Muted Group Theory
Latar Belakang Teori
Sudah dari sejak dulu, para ahli antropologi berusaha untuk memahami budaya dengan melakukan penelitian lapangan dan menulis etnografi. Melalui cara kerja yang dilakukan para antropolog tersebut diharapkan sebuah budaya akan dapat dideskripsikan dengan detail, komplet dan akurat.
Pada pertengahan tahun 1970, dua orang antropolog, Edwin Ardener (1975) seorang antropologis sosial dari Oxford University dan Shirley Ardener sebagai rekan kerjanya menunjukkan minat untuk melihat cara kerja para antropolog budaya tersebut di lapangan. Mereka melihat bahwa ternyata para antropolog melakukan penelitiannya dengan lebih banyak berbicara dan bertanya kepada kalangan laki-laki dewasa pada suatu budaya tertentu untuk kemudian mencatatnya dalam etnografi sebagai gambaran budaya secara keseluruhan. Sehingga tidak seluruh porsi dari deskripsi budaya tersebut, seperti perempuan, anak-anak, dan posisi dari pihak yang tak berdaya lainnya, disajikan sebagai bagian dari cerita budaya tesebut.
Edwin Ardener dalam monografinya, “Kepercayaan dan Problem Perempuan” mengemukakan kecenderungan aneh di kalangan etnografer yang mengklaim harus “meretakkan kode” dari sebuah budaya tanpa membuat referensi langsung pada setengah masyarakat yang terdiri dari kalangan perempuan. Para peneliti lapangan seringkali membenarkan kelalaian tersebut dengan melaporkan bahwa sulitnya menggunakan perempuan sebagai informan budayanya. Menurut mereka, perempuan muda terkikih-kikih, perempuan tua mendengus, mereka menolak pertanyaan dan menertawakannya, secara umum hal tersebut menyulitkan para peneliti yang dididik dalam metode penelitian saintifik yang maskulin. Hal ini disebabkan karena bahasa yang digunakan oleh perempuan bersifat rapport talk, yaitu cenderung berbicara untuk membangun keakraban dan membutuhkan penerimaan orang lain dalam berbahasa, sehingga bagi para etnografer itu menyulitkan mereka, sedangkan bahasa yang digunakan oleh laki-laki lebih bersifat report talk, yang cenderung hanya untuk memberikan penjelasan dan tidak dalam rangka membangun keakraban, dan hal ini justru memudahkan etnografer untuk memperoleh banyak penjelasan dari kalangan laki-laki.
Ardener awalnya berasumsi bahwa kurangnya perhatian terhadap pengalaman perempuan adalah sebuah masalah gender yang unik pada antropologi sosial. Tetapi hal ini kemudian ditelusuri lebih lanjut oleh rekan kerjanya, Shirley Ardener, yang menyadari bahwa kebungkaman kelompok yang kurang kekuasaan menimpa kelompok-kelompok yang menempati tempat yang paling akhir dari tingkatan masyarakat. Orang-orang yang hanya memiliki kekuasaan yang rendah bermasalah dengan persoalan menyuarakan persepsi-persepsi mereka. Ardener mengatakan bahwa struktur kebungkaman mereka ‘ada’ tetapi tidak bisa dicapai dari struktur bahasa dominan. Hasilnya adalah mereka dipandang rendah, diredam, dan dibuat tak tampak, sebagaimana “lubang hitam” belaka dalam alam orang lain.
Edwin Ardener membuktikan bahwa fenomena ini memiliki dua segi. Pertama, para peneliti antropologi (yang biasanya orang kulit putih) tidak mendengarkan suara-suara dari kalangan yang tidak berdaya (powerless), karena mereka biasa menyimak dari kalangan laki-laki dan mendengarkan bahasa laki-laki, mereka tidak mencari atau memahami suara-suara dari kalangan perempuan dalam proses penelitiannya. Perempuan dalam hal ini dipandang sebagai pihak yang sukar berbicara oleh para peneliti, dan Edwin Ardener menyatakan bahwa “jika laki-laki menampilkan ‘pandai berbicara’ dibandingkan dengan perempuan, ini adalah sebuah kasus dari yang suka berbicara kepada yang suka”. Kedua, melampaui ketulian ini dari pihak laki-laki, kalangan perempuan “dibungkam” selama penelitian. Shirley Ardener melihat proses ini sebagai kejadian overtime: “Kata-kata yang secara kontinyu menyerang telinga yang tuli, tentu, akhirnya menjadi tidak diucapkan. Siklus ketulian dan kebisuan ini dipergunakan sebagai basis untuk teori kelompok yang dibungkam. Melalui pengamatan yang mendalam oleh Ardener, tampaklah bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang inheren di dalamnya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas dan dibungkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.
