BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam mengajarkan bahwa akhlaq menempati kedudukan yang sangat penting karena akhlaq mengajarkan kita tentang nilai-nilai baik dan buruk, terpuji dan tercela yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dalam segala aspek kehidupan serta yang berlaku sampai kapanpun dan dimanapun, tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk dengan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan, hidup manusia selalu mempunyai ketergantungan kepada yang lain dan tumpuan serta pokok ketergantungan adalah ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah Rabbul ’alamin, Allah Tuhan Maha Esa.
Kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat tergantung kepada izin dan ridha Allah. Oleh karena itu Allah memberikan ketentuan-ketentuan agar manusia dapat mencapainya. Maka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat itu dengan sendirinya kita harus mengikuti ketentuan-ketentuan dari Allah SWT.
Dengan menerapkan akhlaq yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah mengenai nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan umat manusia, manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang semu melainkan kebahagiaan yang nyata.
Hal tersebut yang menjadikan kelompok kami sangat tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai akhlaq pribadi. Dalam paper ini kami akan membahas dan menjabarkan lebih dalam mengenai pengertian akhlak, macam-macam akhlak pribadi beserta bentuk-bentuknya.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam paper ini rumusan masalah yang akan dibahas adalah:
1. Apakah pengertian akhlak?
2. Apa saja macam-macam akhlak pribadi beserta bentuk perbuatannya?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan paper ini adalah sebagai berikut:
1. Memberi gambaran mengenai akhlak pribadi.
2. Memberi gambaran mengenai macam-macam akhlak beserta bentuk perbuatannya.
1.4 Manfaat
Dengan adanya pemahaman yang baik mengenai akhlak pribadi dan bentuk-bentuk perbuatan shidiq, amanah, istiqomah, iffah, mujahadah, syaja’ah, tawadlu, zuhud, sabar dan pemaaf, diharapkan kita bisa mengambil ilmu, pemahaman serta bisa menerapkannya dalam kehidupan pribadi yang pengaruhnya juga akan dapat dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akhlak
Secara etimologis pengertian akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluk yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).
Kesamaan kata di atas memberitahukan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki apabila tindakan atau perilakunya tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan).
Dari pengertian etimologis dapat disimpulkan bahwa akhlak tidak hanya tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia saja melainkan juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Ibrahim Anis menyebutkan bahwa ahklak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih malakukan atau meninggalkannya.
Pengertian akhlaq secara terminologis yang dikutip diatas sepakat menyatakan bahwa akhlak atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
2.2 Macam-Macam Akhlak dan Bentuknya
Allah SWT membagi macam-macam akhlak dalam sepuluh perbuatan. Macam-macam perbuatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Shidiq
Shidiq (ash-sidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-kazib). Seorang muslim dituntut untuk selalu benar lahir batin, benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidq al-hadist) dan benar perbuatan (shidq al-amal). Antara hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan.
Bentuk-bentuk shidiq:
a. Benar perkataan (shidq al-hadist)
b. Benar Pergaulan (shidq al-mu’amalah)
c. Benar kemauan (shidq al-‘azam)
d. Benar janji (shidq al-wa’ad)
e. Benar kenyataan (shidq al-hal)
Lawan dari shidiq adalah bohong dan yang termasuk bentuk kebohongan dalam masyarakat antara lain khianat, mungkir janji, kesaksian palsu, fitnah dan gunjing.
2) Amanah
Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal seperti menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, dll.
Bentuk-bentuk amanah antara lain:
a. Memelihara titipan dan mengembalikannya seperti semula
b. Menjaga rahasia
c. Tidak menyalahgunakan jabatan
d. Menunaikan kewajiban dengan baik
e. Memelihara semua nikmat yang diberikan Allah
Lawan kata dari amanah adalah khianat, sifat kaum munafik yang sangat dibenci oleh Allah SWT, apalahi apabila yang dikhianatinya adalah Allah SWT dan Rasul-Nya.
3) Istiqamah
Secara etimologis, istiqamah berasal dari kata istaqama-yastaqimu yang berarti tegak lurus. Dalam terminologi Akhlaq, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan.
Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi: hati, lisan dan amal perbuatan. Seorang yang beriman haruslah istiqamah dengan ketiga dimensi tersebut. Dia akan selalu menjaga kesucian hatinya, kebenaran perkataannya dan kesesuaian perbuatannya dengan ajaran Islam.
4) Iffah
Iffah merupakan bentuk masdar dari Affa-ya’iffu‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, juga berarti kesucian tubuh. Dari sudut pandang yang berbeda, iffah berarti memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkanya.
Beberapa contoh berdasarkan Al Qur’an dan Hadis:
a. Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah seksual, seorang muslim dan muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan pakaian.
b. Menjaga diri dari hubungannya dengan masalah harta. Islam mengajarkan terutama bagi orang miskin untuk tidak menadahkan tangan meminta-minta. Al Qur’an menganjurkan kepada orang-orang berpunya untuk membantu orang-orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sikap iffah mereka.
c. Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain kepada dirinya seseorang harus betul-betul menjauhi segala macam bentuk ketidakjujuran.
5) Mujahadah
Dalam konteks akhlaq, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT, baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal. Untuk mengatasi hambatan tersebut diperlukan kemauan dan perjuangna yang sungguh-sunggguh.Apabila seorang bermujahadah untuk mencari keridhaan Allah SWT, maka Allah berjanji akan menunjukan jalan kepadanya untuk mencapai tujuan tersebut.
