membabi buta, melanjutkan aksinya dengan menyerbu di rumah berbagai warga karena tidak menemukan Pak Asnawi.
Mereka membawa senjata tajam. Orang-orang melarikan diri dari rumahnya guna mencari tempat perlindungan. Banyak dari warga NU yang menjadi tawanan PKI, bahkan ada juga yang sudah di bunuh oleh PKI karena tidak sempat melarikan diri.
Dalam waktu 3 jam Desa Jatirejo sudah dikuasai oleh PKI. Semua yang selamat mencari bantuan seadanya. Mereka mengungsi di berbagai tempat yang dirasa aman. Akan tetapi tempat aman sulit ditemukan karena Desa Winong dan Sumbersari telah di kuasai oleh PKI. Mereka yang tidak menurut langsung di bunuh di tempat.
Pak Asnawi beserta keluarganya sempat melarikan diri bersama keluarga Pak Su’ud menuju ke Kota Kendal, namun di perjalanan salah seorang warga mengatakan bahwa kantor polisi di Kendal sudah di kuasai oleh PKI. Mereka yang ditahan tidak tahu apa yang akan di lakukan oleh PKI.
4. Pemulihan Keamanan
Pada pukul 16.00 sore masih pada hari yang sama, pimpinan TNI AD wilayah Semarang mengirimkan pasukan untuk merebut kembali desa-desa yang di tawan PKI. Adanya operasi itu membuat anggota dan simpatisan PKI lari meninggalkan para warga.
Sore hari itu keanehan terjadi, para TNI-AD tidak menemukan apapun kecuali mayat-mayat yang terbengkalai yang paling banyak terdapat mayat di dukuh MIJIL. Barulah para TNI sampai di Pengilon melihat warga yang di tahan oleh PKI. Dukuh Mijil yang mayoritas warganya anggota PKI telah melarikan diri ke hutan. Para TNI yang mengetahui kepergian PKI segera mengejarnya.
Tangis menyebar ke semua penjuru desa, banyak warga yang meninggal akibat peristiwa itu, semua perangkat desa dan kepala desa kecuali Pak Ka’ad dan Pak Umar melarikan diri ke hutan. Dari informasi yang ada alasan PKI melarikan diri yaitu ketika mendengar keputusan dari Jendral Soeharto pada tanggal 2 Oktober 1965 yang memberitahukan pasukannya untuk membunuh semua anggota dan simpatisan PKI.
Sejak peristiwa berdarah itu Desa Jatirejo mulai mengoreksi diri, penguburan massal di lakukan bagi yang mereka yang telah meninggal di bunuh PKI. Kekejaman PKI masih teringat jelas di mata para warga korban PKI, terutama para mereka yang ditinggalkannya. Korban yang meninggal kurang lebih 22 orang.
Tiga hari berselang, para anggota PKI yang melarikan diri kehutan tertangkap di Kecamatan Kaliwungu, diantaranya Pak Sasmito dan perangkat desa lainnya. Sebelumnya mereka juga sempat terjadi baku hantam dengan para TNI, namun kurangnya penguasaan militer yang dimiliki dan posisi terdesak, memaksa mereka untuk menyerah, dan dengan mudah aparat dapat membersihkanya. Dari informasi itu juga di ketahui seorang anggota PKI yang tertangkap disetrika kulitnya oleh salah seorang anggota TNI, karena di dapatinya gambar berlambangkankan Palu Arit.
Penutup
Pemberontakan yang dilakukan PKI, khususnya di desa Jatirejo termasuk tindakan tidak manusiawi, sebab banyak warga tidak bersalah menjadi korban kekejaman massa PKI yang begitu ambisius untuk menjadikan warga Jatirejo menjadi warga yang mengikuti faham komunis.
Berbagai cara ditempuh sekalipun dengan jalan kekerasan. Pola ini mungkin serupa dengan daerah-daerah lain di Indonesia sebagai partai revolusioner yang mendasarkan strateginya pada konflik PKI yang melakukan kampanye besar-besaran untuk merekrut pengikut di tingkat kecamatan.
Mereka hampir sukses dalam hal ini, tetapi karena terburu-buru melakukan pemberontakan, menjelang September 1965, partai ini belum meleburkan pengikutnya dalam suatu organisasi yang kuat dan kokoh, ketika inisiatifnya didahului, menyusul peristiwa pembantaian sejumlah warga, PKI ketahuan tidak bersenjata, tidak terorganisir dan tidak berdaya.
Daftar Pustaka
Sulistio, Hermawan. 2000. Sejarah Pembantaian Massal. Jakarta : KPG
__________1950. Sejarah Yang Hilang. Jakarta : Kementrian RI
Ibu,Yani. 1982. Sebuah Kenang–kenangan. Jakarta : P.T Jayakarta Agung Offset
Yamin, Muhammad. 1958. Lukisan Sejarah. Jakarta :Jambatan
Haman, Ahmad.2003. Babad Tanah Kendal. Semarang : Inter Media
Paramadina.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Balai Pustaka.
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !