Dari pengalaman organisasi-organisasi yang telah menerapkan Manajemen dapat ditarik pelajaran bahwa agar organisasi itu berhasil dalam meningkatkan mutu kinerjanya secara terus-menerus diperlukan adanya kelompok pimpinan atau manajemen yang memiliki cara berfikir tentang mutu yang berbeda dengan cara berfikir pimpinan organisasi yang tidak menerapkan MMT. Berikut ini butir-butir yang menggambarkan cara berfikir pimpinan MMT tentang mutu.
1. Perbaikan mutu menghemat waktu dan uang.
Cara berfikir semacam itu berbeda dengan cara berfikir konvensional yang biasa mengatakan bahwa perbaikan mutu selalu memerlukan uang dan waktu. MMT diterapkan untuk jangka panjang, dan perbaikan mutu tidak untuk sesaat tetapi untuk seterusnya dan selamanya. Perbaikan mutu pada awalnya mungkin memerlukan dana, tetapi tidak selalu harus demikian, sebab untuk mencapai mutu yang lebih baik mungkin diperlukan pelatihan bagi orang-orang tertentu, atau memerlukan perbaikan peralatan dan fasilitas kerja, meski inipin tidak selalu harus demikian.
Sesudah investasi awal itu kemudian tidak diperlukan lagi penge-luaran ekstra, bahkan dalam jangka yang agak panjang perbaikan mutu itu malah akan menghasilkan penghematan uang dan waktu. Tujuan utama diterapkannya MMT selain memuaskan pelanggan adalah efisiensi. Ini berarti penghematan dari cara-cara sebelumnya, atau bekerja dengan biaya lebih rendah tetapi dengan hasil yang lebih baik.
2. Pekerjaan adalah sistem terpadu dari beberapa proses.
Persepsi semacam ini jelas sangat berbeda dengan cara berfikir kovensional yang melihat pekerjaan tidak sebagai suatu sistem yang terpadu tetapi sebagai rangkaian peristiwa. Jika orang melihat pekerjaan sebagai suatu sistem yang terpadu berarti masih tetap mengakui adanya bagian-bagian dari pekerjaan yang terpisah, namun bagian-bagian itu tetap berkaitan satu dengan lainnya dan memiliki hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung (interdependent).
Perguruan tinggi memiliki bagian-bagian atau unit-unit, memiliki banyak jenis pekerjaan dan kegiatan, serta memiliki banyak orang yang bekerja di dalam-nya. Jelas mereka tidak cukup hanya dengan bekerja sendiri-sendiri secara terpisah, tetapi mereka harus bekerjasama, berinteraksi satu sama lain, tolong menolong, saling melayani, sebab hasil akhir dari perguruan tinggi itu adalah totalitas dari pekerjaan semua bagian dan semua orang itu.
Bahkan mutu pekerjaan satu bagian sering sangat tergantung pada mutu pekerjaan bagian lain yang merupakan masukan bagi bagian yang pertama. Jadi agar suatu perguruan tinggi bermutu, semua bagian, semua fungsi dan semua pekerjaan perlu diupayakan agar bermutu sebagai satu sistem. Tidak cukup bila hanya salah satu atau beberapa bagian saja yang bermutu. Namun dalam implementasinya bila tidak mungkin meningkatkan semua jenis pekerjaan secara simultan, maka bisa ditempuh cara bertahap, yang dengan cermat dipilih jenis-jenis pekerjaan mana yang secara strategis perlu ditingkatkan mutunya lebih dahulu.
3. Pekerjaan betapapun besar dan banyaknya bila tanpa kualitas tidak ada artinya.
Ini berarti bahwa kualitas atau mutu pekerjaan lebih penting dari kuantitas atau jumlah. Dalam dunia pendidikan hal itu jelas sekali. Suatu perguruan tinggi memiliki banyak dosen dan mahasiswa tetapi yang pada umumnya tidak bermutu sebenarnya tidak banyak artinya bagi perguruan yang mendambakan perguruan yang bermutu. Pendidikan yang tidak bermutu betapapun banyaknya lulusan yang dikeluarkan kiranya tidak ada artinya bagi kemajuan suatu bangsa dan negara.
4. Mutu menyatu dengan cara kerja dari awal.
Mutu hasil kinerja yang berupa barang atau jasa adalah hasil dari cara kerja yang diterapkan dalam pekerjaan. Oleh karena itu cara kerja yang berupa prosedur dan proses kerja menjadi sangat penting untuk menghasilkan kinerja yang bermutu. Prosedur dan proses kerja sejak awal hingga akhir perlu dirancang dan ditentukan sedemikian rupa hingga menjamin tercapainya mutu kinerja yang baik seperti yang diinginkan untuk dapat memu-askan semau pelanggannya. Mutu barang atau jasa bukan sekedar hasil dari pemeriksaan pada akhir proses kerja, melainkan menyatu dengan cara kerja dari awal hingga akhir.