Teori kelompok yang dibungkam ini kemudian dikembangkan secara lebih lengkap oleh Cheris Kramarae dan koleganya. Kramarae adalah profesor speech communication dan sosiolog di Universitas Illinois. Dia juga profesor tamu di Pusat Studi Perempuan (Center for the Study of Women) di Universitas Oregon, dan baru-baru ini sebagai dekan di Universitas Perempuan Internasional (the International Woman’s University) di Jerman. Dia memulai karier penelitiannya pada tahun 1974 ketika dia memimpin sebuah studi sistematik mengenai cara-cara perempuan dilukiskan dalam kartun.
Kramarae menemukan bahwa perempuan dalam kartun biasanya dilukiskan sebagai emosional, apologetik (peminta maaf/penyesal), dan plin-plan sedangkan pernyataan yang sederhana dan kuat disuarakan oleh laki-laki.
Teori ini telah difasihkan terutama sebagai teori feminis, dengan perempuan sebagai kelompok yang dibungkam, tetapi bisa juga diterapkan pada kelompok budaya terpinggirkan lainnya. Sebagaimana dijelaskan Orbe (1998), “Di dalam masyarakat yang memelihara hubungan kekuasaan yang asimetris, kerangka kelompok yang dibungkam berada.” Dalam lingkup komunikasi, teori ini termasuk konteks kultural yang mengkaji gender dan komunikasi dan salah satu dari teori kritis.
Cheris Kramarae sendiri menyatakan bahwa bahasa itu benar-benar sebuah konstruksi yang dibuat oleh laki-laki.
* Bahasa sebagai bagian dari budaya tidak menggunakan semua pembicara secara sama, karena tidak semua pembicara berkontribusi pada cara formulasi yang sama. Perempuan (dan anggota kelompok subordinat lainnya) tidak bebas atau tidak semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan dan dimana mereka menginginkan, karena kata-kata dan norma yang mereka gunakan telah diformulasi oleh kelompok laki-laki yang dominan (Griffin, 2003: 487).
Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan kalangan perempuan dipotong dan pemikiran perempuan juga didevaluasi (diturunkan nilainya) dalam masyarakat kita. Ketika perempuan mencoba untuk mengatasi ketidakadilan ini, kontrol komunikasi yang maskulin menempatkan mereka pada kerugian yang sangat besar. Bahasa yang dibuat laki-laki menjadi alat dalam mendefinisikan, menurunkan dan meniadakan keberadaan perempuan, sehingga perempuan pun menjadi kelompok yang dibungkam.
Premis dari teori
Teori ini memandang bahwa bahasa adalah batasan budaya, dan karenanya laki-laki lebih berkuasa dari perempuan, laki-laki lebih mempengaruhi bahasa sehingga menghasilkan bahasa yang bias laki-laki.
Hal ini terjadi, karena bahasa dari budaya yang khusus tidak menyajikan semua pembicara (speakers) secara sama, tidak semua pembicara berkontribusi dalam formulasi cara yang sama. Perempuan (dan anggota dari kelompok subordinat) tidak sebebas dan semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma untuknya menggunakan formulasi dari kelompok dominan, yaitu laki-laki.
Asumsi-asumsi Pokok
Kramarae (1981) merancang tiga asumsi yang berpusat pada sajian feminisnya dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu:
1. Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat.
2. Karena laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan.
3. Sehingga, agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan tersebut.
Karena pengalaman perempuan di dunia yang berbeda, maka mereka merasakan dunia yang berbeda pula. Perbedaan ekspresi ini seringkali terlihat pada perbedaan antara dunia kerja publik, komersial, dan kompetisi serta dunia privat rumah, keluarga, dan pengasuhan. Perbedaan pengalaman ini mempertajam perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan.
