Setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tentulah harus beriman bahwa Muhammad saw adalah Nabi dan rasulullah yang terakhir, penutup sekalian nabi dan rasul; tidak ada lagi Nabi, apalagi rasul sesudah beliau (QS. Al-Ahzab 33:40). Beliau diutus oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat nanti (QS.Saba’ 34:28). Kedatangan beliau sebagai utusan Allah merupakan rahmat bagi alam semesta (QS. Al-anbiya’ 21:107).
Nabi Muhammad saw telah berjuang selama lebih kurang 23 tahun membawa umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Beliaulah yang berjasa besar membebaskan umat manusia dari belenggu kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan. Berbagai penderitaan beliau alami dalam perjuangan itu; dihina, dikatakan gila, tukang sihir, tukang tenung, penyair, disakiti, diusir dan hendak dibunuh; tapi semuanya itu tidak sedikitpun menyurutkan hati beliau untuk tetap berjuang membebaskan umat manusia.
Nabi sangat mencintai umatnya. Beliau hidup dan bergaul serta dapat merasakan denyut nadi mereka. Beliau sangat menyayangi umatnya. Beliau ikut menderita dengan penderitaan umat dan sangat menginginkan kebaikan untuk mereka. Tentang sikap beliau ini Allah SWT berfirman:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah 9:128)
Sebagai seorang mukmin sudah seharusnya dan sepantasnya kita mencintai beliau melebihi cinta kepada siapapun selain Allah SWT. Bila iman kita tulus, lahir dari lubuk hati yang paling dalam tentulah kita akan mencintai beliau, karena cinta itulah yang membuktikan kita betul-betul beriman atau tidak kapada beliau. Rasullah saw bersabda:
” Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum aku lebih di cintai dari pada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim,dan Nasia’i)
Sebagai konsekuensi dari menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai cinta yang pertama dan utama, maka tentu saja cinta kepada orang tua, anak-anak, suami atau istri, sanak saudara, harta benda dan lain sebagainya harus ditempatkan dibawah kedua cinta tersebut (termasuk di bawah cinta kepada jihad pada jalan Allah). Dalam hal ini mari kita perhatikan peringatan Allah dalam ayat berikut ini:
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (التوبة)
.Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At-Taubah 9:24)
Berdagang misalnya, termasuk perwujudan dari cinta kepada harta benda. Tapi bila dalam berdagang seseorang tidak lagi mempedulikan halal dan haram, menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan, atau dengan ungkapan lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda itu dalam kasus ini telah mengalahkan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang seperti inilah yang mendapat peringatan keras dalam ayat di atas.
Dalam mencintai Rasulullah, marilah kita meneladani para sahabat-radhiyallahu’anhum. Diriwatkan betapa cintanya tsauban kepada nabi sehingga dia tidak dapat menahan rindu kalau lama tidak melihatnya. Suatu ketika ia tidak dapat melihat wajah nabi beberapa hari lamanya.
Mukanya pucat, hatinya gundah gulana, ketika bertemu dengan nabi, ia ditanya tentang perubahan keadaanya yang demikian itu. Tsauban menjawab: “saya tidak sakit ya rasulullah. Hanya saja apabila saya terhalang melihat wajah tuan, saya tak dapat menahan hati. Dan saya takut benar, di akhirat nanti tidak dapat memandang wajahmu. Tuan berada di surga ditempat yang sangat tinggi.
Saya tentu tidak dapat menyertai tuan”. Mendengar kata-kata tsauban ini, Nabi berkata: “Engkau beserta orang yang engkau cintai”. Pada saat itu pula, Turunlah wahyu Allah:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (النساء)
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang benar), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS: An-Nisa’ 4: 69)
Demikian Pula besarnya cinta Bilal kepada Nabi. Dikisahkan waktu muazzin Nabi itu hendak menghembuskan nafasnya yang pengahabisan. Beberapa yang kawannya menyaksikan berkata: “ aduh betapa pedih hati kami”. Mendengar kata-kata ini Bilal justru menjawab “ wahai betapa gembira hatiku, esuk aku akan segera bertemu dengan Nabi Muhammad”!
Demikianlah gambaran betapa cintanya Tsauban dan Bilal, dua sahabat Nabi, kepada junjungannya Nabi Muhammad saw. Demikian pulalah kecintaan para sahabat Nabi yang lain kepada beliau.
