Pinisi merupakan kapal yang dikenal telah mengarungi samudera yang luas oleh pelaut - pelaut Bugis Makassar pada zaman dahulu. Bahkan kita mengenal kisah Sawerigading yang berlayar ke Tiongkok untuk melamar We Cudai dalam kisah sureq La Galigo.
Kali ini saya akan membahas proses pembuatan Pinisi, yang diketahui secara umum bahwa Pinisi ini dibuat di Bulukumba tepatnya di Tana Beru. Dan untuk memberikan kita gambaran akan khazanah budaya kita marilah kita menyimak prosesnya berikut ini.
Tempat Pembuatan Pinisi
Pembuatan pinisi dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut sebagai bantilang, dengan teknik ruling1). Orang yang sangat berperan dalam pembuatan pinisi adalah punggawa (kepala tukang atau tukang ahli).
Ia dibantu oleh para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi. Selain itu, dibantu juga oleh tenaga-tenaga yang lain, sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan pinisi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Pencarian dan Penebangan Pohon
Pohon yang dicari adalah welengreng atau dewata karena kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, juga tahan air. Pencariannya pun tidak dilakukan pada sembarang hari, tetapi pada hari-hari tertentu, yaitu hari kelima dan ketujuh pada bulan dimulainya pembuatan perahu. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan bahwa angka 5 (naparilimai dalle’na) oleh orang Tana Beru dianggap sebagai angka yang baik karena mempunyai arti “rezeki sudah di tangan”.
Sedangkan, angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti “selalu mendapat rezeki”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditemukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan karena jenis pohon itu dipercayai ada “penunggunya”. Dalam upacara ini, yang dijadikan sebagai korban adalah seekor ayam.
Tujuannya adalah agar penunggu pohon tersebut tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dengan perkataan lain, penebangan dapat berjalan lancar dan selamat. Pohon yang telah ditebang itu kemudian dibawa ke bantilang.
Pengeringan dan Pemotongan Kayu
Sebelum pohon (kayu) dipotong-potong sesuai dengan keinginan, ketika peletakan balok lunas, ada semacam ritual. Dalam konteks ini, balok lunas diletakkan di bawah kayu yang akan dijadikan bahan pembuatan pinisi dan salah satu ujungnya diarahkan (dihadapkan) ke Timur Laut. Ujung balok lunas yang mengarah ke Timur Laut ini merupakan simbol laki-laki.
Sedangkan, ujung yang satu lagi yang arahnya berlawanan merupakan simbol perempuan. Sebelum dipotong-potong sesuai dengan keinginan, maka bahan (kayu-kayu) tersebut dikeringkan. Kemudian, kayu yang akan dipotong ditandai dengan pahatan disertai pembacaan doa dengan tujuan agar kayu tersebut dapat berfungsi dengan baik ketika telah menjadi perahu.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan adalah mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu. Selain itu, pemotongan harus sampai selesai (tidak boleh berhenti sebelum kayu terpotong). Dengan cara seperti itu kekuatan kayu tetap terjamin. Sebagai catatan, pemotongan kayu dimulai pada bagian ujung-ujungnya. Salah satu potongan ujungnya dibuang ke laut sebagai penolak bala dan sekaligus sebagai simbol peran laki-laki (suami) yang mencari nafkah di laut. Sedangkan, ujung yang satunya disimpan di rumah sebagai simbol peran perempuan (isteri) yang menunggu suami pulang.
Perakitan Pinisi
Setelah lunas terbentuk dan dihaluskan, maka langkah berikutnya adalah pemasangan papan pengapit lunas (soting). Pemasangan ini disertai dengan suatu upacara yang disebut kalebiseang. Kemudian disusul dengan pemasangan papan yang ukurannya berbeda-beda (dari bawah ke atas). Papan yang kecil ada di bagian bawah, sedang papan yang besar ada di bagian atas.
Keseluruhannya berjumlah 126 buah. Sebagai catatan, sebelum pemasangan dilakukan, ada upacara yang disebut anjerreki, yaitu upacara yang bertujuan untuk memperkuat lunas. Setelah papan tersusun, pekerjaan diteruskan dengan pemasangan buritan dan tempat kemudi bagian bawah. Selanjutnya, badan perahu yang telah terbentuk tetapi masih belum sempurna karena masih banyak sela-selanya, khususnya antarpapan yang satu dengan lainnya, maka sela-sela tersebut perlu ditutup dengan majun. Pekerjaan ini, oleh masyarakat setempat disebut sebagai “a’panisi”. Kemudian, agar sambungan antar papan dapat merekat dengan kuat, maka sambungan-sambungan tersebut diberi perekat yang terbuat dari sejenis kulit pohon barruk.
Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat. Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram. Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.
Penggunaan bahan-bahan sebagaimana disebut di atas (kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya), ada kaitannya dengan mitos penciptaan pinisi yang menggunakan kekuatan magis. Mengacu kepada mitos itu, orang-orang di Tana Beru merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad raya (makrokosmos).
Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya, sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.
Pandangan di atas juga berpengaruh pada aktivitas di galangan perahu (bantilang), yang prosesnya diibaratkan bayi dalam kandungan. Hal ini terlihat, misalnya, dalam upacara pemotongan lunas perahu (anatra kalebeseang).
Pemotongan dan penyambungan balok-balok yang melambangkan perkawinan (persetubuhan) antara jantan dan betina sebagai “janin perahu”, kemudian menjadi “bayi perahu”. Selain itu, ada juga upacara pemberian pusat perahu (pamossi) yang melambangkan saat kelahiran (bayi) perahu ke laut lepas, seperti kelahiran manusia ke dunia dari kandungan ibunya. Dalam hal ini punggawa berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai “bidan”.
Sesuai dengan pandangan kosmos mereka, segala sesuatu dilihat dari segi totalitas yang berkaitan secara organik, sehingga pelanggaran terhadap “sebuah pantangan” akan berakibat fatal kepada keseluruhan (bayi) perahu yang akan dilahirkan. Pantangan terberat adalah apabila pihak sombali menyakiti hati punggawa. Kalau hal ini terjadi, perahu yang telah dibuat “tidak mau bergerak” ketika didorong ke laut.
Ini disebabkan punggawa (sebagai ibu) tidak rela apabila “bayi” perahunya diserahkan kepada orang yang telah menyakiti hatinya. Oleh sebab itu, sombalu yang arif akan segera menghubungi sang punggawa untuk melakukan “perdamaian”. Apabila perahu diluncurkan secara paksa, perahu tersebut akan cacat sesudah sampai di laut. Jadi, ketangguhan perahu di laut bukan saja karena faktor teknis, tetapi juga karena faktor magis (gaib).
Pemasangan Tiang Layar Pinisi
Setelah badan dan kerangka perahu selesai, maka pekerjaan selanjutnya adalah memasang tiang dan layar. Perahu pinisi biasanya menggunakan dua layar besar yang disebut sombala. Layar yang satu terpasang di bagian depan. Layar ini berukuran sekitar 200 meter persegi.
Sedangkan, layar yang lainnya terletak lebih ke belakang dengan ukuran sekitar 125 meter persegi. Di atas setiap layar besar itu terdapat sebuah layar berbentuk segi tiga yang disebut tanpasere. Selain layar utama, pada bagian haluan dilengkapi tiga layar pembantu yang juga berbentuk segi tiga. Layar ini masing-masing disebut cocoro pantara (di bagian depan), cocoro tangnga (di tengah), dan tarengke (di bekalangnya). Sebagai catatan, pemasangan layar baru dilakukan setelah perahu sudah mengapung di laut.
Peluncuran Pinisi ke Laut
Sebelum penisi diluncurkan ke laut, ada upacara yang dipimpin oleh punggawa. Jika pinisi yang akan diluncurkan bobotnya kurang dari 100 ton, maka binatang yang dijadikan korban adalah seekor kambing. Akan tetapi, jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka yang dijadikan korban adalah seekor sapi. Adapun doa yang diucapkan sebagai berikut: “Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu). Setelah upacara selesai, perahu ditarik oleh para sahi dan calon sahi menuju ke laut.
Peluncuran biasanya dilakukan pada saat air laut sedang pasang (tengah hari). Lamanya bisa berhari-hari (biasanya sampai 3 hari). Pemasangan layar dilakukan ketika perahu sudah mengapung di laut. Dan, dengan mengapungnya perahu di laut dan terpasangnya layar, maka punggawa dan para sahinya yang selama sekitar enam bulan membuatnya, berakhir. Sebagai catatan, setiap perahu pinisi mempunyai nama tersendiri, seperti: Pajjala, Banggo, dan Sadek.
Demikian proses pembuatan Pinisi semoga menambah khazanah pengetahuan tentang kapal legendaris ini dapat bertambah.
Sumber : Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Disarikan kembali oleh Tim Konten Gudang Materi