Teori kelompok yang dibungkam melalui konsep persepsi ini membawa proses komunikasi pada garis terdepan. Khususnya, teori kelompok yang dibungkam mengemukakan bahwa karena kelompok dominan (khususnya laki-laki kulit putih Eropa) mengontrol makna ekspresi publik seperti pada kamus, media, hukum, dan pemerintah, maka gaya ekspresi mereka mempunyai hak istimewa (privileged). Sokongan komunikasi laki-laki kulit putih ini akan memasukkan segala sesuatu dari perspektif dominansi rasionalitas publik dan organisasional yang berbicara dengan menggunakan metafora untuk memberikan komentar dan lelucon yang menghina perempuan.
Cara-cara perempuan dalam berbicara seperti wacana emosional, metafora yang relevan dengan kehidupan rumah, tidak akan memiliki tempat dalam dunia laki-laki dan laki-laki akan mengklaim bahwa mereka tidak dapat memahami perempuan atau mode ekspresinya. Melalui proses yang meliputi ejekan, ritual, penjagaan gawang, dan pelecehan, perempuan akan dibuat bisu atau sukar berbicara dalam forum diskursus publik. Tegasnya, perempuan akan sering merasa tidak nyaman berbicara dalam arus utama masyarakat, karena harus menerjemahkan gagasannya ke dalam bahasa komunikasi publik yang didominasi laki-laki, sehingga perempuan dianggap tidak sederhana/simpel dalam berbicara, atau akan menggunakan bentuk-bentuk interaksi “bawah tanah” seperti catatan harian, jurnal, atau ruang obrolan khusus perempuan.
Hal ini menunjukkan bukti-bukti dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu adanya bias leksikal pada bahasa publik, seperti pada kartun, metafora, term cara berbicara/logat perempuan, serta term aktivitas seksual; perempuan kurang disajikan dalam media, textbook, cyberspace, dan sebagainya; perempuan harus menggunakan sistem ekspresi publik yang berorientasi laki-laki; serta perempuan menggunakan ruang privat, jalur “back channel” untuk mendiskusikan pengalamannya.
Kramarae (dalam Miller, 2002: 293) juga mengembangkan tujuh hipotesis mengenai Teori Kelompok yang Dibungkam, yaitu,
* Perempuan kemungkinan besar lebih sulit mengekspresikan diri mereka sendiri dalam cara-cara ekspresi publik yang dominan dibandingkan laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata-kata untuk pengalaman yang feminin, karena laki-laki tidak berbagi pengalaman tersebut dan tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.
* Laki-laki lebih sulit daripada perempuan dalam memahami makna anggota dari gender lain. Bukti dari hipotesis ini dapat dilihat pada berbagai hal, misalnya laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut; perempuan lebih sering menjadi objek dari pengalaman daripada laki-laki; laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas, sehingga perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-laki mengisolasi dirinya dari sistem komunikasi perempuan.
* Perempuan kemungkinan akan menemukan cara untuk mengekpresikan diri mereka sendiri di luar cara-cara ekspresi publik dominan yang digunakan oleh laki-laki baik dalam konvensi verbal maupun perilaku nonverbal mereka. Perempuan lebih mengandalkan ekspresi nonverbal dan menggunakan bentuk-bentuk nonverbal yang berbeda dengan yang digunakan laki-laki, karena mereka secara verbal dibungkam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa misalnya, ekspresi wajah, “vocal pauses”, dan gerak tubuh lebih penting pada komunikasi perempuan dibanding komunikasi laki-laki. Perempuan juga cenderung menunjukkan lebih banyak perubahan ekspresi dalam percakapan.
* Perempuan kemungkinan besar lebih menyatakan ketidakpuasan pada cara-cara ekspresi publik dominan laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-laki.
* Perempuan menolak untuk hidup dengan gagasan-gagasan dari organisasi sosial yang ditangani oleh kelompok dominan dan akan mengubah cara-cara ekspresi publik dominan karena mereka secara sadar dan secara verbal menolak gagasan tersebut. Himbauan bagi kebebasan perempuan telah mengembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang berbeda yang melibatkan pengalaman-pengalaman perempuan, seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok penyadaran.
* Perempuan tidak seperti laki-laki dalam menciptakan kata-kata yang diakui secara luas dan digunakan oleh laki-laki maupun perempuan. Konsekuensinya perempuan merasa tidak dianggap berkontribusi terhadap perkembangan bahasa.