Di samping mencintai Rasulullah saw, kita juga seharusnya mencintai orang-orang yang dicintai oleh beliau dan membenci orang-orang yang dibencinya, lebih khusus lagi mencintai dan memuliakan keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah saw melarang umatnya mencela sahabat-sahabat beliau.
“ janganlah kamu cela sahabat-sahabatku. Andaikata seorang diantara kamu memberikan infaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan sampai menyamai satu mud (infaq) salah seorang diantara mereka, bahkan seengah mud pun tidak. “(HR. Bukhari)
Karena cinta kepada Rasulullah saw, dengan sendirinya kita ikut merasa terhina apabila ada yang menghina Rasulullah saw, atau menghina orang-oarang yang dicintai beliau.
Sesudah mencintai Rasulullah saw, kita juga berkewajiban menghormati dan memuliakan beliau, lebih dari pada menghormati dan memuliakan tokoh mana pun dalam sejarah umat manusia. Diantara bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap beliau adalah tidak boleh mendahului beliau dalam mengambil keputusan atau menjawab pertanyaan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (الحجرات)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Hujarat 49:1)
Menurut Muhammad ‘ali Assh-Shabuni, para sahabat. Jika di ajukan pertanyaan didalam majlis yang dihadiri Nabi, mereka tidak mau mendahului beliau menjawab, apabila dihidangkan makanan mereka tidak akan memulai makan sebelum Nabi memulainya, kalau berjalan bersama Nabi mereka tidak akan berada di depan”.
Para sahabat, karena sangat hati-hatinya menjaga jangan sampai mendahului Rasulullah saw, apabila ditanya oleh Rasulullah saw biasanya mereka menjawab dengan mengatakan “ Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”, sekalipun sebenarnya mereka tahu jawabannya. Misalnya dalam haji wada’, Rasulullah bertanya tentang tahun, bulan dan hari itu, mereka tahu jawabannya, tetapi tetap menjawabnya dengan menyatakan Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Waktu ditanyakan kemudian hari kenapa mereka menjawabnya seperti itu, mereka mengatakan khawatir kalau Rasulullah bertanya hanya sekedar pengantar untuk merobah nama hari, bulan dan tahun waktu itu.
Demikianlah sikap para sahabat memuliakan dan menghormati Rasulullah saw. Bagi kita sekarang, di mana secara fisik Rasulullah saw tidak lagi hadir bersama kita, tidak mendahului beliau itu dimanifestasikan dengan tidak menetapkan suatu perkara sebelum membahas dan menelitinya terlebih dahulu dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagai dua warisan beliau yang harus selalu dipedomani.
Bentuk lain dari penghormatan dan memuliakan Rasulullah saw adalah tidak berbicara keras di hadapan beliau. Allah SWT Berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (الحجرات)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. . (QS.Al-Hujarat 49:2)
Sanksi bagi yang melanggar larangan Allah di atas tidak tanggung-tanggung, yaitu hilang lenyap seluruh pahala amal kebaikan yang telah dilakukan. Tapi sebaliknya bagi yang mematuhi juga dapat janji pahala yang besar.
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (الحجرات)
“Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. . (QS.Al-Hujarat 49:3)
Apakah larangan berbicara keras dihadapan Rasulullah saw dalam ayat di atas tetap relevan setelah Rasulullah saw meninggal dunia? Menurut hemat penulis, sikap penghormatan terhadap Rasulullah saw dalam berbicara seperti yang dijelaskan di atas, dapat diteruskan setelah beliau wafat dengan tidak mengeraskan suara di depan para ulama pewaris Nabi, di dalam majlis yang sedang dibacakan atau diajarkan warisan Nabi (Al-Qur’an dan Sunnah), dan juga di masjid Nabawi dan lebih khusus lagi di kuburan Nabi.
Mengikuti dan Mentaati Rasulullah
Mengikuti Rasulullah SAW (ittiba ar-Rasul) adalah salah satu bukti kecintaan seorang hamba terhadap Allah SWT. Allah berfirman:
‘’Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. ‘’Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Ali-Imran 3:31)
Rasulullah SAW, sebagaimana rasul-rasul yang lain, di utus oleh Allah SWT untuk diikuti dan dipatuhi.
‘’Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah..’’(QS. An-Nisa)\
Ketaatan kepada Rasulullah SAW bersifat mutlak, karena taat kepda beliau merupakanbagian dari taat kepada Allah. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firman-Nya.
