Momentum tahun baru Imlek tentunya ada sejuta harapan serta impian yang masih mem-bayang dalam diri dan pikiran kita, khususnya warga etnis Tionghoa di Indonesia. Inilah awal kesempatan membuka lembaran baru, bagaimana kita dapat memanfaatkan waktu untuk membangun diri dan bangsa menjadi lebih baik.
Bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi warga Indonesia, peringatan tahun baru Imlek , mengingatkan kepada kebijakan otoriter dan represif atas keberingasan rezim Orde Baru. Melalui Inpres No. 14/1967 yang subtansinya mengarah pada pelarangan bentuk apa pun yang berbau Cina, mulai dari huruf, simbol, kesenian (barongsai dan Hong) sekaligus perayaaan Imlek. Semua itu dilarang diekspresikan dalam bentuk apa pun di nusantara.
Akibat tindakan rasisme itulah, etnis Tionghoa sangat merindukan hadirnya lentera penerangan dalam setiap gerak langkahnya di negeri ini. Selama bertahun-tahun apa yang diimpikan etnis Tionghoa akhirnya terwujud. Tepat pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengambil keputusan bersejarah dan monumental. Gus Dur mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan pengek-spresian terhadap kebudayaannya di Indonesia.
Pascalengsernya Gus Dur, para pemimpin di negeri ini juga sadar akan pentingnya menghormati kebebasan ras atas etnis Tionghoa. Terbukti pada 9 April 2002, Keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keppres No. 19/2002 meresmikan Imlek sebagai libur nasional yang berlaku mulai Tahun Imlek 2003. Sehingga keberadaan tahun, baru Imlek di negeri ini sama halnya dengan tahun baru lainnya.
Kebahagiaan etnis Tionghoa serasa semakin lengkap ketika di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu pemerintah dan DPR membuat kebijakan spektakuler yang termaktub dalam UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di negeri ini termasuk orang Indonesia asli. Undang-undang tersebut dengan tegas mendefinisikan "orang-orang bangsa Indonesia asli". Artinya, orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak bersedia menjadi kewar-negaraan lain atas kehendak sendiri. Untuk itu, kehadiran undang-undang itu dengan tujuan untuk menghapus diskriminasi kewarganegaraan etnis Tionghoa.
Antirasisme
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, hari raya Imlek dapat dijadikan momentum spirit antirasisme dalam bentuk apa pun di negeri ini. Apa yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid dalam membebaskan warga Tionghoa atas belenggu rasisme, bukan semata-mata sebagai sosok pecundang rezim Orde Baru. Namun, Gus Dur berupaya memperjuangkan antirasisme dan menghormati kebudayaan negara lain.
Maka sangat relevan di balik gagasan Abdurrahman Wahid ketika menghapus segala peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif di tubuh Indonesia. Lahimya gagasan tersebut bertujuan agar nilai-nilai yang terkandung dalam spirit antirasisme memantul ke dalam jiwa dan kehidupan seluruh elemen bangsa. Nilai ketulusan, semangat perjuangan antirasisme, serta menghormati terhadap sesama antarwarga bangsa. Ini sangat penting untuk masa depan bangsa di masa mendatang.
Namun dalam realitasnya, praktik diskriminasi masih terus mendera sesama anak bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa. Bahkan, praktik diskriminatif itu dilakukan terang-terangan. Semisal, sekali pun Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sudah dihapus dan tidak diperlukan lagi, tetapi faktanya tidak demikian. SBKRI tetap berlaku, bahkan tetap menjadi sasaran "empuk" pungutan liar.
Memang benar adanya apa yang dikatakan Fadhoel Much-lasin (2009) meski angin kebebasan sudah berembus di mana-mana sehingga etnis Tionghoa bisa mengekspresikan keberadaan peradabannya seperti Imlek, masalah identitas Tionghoa tampaknya belum sepenuhnya tuntas sampai saat ini.
Menyikapi hal itu perlu kita mengimlementasikan kembali apa yang telah diperjuangkan Gus Dur. Niat baik Abdurrahman Wahid dalam memerangi rasisme tidak lain hanyalah untuk menumbuhkan semangat menghargai perbedaan di tengah masyarakat kita yang heterogen. Kebijakan tersebut juga mengindikasikan bahwa Gus Dur menginginkan semua etnis yang hidup di negeri ini bisa saling menghormati satu sama lain. Saling berkolaborasi dalam hal apa pun serta memberikan kontribusi positif bagi bangsa tanpa memandang etnis dan agama
Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran sejarah bahwa kita tercipta dan hidup di alam mul-tikultur. Subkultur dan subet-nis di Indonesia merupakan penjelmaan dari tali-temali kebangsaan yang saling merajut membentuk permadani. Dia tidak boleh dilihat sebagai pernak-pernik yang terpisah satu sama lain. Itulah esensi multikulturalisme yang telah ditancapkan oleh Gus Dur.
disunting dengan perubahan dari http://bataviase.co.id/node/92570