* Selera humor perempuan akan berbeda dari selera humor laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sehingga seseuatu yang tampak lucu bagi laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.
Teori Kelompok yang Dibungkam merupakan teori yang menarik dari teori komunikasi kritis dan termasuk dalam konteks kultural yang membahas mengenai gender dan komunikasi. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengungkap struktur-struktur penting yang menyebabkan penindasan dan memberikan arah bagi perubahan yang positif.
Ketika teori feminis berkutat dengan pembagian konsepsi gendar atas maskulin dan feminin, sejumlah orang mempertanyakan manfaat dari dualisme ini. Meskipun pembedaan maskulin-feminin dapat berguna, namun terasa sangat menyederhanakan dan menciptakan konseptualisasi yang tidak secara tepat mencerminkan realitas. Pemberian label semacam itu pada kenyataannya justru mempertajam pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya coba diatasi oleh kaum feminis. Linda Putnam menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:
* “persoalan reifikasi; penggunaan label feminis telah menimbukan efek pengakuan eksistensi perempuan tetapi sekaligus juga mengisolasi mereka”. Dan lagi, “usaha untuk menghapus perilaku pembedaan memiliki potensi untuk membebaskan kita dari klasifikasi peran berdasarkan jenis kelamin yang muncul dari dualisme.” Jawabannya menurut Putnam, adalah bukan dengan mengabaikan teori feminis atau idealisme feminis, tetapi dengan melihat pada proses komunikasi secara berbeda. Daripada sekadar menganggap bahwa gender adalah penyebab bagi efek-efek lainnya, kita harus mempelajari pula cara-cara dimana pola-pola komunikasi telah membawa pada pembedaan gender itu sendiri (Sendjaja, 2002: 9.25)
Tujuan dari teori
Teori ini bertujuan untuk mengubah sistem linguistik “buatan laki-laki”, seperti kamus feminis dan pelecehan seksual.
2. Teori Kritis
Teori kritis pada dasarnya merupakan sebuah perspektif teoretis yang sangat eklektik yang sumber-sumber pemikirannya bisa diketemukan dari berbagai pemikiran yang berbeda seperti pemikiran Aritoteles, Foucoult, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein dan pemikiran-pemikiran lain. Berbagai macam pemikiran yang sangat berbeda tersebut disatukan oleh sebuah orientasi atau semangat teoretis yang sama,yakni semangat untuk melakukan emansipasi. Semangat emansipatoris teori kritis muncul dalam dua aspek yang berbeda: tujuan dan metode. Teori kritis bertujuan untuk menghilangkan berbagai bentuk dominasi serta mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori kritis menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Esensi teori kritis pada dasarnya adalah konstruktivis, yakni memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan pada dasarnya memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Klaim karakter politis pengetahuan ini berkembang dari atau dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda. Pertama, pemikiran Kant mengenai keterbatasan pengetahuan, yakni bahwa manusia tidak bisa memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial). Kedua, pemikiran Hegel dan Marx bahwa teori dan pembentukan teori (theorizing) tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap teori ataupun proses pembentukan teori tersebut. Dan, ketiga, pemikiran Horkheimer yang membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional mengasumsikan adanya pemisahan antara teoretisi dan obyek kajiannya. Artinya, teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat, sementara teori kritis menolak asumsi pemisahan antara subyek-obyek dan berargumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan atau fungsi tertentu.[1]
Dalam studi hubungan internasional,[2] teori kritis yang berkembang dipengaruhi oleh dua pemikiran utama. Yang pertama adalah teori kritis Frankfurt School, yang sumber-sumber pemikirannya bisa dilacak dari pemikiran-pemikiran Habermas, Adorno, dan Max Horkheimer, serta didukung oleh pemikir-pemikir lain seperti Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Eric Fromm, Albrecht Wellmer, Karl-Otto Apel, dan Axel Honneth. Pengaruh kedua berasal dari karya dan pemikiran Antonio Gramsci.