‘’Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa 4:80)
Dalam banyak ayat, Allah SWT meletakkan perintah taat kepada Rasulullah sesudah perintah taat kepada Allah. Adakalanya perintah taat kepada Rasulullah disebut secara eksplisit sehingga kalimatnya menjadi ‘’taatlah kepada Allah dan tattlah kepada Rasul’’, dan ada kalanya dengan di’athaf (diikutkan ) saja kepada perintah saat kepada Allah, sehingga kalimatnya menjadi ‘’taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya’’seperti dalam dua ayat berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan baru kemudian. Yang demikian itu lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisa 4:59)
Mengikuti dan menaati Rasulullah SAW, berarti mengikuti jalan lurus tersebut dengan mematuhi segala rambu-rambunya. Rambu-rambu jalan tersebut adalah segala aturan kehidupan yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang terlembagakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah dua warisan yang ditinggalkan Rasul untuk umat manusia, Yang apabila selalu dipegang teguh, umat manusia tidak akan tersesat buat selamanya.
Ajaran Al-Qur’an dan sunnah yang di wariskan oleh Rasulullah SAW bersifat komprehensif (mencakup seluruh aspek kehidupan). Secara garis besar, warisan Rasulullah tersebut dapat dibagi kepada aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Di antara empat aspek tersebut ada yang dijelaskan secara terperinci yang oleh karena itu bersifat statis, dan ada yang hanya diberikan garis besar atau prinsip prinsipnyasaja sehingga bersifat dinamis.
Yang bersifat statis itu adalah aspek aqidah, ibadah, akhlak (dalam pengertian nilai baik buruknya tidak berubah, tapi manifestasinya bias berubah) dan sebagian kecil aspek muamalah (yaitu tata kehidupan berkeluarga). Sedangkan yang bersifat dinamis adalah sebagian besar aspek mu’amalah (politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam dan lain-lain).
Ajaran yang statis tidak boleh mengalami perubahan karena fungsinya sebagai dasar atau landasan normatif yang membingkai dan mewarnai semua aspek kehidupan manusia. Sejak pertama kali diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat, sampai kepada zaman kita sekarang ini, dan untuk masa seterusnya, aspek-aspek yang statis itu tidak boleh mengalami perubahan.
Apabila terjadi perubahan, akibat pengaruh yang dating dari luar islam, baik dari agama-agama maupun budaya lain, maka menjadi tugas umat islam umumnya, dan para ulama pembaharu khususnya untuk melakukan pemurnian (purifikasi). Yang dibersihkan dari aspek ibadah adalah unsure bid’ah. Sedangkan dari aspek akhlak nilai baik buruk yang sudah mengalami pergeseran dikembalikan kepada nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
Berbeda dengan aspek yang statis, maka ajaran islam yang bersifat dinamis (yaitu sebagian besar aspek mu’amalah) selalu menerima perubahan. Oleh sebab itu islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja, sedangkan pengembangan dan penjabarannya diserahkan kepada historitas umat manusia di setiap waktu dan tempat. Misalnya prinsip musyawarah dalam memilih pimpinan, dapat dilaksanakan dengan mekanisme yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Demikianlah dalam aspek yang statis kita mengikuti dan mematuhi Rasulullah SAW adanya tanpa mengurangi dan menambahnya, tapi dalam aspek yang dinamis kita hanya dituntut mengikuti prinsip-prinsipnya atau garis besarnya saja. Dengan demikian kita dapat mengembangkannya sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan.
Mengucap Shalawat dan Salam
Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a, istighfar dan rahmah. Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti Allah memberi ampunan dan rahmat kepada Nabi, inilah salah satu makna dari firman Allah yang artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS 33:56).
Adapun, bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan bagi kita sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasul Saw: Barangsiapa bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali (HR. Ahmad). Manakala seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak mengucapkan shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai orang yang paling utama kepadanya pada hari kiamat, beliau bersabda: Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku (HR. Tirmidzi).
Adapun orang yang tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang kikir atau bakhil, hal ini dinyatakan oleh Rasul Saw: Yang benar-benar bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Shalawat adalah bentuk jamak dari kata salat yang berarti doa atau seruan kepada Allah. Membaca shalawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah swt untuk Nabi dengan ucapan, pernyataan serta pengharapan, semoga beliau (Nabi) sejahtera (beruntung, tak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat).