Secara terperinci objek mujahadah ada enam hal, yaitu:
a. Jiwa yang selalu mendorong seseorang untuk melakukan kedurhakaan atau dalam istilah Al-Qur’an fujur.
b. Hawa nafsu yang tidak terkendali, yang menyebabkan seseorang melakukan apa saja untuk memenuhi hawa nafsunya itu tnpa mempedulikan larangan-larangan Allah SWT dan tanpa mempedulikan mudharat bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
c. Syaithan yang selalu menggoda umat manusia untuk memperturutkan hawa nafsu sehingga mereka lupa kepada Allah SWT dan untuk selanjutnya lupa kepada diri mereka sendiri.
d. Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan sehingga mengalahkan kecintaannya kepada Akhirat, padahal keberadaan manusia didunia hanya bersifat sementara, secara individual sampai maut datang menjemput, dan secara umum sampai kiamat datang. Kehidupan yang abadi adalah kehidupan di akhirat.
e. Orang-orang kafir dan munafik yang tidak pernah puas hati sebelum orang-orang yang beriman kembali menjadi kufur.
f. Para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran, termasuk dari orang-orang yang mengaku beriman sendiri, yang tidak hanya merugikan mereka sendiri, tapi juga merugikan masyarakat.
6) Syaja’ah
Syaja’ah artinya berani, tapi bukan berani dalam arti siap menantang siapa saja tanpa mempedulikan apakah dia berada di pihak yang benar atau salah, dan bukan pula berani memperturutkan hawa nafsu. Keberanian tidaklah ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa.
Bentuk-bentuk keberanian yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah
a. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan (jihad fi sabilillah).
b. Keberanian menyatakan kebenaran sekalipun dihadapan penguasa zalim.
c. Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia mampu melampiaskannya.
Menurut Raid Abdul Hadi dalam bukunya Mamarat al-Haq, ada tujuh faktor yang membuat seseorang memiliki keberanian antara lain:
a. Rasa takut kepada Allah SWT
Takut kepada Allah membuat seseorang tidak takut kepada siapapun selama dia yakin bahwa yang dilakukannya adalah dalam rangka menjalankan perintahnya.
b. Lebih mencintai akhirat daripada dunia
Bagi seorang muslim dunia bukanlah tujuan akhir, dunia adalah jembatan menuju akhirat. Oleh karena itu dia tidak akan ragu meninggalkan dunia asalkan dia mendapatkan kebahagiaan di akhirat.
c. Tidak takut mati
Kematian merupakan suatu kepastian, cepat atau lambat karena setiap manusia pasti mati. Kalau ajal sudah datang tidak ada yang dapat mencegahnya.
7) Tawadlu
Merendahkan diri (tawadlu) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Tawadlu juga bisa diartikan rendah hati atau tidak sombong. Orang yang tawadlu adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT.
Dengan pemahaman tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Tawadlu juga diartikan bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita. Tawadlu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadlu karena tawadlu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.
Tanda orang yang tawadlu adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadlu dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama.
Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka. Hal ini dikarenakan orang yang tawadlu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.
Macam tawadlu dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Tawadlu yang terpuji yaitu ke-tawadlu-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya.
8) Zuhud
Arti kata zuhud adalah tidak ingin kepada sesuatu dengan meninggalkannya. Menurut istilah zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat.
Ada 3 tingkatan zuhud yaitu:
1. Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2. Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3. Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. (menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi)
Menurut AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:
1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
2. Meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakheratan.
3. Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya
Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah. Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah.
9) Sabar dan Pemaaf
Sabar berasal dari assabru yang artinya adalah menahan. Karena sabar itu adalah menahan berarti sabar adalah suatu aktivitas bukan pasivitas, suatu perlawanan bukan suatu penyerahan, suatu yang memerlukan pengorbanan. Misalnya kita merasa kesal kepada orang lain karena ada ketidakcocokan atau karena ia melakukan suatu kessalahan dan ingin rasanya melampiaskan kekesalan dan kebencian, maka keinginan semacam itu kita tahan, itu namanya sabar.
Dan misalnya kita dihina dan disakiti hatinya oleh orang lain maka muncul reaksi negatif di dalam diri kita, kemudian kita marah dengan orang tersebut dan ingin rasanya melampiaskan kemarahan kepada orang yang menghina dan memfitnah kita, maka keinginan seperti itu ditahan. Menahan keinginan semacam itu dan melakukan penahanan pada saat itu dinamakan memaafkan.
Berkenaan dengan kemarahan, Imam Al-Ghazali pernah mengajarkan bagaimana seharusnya seorang mukmin melampiaskan kemarahan. Bahwa kesabaran seseorang memang ada batasnya dan pada saatnya telah melampaui ambang batas itu sangat wajar jika seseorang harus marah. Hanya saja yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengukur kadar marah sesuai dengan tingkat kesalahan orang yang membuat kita marah, dan juga dilampiaskan masih dalam kewajaran dan di bawah kesadaran yang tinggi.
Kita boleh marah dalam hal meluruskan sesuatu yang salah demi kemaslahatan bersama dimana niat kita semata-mata untuk memperoleh keridlaan Allah. Kita tidak boleh marah karena keinginan kita supaya ditakuti orang lain atau karena ingin memperoleh kewibawaan dari kemarahan tersebut. Kita juga tidak boleh marah karena rasa kekesalan dan kebencian kita terhadap orang lain.
Kita sesama muslim bukanlah saling bermusuhan, tetapi adalah bersaudara. Karena Salah satu sifat yang menggambarkan seseorang itu berakhlak islami dan seorang muslim yakni sifat pemaaf dan sabar. Maka jangan sampai kita menjadi penyemai maupun pemupuk rasa kebencian di tengah-tengah masyarakat. Jika kita temui bibit-bibit kemarahan dan kebencian di tengah-tengah kita maka marilah bersama-sama kita redam dengan sabar dan amar ma’ruf nahi munkar.