Sekalipun memiliki obsesi yang sama, yakni keinginan untuk meninjau kembali pemahamam mengenai masyarakat politik ¾ negara, kedua pengaruh ini mendorong perkembangan teori kritis dalam studi hubungan internasional yang bukan hanya memiliki orientasi intelektual yang berbeda, tetapi bahkan cenderung eksklusif satu sama lain, dalam artian bahwa masing-masing tidak mengacu pada sumber-sumber intelektual teori kritis yang lain. Linklater, Jones dan Baynes, misalnya, yang memusatkan perhatian terutama pada teori normatif dan politik, mendasarkan sepenuhnya pemikiran-pemikiran yang mereka kembangkan dari teori kritis Frankfurt School dan hampir tidak memberikan pengakuan terhadap pengaruh Gramsci. Sebaliknya, teori kritis yang didasarkan pada pemikiran Gramsci, seperti ditemukan dalam pemikiran Cox, Harrod atau Gill, yang cenderung berorientasi pada ekonomi politik, juga tidak menunjukkan adanya pengaruh pemikiran kritis Frankfurt School.
Kritik terhadap partikularisme etis dan eksklusi sosial
Salah satu asumsi filosofis penting yang mendasari bangun pemikiran politik dan etis serta praktis dalam hubungan internasional adalah negara sebagai bentuk alamiah masyarakat politik. Keberadaan negara merupakan sebuah realitas yang universal dan alamiah, serta menjadi bagian integral dari hubungan internasional. Dengan kata lain, negara merupakan cara mengorganisir kehidupan politik yang normal atau dalam terminologi Marx, ‘fetishism’ of the state.
Para teoretisi kritis berusaha menunjukkan bahwa pemahaman mengenai negara seperti ini menimbulkan masalah-masalah etis yang sangat menghambat pencapaian kebebasan, keadilan dan kesederajatan. Organisasi kehidupan politik dalam bentuk negara modern menghasilkan dua kategori manusia: manusia dan warga negara. Dalam bukunya Men and Citizens in the Theory of International Relations (1990), secara sistematis menunjukkan bagaimana status kewarganegaraan menimbulkan implikasi etis yang sangat besar bagi seorang individu dibandingkan dengan statusnya sebagai manusia. Warga negara adalah anggota dari sebuah negara tertentu dan, sebagai konsekuensi keanggotaannya, menikmati privilege-privilige tertentu yang tidak dimiliki oleh individu yang bukan warna negara. Dengan kata lain, kategori sebagai warga negara memiliki nilai yang lebih besar daripada kategori sebagai bagian dari umat manusia.
Sebagai sebuah komunitas politik, negara bukan hanya menggambarkan sebuah entitas dengan batas-batas geografis atau yuridis tertentu tetapi juga batas-batas moral dan etis dalam arti bahwa kewajiban negara hanya terbatas pada warga negaranya, dan tidak pada umat manusia. Tidak ada kewajiban di luar batas-batas teritorial. Tuntutan terhadap kewajiban-kewajiban negara, misalnya, adalah tuntutan-tuntutan terhadap kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara kepada warga negaranya, dan bukan kepada umat manusia secara umum. Oleh karenanya, keberadaan negara menimbulkan alienasi atau eksklusi sosial terhadap umat manusia yang tidak termasuk dalam kategori warga negara.
Teori kritis yang berangkat dari pengaruh pemikiran Habermas ini menghasilkan pembahasan-pembahasan hubungan internasional yang berkrakter kosmopolis seperti misalnya demokrasi di tingkat global.
Negara sebagai produk dari hubungan antar kekuatan sosial
Dalam bentuk yang lain, teori kritis dalam Hubungan Internasional berusaha untuk mengkaji ulang pemahaman negara melalui dimensi dimensi sosiologisnya. Dengan cara ini, teori kritis menolak pemahaman realisme atau neorealisme tentang anarkhi dan negara sebagai sebuah realitas otonom. Implisit dalam kedua pemahaman ini adalah asumsi mengenai negara sebagai sebuah entitas yang alamiah dan tidak berubah. Teori kritis menolak kedua asumsi tersebut. Dalam pandangan teori kritis, Negara tidak sama dengan negara, karena negara yang satu berbeda dengan negara yang lain. Setiap negara merupakan komiunitas politik yang sangat berbeda, yakni entitas dengan peran dan tanggung jawab yang sangat tergantung pada konteks kesejarahan dan sosialnya.