Salam berarti damai, sejahtera, aman sentosa dan selamat. Jadi saat seorang muslim membaca shalawat untuk Nabi, dimaksudkan mendoakan beliau semoga tetap damai, sejahtera, aman sentosa dan selalu mendapatkan keselamatan.
Shalawat untuk Nabi
Membaca Shalawat harus disertai dengan niat dan dengan sikap hormat kepada Nabi. Orang yang membaca shalawat untuk Nabi hendaknya disertai dengan niat dan didasari rasa cinta kepada beliau dengan tujuan untuk memuliakan dan menghormati beliau. Dalam penjelasan hadits (akhbar al-hadits) disebutkan bahwa apabila seseorang membaca shalawat tidak disertai dengan niat dan perasaan hormat kepada Nabi, maka timbangannya tidak lebih berat ketimbang selembar sayap. Nabi saw bersabda : "Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung niatnya".
Ada tiga perkara yang timbangannya tidak lebih berat dari pada selembar sayap, yaitu :
1. Salat yang tidak disertai dengan tunduk dan khusyuk.
2. Dzikir dengan tidak sadar. Allah Swt tidak akan menerima amal orang yang hatinya tidak sadar.
3. Membaca Shalawat untuk Nabi Muhammad saw. tidak disertai dengan niat dan rasa hormat.
Nabi saw. bersabda : "Dan kalau kamu membaca shalawat, maka bacalah dengan penuh penghormatan untuk ku."
Membaca shalawat untuk mencintai dan memuliakan Nabi SAW
Siti Aisyah ra. berkata : "Barangsiapa cinta kepada Allah Ta'ala, maka dia banyak menyebutnya dan buahnya ialah Allah akan mengingat dia, juga memberi rahmat dan ampunan kepadanya, serta memasukannya ke surga bersama para Nabi dan para wali. Dan Allah memberi kehormatan pula kepadanya dengan melihat keindahan-Nya. Dan barang siapa cinta kepada Nabi saw., maka hendaklah ia banyak membaca shalawat untuk Nabi saw., dan buahnya ialah ia akan mendapat syafaat dan akan bersama beliau di surga."
Selanjutnya Nabi saw., bersabda : Barang siapa membaca shalawat untuk ku karena memuliakanku, maka Allah Ta'ala menciptakan dari kalimat (shalawat) itu satu malaikat yang mempunyai dua sayap, yang satu di timur dan satunya lagi di barat. Sedangkan kedua kakinya di bawah bumi sedangkan lehernya memanjang sampai ke Arary. Allah Ta'ala berfirman kepadanya :"Bacalah shalawat untuk hamba-Ku, sebagaimana dia telah membaca shalawat untuk Nabi-Ku. Maka Malaikat pun membaca shalawat untuknya sampai Hari Kiamat."
Salam Kepada Mengucap Nabi
Allah SWT memberi salam kepada setiap orang yang memberi salam kepada Nabi saw., sebagaimana beliau bersabda : “Saya berjumpa Jibril, maka dia berkata : ‘Sesungguhnya saya memberi kabar gembira kepadamu bahw sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: ‘Barangsiapa memberi salam kepadamu, maka Aku memberi salam kepadanya dan barang siapa membaca shalawat untukmu, maka Aku membaca shalawat untuknya’.”
Mengucap salam kepada Nabi saw., lebih utama dari pada memerdekakan budak. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata : “Membaca shalawat untuk Nabi itu bisa menghapuskan dosa-dosa, seperti air dingin memadamkan api, dan salam kepada Nabi itu lebih utama dari pada memerdekakan budak”. NAbi saw., bersabda : “Barangsiapa membaca shalawat untuk ku satu kali, maka dia menjadi tidak berdosa walaupun sebesar atom dan biji sawi.”
Yang membaca salam untuk Nabi 100 kali setiap hari, akan dikabulkan oleh Allah 100 hajat. 30 diberikan di dunia dan 70 diberikan di akherat. NAbi saw bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai tujuh puluh malaikat yang selalu berjalan di muka bumi serta menyampaikan kepadaku salam dari umat ku. Maka, apabila ada seseorang dari umatku membaca shalawat untuk ku seratus kali dalam sehari, maka Allah Ta’ala akan akan mengabulkan seratus macam hajatnya, tujuh puluh diberikan diakherat dan tiga puluh di dunia.”