5. Mutu dapat dicapai melalui pelatihan yang lebih baik bagi karyawan yang telah ada plus kepemimpinan yang bermutu.
Salah satu kunci penting untuk keberhasilan meningkatkan mutu secara berkelanjutan adalah pelatihan yang relevan dan efektif. Semua karyawan dapat diharapkan meningkatkan mutu kinerjanya bila telah mendapatkan pelatihan yang tepat, demikian pula semua pemimpin dapat memimpin penyelenggaraan MMT dengan berhasil bila mendapatkan pelatihan un-tuk itu. Cara berfikir semacam itu berbeda dengan cara berfikir konvensional yang mengatakan bah-wa untuk mendapatkan mutu perlu (perekrutan) karyawan yang lebih baik.
6. Mutu yang cukup hanyalah bila semua pekerjaan menghasilkan yang terbaik.
Mutu se-macam itu memang tidak mungkin dicapai dengan sekali usaha tetapi melalui usaha yang terus menerus yang setiap kali diusahakan bisa mencapai perbaikan sedikit demi sedikit, yang dalam jangka yang agak panjang akan bisa mencapai mutu yang sempurna. Inipun pada waktunya dapat disempurnakan lagi sehingga sebenarnya usaha perbaikan mutu tidak pernah ada akhirnya. Mutu memang tidak berbatas, selalu dapat ditingkatkan. Pimpinan konvensional berfikir kalau 90% peker-jaan sudah baik adalah sudah cukup. Di bidang pendidikan dan akademis standar mutu itu jelas selalu bergerak ke atas dan harus selalu dikejar. Jadi jangan pernah berhenti berusaha meningkatkan mutu kinerja.
7. Mutu berarti perbaikan yang berkelanjutan.
Ini adalah cara berfikir sebagai kelanjutan dan konsekuensi pemikiran tersebut pada butir ke-6 di atas. Ini berbeda dengan konsep management by objective yang mengartikan mutu sebagai pencapaian tujuan yang ditentukan sebelumnya. Kedua cara berfikir itu tidak perlu dianggap berbeda bila pekerjaan dibagi-bagi menjadi beberapa tahapan dan untuk setiap tahap ditentukan tujuannya yang selalu meningkat dari awal sampai akhir.
8. Para pemasok adalah mitra kerja.
Pekerjaan dalam suatu organisasi selalu bersifat mengolah atau memroses masukan (barang, jasa dan/atau orang) yang dipasok oleh orang lain. Mutu kinerja organisasi itu dipengaruhi oleh mutu masukannya. Kalau organisasi itu memperlakukan para pemasok sebagai mitra kerjanya, ia dapat mengharap mendapatkan mutu pasokan (masukan) yang baik. Sebaliknya bila pemasok itu diperlakukan sebagai pesaingnya atau lawan usahanya, maka para pemasok itu sulit diharapkan mau memasok masukan yang bermutu. Jadi tidak benar bahwa mutu kinerja itu tidak ada kaitannya dengan pemasok. Dalam bidang pendidikan tinggi, mahasiswa adalah masukan yang dipasok oleh lembaga-lembaga pendidikan menengah. Sudahkah perguruan tinggi memperlakukan sekolah-sekolah menengah itu sebagai mitra kerjanya?
9. Pelanggan adalah bagian integral dari organisasi.
Mengapa demikian ? Karena sejak awal pekerjaan organisasi itu direncanakan antara lain dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebu-tuhan dan harapan-harapan pelanggan. Jadi para pelanggan (eksternal) itu sejak awal diharapkan memberi masukan kepada organisasi, dan karena itulah mereka dikatakan merupakan bagian integral dari organisasi. Tanpa memper-timbangkan kebutuhan dan harapan para pelanggan, tidak pernah diketahui apakah hasil kerja itu akan bisa memuaskan pelanggan atau tidak.
Jadi agar organisasi dapat merencanakan kerja yang bermutu perlu para pimpinan organisasi itu melihat para pelanggan sebagai bagian integral dari organisasi, dan bukan sebagai orang-orang luar yang akan ditawari produk kerja organisasi.
Cara berfikir seperti digambarkan pada sembilan butir di atas sangat perlu untuk diadopsi oleh para pimpinan yang organisasinya menerapkan Manajemen untuk selalu bisa menggerakkan orang-orang dan organisasinya meningkatkan mutu kerjanya secara berkelanjutan. Cara berfikir tentang mutu semacam itu akan menjadi bagian dari kepribadian pemimpin yang mendambakan mutu.
sumber : http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/01/cara-berfikir-kelompok-pimpinan-tentang.html