Untuk mendukung asumsinya bahwa setiap negara merupakan komunitas politik yang khas, bahwa negara memiliki bentuk yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda atau dalam periode sejarah yang berbeda, teori kritis berusaha mengkaji hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Berdasarkan asumsi ini, esensi pemikiran kritis tentang negara pada dasarnya adalah klaim bahwa negara muncul sebelum adanya sejarah dan tidak dapat diabstraksikan dari sejarah.
Pemahaman mengenai negara sebagai produk historis dan sosiologis, yakni produk dari hubungan sosial, memiliki implikasi pada konsepsinya mengenai tatanan dunia. Tatanan dunia bukanlah merupakan realitas eksternal dari kekuatan-kekuatan sosial, seperti diklaim oleh pemikir realis atau neorealis melalui konsep anarkhi. Tatanan dunia bukanlah merupakan produk dari hubungan antar negara semata-mata, melainkan produk dari hubungan antar kekuatan sosial. Kekuatan sosial yang dimaksudkan adalah kekuatan material, ideologi maupun institusi, jadi termasuk di dalamnya adalah negara. Sebagai produk dari hubungan antar kekuatan sosial, tatanan dunia tidak bersifat abadi, melainkan selalu berubah sesuasi dengan konfigurasi dalam hubungan kekuatan-kekuatan tersebut. Tatanan dunia adalah tatanan hegemonis berdasarkan konfigurasi kekuatan-kekuatan sosial.[3] Sebagai refleksi dari kekuatan-kekuatan sosial yang hegemonis, tatanan dunia akan mengalami perubahan seiring dengan munculnya hegemoni yang lain atau kekuatan-kekuatan sosial yang menentang hegemoni tersebut.
Production, Power and World Order: Social Forces in the Making of History (1987), yang ditulis oleh Robert Cox merupakan salah satu karya utama yang merepresentasikan pemikiran kritis dalam studi hubungan internasional yang dipengaruhi oleh Gramsci (neo-gramscian). Dalam karya tersebut, Cox secara komprehensif menggambarkan munculnya sebuah tatanan dunia yang hegemonis, yakni neoliberalisme, dan munculnya kecenderungan-kecenderungan counter hegemoni, yang berupa koalisi negara-negara dunia ketiga dan gerakan-gerakan masyarakat sipil.
3. Standpoint Theory
Teori ini menjelaskan bahwa pengalaman individu, pengetahuan, dan perilaku komunikasi sebagian besar dibentuk oleh kelompok sosial dimana mereka aktif (Wood, J. T.,1982 dalam West, R., & Turner, L. H., 2000). Dari sinilah kita dapat menarik kerangka tentang sistematika pengaruh kekuatan pembentuk identitas.
Secara kultural, bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan adalah bangsa yang guyub. Keguyuban ini pun terbawa pada kolektif-kolektif komunitas Islam. Kita mengenal adanya komunitas pesantren NU, dan Muhamadiyyah pada masa sebelum kemerdekaan. Setelah kebijakan Soeharto di era tahun 1980-an yang lebih dekat dengan Islam, dan komunitas kolektif Islam menjadi semakin menjamur. Dan semakin banyaknya komunitas kolektif inilah yang kemudian banyak sekali mempengaruhi kehidupan warga Indonesia yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh media global telah tereduksi oleh keberadaan dan pengaruh komunitas kolektif yang memiliki high context culture.
4. Feminist Genre Theory
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
Gelombang pertama
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Perkembangan di Amerika Serikat
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok “feminisme radikal” dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan “Women´s Lib”. Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya “Miss America Pegeant” di Atlantic City yang mereka anggap sebagai “pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan”. Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada 1975, “Gender, development, dan equality” sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
MACAM MACAM FEMINISME
Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Feminisme post modern
Ide Posmo – menurut anggapan mereka – ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
[1] Robert Cox menegaskan kembali perbedaan ini dengan membedakan teori menjadi teori yang berorientasi pada pemecahan masalah dan teori kritis.
[2] Dalam perkembangan awalnya, Teori Kritis tidak memberikan perhatian kepada hubungan internasional. Baik Gramsci maupun Habermas hanya memberikan porsi yang sangat tidak substansial membicarakan hubungan internasional.
sumber : http://kuliahkomunikasi.com/2008/06/teori-komunikasi-budaya/