Pluralisme dalam sehari - hari dikenal sebagai keragaman akan perbedaan, dari segi keilmuan sendiri Pluralisme digunakan untuk menafsirkan cara yang berbeda, di berbagai topik untuk menunjukkan keragaman pandangan, dan bertentangan dengan satu pendekatan atau metode penafsiran. Namun di masyarakat sendiri yang banyak diangkat kepermukaan adalah Pluralisme Agama tapi tahukah anda ada banyak jenis pluralisme diantaranya :
- Pluralisme Kosmik yakni keyakinan di berbagai dunia lain di luar bumi, yang mungkin memiliki kondisi yang cocok untuk kehidupan.
- Pluralisme Budaya, ketika kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih besar mempertahankan identitas budaya mereka yang unik (lihat Multikulturalisme)
- Pluralisme Ekonomi , keragaman metode ekonomi termasuk kapitalisme, koperasi dan laissez faire
- Pluralisme Hukum, mengakui adanya perbedaan sistem hukum di dunia
- Pluralisme Metodologis, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam sains dan ilmu sosial memerlukan beberapa metode untuk menjelaskan sifat mereka.
- Pluralisme (hubungan industrial), pengakuan dari multiplicy kepentingan sah dan pemangku kepentingan dalam hubungan kerja.
- Pluralisme (filsafat), posisi seluruhnya tidak terkait dalam monisme metafisika dan epistemologi.
- Pluralisme (filsafat politik), pengakuan dari keanekaragaman sistem politik.
- Pluralisme (teori politik), berpandangan bahwa kekuasaan politik dalam masyarakat tidak terletak dengan pemilih, tetapi didistribusikan antara sejumlah luas kelompok.
- Pluralisme Agama, istilah yang digunakan untuk menggambarkan penerimaan semua jalur agama sama-sama sah, mempromosikan ko-eksistensi.
- Pluralisme Ilmiah, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam ilmu membutuhkan beberapa penjelasan untuk menjelaskan sifat mereka, sehingga penolakan bahwa ada satu metode ilmiah kesatuan .
Walau terdapat sekian banyak pluralisme seperti yang telah saya paparkan diatas, namun kali ini kita akan membahas mengenai pluralisme Hukum terutama dari pandangan Antropologi Hukum. Mengapa harus dikaji dari segi Antropologi Hukum ? Hal ini karena ketika mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel (1995) menegaskan :
We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell, 1995:306).
Hal ini memberikan pembenaran terhadap kemajemukan maupun keragaman yang berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berwujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law).
Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation ) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Snyder, 1981; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K. von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber, 1998).
Secara substantif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6).
Sedangkan ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan :
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.
Jadi, secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan:
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group.
Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, seperti berikut :
1. Konsep pluralisme hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.
Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).
2. Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).
3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) :
Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always take place in a context of multiple, overlapping "semi-autonomous social field".
Sementara itu, hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore (1978), yaitu:
Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field’ (Tamanaha, 1992:25).
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat : A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans & MacDonald, 1997:31).
Dari tulisan ini, jika anda menelaah lebih jauh maka tentunya anda akan memahami cakupan dari Pluralisme Hukum terkait dengan pandangan para Antropologi Hukum. Karena plural senantiasa terkait dan terikat pada istilah keragaman maka setiap ada kata 'keragaman' maupun 'kemajemukan' maka disitulah terdapat prinsip Pluralisme.